• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA HUKUM DALAM PERADILAN TATA USAHA N (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UPAYA HUKUM DALAM PERADILAN TATA USAHA N (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA HUKUM DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Untuk memenuhi tugas Kapsel HAN

Disusun oleh :

Setya Okta Wijaya 8111415321

ILMU HUKUM

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan dan memberi

segala karunia dan rahmatnya kepada kita, sehingga saya bisa menyusun dan menyelesaikan

penulisan makalah ini dengan sebaik-baiknya, yang bertujuan membahas mengenai

upaya

hukum dalam peradilan tata usaha negara

, untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Kapsel

HAN.

Materi dalam penulisan makalah ini disusun sedemikian rupa agar pembaca mudah

memahami dan menguasai materi atau konsep yang disampaikan sebagaimana yang

diharapkan semua penulis, dan atas kelemahan dan kekurangannya saya mohon maaf yang

sebesar-besarnya, semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Saya juga menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan

tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran untuk kebaikan sangat saya

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Judul...i

Kata pengantar ...ii

Daftar isi ...iii

Bab I Pendahuluan ...1

A. Latar belakang ...1

B. Rumusan masalah ...2

C. Tujuan penelitian ... 2

Bab II Pembahasan... 3

A. Upaya Hukum Biasa... 4

B. Kerangka berpikir ... 5

Bab III Penutup ... 7

A. Kesimpulan ... 7

B. Saran ... 7

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum,1oleh karena itu maka sebagai negara hukum sudah semestinya hukum dijadikan sebagai sarana untuk mengatur masyarakat, sehingga hukum Indonesia harus ditegakkan dengan sebaik mungkin. Hukum Indonesia adalah sarana utama untuk melindungi dan memberikan jaminan rasa aman pada penduduk warga negara Indonesia itu sendiri, dimana setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh sebab itu menurut FJ. Stahl dalam buku Hukum Adminitrasi Negara Ridwan HR bahwa suatu negara hukum memiliki unsur penting dengan adanya Peradilan Administrasi dalam perselisihan atau Peradilan Tata Usaha negara.2

Ingatan kolektif sejarah menyadarkan Bangsa ini akan pentingnya pemisahan kekuasaan yang berimbang terhadap organ-organ negara agar terjadi adanya checks and balance diantara organ-organ negara tersebut. Salah satu implikasi dari pengadopsian prinsip tersebut adalah diaplikasikanya teori Trias Politica Montesqieu, yaitu pemisahan kekuasaan ( Seperation of Power). Gagasan tentang pemisahan kekuasaan ini menjadi acuan ideal dalam organisasi negara demokrasi modern. Karena itu, kiranya diperlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai kontrol terhadap jalanannya konstitusi bagi organ-organ negara yang menerima mandat langsung oleh Undang- Undang Dasar. Sebagaimana diutarakan Hans Kelsen bahwa penerapan aturan-aturan konstitusi mengenai pembentukan undang-undang dapat dijamin secara efektif hanya jika suatu organ selain organ legeslatif diberi mandat yang tegas menguji apakah suatu undang-undang sesuai atau tidak dengan konstitusi. Imbas dari perubahan fundamental tata kelola kenegaraan tersebut adalah dibentuknya lembaga-lembaga negara baru sesuai amanat Undang-Undang Dasar Paska Amandemen meski ada juga lembaga-lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang lahir adalah Mahkamah Konstitusi (MK) setelah eksistensi konstitusionalnya mendapat tempat dalam UUD 1945 paska Amandemen. MK secara resmi dibentuk pada tahun 2003 melalui UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto UU Nomor 8 Tahun 2011. Keberadaan MK ini diproyeksikan berfungsi sebagai lembaga negative legislature.3

Dengan mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau mutlak suatu putusan tidak lagi di ubah. Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ini tersedia upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa hanya lah di perbolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang saja. Termasuk upaya hukum istimewa ialah request civil (peninjauan kembali) dan derden verszet (perlawanan pihak ketiga)4.

1 Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Pasal 1 ayat 3, Amandemen Ke 3.

2 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cetakan Keenam, 2011, hlm. 3.

3 Dikutip dari Dr. Martitah M.Hum, Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Positive Legislature,Kon. Pres, 2013, hlm, xiv.

(5)

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan membahas atau menuangkan dalam tulisan lebih mendalam tentang upaya-upaya hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pemeriksaan dalam melakukan upaya hukum biasa di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

2. Bagaimana proses pemeriksaan dalam melakukan upaya hukum luar biasa di Mahkamah Agung (MA).

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan dalam melakukan upaya hukum biasa di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

2. Untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan dalam melakukan upaya hukum luar biasa di Mahkamah Agung (MA).

(6)

BAB II PEMBAHASAN

Dalam sengketa Tata Usaha Negara yang diperiksa oleh hakim di Peradilan Tata Usaha Negara hakim harus menjatuhkan putusan kepada pihak penggugat maupun tergugat yang bersengketa tersebut. Akan tetapi apabila terjadi kesalahan serta kesilapan didalam putusan hakim tersebut, maka putusan tersebut terkadang keliru dan tidak sesuai menerapkan dasar hukum didalam putusan tersebut. Dalam sejarahnya, adalah Hakim Agung Amerika Serikat, John Marshall, hakim pertama yang melakukan

Judicial review, yaitu Judiciary Actpad tahun 1789 karena subtansi UU ( Formellgesetz ) bertentangan dengan konstitusi. Alasan-alasan tentang kenapa judicial review boleh dan penting dilakukan hakim ialah; pertama, Hakim bersumpah menjunjung konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang bertentangan dengan konstitusi, maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut. Kedua , konstitusi adalah The Supreme Law of The Land , sehingga harus ada peluang pengujian terhadap peraturan dibawahnya agar isi konstitusi tidak dilanggar. Ketiga, Hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada yang mengajukan uji materi, permintaan tersebut harus dipenuhi.5

Jadi untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana hukum untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum. Jadi, upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan pengadilan. Upaya hukum ini dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut pendapat penulis bahwa upaya hukum merupakan suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.

Menurut Zairin Harahap bahwa upaya hukum ini bukanlah dimaksudkan untuk memperlama penyelesaikan suatu perkara, apalagi dimaksudkan menyampingkan kepastian hukum. Bagaimanapun upaya hukum diperlukan, karena hakim adalah manusia yang sangat dekat denga kehilafan, bahkan kesalahan itu sendiri, bersifat memihak, atau karena ditemukan bukti baru yang begitu kuat. Denga tersedianya upaya hukum, putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim masih dimungkinkan untuk diperiksa ulang6. Menurut R. Wiyono dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Upaya hukum sebagai7:

5 Dr. Martitah, M.Hum , Op.cit ,. hlm. 7.

(7)

1. Upaya hukum biasa, yang terdiri dari: a. Perlawanan terhadap penetapan dismissal

b. Banding c. Kasasi

2. Upaya hukum luar biasa, yang terdiri dari:

a. Peninjauan kembali

b. Kasasi demi kepentingan hukum

Menurut R. Wiyono, istilah upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tidak dipergunakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009. Kedua istilah tersebut dipinjam dari istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

A. Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan sebelum memperoleh kekuatan hukum tetap.

1. Perlawanan Terhadap Penetapan Dismissal

Perlawanan (verzet) merupakan upaya hukum terhadap penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan (prosedur dismissal). Perlawanan yang diajukan oleh penggugat terhadap penetapan dismissal tersebut pada dasarnya membantah alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a, b, c, d, dan e UU PTUN. Penggugat harus mampu membuktikan bahwa alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan itu berdasar dan didukung oleh bukti-bukti yang akurat, sehingga kebenarannya patut dipertanyakan8.

2. Banding

Banding sering juga disebut istilah ulangan pemeriksaan yang berasala dari bahsa latin apellare. Arti banding, yaitu pemerimsaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik mengenai fakta-fakta, maupun penerapan hukum atau undang-undang9. Menurut pendapat penulis banding merupakan suatu pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi terhadap putusan Pengadilan Negeri atas permohonan pihak yang berkepentingan. Pemeriksaan di tingkat banding merupakan pemeriksaan oleh judex facti tingkat terakhir.

3. Kasasi

Lembaga kasasi itu berasal dari Perancis. Perkataan “kasasi” (dalam bahasa Perancis

cassation) berasal dari perkataan Perancis casser yang berarti “memecahkan” atau

8 Zairin Harahap, op. cit., hlm. 166.

(8)

“membatalkan”. Tugas pengadilan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan pengadilan -pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut10.

B. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum luar biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan setelah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

1. Peninjauan Kembali

Terhadap suatu putusan Mahkamah Agung yang sudah memperoleh keuatan hukum tetap, maka upaya hukum selanjutnya yang bisa dilakukan dengan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, sebagaimana terdapat dapat Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 menyatakan sebagai berikut11:

(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

(2) Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 mengatakan:

Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan agama, atau oleh pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha Negara, digunakan hukum acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 75.

Alasan pengajuan pemohonan peninjauan kembali sebagaimana tersirat dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagai berikut12:

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. Apabila setelah perkara di putus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;

10 Moh. Taufik Makarao, op. cit., hlm. 189.

(9)

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenal suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan suatu dengan yang lain;

(10)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana hukum untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum. Jadi, upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan pengadilan. Upaya hukum ini dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut pendapat penulis bahwa upaya hukum merupakan suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.

Dengan demikian untuk memperbaiki kekliruan tersebut, maka dari itu ada beberapa upaya hukum yang dilakukan dalam peradilan tata usaha Negara sebagai berikut:

1. Upaya hukum biasa

Dalam hal ini penulis berharap semoga makalah ini bisa dijadikan bahan ataupun sumber rujukan, yang sekaligus menambah pengetahuan di bidang Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan memahami secara mendeteil atau mendalam bagaimana sebenarnya konsep beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan Mahkamah Agung (MA). Dalam melakukan berbagai upaya hukum, baik upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa yang terdapat dalam proses pemeriksaan di pengadilan.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesembilan, Bandung, 2012.

A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama, Cetakan Ketujuh, Bandung, 2011.

Dr. Martitah M.Hum, Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, PT. Konstitusi Press, Cetakan Pertama, 2013, hlm, xiv.

B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. .

Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004

Referensi

Dokumen terkait

Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam Sistem Peradilan

Guna mengurangi kecenderungan para pihak untuk melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan terakhir pengadilan (putusan pengadilan tingkat banding),

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Terhadap Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Terkait Asas Litis Finiri Oportet, disusun

(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud path ayat (1) dikrimkan, tergugat tidak

Dari pertimbangan Mahkamah tersebut, dapat dimaknai bahwa Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa ( extraordinary remedy ) yang diajukan terhadap

Dengan demikian terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum.. banding, kasasi atau

Ketika upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung, secara faktual sesungguhnya terpidana atau ahli warisnya belum pernah

Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa, di samping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua aspek pemeriksaan