• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJIMPIT PESAN DI BALIK DONGENG UPAYA M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENJIMPIT PESAN DI BALIK DONGENG UPAYA M"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MENJIMPIT PESAN DI BALIK DONGENG:

UPAYA MENDIDIK ANAK DENGAN CERITA

Resti Nurfaidah

Abstrak

Betapa beruntung anak-anak yang hidup dan besar pada abad ini. Mereka dengan mudah dapat memilih permainan apa saja yang mereka sukai. Permainan yang menarik dari segi penampilannya pun begitu gencar ditawarkan dalam berbagai gaya dan cara. Asyiknya permainan mutakhir tersebut rupanya telah menggeser sebuah nilai berharga yang biasa terselip dalam permainan tradisional. Permainan membuat anak lupa akan nasihat yang terselip dalam acara bermain. Permainan itu sedikit banyak telah menggeser kedudukan kebiasaan nenek moyang kita untuk menyampaikan hakikat dalam bermain, yang biasanya disampaikan dalam bentuk dongeng, cerita, atau pantun. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut dapat tersampaikan dengan halus kepada anak dan terekam dengan baik dalam disket bawah sadar anak. Anak tidak akan merasa digurui atau dilarang ini-itu.

Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita atau bentuk karya sastra lainnya begitu tersembunyi. Namun, kita dapat menangkap nilai tersebut dari, di antaranya, beberapa unsur cerita, seperti gerak-gerik tokoh, latar yang digunakan, dan lain-lain. Nilai apa saja yang terkandung dalam cerita anak? Tulisan ini akan mengungkapkan beberapa nilai yang terdapat dalam beberapa cerita anak, baik tradisional maupun modern.

1. Pendahuluan

Meskipun dapat dikatakan lebih beruntung, ada kekhawatiran penulis terhadap

anak-anak masa kini, termasuk kepada anak-anak saya sendiri. Karena tuntutan zaman yang mendorong

para orangtua menjadi semakin sibuk dan lebih banyak berkiprah di luar rumah, sehingga

tidak mengherankan jika ketika tiba di rumah “guru utama” tersebut sudah kelelahan untuk

mendidik anak-anaknya, termasuk sekadar untuk mendongeng kepada mereka (NN:2007).

Dalam sumber yang sama, NN juga mengatakan bahwa tidak mengherankan pula jika kita

(2)

acara TV, musik, buku, komik, internet, dan game yang tanpa kita sadari belum tentu sesuai

dengan perkembangan usia mereka dan selaras dengan nilai-nilai yang ingin disampaikan

orangtua kepada anaknya.

Bercerita atau mendongeng, dalam bahasa Inggris dikenal sebagai storytelling,

menurut NSN (2006) adalah the interactive art of using words and actions to reveal the

elements and images of a story while encouraging the listener’s imagination (seni bermain kata

dan peranan interaktif untuk menyampaikan unsur dan imaji dalam sebuah cerita disamping

mengembangkan imajinasi pendengar cerita itu). Banyak orangtua yang tidak mengetahui

bahwa bercerita atau kegiatan mendongeng memiliki dampak yang lebih kuat daripada sarana

hiburan modern yang telah penulis sebutkan sebelumnya, terutama dalam hal dampak dari

interaksi antara pencerita (orangtua) dan pendengar (anak-anak).

Banyak hal yang dapat kita petik dari kegiatan bercerita atau mendongeng tersebut, di

antaranya, seperti yang dikatakan oleh Takwin (dalam NN (2007)) berikut: (1) memfasilitasi

anak untuk menafsirkan peristiwa yang ada di luar pengalaman langsung dan meluaskan

dunianya, (2) menerapkan pelatihan pola bahasa lisan, (3) melatih kemampuan menyimak dan

mendengar aktif, (4) mengembangkan sikap positif anak terhadap buku dan kegiatan membaca,

(5) menumbuhkan empati dan simpati, (6) melatih kesehatan mental dan melatih anak

mengatasi masalah yang dihadapinya, (7) melatih pemahaman nilai etis, (8) melatih anak

mengenal kisah yang berkualitas baik, (9) mengembangkan kosakata anak dan pengenalan

budaya, (10) menanamkan hikmah cerita, (11) membantu anak memahami persoalan dari

berbagai sudut pandang, dan (12) mengembangkan imajinasi dan kreatifitas anak.

Bercerita atau kegiatan mendongeng dapat dijadikan sebagai sarana penyampaian

(3)

(Wolf:2007). Sementara itu, cerita itu sendiri dapat dianggap sebagai cara yang efisien dan

menyenangkan untuk mengingat dan menurunkan informasi dari generasi yang satu ke

generasi yang lain. Kisah Si Malin Kundang, Cinderella atau Si Upik Abu, Si Kancil, dan

Superman sangat melekat erat di dalam benak kita karena jasa orangtua kita dahulu yang

menurunkan kisah itu secara turun temurun. Mungkin bagi anak-anak sekarang, kisah yang

berkesan bagi mereka, antara lain, serial Barbie, Strawberry Shortcake, Teletubbies, Power

Rangers, Sin-Can, dan Harry Potter.

Dewasa ini, kita kerapkali dikejutkan dengan kehadiran anak-anak yang berkepribadian

“internasional” karena mereka telah “dibombardir” oleh nilai-nilai Barat. Padahal, Rendra

(dalam Maulana, 2005:13) mengatakan bahwa akan lebih baik jika sebelum mengenal nilai–

nilai yang datang dari Barat, anak-anak diperkenalkan terlebih dulu dengan nilai-nilai lokal

sehingga dapat tumbuh sebagai manusia yang fasih terhadap pengetahuan dan kebudayaan

lokal. Kita dapat mengambil contoh dalam beberapa tayangan sinetron lokal, nilai positif yang

dapat kita ambil mungkin hanya setitik saja, bahkan, nyaris nol. Sinetron dan tayangan lain

yang ditujukan untuk anak-anak justru lebih dijejali oleh nilai-nilai yang kurang tepat bagi

perkembangan usia mereka, misalnya adegan percintaan ala orang dewasa, pengkhianatan,

kekerasan, pembangkangan terhadap orang tua, mistik, pengaburan jatidiri, dan lain-lain.

Sepertinya, orangtua tidak dapat membiarkan hal itu tertanam begitu saja dalam benak

anak-anaknya. Nilai-nilai nonanak tersebut bisa memberikan dampak yang buruk kepada mereka

karena pada anak pada umumnya dibekali dengan daya jiplak yang luar biasa besar. Paling

tidak harus ada pengarahan dan penyesuaian tentang nilai-nilai yang sedang merajalela tersebut

dengan norma-norma etika yang berlaku dalam budaya setempat. Kegiatan mendongeng dapat

(4)

lebih baik jika kegiatan tersebut dilakukan sedini mungkin, bahkan ketika sebuah janin masih

bersemayam di dalam perut ibunya sekalipun (Kuntowati dalam Jalu, 2005:13).

Namun, kegiatan mendongeng atau bercerita tersebut memerlukan kiat tersendiri, agar

kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan sukses. Hasil kegiatan tersebut yang dinilai sukses

adalah jika si anak merasa senang dan puas karena memperoleh nilai-nilai yang berharga

(Nurgiantoro, 2005:219). Mengapa demikian? KS (2006) menyatakan bahwa bercerita kepada

anak-anak berbeda dengan bercerita kepada orang dewasa. Bercerita kepada anak-anak lebih

menitik-beratkan terhadap penyampaian nilai moral dalam bentuk yang menarik, sehingga

mereka dapat menyerapnya tanpa harus merasa terdoktrinkan. Anak-anak bukanlah manusia

dewasa yang siap mendengarkan materi-materi yang berat dan serius. Oleh karena itu, agar

tujuan kegiatan tersebut tercapai diperlukan kiat-kiat tersendiri. KS dan Asfandiyar dalam

Maulana et.al (2005:13) memberikan kiat-kiat berikut, yaitu (1) pemilihan cerita yang sesuai

dengan minat dan keseharian anak, (2) penyampaian cerita yang antusias dengan akting yang

meyakinkan, (3) sampaikan cerita dengan pembedaan mimik, bahasa tubuh, dan tinggi-rendah

nada suara, meski tiidak dilakukan dengan berlebihan, (4) pautkan kontak mata dengan anak,

(5) berikan tanda-tanda jika cerita akan berakhir, dan (6) mendorong anak untuk berdiskusi

tentang cerita tersebut.

