1. Pancasila dan tantangan ideologi radikal dalam konteks ke indonesiaan
Pancasila di tengah-tengah ideologi besar dunia (kapitalisme dan Sosialisme) dapat digambarkan melalui teori pendulum, yang bergerak mengayun ke kanan dan kiri namun pada dasarnya tetap berada pada porosnya. Bung Hatta pernah berkata bahwa menggambarkan masa depan Pancasila ibarat berlayar atau mendayung, dan kita melampaui di antara pulau-pulau besar.[9] Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan, para politisi dan pelaku ekonomi serta masyarakat dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan
terpinggirkan. Padahal, ibarat darah dalam tubuh dan ibarat pelumas bagi sebuah mesin, Pancasila sangat vital bagi kelangsungan hidup NKRI. Dengan latar belakang sejarah perjalanan eksistensi Pancasila tersebut, setidaknya tercatat tiga faktor menonjol yang membuat Pancasila semakin termarjinalkan dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara:
Dalam ranah ke Indonesiaan Pancasila mendapat tantangan dari internal seperti konflik Ambon kedua dan terakhir bom bunuh diri di kota Solo hari Minggu 25 September 2011 serta konflik-konflik yang telah terjadi sebelumnya antar suku, antar kampung, antar pelajar, dan antar mahasiswa dan diperparah dengan isu munculnya Negara Islam Indonesia (NII) menunjukkan bahwa usaha membangun
kebersamaan dalam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila selama ini belum berhasil sepenuhnya. Menghadapi permasalahan ideologis dan fenomena-fenomena paham patologis lainnya yang mengancam kebersamaan bangsa Indonesia, khususnya menghadapi adanya gerakan sektarian Islam radikal, terorisme, dan NII, dalam pidato Bung Karno sebetulnya sudah diantisipasi ketika membicarakan prinsip ke tiga versi pidato atau sila ke empat versi UUD 1945, yaitu prinsip “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan” khusus untuk golongan Islam dengan menyebutkan:
”Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, ……”[11]
Potret NII adalah potret tentang disintegrasi dan rekonsolidasi. Karena terjadi penyimpangan faham dan ajaran Islam yang dipraktekkan organisasi NII. Pergerakan NII jelas-jelas hanya sebuah kelompok yang mengklaim memperjuangkan Negara Islam, tapi nyata bertentangan dengan Islam. Hal ini tentunya bertentangan dengan beberapa sila dalam Pancasila seperti sila pertama, sila ke tiga dan penjelasan butir-butirnya dalam Pancasila.
Revitalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus segera diprogramkan dan dilaksanakan dengan komitmen dan konsistensi; baik dengan program-program kemasyarakatan yang dengan tulus setiap warga negara merasakan bahwa Pancasila sebagai kebutuhan bukan doktrinasi semata; ataupun dengan program-program formal melalui lembaga-lembaga yang ada seperti lembaga pendidikan maupun lembaga pemerintahan agar nilai-nilai Pancasila tersebut tetap lestari dan dapat menjadi lentera dan penunjuk arah guna tercapainya tujuan bangsa Indonesia.
Radikalisme Pancasila ala Kuntowijoyo secara operasional menawarkan lima langkah yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap Pancasila, yaitu: 1) Mengembalikan Pancasila sebagai ideologi Negara; 2) Mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; 3) Mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan