• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Daerah dan Desentralisasi. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Otonomi Daerah dan Desentralisasi. docx"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH

NAMA ANGGOTA KELOMPOK 2:

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MANAJEMEN ADMINISTRASI

PERKANTORAN 2017 KATA PENGANTAR 1. FERNANDO R. BREEMER

2. JAMES D. YAWAN

3. JANA MORIN

4. MARTEN DEGEI

5. MEIVY TATORI

(2)

Segala puji dan syukur kami naikkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmatNya kami kelompok 2 dapat menyelesaikan makalah Administrasi Pemerintahan Daerah Yang Membahas Tentang Perbedaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah beserta Peluang, Tantangan dan Solusi Dari Tiap Udang- Undang.

Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik berupa materi maupun pikiran.

Dan harapan kami, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat mempernbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jayapura, 4 Mei 2017

Kelompok 2 Manajemen Administrasi perkantoran | S1 Daftar Isi

Kata Pengantar...i Daftar Isi...ii

(3)

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Maslah...1

1.3 Tujuan Penulisan...1

BAB II: PEMBAHASAN 2.1 Sekilas Tentang UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 ...2

2.2 Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004...4

2.3 Peluang, Tantangan dan Solusi UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004...6

2.3.1 Peluang...8

2.3.2 Tantangan...9

2.3.3 Solusi...10

BAB III: PENUTUP 3.1 Kesimpulan...11

3.2 Saran...11

Daftar Pustaka

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Reformasi bidang pemerintahan daerah salah satunya adalah tuntutan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu sendiri, terutama optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Reformasi ditandai dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian disusul dengan lahirnya Undang – Undang baru yang mengantikan Undang – Undang tersebut diatas, yaitu Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerinatah daerah.

(4)

pemerintahan, penyelesaian fasilitas pelayanan dan urusan Sosial, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan.

Kewenangan daerah dalam bidang pemerintahan semua tercantum sebagaimana yang diatur dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 . Hal yang mendasar yang membedakannya ialah mengenai hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, serta antar Pemerintah Daerah itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

a) Sekilas Tentang UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No, 32 Tahun 2004 b) Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No, 32 Tahun 2004

c) Peluang, Tantangan dan Solusi dari UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No, 32 Tahun 2004

1.3 Tujuan Penulisan

a) Mempelajari dan Mengenal UU tentang Pemerintah Daerah

b) Apa saja yang Peluang, Tantangan dan solusi akibat diberlakukannya UU tersebut c) Menyelesaikan Tugas yang Diberikan Oleh Dosen Pengampuh

BAB II Pembahasan

2.1 Sekilas Tentang UU No. 22 Tahun 1999 dan UU N. 32 Tahun 2004

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan juga diikuti dengan otonomi Desa telah berlangsung sekitar 4 (empat) tahun. Selama periodisasi pelaksanaan otonomi ini telah terjadi perubahan yang mendasar dari konsepsi pelaksanan otonomi daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Jika sebelumnya pelaksanaan “otonomi daerah” dijalankan secara sentralistik, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dicoba diberikan makna otonomi yang sesungguhnya.

(5)

yang telah dianggap tidak relevan lagi untuk diterapkan sebagai payung hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah telah disahkan dan diundangkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri pada tanggal 15 Oktober 2004.

Pengesahan Undang-undang Otonomi Daerah yang baru ini, oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kemunduran konseptual dan kontekstual bagi pelaksanaan otonomi daerah yang sesungguhnya. Undang-undang yang telah disahkan pada akhir september 2004 tersebut sebenarnya bukan hanya revisi atas undang sebelumnya. Lebih tepat jika kemunculan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 nyata-nyata sebagai pengganti bagi Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dianggap tidak relevan lagi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang sebelumnya hanya terdiri dari 16 Bab dengan 134 Pasal telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 yang terdiri dari 16 Bab dengan 204 Pasal. Dari sinilah perbedaan demi perbedaan dapat ditemui dari kedua Undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut.

(6)

adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Perbedaan yang mendasar dari kedua makna otonomi daerah berdasarkan kedua Undang-undang adalah dihapuskannya kalimat “Kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat” dari pemaknaan Otonomi Daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Penghapusan kalimat tersebut akan memberikan implikasi atas kewenangan yang diserahkan kepala daerah otonom. Daerah otonom akan sangat dibatasi hanya dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bukan pada adanya kehendak dan aspirasi dari masyarakat setempat. Padahal, secara nyata Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud adalah tidak lain Peraturan Perundang-undangan diatas Peraturan Daerah yang kewenangan pembuatannya berada pada kekuasaan Pemerintahan Pusat. Dari sinilah, terkesan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah akan mengembalikan konsep desentralisasi sebagai konsep dasar pelaksanaan otonomi daerah menjadi sentralisasi yang justru mengkerdilkan makna otonomi itu sendiri.

Pada hakikatnya, perubahan – perubahan atau revisi undang – undang mengenai sistem pemerintahan daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus sendiri daerahnya dan terciptanya kemandirian serta terwujudnya kepentingan masyarakat. Perubahan ini pula sebagai upaya untuk mengatasi masalah – masalah yang timbul pada undang – undang yang berlaku sebelumnya. Bukan berarti dengan perubahan ini tidak akan menimbulkan masalah baru, tetapi akan semakin meminimalisir masalah – masalah yang ada guna terwujudnya suatu pemerintahan daerah yang baik nantinya.

2.2 Perbedaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004

Setiap Undang – Undang pasti memilki sebuah perbedaan dalam berbagai hal, dalam persoalan ini adalah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, biarpun sekilas keduanya hampir sama yaitu membahas tentang Otonomi Daerah (Pemerintahan Daerah) tetapi keduanya memiliki beberapa perbedaan karena mengalami beberapa revisi dan perubahan. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara kedua UU:

No. PERBEDAAN UNDANG-UNDANG ANALISIS

(7)

1. Konsep Otonomi

Daerah Otonomi Daerah adalahkewenangan daerah Otonom untuk menatur dan

mengurus kepentingan

masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan

peraturan perundang-asas desentralisasi. (ps.1 huruf d)

(8)

4. Kewenangan

Daerah Kewenanganmencakup kewenangandaerah

dalam seluruh bidang

pemerintahan, kecuali

kewenangan dalam bidang politik luar negeri,

pertahanan keamanan,

peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan dalam bidang lain. (Ps. 7 ayat 1)

Kewenangan bidang lain sebagaimana di maksud dalam ayat (1), meliputi

kebijaksanaan tentang

perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaaan dan yang meliputi: kebijakan

tentag perencanaan

pemerintah yang menjadi urusan pemerintah Daerah

2.3 Peluang, Tantangan dan Solusi UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004

(9)

keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.

Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali diturunkan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan memanajemen potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah daerah.

Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih minimnya pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau mungkin karena kurang siapnya baik itu masyarakat atau pemimpin daerah dalam menjalankan proses otonomi daerah.

Oleh sebabnya akan dibahas lebih lanjut mengenai Peluang, Tantangan Dan Solusi diberlakukannya asas desentralisasi dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004.

2.3.1 Peluang

Peluang yang didapat akibat diberlakukanya Desentralisasi Pada UU No. 22 Tahun 1999 & 32 Tahun 2004:

1. Kondisi SDM Aparatur Pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya Pelaksanaan Otonomi Daerah

(10)

1) Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD). Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup menjamin tuntutan kualitas yang ada.

2) Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah.

3) Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.

Para aparatur Pemerintah daerah pada umumnya memiliki kualitas yang belum memadai, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut pegawai baru yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja (2003:37) Daerah mempunyai kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun belum cukup jelas kewenangannya untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi, kalangan Swasta Profesional dan lain-lain. Hal ini menyebabkan daerah sulit untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang cakap.

2. Bergesernya Korupsi Dari Pusat Ke Daerah

Korupsi yang awalnya terjadi pada Pemerintah pusat bergeser ke daerah karena daerah diberikan wewenang sendiri dalam mengatur keuangannya. Banyak pejabat daerah yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ke luar Negeri dengan alasan studi banding. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang sangat penting bagi kepala daerah. Hal ini juga menyebabkan adanya kedekatan pribadi antara kepala daerah dan pengusaha yang ingin berinvestasi di daerah. Dengan begitu maka akan terjadi pemerasan dan penyuapan.