Dongeng, cerita, atau apa saja yang akan dikisahkan oleh sang pencerita (terutama ibu

atau ayah) merupakan bagian dari genre sastra. Saxby (dalam Nurgiantoro, 2005:218)

mengatakan bahwa sastra merupakan citra atau gambaran kehidupan (image of life). Hal-hal

dalam kehidupan yang terjadi di dalam dunia sastra merupakan cerminan atas hal-hal yang

terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dengan penyampaian yang baik,

(5)

imajinasinya, tetapi tidak merasa terdoktrinkan. Yang terutama adalah anak mampu

menangkap pesan moral yang terkandung di dalam cerita atau dongeng yang disampaikan oleh

si penutur. Pesan moral tersebut dapat kita tangkap dari beberapa unsur cerita, seperti dalam

diri tokoh dan teknik penokohan, atau latar.

Setiap cerita mengusung pesan moral tersendiri, meskipun ada beberapa di antaranya

yang memiliki kemiripan dengan cerita lainnya. Tulisan ini akan menguak pesan moral yang

tersembunyi di balik beberapa cerita tradisional maupun kontemporer yang ditujukan kepada

kelompok anak.

2. Menjimpit Pesan di Balik Dongeng: Upaya Mendidik Anak dengan Cerita

Dalam Alwi et.al (2003:474) verba menjimpit berasal dari kata dasar jimpit yang

bermakna mengambil dengan ujung telunjuk dan ibu jari. Dengan kata lain, menjimpit

bermakna mengambil sebagian kecil dari bagian yang lebih besar. Pesan moral di balik cerita

hanyalah sebagian kecil dari berbelas, berpuluh, atau beratus halaman cerita. Kisah Harry

Potter yang mencapai ratusan halaman, menyisakan sedikit pesan moral yang jika ditulis dalam

lembaran kertas tidak akan menghabiskan satu halaman A4 atau folio. Pesan moral (dalam

Nurgiantoro, 2005:263) yang terdapat dalam kisah sang penyihir cilik itu, di antaranya, adalah

(1) perjuangan menegakkan kebaikan, (2) kebaikan dapat mengalahkan kejahatan, (3)

persahabatan di antara Harry, Hermione, dan Ron, (4) kekompakkan dalam melakukan sesuatu

hal, (5) kejujuran, (6) cinta kasih orangtua yang abadi kepada anaknya, (7) pengkhianatan, dan

(8) balas dendam. Tentunya ada hal yang perlu diingat bahwa dalam beberapa episode terakhir,

tokoh Harry Potter digambarkan telah merambah ke gerbang dunia kedewasaan dengan

(6)

kampus sihir Hogwarts.. Persoalan Harry yang semakin berat juga semakin menjauhkan tokoh

tenar tersebut dari kesan dan dunia kekanakannya. Dunia dan paham paganisme sangat kental

di dalam cerita popular tersebut (Baig, 2003:66).

Balita di berbagai belahan dunia ini pernah terkesima oleh penampilan lucu empat

boneka berperut gendut yang lucu, Teletubbies. Pengajaran berhitung, pengenalan nama benda

dan lingkungan, lantunan lagu-lagu yang ringan, dan tarian sederhana dapat dengan mudah

ditangkap oleh para golden age tersebut. Namun, banyak orangtua yang tidak menyadari

bahwa ada bahaya terselubung di balik kelucuan keempat boneka berperut televisi tersebut,

yaitu pengaburan jatidiri, propaganda pergaulan sesama jenis dan transeksual, serta pergaulan

bebas (Pambudi, et.al., 2001:44—45).

Unsur magis juga tidak lepas dari dunia anak-anak. Tayangan interaktif Teletubbies

atau Dora the Explorer diselingi propaganda magisisme dalam menyelesaikan persoalannya.

Perangkat ajaib milik Teletubbies, perut serbaada milik Doraemon, tongkat sihir Harry Potter,

serta ransel siaga milik Dora seakan menjadi alat wajib dalam penyelesaian persoalan yang

mereka hadapi itu.

Cerita Si Kancil mengalami polemik saat ini. Dahulu, ketika ibu kita membacakan

cerita tersebut, kita tidak pernah berpikir tentang sisi buruk sang kancil. Satu hal yang

ditanamkan pencerita di dalam benak kita adalah tokoh kancil cerminan makhluk cerdas luar

biasa hingga piaway menggunakan akalnya untuk selalu lolos dari “musuh-musuhnya”.

Namun, setelah kita perhatikan dengan saksama. Kecerdasan yang dimiliki si kancil, terutama

dalam kisah Si Kancil Mencuri Ketimun, lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan

dengan kelicikan dan penipuan. Salah seorang pakar pendidikan, filsafat, dan budayawan, Dr.

(7)

kecerdasan yang dimilikinya hanya digunakan untuk mencuri, tetapi selalu lolos (Janarto,

2005:15). Sementara itu, Marahimin (dalam Patirsa:2007) mengatakan bahwa cerita si kancil

yang sangat popular di negeri ini merupakan cikal bakal penghalang kemajuan bangsa kita.

Marahimin mengamati bahwa orang-orang di negeri ini cenderung untuk saling berbuat licik

demi mencapai tujuannya.

Dalam Sunardjo (CKB, 2000:22) dikisahkan bahwa sang kancil ingin terlihat “lebih

berwibawa” di depan si kambing yang sangat ketakutan dimakan oleh harimau. Dengan

pongah, si kancil mendekati pohon Ara dan menggaruk kulit batang pohon itu hingga getahnya

terburai ke janggut dan wajahnya dan berkata bahwa doanya lebih mujarab daripada doa

gurunya dan memerintahkan kambing untuk membaca doa tersebut berulang-ulang jika

berjumpa dengan harimau. Kambing pun kagum luar biasa kepada kancil (dalam cerita:

pelanduk) itu.

Kambing berpikir di dalam hati “Pelanduk ini sangat saktinya misai dan janggut putih semuanya

terlalu yakin di dalam hatinya. (CKB, 2000:22)

Padahal, dibalik punggung sang kambing, si kancil datang menghadap kepada harimau dan

mengatakan bahwa balatentara kambing yang berjumlah ribuan itu hendak menyerang

harimau. Agar aman, diberikannyalah doa yang lain kepada si bulu loreng itu hingga harimau

merasa senang dan takjub kepada si kancil tadi. Setelah itu, kancil yang bermuka dua

mengabarkan berita aneh lagi kepada kambing. Tindakan serupa itu juga dilakukannya kepada

makhluk lainnya hingga akhirnya terjadi perang besar di hutan itu.

Dalam kisah Kancil Mencuri Ketimun, dikisahkan bahwa tokoh kancil selalu merasa

(8)

Ternyata, kancil salah besar. Ia tidak dapat mengalahkan pemilik kebun itu. Ia terjerat

perangkap getah pohon nangka yang di oleskan Pak Tani pada orang-orangan yang dipasang di

kebun. Sementara itu, dalam kisah Kancil Kena Batunya tokoh kancil sekali lagi menunjukkan

sikap pongahnya dan kebiasaannya menyepelekan kemampuan makhluk lain. Kancil diajak

untuk mengikuti lomba adu cepat oleh siput. Kancil optimistis bahwa ia akan memenangkan

pertandingan tersebut. Ia menyanggupinya. Namun, selama perlombaan berlangsung, kancil

merasa heran mengapa siput yang notabene berjalan perlahan selalu mengunggulinya. Ia

merasa dipermalukan binatang imut itu. Padahal, untuk mengikuti perlombaan itu siput telah

berkolaborasi dengan teman-temannya untuk bersiaga pada posisi tertentu sehingga seolah

dapat mengungguli kancil. Pesan moral yang tercermin dalam kisah kancil adalah (1)

kesombongan dan sikap menyepelekan orang lain akan berbuah aib atau malu pada diri sendiri,

dan (2) kepandaian atau kecakapan yang kita miliki tidak digunakan untuk hal-hal yang kurang

baik karena akan menimbulkan kerugian, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Kisah Loro Jonggrang dan Sangkuriang adalah kisah yang menyiratkan cinta kasih

yang tidak tulus. Raja Bandung Bondowoso mencintai Loro Jonggrang setengah mati hingga

menyanggupi syarat berat yang diajukan oleh Loro Jonggrang, yaitu membuat seribu candi.

Seperti halnya kancil, Loro Jonggrang pun menggunakan kecerdikannya untuk menipu raja

lalim yang mencintainya itu. Ia sangat membenci lelaki kejam itu dan tidak sudi disuntingnya.

Diperintahkannya pelayannya untuk membakar jerami dan memukul lesung seolah fajar telah

menyingsing diufuk timur. Pasukan jin yang membantu Bandung membangun candi pun

segera beranjak dari tempat itu. Bandung semula tidak mengerti. Ketika ia dengan bangga

menunjukkan bangunan itu, ternyata setelah dihitung oleh Loro Jonggrang hanya berjumlah

(9)

yang cantik jelita itu bahwa dialah yang akan menjadi penggenapnya. Loro Jonggrang pun

tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi candi keseribu. Sementara itu, dalam lakon Sangkuriang

yang merupakan kisah Oidipus kompleksnya Indonesia dikisahkan bahwa Sangkuriang

mencintai seorang putri jelita yang tidak lain ternyata ibu kandungnya sendiri. Sangkuriang

tidak dapat menerima kenyataan itu. Dikejarnya terus putri itu hingga tersudut ke tepi bukit.

Ketika hendak ditangkap, sang putri, Dayang Sumbi, tiba-tiba menghilang dan berubah

menjadi gunung yang dinamakan Gunung Putri. Sementara itu, seperti Loro Jonggrang, perahu

yang menjadi syarat untuk menyunting sang putri ditendangnya keras-keras. Perahu itu

melambung, jatuh terbalik, dan menjelma menjadi sebuah gunung yang kini dinamakan

Tangkuban Perahu. Pesan moral yang tersibak dalam kedua kisah kasih tak sampai itu, antara

lain, adalah (1) jika mencintai seseorang harus disertai dengan keikhlasan, (2)

ketidakberterimaan terhadap kenyataan yang dihadapi akan mendatangkan penderitaan baik

bagi diri sendiri maupun orang lain. Penulis berpendapat bahwa kisah Loro Jonggrang dan

Sangkuriang kurang tepat dijadikan sebagai bacaan untuk anak-anak. Jika akan dijadikan

sebagai cerita anak tentu harus mendapat perombakkan di sana-sini.

Kisah Malin Kundang dan Batu Menangis dari Sumatera Barat merupakan kisah yang

memiliki kemiripan. Malin Kundang adalah anak seorang janda yang miskin. Ia lalu pergi

merantau. Ketika kembali ia telah menjadi saudagar kaya. Sang ibu yang masih mengenali

anaknya, menyambut kedatangan anak dan menantunya itu dengan suka cita. Namun,

sambutannya itu bertepuk sebelah tangan. Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya,

bahkan, berbalik menghardiknya. Sang ibu merasa sangat kecewa di penghujung penantiannya.

Ia menengadahkan tangannya dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Doa dan kutukannya itu

(10)

Sementara itu, dalam Batu Menangis dikisahkan seorang anak yang selalu membangkang

kepada ibunya dan berlaku kejam kepada adiknya. Karena perilaku sang anak tidak dapat

dibenahi, sang ibu dan adiknya memutuskan untuk pergi meninggalkan si pembangkang itu.

Ibu dan anak itu pergi menuju sebuah batu. Dengan doanya batu itu terbelah dan masuklah

mereka ke dalam batu tersebut. Setelah itu, batu tersebut mengatup kembali. Hanya beberapa

helai rambut ibunya yang terjurai di permukaan batu. Sang pembangkang yang mencari ibunya

mengenali rambut itu. Ia hanya dapat menyesali perbuatannya. Dari dalam batu itu mengalirlah

bulir air mata ibunya. Dari kedua kisah tersebut dapat kita petik beberapa pesan moral berikut,

antara lain, (1) kesabaran manusia ada batasnya, (2) ketidaksabaran akan mendatangkan

kerugian baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan (3) berbuat tidak terpuji kepada

orangtua akan mendatangkan kerugian.

Hidayat (dalam Janarto, 2005:14—15) mengatakan bahwa ia masih terkesan dengan

salah satu cerita tentang burung yang kreatif. Kisah burung tersebut terungkap dalam kutipan

berikut.

Suatu hari burung itu sedang terbang tinggi dan tiba-tiba dari ketinggian ia melihat bayangan air. Karena kehausan, ia pun menukik turun dan hinggap di tanah. Ternyata air itu berada di dalam bejana kaca. Airnya berada di bagian bawah, sedangkan leher bejana itu sempit sehingga kepala burung tak bisa masuk. Dengan paruhnya, ia masukkan satu-satu kerikil ke dalam bejana. Air dalam bejana pun naik dan burung cerdik itu pun bisa minum. Glek glek glek. (Janarto, 2005:14--15)

Hidayat dalam sumber yang sama mengatakan bahwa cerita burung tersebut sangat bagus.

Untuk bisa minum, tokoh burung harus mau bekerja, berkeringat, dan berpikir kreatif.

Berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Berusaha dulu sebelum mendapatkan kesenangan.

(11)

tersebut sangat berbeda dengan sikap si kancil yang tidak memedulikan kesedihan dan

kekecewaan si petani atau teman-temannya yang menderita karena ulahnya.

Kisah Telaga Bidadari memiliki persamaan dengan kisah Nawang Wulan. Kedua cerita

itu mengisahkan tentang seorang bidadari yang turun mandi ke bumi bersama

saudara-saudaranya. Seorang lelaki bernama Datu Awang Sukma (Telaga Bidadari) atau Joko Tarub

(Nawang Wulan) mengintip di balik rimbunnya dedaunan dan tertarik untuk memiliki salah

seolah bidadari itu. Dengan cerdik, ia meraih salah satu kain milik bidadari itu. Ternyata kain

itu milik Putri Bungsu (Telaga Bidadari) atau Nawang Wulan (Nawang Wulan). Ia merasa

sedih karena kehilangan kainnya itu. Saudara-saudara lainnya tidak dapat membawanya ke

langit. Akhirnya, mereka terpaksa meninggalkan adik bungsunya itu tempat pemandian itu.

Tinggallah Putri Bungsu atau Nawang Wulan menangisi nasibnya. Tiba-tiba, dengan gaya bak

malaikat, Awang Sukma atau Joko Tarub muncul dan menawarkan kain itu. Namun,

penawaran itu disertai dengan satu syarat, yaitu sang putri harus tinggal bersamanya alias

menjadi pendamping hidupnya. Sang putri pun tidak mempunyai pilihan lain terkecuali

menyanggupi syarat tersebut. Pasangan tersebut akhirnya hidup bahagia. Mereka dikaruniai

seorang anak bernama Kumalasari (Telaga bidadari) atau Nawangsih (Nawang Wulan). Pada

suatu hari, seekor ayam mengais lumbung padi di dekat rumah mereka. Putri pun mendatangi

lumbung itu dan matanya tertuju pada sebuah benda. Di ambilnya benda itu dan dibukanya

kain penutupnya. Terkejutlah ia melihat isi dalam benda itu, selendang bidadari! Rasa sedih

dan kesal bercampur baur. Ternyata selama ini suaminya menyembunyikan selendangnya itu di

dalam lumbung padi. Ternyata lelaki itu yang telah mencuri selendangnya dan bertingkah

seolah ia seorang malaikat penolong. Tekadnya sudah bulat untuk meninggalkan bumi dan

(12)

kepada wanita yang dicintainya itu untuk membatalkan niatnya. Namun, bidadari yang sudah

kecewa itu menolak tegas permintaan suaminya itu. Pergilah ia kembali ke kahyangan

meninggalkan anak dan suaminya. Pesan moral yang dapat kita petik adalah jika kita

menginginkan sesuatu sebaiknya dilakukan dengan cara yang baik dan halal. Perbuatan yang

licik pada suatu saat akan berbalik laksana senjata makan tuan.

Kisah Semut dan kepompong juga menarik untuk disimak. Semut selama ini selalu

menyepelekan kepompong karena tidak dapat berjalan ke mana-mana. Kepompong sempat

dibuat sedih karenanya. Namun, pada suatu hari semut berjalan di atas Lumpur penghisap. Ia

tidak menyadari bahwa semakin banyak gerakan yang dilakukannya semakin dalam Lumpur

menyedot tubuhnya itu. Kepompong yang kini telah terkuak isi perutnya dan keluarlah sang

kupu-kupu yang bersayap indah menatap ke arah semut yang sedang didera derita itu. Ia

dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada temannya itu dan mengangkatnya dari

kubangan lumpur penghisap. Semut pun merasa malu melihat kebaikan kupu-kupu. Semut

meminta maaf dan sejak saat itu mereka pun bersahabat erat. Pesan moral yang dapat kita

tangkap adalah (1) kesadaran atas kelebihan dan kekurangan yang dimilik setiap makhluk

ciptaan Tuhan, (2) perilaku buruk seseorang dapat diperbaiki, dan (3) mengejek bukan

merupakan perbuatan yang baik karena siapa tahu pihak yang diejek lebih tinggi

kedudukannya daripada pihak yang melontarkan ejekan.

Kisah yang berkaitan dengan kesabaran salah satunya adalah kisah Cindelaras

Cindelaras adalah putra Raden Putra, raja Kerajaan Jenggala. Sang raja memiliki seorang

permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Hanya saja, selir itu memiliki

sifat iri dengki kepada permaisuri. Ia merencanakan untuk menyingkirkan permaisuri karena ia

(13)

selir itu melontarkan fitnah kepada permaisuri sebagai biang keladi penyakitnya. Raja yang

termakan hasutan itu marah dan mengusir permaisuri dari kerajaan itu dan dibuang ke dalam

hutan. Diperintahkannya sang patih untuk membunuh wanita mulia itu. Namun, patih itu

sangat menyayangi sang putri. Ia membunuh seekor kelinci dan melaburkan darahnya pada

permukaan golok sebagai bukti kepada raja bahwa perintahnya telah dilaksanakan.