Contoh Kasus: Pertama, Yumler Lahar. Yang menjabat Walikota Solok. Kasus yang menjeratnya adalah “pembatalan kerjasama antara Pemerintah Kota Solok, Sumatra Barat dan Investor Hariadi, yang menyebabkan kerugian negara”. Dalam hal ini negara dirugikan sebesar 1,3 miliar (Kompas, 11 Agustus 2004) Kedua, kasus korupsi yang menimpa Wakil Bupati Agam. Umar diduga terlibat dalam kasus korupsi proyek swakelola perbaikan jalan lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Agam tahun 2008 dengan kerugian negara RP 2.9 miliar (Kompas, selasa, 9 November 2010).

3. Eksploitasi Pendapatan Daerah

(11)

harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan alasan di atas, biasanya Pemerintah daerah kemudian berusaha mencari pendapatan daerah sebanyak mungkin, seperti melalui pemungutan pajak, retribusi, hingga eksploitasi daerah yang maksimal.

4. Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah

Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daerah yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah, rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Dengan adanya pelimpahan pelimpahan wewenang kepada daerah menyebabkan daerah menjadi terbagi-bagi dan muncul kesenjangan yakni ketimpangan pembangunan antara daerah yang sumber dayanya kaya dengan daerah yang hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit.

Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era otonomi daerah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya, semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.

2.3.2 Tantangan

Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menerapkan sistem Otonomi Daerah diantaranya (1) mentalitas aparat pemerintah yang belum berubah dari mindset sentral menjadi disentral (otonom); (2) hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan penguasaan aset oleh aparat pemerintah; serta (5) keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya.

(12)

berlangsung sebelumnya. Akan tetapi di sisi lain, mentalitas sumber daya manusia hingga saat ini masih belum berubah dari mindset sentralisme menjadi disentralisme atau otonom. Maka, tidak mengherankan jika muncul persoalan-persoalan seperti batas wilayah, ketidakharmonisan hubungan antar institusi pusat daerah, berbagai konflik horizontal yang dipengaruhi oleh konfigurasi etnis dan berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah yang cenderung memberatkan rakyat.

Di sisi lain pemerintah daerah juga dihadapkan pada berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal yang dihadapi oleh pemerintah antara lain adalah lemahnya sumber daya aparatur pemerintah daerah, sementara masyarakat telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan daerah yang sangat demokratis akan mewarnai perjalanan pemerintahan itu sendiri. Sedangkan secara eksternal pemerintah daerah dihadapkan pada arus perubahan yang semakin cepat dan mengglobal yang harus direspon oleh pemerintah daerah.

2.3.3 Solusi

Solusi yang ditawarkan oleh kelompok 2 adalah menggunakan asas good governance untuk membentuk dan menjalankan suatu pemerintahan daerah yang baik.

Pengertian dari good governance dapat dilihat dari pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat "kerangka kerja instirusional dari pemerintah" (Bappenas, 2002). Hal ini menurut mereka berarti bagairnana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dari penegakannya (Bappenas, 2002). lni juga berarti mencabut akar dari korupsi dan aktivitas-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melalui transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa informasi mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah dikumpulkan dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat memonitor dan mengawasi manajemen dari dana yang berasal dari masyarakat (Bappenas, 2002). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Bovaird and Loffler (2003) yang mengatakan bahwa good govemance mengusung sejumlah isu seperti: keterlibatan stakeholder; transparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia. agama. dan lainnya}; etika dan perilaku jujur: akuntabilitas: serta keberlanjutan.

(13)

 Akuntabel. artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai

pertanggungjawabannya:

 Transparan, artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap

proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan:

 Responsif. artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu

melayani semua stakeholder:

 Setara dan inklusif artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus memperoleh

kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan;

 Efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan

sumberdaya-sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik:

 Mengikuti aturan hukum. artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan

membutuhkan kerangka hukum yang adil dan ditegakan:

 Partisiparif artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi

keterlibatan banyak aktor:

 Berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan

harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat

Solusi diatas jika dipersempit maka hal – hal yang sangat kritis yang harus diperhatikan oleh pemeritah daerah untuk menjalankan pemerintahannya supaya berjalan dengan lancar dan baik, antara lain:

a) Manusia (SDM)

b) Sistem, dan

c) Regulasi

BAB III Penutup

(14)

Perubahan UU tentang pemerintahan daerah sudah beberapa mengalami amandemen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya undang-undang tentang pemerintahan yang merupakan amanat undang-undang dasar Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya di daerah otonom dengan tujuan meningkatkan kesejahtraan masyarakat,pelayanan umum dan daya saing daerah.

Dalam penerapannya pun, Otonomi Daerah mengalamai beberapa tantangan seperti mentalitas aparat pemerintah yang belum berubah dari mindset sentral menjadi disentral (otonom), hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah yang kurang lancar, sumber daya manusia yang terbatas, pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan penguasaan aset oleh aparat pemerintah, dan keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya. Sedangkan solusi untuk menghadapi kendala tersebut adalah meningkatkan kerja sama antara seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, serta menjalin hubungan yang baik secara horisontal maupun vertikal. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara menyusun kebijakan yang adil bagi semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.

Tetapi mengingat bahwa bawasanya tidak ada sesuatu yang sempurna didunia ini demikian pula peraturan perundang – undangan yang diberlakukan di Negara Republik Indonesia, tetapi setidaknya Undang – Undang baru yang dibuat dengan tujuan merevisi, menabal bahkan merubah isi Undang – Undang yang lama diharapkan dapat mengurangi kesalahan yang ada pada Undang – Undang sebelumnya, sehingga peraturan yang dibuat dapat dijalankan dengan sebaik mungkin.

3.2 Saran

Dari pembahasan yang telah dibahas, hal – hal yang mungkin harus diperhatikan menurut penulis, antara lain: (a) Penyusunan aturan atau perundangan yang akan diterapkan harus menyentuh dan berpihak pada kepentingan masyarakat; (b) SDM yang berkualitas, Profesional, Jujur serta setia dalam mengemban tugas yang dipercayakan; (c) Adannya peraturan yang bersifat tegas dan mengikat bagi pelaku pelanggaran kebijakan negara, serta; (d) sistem pemerintahan yang kompleks.

Daftar Pustaka

BAPPENAS. 2002. Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat. Jakarta:

(15)

Bovaird. Tony and Elke Loffler (Eds.). 2003. Public Management and Governance. New

York: Routledge

Chalis, Pheni. 2005. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Adviser for

Decentralization and Regional Autonomy, Partnership for Governance Reform

Udang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Udang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Widjaja, H. 2003. Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo

Referensi

Dokumen terkait

Setiap penyuluh membina 14 kelompoktani sampai dengan 24 kelompoktani; (3) Metode penyuluhan yang sering dilakukan yaitu: pertemuan diskusi, demonstrasi plot, dan

Berdasarkan hasil analisis, dapat disim- pulkan bahwa kawasan Rawa Pening yang di- wakili oleh 12 desa yang mengelilingi Danau Rawa Pening memiliki potensi yang

Diyah maftuhah (UIN Sunan Kalijaga: 2009) dalam sekripsinya yang berjudul Pelaksanaan Kurikulum Terpadu di Madrasah Tsanawiyah Sunan Pandanaran Sleman Yogyakarta. Hasil

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek sitotoksik ekstrak etanol, fraksi polar, semipolar, dan nonpolar daun jambu biji terhadap sel kanker kolon WiDr

Secara garis besar, pendekatan yang melihat meningkatnya kesalehan masyarakat di Indonesia tidak lebih dari sekedar gejala komodifikasi agama berdasar dari beberapa premis:

add action=accept chain=input disabled=no dst-port=8291 protocol=tcp add action=drop chain=forward connection-state=invalid disabled=no add action=drop chain=virus

Gambar 4.8 Pengukuran Format Data Bluetooth Arus Motor BLDC Mobil Listrik dengan

Oleh sebab itu penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh rapat umum pemegang saham perseroan dari suatu lembaga keuangan syariah bukan bank setelah nama-nama