Tidak berapa lama kemudian, permaisuri yang sedang berbadan dua itu melahirkan

seorang anak lelaki yang sehat dan diberi nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh di bawah

asuhan sang ibu yang sangat menyayanginya. Pada suatu hari, Cindelaras mendapatkan sebutir

telur emas yang dijatuhkan oleh burung rajawali dari langit. Telur itu kemudian menetas dan

tumbuh menjadi seekor ayam jago yang tangguh. Tidak satu ayam jago pun yang dapat

mengalahkan ayam milik Cindelaras. Kehebatan ayamnya itu membawanya ke istana sang

ayah. Raja menantang Cindelaras untuk menyabung ayam dengan syarat jika raja menang

Cindelaras harus rela menjalani hukuman pancung sedangkan jika raja kalah setengah

kekayaan raja akan menjadi milik Cindelaras. Ternyata lagi-lagi ayam Cindelaras

memenangkan pertarungan. Raja merasa penasaran dengan bocah cilik itu dan bertanya tentang

asal-usulnya. Belum sempat bibir Cindelaras berbicara, ayam jago miliknya menyahut dan

mengungkapkan siapa majikannya itu sebenarnya. Raja pun merangkul putranya yang telah

lama hilang dan menarik kembali permaisuri ke istana. Selir dan tabib yang telah berbuat zalim

akhirnya harus menjalani hukuman yang setimpal. Pesan moral yang dapat kita petik dari

kisah Cindelaras tersebut adalah kebaikan selamanya akan berbuah kebaikan sedangkan

kejahatan akan berbuah penderitaan.

Pesan moral akan selalu terbawa dalam setiap kisah, baik pesan moral yang baik

(14)

tersendiri. Sambil mengajak pendengar (anak-anak) untuk berdiskusi tentang perilaku tokoh

dalam cerita, dengan halus dapat kita tekankan bahwa perilaku tersebut tidak sesuai dengan

norma-norma etika yang berlaku dalam lingkungan masyarakat. Pesan moral dalam cerita

akan tersampaikan dan membekas dalam benak si anak jika kita dapat menyampaikan kisah

itu dengan tepat dan meyakinkan. Dengan demikian, pesan moral dalam kisah akan terkunci

dengan baik dalam benak si anak tanpa merasa terdoktrinkan.

3. Simpulan

Bercerita atau mendongeng memilki dampak yang sangat dahsyat dalam pembentukan

pola pikir anak bila dibandingkan dengan berbagai sarana “pendongeng” modern lain, seperti

game, televisi, atau komik yang ada saat ini. Hanya saja kesibukan orangtua pada zaman

sekarang yang menuntut mereka untuk lebih banyak berkiprah di luar rumah. Dengan

demikian, tenaga untuk mengasuh anak-anak setelah pulang kerja sudah terkuras. Apalagi

untuk sekedar mendongengkan sebuah kisah bagi si kecil. Padahal, banyak sekali manfaat yang

dapat dipetik dari kegiatan bercerita itu, di antaranya, (1) memfasilitasi anak untuk

menafsirkan peristiwa yang ada di luar pengalaman langsung dan meluaskan dunianya, (2)

menerapkan pelatihan pola bahasa lisan, dan (3) melatih kemampuan menyimak dan

mendengar aktif. Yang terutama dalam kegiatan mendongeng tersebut adalah pelekatan pesan

moral kepada anak secara halus dan tanpa kesan menggurui. Namun, untuk mencapai hal itu,

kegiatan tersebut perlu di sampaikan dengan baik.

Setiap kisah memuat pesan moral baik dan buruk. Kita tidak dapat menghindari hal itu.

Namun, pesan moral yang buruk perlu di sampaikan dengan cara yang interaktif. Kesan anak

(15)

yang buruk. Beberapa cerita anak yang selama ini diturunkan kerap menjadi pemicu sifat buruk

pada diri seseorang misalnya, kisah Si Kancil. Kiat jitu dapat digunakan untuk meredam sisi

buruk dari cerita yang akan kita sampaikan itu.

4. Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, et.al. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Balai Pustaka. Baig, Khalid. 2003. “Sihir Harry Potter. Budaya Baru Ini Hasil Perkawinan Kapitalisme dan

Paganisme”. Artikel dalam majalah Suara Hidayatullah Edisi 04/XVI/Agustus 2003 halaman 66—67. Jakarta: Yayasan Penerbitan Pers Hidayatullah.

e-Smart School. 2007. “Cerita Anak”. Data internet.

Gerbang Informasi Kota Batam (GKIB). 2007. “Katakan dengan Dongeng”. Artikel internet.

Jalu. 2005. “Kembangkan Fantasi Anak Lewat Mendongeng”. Artikel dalam HU Pikiran Rakyat edisi Minggu, 24 Juli 2005. Bandung: PT Granesia.

Janarto, Herry Gendut. 2005. “Pak Komaruddin Hidayat: Pendidik Yang Tak Suka Dongeng Kancil”. Artikel dalam Rubrik Profil majalah anak-anak Bobo edisi Tahun XXXII, 24 Maret 2005. Jakarta: PT Penerbitan Sarana Bobo.

Kontributor Spesial (KS). 2006. “Membawa Anak ke Alam Cerita”. Artikel internet.

Maulana, Soni Farid. 2005. “Imas Istri Kabayan”. Artikel dalam HU Pikiran Rakyat edisi Minggu, 24 Juli 2005. Bandung: PT Granesia.

_____,et.al. 2005. “Mendongeng itu Mudah”. Artikel dalam HU Pikiran Rakyat edisi Minggu, 24 Juli 2005. Bandung: PT Granesia.

NN. 2007. “Pentingnya Bercerita bagi Anak”. Artikel dalam jurnal psikologi cyber POPsy! Edisi 6 Mei 2007.

National Storytelling Network (NSN). 2006. “Storytelling”. Artikel internet.

Nurgiantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pambudi, et.al. 2001. “Kampanye Homoseks Teletubbies”. Artikel dalam majalah Suara Hidayatullah

Edisi 03/XIV/Juli 2003 halaman 44—45. Jakarta: Yayasan Penerbitan Pers Hidayatullah. Patirsa, Anak. 2007. “Dongeng Si Kancil”. Artikel internet.

Rowling, J.K. 2000. Harry Potter dan Batu Bertuah. Edisi terjemahan. Jakarta: PT. Gramedia.

Soenardjo, Nikmah et.al. 2000. Kumpulan Cerita Binatang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas.

(16)

BIODATA PEMAKALAH KHUSUS

Nama lengkap : Resti Nurfaidah, S.S.

Tempat dan tanggal lahir : Bandung, 29 Maret 1973

Alamat rumah : Jalan Pluto Utara II Nomor 28, Bandung 40286

Pekerjaan : Karyawan Balai Bahasa Bandung

Alamat Instansi : Balai Bahasa Bandung

Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113

Riwayat pendidikan : S1 Bahasa dan Sastra Inggris, UNPAD

Nomor ponsel : 08156275203

Alamat pos-el : [email protected]

Bandung, 26 Oktober 2007

Referensi

Dokumen terkait

yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut memiliki tiga nilai yaitu (1) nilai.. keagamaan, (2) nilai kepahlawanan, dan (3)

Pengaruh budaya, khususnya Legenda Sri Tanjung dan Sayu Wiwit dalam memengaruhi alam bawah sadar RM yang kemudian memutus- kan mendukung dan menjadi salah satu tim setia

Beberapa hal di atas, merupakan cerminan dari nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita tersebut adalah nilai kemanusiaan, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai

Nilai kedermawanan dalam film Upin dan Ipin Episode Ikhlas dari Hati yang tersampaikan pada anak-anak dapat terlihat berupa aktivitas-aktivitas para tokoh dalam film

Berbagai informasi mengenai wujud mitos dalam ritual ruwatan yang berupa cerita tentang Batarakolo, nilai budaya yang terkandung di dalam wujud cerita, pewarisan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat banyak sekali nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam kumpulan cerita anak

Hasil penelitian menunjukkan cerita rakyat yang disajikan dengan gambar seri memudahkan anak untuk membaca, memahami, dan mengaplikasikan nilai pendidikan budi pekerti dalam

Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita anak Jawa Timur tidak hanya dapat diimplementasikan oleh masyarakat Jawa Timur, tetapi dapat pula dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia,