• Tidak ada hasil yang ditemukan

hukum laut piracy laut piracy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "hukum laut piracy laut piracy"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PEMANFAATAN LAUT

“Laut Teritorial

(STUDI KASUS PEMBAJAKAN DI LAUT

TERITORIAL SOMALIA TERHADAP MV. SINAR KUDUS)

Nama / NPM

: Maria Chitra Likita /

1606846011

Jurusan / Semester : Transnasional / II

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

The law of the sea has developed through a convoluted process of confrontation, compromise and consensus of the international communities.1

Berbicara tentang laut dan komunitas internasional pasti akan berkaitan dengan pembicaraan mengenai kedaulatan (sovereignty) atas laut, yaitu kedaulatan dari suatu negara tertentu atas bagian tertentu dari laut.2 Salah satu bagian tersebut

ialah laut territorial. Laut territorial (territorial sea) adalah bagian laut atau jalur laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal (base line) dan di sebelah luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit).3 Perkembangan konsep

laut territorial Indonesia sebagai suatu zona maritim dimulai setelah Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945.4 Pada awalnya, laut territorial yang dianut

oleh Indonesia adalah sejauh 3 mil laut yang diukur dari garis pangkal sebagaimana diatur di dalam hukum kebiasaan internasional (customary international law) yang berlaku pada waktu itu.5 Diawali dengan Deklarasi

Juanda dan Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, Indonesia pada saat itu mulai mengubah lebar laut territorial menjadi 12 mil laut dan menyatakan bahwa perairan yang berada di sebelah dalam dari garis pangkal adalah perairan pedalaman Indonesia.6

Pada bulan Mei 2011 lalu, masyarakat Indonesia dkejutkan dengan penyanderaan yang terjadi terhadap awak kapal MV Sinar Kudus yang

1 Haque Emdadul, Hasan Daud, “Maritime Boundary Deliitation: A Normative Standard?-Part I: Historical Development of the Legal Regime), Journal, 2014.

2 R. WIrjono Prodjodikoro, “Hukum Laut Bagi Indonesia”, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), h. 10.

3 I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 105.

4 Kresno Buntoro, “Lintas Navigasi di Nusantara Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 38.

5 Ibid.

(3)

berkewarganegaraan Indonesia. Penyanderaan yang terjadi di wilayah Teluk Aden ini dilakukan oleh kelompok perompak asal Somalia. Para perompak menuntut dibayarnya sejumlah tebusan jika pihak Indonesia menginginkan pelepasan awak dan kapal yang disandera. Pada akhir bulan April 2011, seluruh awak kapal MV Sinar Kudus pun dilepaskan setelah menerima uang tebusan Rp. 38,5 miliar.

Teluk Aden merupakan wilayah yang sangat berbahaya, khususnya bagi kapal laut kargo yang membawa berbagai barang-barang dagang yang akan diekspor atau diimpor ke berbagai penjuru negara. Tingginya, pembajakan di Teluk Aden bagi pelayaran disebabkan oleh aksesnya yang mudah bagi kapal laut jika ingin mencapai kawasan Timur Tengah (Saudi Arabia dan Mesir) dan dapat pula menjadi akses ke kawasan Eropa melalui Terusan Suez hingga mencapai Laut Tengah (Laut Mediterania). Alasan selanjutnya adalah keberadaan negara Somalia yang langsung berbatasan dengan Teluk Aden.

Namun modus yang dilakukan oleh para perompak cukup cerdik, mereka melakukan penyerangan di wilayah laut lepas Teluk Aden, dan secara cepat kembali ke laut territorial Somalia. Negara laut territorial tersebyt lah yang berhak dan memiliki kewenangan untuk menumpas para perompak, karena yurisdiksi eksklusif yang dimiliki. Tetapi, karena pemerintah atau apparat yang berwenang tidak mampu menumpas para pelaku pembajakan di laut, Dewan Keamaan PBB telah mengambil langkah berupa pengeluaran resolusi-resolusi yang memberikan kewenangan untuk melakukan upaya-upaya menanggulangi fenomena pembajakan laut dalam wilayah Teluk Aden. Somalia telah menjadi subjek terhadap berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB sejak tahun 1992. Di mana elemen penting dari resolusi yang dikeluarkan adalah sebagai berikut:

a. Memasuki perairan territorial Somalia yang bertujuan untuk menekan tindakan pembajakan di laut dan perampokan bersenjata di laut sesuai dengan ketentuan ketika peristiwa tesebut terjadi dalam laut lepas;

(4)

Berdasarkan paparan di atas dapat kita ketahui bahwa, perompakan tidak hanya terjadi di laut lepas namun juga laut territorial dari suatu negara pantai yang akan diuraikan lebih lanjut oleh penulis pada bahasan berikutnya

B. PERMASALAHAN

Dalam penelitian ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Laut Teritorial?

2. Bagaimanakah kasus pembajakan yang terjadi di wilayah territorial negara Somalia terhadap MV. Sinar Kudus?

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai pengertian laut territorial berdasarkan hukum internasional.

2. Untuk mengetahui kasus pembajakan yang terjadi di wilayah territorial suatu negara khususnya kasus pembajakan di wilayah territorial Somalia terhadap M.V SInar Kudus.

D. METODE PENELITIAN 1. Obyek penelitian

Penelitian tentang Analisis Yuridis terhadap Pembajakan di wilayah laut territorial Somalia berdasarkan hukum laut internasional (Law of The Sea)

dan merupakan suatu penelitian yuridis-normatif yaitu penelitian hukum yang berbasis pada analisis norma hukum, yaitu hukum dalam bentuk arti

law as it written in the books (dalam peraturan perundang-undangan).7

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder atau bahan pustaka, yang mencakup tentang

(5)

sinkronisasi hukum yang berlaku berkaitan dengan kasus yang akan dibahas dalam penelitian ini.8 Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan

studi kepustakaan dengan meneliti bahan-bahan berupa buku-buku/literatur-literatur maupun treaty dan atau konvensi yang berkaitan dengan karya tulis ini.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan secara lengkap karakteristik atau ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku pribadi, atau perilaku kelompok yang memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain9, artinya menggambarkan ketentuan-ketentuan dalam instrumen

hukum laut internasional yang berkaitan dengan pembajakan di wilayah laut territorial Somalia.

3. Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperoleh dari suatu sumber yang sudah dikumpulkan oleh para pihak lainnya, berupa buku-buku, dan undang-undang yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

BAB II PEMBAHASAN A. LAUT TERITORIAL

Negara ada demi manusia, bukan sebaliknya.10 Karena itu negara harus

berusaha mencapai kebahagiaan untuk setiap warga negaranya.11 Kebahagiaan

dapat tercapai hanya jika melalui hukum, oleh karena itu jika melalui hukum diharapkan manusia memperoleh keadilan, keteraturan, dan ketentraman hidup.12 Masing-masing negara lebih dari seratus lima puluh negara merdeka

8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ilmu Hukum, (Depok: UI-Press, 2010), h. 53.

9Ibid. h. 96.

10 F.A Whisnu Situni, “Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1989), h. 1.

11 Ibid.

(6)

baik negara pantai maupun yang tidak berpantai mempunyai kepentingan khusus atas laut, tergantung pada keadaan fisik geografisnya, ekonomi, sejarah dan keadaan-keadaan lainnnya yang melekat atas laut tersebut.13 Dalam hal ini

hukum laut internasional, berperan sebagai alat untuk mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan-hubungan dengan pemanfaatan laut oleh berbagai bangsa.14 Karena tujuan hukum pada umumnya termasuk

hukum internasional adalah untuk menciptakan dan memeihara ketertiban yang adil dalam pergaulan masyarakat, maka hukum laut internasional berfungsi untuk memelihara ketertiban dan keadilan dalam pemanfaatan laut oleh berbagai bangsa.15 Pada tahun 1939, Indonesia pernah menggunakan

pengaturan Ordonansi Laut territorial dan lingkungan maritime 1939,Sb.1939 No. 442.16 Yang kemudian hukum laut semakin berkembang dan hingga dewasa

ini Indonesia telat meratifikasi Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS). UNCLOS menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalalamnnya, dan dalam hak suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya meliputi juga suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang disebut laut territorial. Batas luar laut territorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat pada garis pangkal, sama dengan lebar laut territorial. Selama kurang lebih setengah abad lebar laut territorial telah menjadi objek pertentangan antar negara, dengan variasi tuntutan antara 3 sampai dengan 200 mil laut.17 oleh UNCLOS setiap negara

diberi kebebasan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut. kedaulatan suatu negara di laut territorial dibatasi dengan kewajiban untuk menjamin dilaksanakannya hak lintas damai (innocent passage) dan dalam bentuk barunya disebut hak lintas transit (transit passage) oleh kapal-kapal asing.18 Laut territorial harus dibedakan dari perairan

pedalaman (internal water).19

13 Atje Misbach Muhjiddin, “Status Hukum Perairan Kepulauan Indonessia dan Hak Lintas Kapal Asing”, (Bandung:Penerbit Alumni, 1993), h. 1.

14 Ibid.

15 Ibid.

16 A. Hamzah, “Laut Territorial Dan Perairan Indonesia”, (Jakarta: CV Akademia Pressindo, 1984), h. 114.

17 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 173.

18 Ibid.

(7)

Lebih lanjut, dalam bukunya I Wayan Parthiana menjelaskan bahwa Laut Territorial (territorial sea) adalah bagian laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal atau garis dasar (base line) dan sebelah luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit).20 Yang dimaksud dengan garis pangkal adalah garis

yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut. Diterapkannya pada saat air laut surut disebabkan oleh karena garis air laut surut adalah merupakan batas antara daratan dan perairan (laut). Garis tersebut merupakan garis atau titik-titik yang merupakan pertemuan antara daratan dan perairan.

Lebar laut teritoral maksimum negara-negara berhasil disepakati, yakni sejauh 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Mengenai garis pangkal, dalam hukum laut internasional dikenal tiga macam garis pangkal, yakni:

a. Garis pangkal normal (normal base line) adalah garis pangkal yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti lekukan-lekukan pantai. Untuk mengukur dan menentukan lebar laut territorial, ditarik garis tegak lurus dan garis pangkal normal ke arah luar/laut sesuai dengan lebar laut teritorial masing-masing negara. Titik-titik atau garis luar pada bagian luar itulah yang disebut garis luar atau batas luar laut territorial. Garis pangkal normal ini merupakan garis pangkal tertua yang pertama kali dikenal dalam sejarah pengukuran lebar laut territorial. b. Garis pangkal lurus, berbeda dengan garis pangkal normal yang

penarikannya mengikuti lekukan pantai, penarikan garis pangkalnya tidak mengikuti lekukan pantai melainkan dengan menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai. Itulah sebabnya garis pangkal lurus ini disebut juga garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Penarikan garis pangkal lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku-liku atau jika di depan pantai tersebut terdapat pulau, deretan atau gugusan pulau. Penarikan garis pangkal dengan metode ini berawal dari Anglo-Norwegian Fisheries Case.

c. Garis pangkal kepulauan (Archipelagic Base-line), garis pangkal ini mulai dikenal dengan diakuinya prinsip negara kepulauan dalam UNCLOS. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perjuangan negara-negara kepulauan yang dipelopori oleh Indonesia, Filipina, Fiji, Mauritius dan didukung negara-negara kepulauan lainnya. Pengaturan akan garis pangkal ini

(8)

terdapat dalam Pasal 47 UNCLOS, disebutkan bahwa suatu negara berhak menarik garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dan karang-karang kering terluar kepulauan itu dengan ketentuan bahwa perbandingan antara daratan dan perairannya ialah 1:9.21 Dengan adanya

sistem penarikan garis pangkal kepulauan tersebut, Indonesia sangat diuntungkan dengan penambahan luas wilayah yang semula luas wilayah Indonesia 2.027.087 Km persegi berubah menjadi 5.193.250 Km persegi.22

“We fully agree with the statement that there must be a balance between the right of coastal states and the interests of international navigation, and we believe that the balance have been, and will be achieved through the principles of innocent passage”.23 Di wilayah laut, lalulintas bagi kapal asing merupakan

hak yang diakui oleh hukum internasional.24 Hak lintas damai menurut UNCLOS

adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan bersifat damai tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai.25 Pelaksanaan hak

lintas damai haruslah:

a. Tidak mengancam atau menggunakan kekerasan yang melanggar integritas wilayah, kemerdekan dan politik negara pantai;

b. Tidak melakukan latihan militer atau sejenisnya tanpa seizin negara pantai;

c. Tidak melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi tertentu yang melanggar keamanan ketertiban negara pantai;

d. Tidak melakukan tindakan propraganda yang melanggar keamanan ketertiban negara pantai;

e. Tidak melakukan peluncuran, pendaratan dari atas kapal apapun termasuk kapal militer;

f. Tidak melakukan bongkar muat komoditas, penumpang, mata uang yang melanggar aturan customs, fiscal, immigration or sanitary laws negara pantai;

g. Tidak melakukan aktivitas yang menimbulkan pencemaran;

21 Ibid.

22 I Made Pasek Diantha, “Analisis Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen Dalam Perspektif Kepentingan Indonesia”, (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1993), h. 52.

23 Hasjim Djalal, “Indonesia and Th Law of The Sea”, (Jakarta: entre For Strategic and International Studies, 1995), h. 306.

24 M. Dimyanti Hartono, “Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional Indonesia sebagai Negara Nusantara”, (Bandung: Binacipta, 1983), h. 64.

(9)

h. Tidak melakukan egiatan penangkapa ikan; i. Tidak melakukan kegiatanj penelitian;

j. Tidak melakukan kegiatan yang mengganggu ke sistem komunikasi negara pantai;

k. Kapal-kapal selam harus menampakkan dirinya di permukaan serta menunjukkan bendera negaranya.26

Berdasarkan Pasal 19 butir 2 UNCLOS, lintas suatu kapal asing dianggap mmebahayakan negara Pantai apabila:

a. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam UN Charter;

b. Setiap latihan atau praktik dengan senjata macam apapun;

c. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertaanan atau keamanan negara pantai;

d. Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamnaan negara pantai;

e. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;

f. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer;

g. Bongkar muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi atau saniter negara pantai;

h. Setiap perbutan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan ketentuan UNCLOS;

i. Setiap kegiatan perikanan; j. Kegiatan riset atau survey;

k. Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau istalasi lainnya negara pantai;

l. Setiap kegiatan lainnya yang tidak ebrhubungan langsung dengan lintas.27

Hak lintas damai adalah hak bagi kapal asing sehingga merupakan kewajiban bagi negara pantai untuk memberikannya. Untuk dianggap damai, maka lintas tidak boleh merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai, juga tidak boleh melanggar Konvensi atau ketentuan-ketentuan hukum

26 Ibid.

(10)

internasional lainnya.28 Negara pantai juga tidak boleh menyita atau menahan

kapal asing yang lewat di laut wilayahnya untuk keperluan perdata kecuali jika kapal tersebut tidak memenuhi kewajibannya pada waktu lewat atau pada saat berada di perairan negara pantai.29 Kapal dapat berhenti dan membuang sauh

hanya untuk alasan-alasan force majeure.30 Sementara itu berdasarkan Pasal 23

UNCLOS, kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atay bahan lain karena sifatnya yang berbahaya atau beracun, apabila melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial, harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal-kapal demikian.31

B. PEMBAJAKAN DI LAUT TERITORIAL SOMALIA

“In reviewing the history of mankind it becomes clear that since tribal time movement of people and goods, fisheries and unfortunately armed conflicts and other non-peaceful incidents have been the main activities and events on the seas and oceans of the world.”32 Laut merupakan tempat yang tidak dapat

dipungkiri sebagai salah satu wadah bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya. Sederhananya, guna memanfaatkan sumber daya alam ataupun sebagai tempat berperang dan saling claim satu sama lain atar negara. Dewasa ini secara internasional, Laut di atur dengan Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS). “The 1982 Convention contains 320 articles and 9 Annexes. It was adopted by 130 votes to 4, with 17 abstentions and entry into force on 16 November 1994, twelve months after the required 60 ratifications.”33

Dengan perkembangan terkait kelautan yang terus berjalan seiring berjalannya waktu, dan hukum-hukum yang telah dibuat sedemikian rupa demi menciptakan keamanan dan ketertiban di kawasan laut, namun hal tersebut belum dapat sepenuhnya dicapai. Khususnya dengan peristiwa pembajakan

28 J.G Starke, “Pengantar Hukum Internasional”, (Jakarta: SInar Grafika, 2004), h. 348. 29 Hasjim Djalal, “Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, (Bandung: Percetakan Ekonomi), h. 29.

30 Op. Cit, Chairul Anwar. 31 Op. Cit, Arif Djohan Tunggal.

32 E.Hey, A.W. Koers, “The International Law of the Sea”, (Netherlands: Netherlands Institute of Transport, 1983), h. 67.

(11)

yang marak terjadi. Sejarah menunjukkan bahwa pembajakan di laut sudah ada sejak awal manusia melakukan perjalanan melalui laut. Para perompak yang melakukan pembajakan di laut pada walnya hanya memiliki tujuan untuk memperkaya diri.34 Sejarah tercatat menunjukkkan bahwa sjak zaman Yunani

Kuni dan Kekaisaran Romawi, pembajaan di laut telah menjadi ebban dari perdagangan maritime. Salah satu tindakan pembjakan di laut yang disertai dengan penculikan pada masa ini adalah pada tahun 75 S.M di mana kapal Julius Caesar diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan. Para Perompak kemudian mendapatkan tebusannya atas peleasan Julius Caesar namun mereka ditangkap dan dihukum kemudian.35

Pada abad ke-16, perompak digunakan oleh negara-negara untuk enambah kekuatan maritime mereka. Para perompak ini disebut sebagai privateer, yaitu “perompak” yang diizinkan atau disahkan oleh negara untuk bertindak atas nama negara tersebut melalui surat yang disebut “letter of marguee”. Tujuan utama privateers ini adalah merusak sumber daya negara musuh, melatih kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan. Ratu Elizabeth sendiri bahkan menyatakan bahwa penggunaan state sponsored terrorism

seperti privateering merupakan cara ideal untuk memukul mundur musuh dan menyembunyikan diri kemudian.36

Setelah Perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa tidak diperlukan lagi adanya privateers. Raja James kemudian mencabut seluruh letter of marquee dan mengkriminalisasikan pembajakan di laut dalam bentuk apapun. Tindakan ini menyebabkan ratusan privateer kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan sebagai perompak secara penuh. Tanpa adanya negara yang mengasuh atau menyewa mereka, maka mereka melakukan tindakannya berupa menyerang dan merompak semua negara-negara tanpa diskriminasi.37 Pada

tahun 1856 mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritime besar menandatangani Deklarasi Paris 1856 yang menyatakan penghapusan terhadap pembajakan di laut dalam bentuk apapun.

34 Alfred S. Bradford, “Flying the Black Flg-A Brief History of Piracy”, (Westport-Connecticut: Praeger, 2007), h. 4.

35 Thaune Lennox Gentele, “Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter ransom Payments and Hijacking,” Transportation La Journal, Vol. 37:199, 2010, h. 202-203. 36 Ibid.

(12)

Sehubungan dengan pembajakan di laut modern, International Maritime Bureau (IMB) menggolongan kegiatan pembajakan di laut dalam 3 kelompok, yaitu:

a. Low level armed robbery, yakni kegiatan pembajakan di laut berskala kecil yang biasanya beroperasi di pelabuhan dan dermaga akibat lemahnya pengawasan oleh petugas keamanan pelabuhan. b. Medium level armed assault and robbery, yakni tipe bajak laut

berskala menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun territorial, biasanya mereka sudah terorganisasi.

c. Major criminal hijack atau sering disebut sebagai fenomena kapal siluman, biasanya sudah berskala besar, sangat terorganisasi dan memiliki tingkat kekerasan tinggi, bahkan telah melibatkan jaringan organisasi kejahatan transnasional dengan anggota-anggota terlatih yang menggunakan senjata api. Biasanya dengan melakukan penguaaan kapal, awak kapal dibunuh atau diceburkan ke laut, kemudian kapal dicat ulang, dimodifikasi, diganti nama dan diregistrasi ulang. Kargo atau muatan kapal dijual di pasar bebas kepada penadah. Sertifikat registrasi sementara diperoleh melalui kantor konsulat. Mereka mendapatkannya baik melalui menyuao atau dokumen-dokumen yang dipalsukan. Motif pembajakan ini umumnya tidak hanya sekedar ekonomi saja, namun berlatar politis atau terorisme.38

Pembajakan di laut berdasarkan hukum internasional saat ini diatur dalam 3 konvensi, yaitu: Convention on the High Seas 1958, UNCLOS 1982, dan

Convention for the Suppression of Unawful Acts of Violence Against the Safety of Maritime Navigation 1988.39 Negara-negara membedakan antara pembajaan di

laut (“piracy”) dimna yurisdiksinya bersifat universal dan pembajakan laut yang terjadi di dalam wilayah suatu negara yang lebih dikenal dengan perampokan di laut (“sea armed robbery”) dimana yurisdiksinya berada di bawah negara pantai.

“If a crime on the water occurs within a country's coastal territory which is

38 Lihat Melda Kamil Aradno, “Hukum Internasional Hukum yang Hidup”, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h. 169.

(13)

twelve nautical miles from shore, then it is viewed as "armed robbery at sea"; if it is further out, then it is piracy.”40

Perompakan di laut atau dikenal juga dengan istilah Sea Armed Robbery terhadap kapal didefinisikan dalam the Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (resolution A.922(22), Annex, paragraph 2.2), as follows: “Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of ìpiracy, directed against a ship or against persons or property on board such ship, within a Stateís jurisdiction over such offences.”

Dengan demikian perompakan atau Sea Armed Robbery adalah:

a. Setiap tindakan tidak sah yang berupa kekerasan atau penahanan atau setiap tindakan pembinasaan atau ancaman, selain tindakan pembajakan, yang memiliki tujuan pribadi dan diarahkan terhadap sebuah kapal atau terhadap orang atau harta benda pada sebuah kapal di perairan internal suatu negara, perairan kepulauan dan laut teritorial.

b. Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi tindakan sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Pada kasus pembajakan di Somalia yang diangkat pada karya tulis ini, bukanlah hal yang awam lagi. Seperti yang dikatakan oleh Gornowicz pada Jurnalnya yaitu, “Somalia is said to be one of the easiest and most attractive regions for pirates attacks”.41

MV Sinar Kudus adalah sebuah Kapal kargo berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh PT. Samudera Indonesia Tbk. Kapal yang terdaftar di pelabuhan Jakarta Indonesia ini dibuat pada tanggal 24 Juni 1998 oleh Shin Kochijyuko Co. Ltd membawa 20 ABK Warga Negara Indonesia. Nilai kapal ini sekitar 10 juta Dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 16 Maret 2011, kapal ini dirompak oleh 35 orang perompak Somalia di Teluk Aden, Afrika. Kapal itu dihadang di sekitar 320 mil Timur Laut Pulau Socotra. ABK M.V Sinar Kudus yang telah satu bulan lebih disandera kawanan bajak laut Somalia, di perairan dekat Pulau Socotra, Semenanjung Arab, Afrika, menyeru kepada penguasa Indonesia

40 Marguerite Laraira, “Piracy is an International Problem That Needs a Multi-Prong”, Regent Journal of International Law, 2012.

(14)

untuk segera membebaskan dirinya dan 19 anak buah kapal lainnya yang terkatung-katung karena tak ada pihak yang berupaya membebaskannya. Perusahaan yang mempekerjakan mereka, PT Samudra Indonesia maupun PT Aneka Tambang sebagai pemilik muatan biji nikel menolak untuk membebaskannya, demikian juga Pemerintahan Somalia telah menyerahkan kepada Indonesia selaku negara bendera kapal untuk mengambil tindakan terhadap para pelaku perompakan. Singkatnya, operasi penyelamatan berakhir pada 1 Mei 2011 ketika para perompak menerima uang tebusan. Ternyata, di atas geladak MV. Sinar Kudus terdapat 3 kelompok pembajak. Dua kelompok setuju dengan nominal uang tebusan, sementara kelompok ketiga berusaha membajak kembali namun digagalka oleh helikpoter dan sea rider yang diluncurkan oleh KRI. Terjadi baku temba dan keempat pembajak tewas hingga MV. Sinar Kudus kemudian dikawal hingga ke Oman.42

Dalam pembajakan kasus Somalia ini, yurisdiksi harusnya jatuh pada Negara Somalia untuk menumpasnya. “Any piratical attack occurring within Somali territorial seas remains the under the exclusive jurisdiction of Somalia.”43 Tetapi

telah terbukti bahwa negara tersebut tidak pernah berdaya mengatasi masalah ini yang sudah sering terjadi hingga mengundang keluarnya beberapa Resolusi Dewan Keamanan PBB.

“Urges States who naval and military aircraft operate on the high seas and airspace off the

coast of Somalia to increase and coordinate their efforts to deter acts of piracy and armed robbery and encourages States using their commercial maritime routes off the coast f Somalia to increase and coordinate their efforts to deter acts of piracy and armed of robbery. (Resolusi DK No. 1816-2008).”

Pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB memiliki kewajiban untuk melaksanakan resolusi ini terutama ketika kejadian tersebut menimpa kapal berbenderanya dan warga negaranya.

42 Marsetio, “Sea Power Indonesia”, (Jakarta:Universitas Pertahanan, 2014), h. 113.

(15)

BAB III KESIMPULAN

Laut territorial adalah sesuatu hal yang didebatkan pada saat sebelum terjadinya Perang Dunia II.44 Yang pada akhirnya diakui secara internasional

bahwa negara dapat memiliki kedaulatan dan yurisdiksi di atas laut teritorialnya.45 Laut territorial ditarik tidak lebih sejauh 12 mil dari garis pangkal

saat air laut surut.46

Pada masanya, pembajakan pernah memiliki masa kejayaannya pada tahun 1660 hinga 1730an.47 Bisnis pembajakan adalah hal yang paling menguntungkan

di Somalia48, dan pada umumnya penjarahan dilakukan dengan “Somalian Style”

yaitu memaksa menjarah kapal yang besar menggunakan kapal kecil, gps modern dan membawa senjata.49 Dalam mengatasi permasalahan pembajakan

khususnya di wilayah teritorial Somalia, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan beberapa resolusi50 yang kemudian menyebabkan negara Somalia

harus merelakan daerah teritorialnya dimasuki oleh asing.51 Namun dalam

mengatasi masalah pembajakan ini, negara-negara tidak hanya terpaku pada UNCLOS atau hukum secara normatif, yang harus ditekankan adalah kerjasama

44 Damir Arnaut, “Stormy Waters on The Way to The High Seas: The Case of The Territorial Sea Delimitation Between Croatia and Slovenia”, Marine Law Intitute, University of Maine chool of Law Ocean andCoastal Law Journal, 2002.

45 Marian Nash Leich, “The American Society of International Law”, American Journal of International Law, 1989.

46 Philippines Daily Inquirer. 2014.

47 Barry Hart Dubner and Ritvik Raturi, “On the Economics of International Sea Piracy”,

Michigan State University Journal, 2012.

48 Sandra L. Hodgkinson, “Seeking the Best Prosecution Model for Somali Pirates”, Case Western Reserve Journal of International Law, 2011.

49 Sandra L. Hodgkinson, “Current Trends in Global Piracy: Can Somalia’s Successes Help Combat Piracy in the Gulf of Guinea and Elsewhere?”, Case Western Reserve Journal of International Law, 2013.

50 Milena Sterio, “Case Western Reserve Journal of International Law”, Case Wstern Reserve Journal, 2011.

(16)

internasional. Pembajakan di Somalia haruslah menjadi perhatian besar bagi komunitas internasional.52 Yang bahkan menurut seorang ahli hukum melalui

jurnalnya yang mengatakan “In order to effectively address the increase in pirate attacks, the U.N. should remove the high seas requirement from the UNCLOS piracy definition, and the jurisdiction restrictions for failed states.”53

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

R. WIrjono Prodjodikoro, “Hukum Laut Bagi Indonesia”, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), h. 10.

I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Mandar Maju, 1990).

Kresno Buntoro, “Lintas Navigasi di Nusantara Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014).

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ilmu Hukum, (Depok: UI-Press, 2010). F.A Whisnu Situni, “Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum

Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1989).

Atje Misbach Muhjiddin, “Status Hukum Perairan Kepulauan Indonessia dan Hak Lintas Kapal Asing”, (Bandung:Penerbit Alumni, 1993).

Hamzah A, “Laut Territorial Dan Perairan Indonesia”, (Jakarta: CV Akademia Pressindo, 1984).

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: PT. Alumni, 2012).

Chairul Anwar, “Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional”,

(Jakarta: Djambatan, 1989).

52 Christopher Totten, Matthew Bernal, “Jurisdiction issues, enforcement problems and potential solutions”, Georgetown Journal of International Law, 2010.

(17)

I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003).

I Made Pasek Diantha, “Analisis Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen Dalam Perspektif Kepentingan Indonesia”, (Denpasar: CV. Kayumas Agung, 1993). Hasjim Djalal, “Indonesia and Th Law of The Sea”, (Jakarta: entre For Strategic and

International Studies, 1995).

M. Dimyanti Hartono, “Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional Indonesia sebagai Negara Nusantara”, (Bandung: Binacipta, 1983).

Sefriani, “Hukum Internasional Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2011).

Arif Djohan Tunggal, “Aspek-Aspek Hukum Laut”, (Jakarta: Harvarindo, 2014). J.G Starke, “Pengantar Hukum Internasional”, (Jakarta: SInar Grafika, 2004).

Hasjim Djalal, “Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, (Bandung: Percetakan Ekonomi).

E.Hey, A.W. Koers, “The International Law of the Sea”, (Netherlands: Netherlands Institute of Transport, 1983).

Malcolm N. Shaw. “Interntional Law”, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008).

Alfred S. Bradford, “Flying the Black Flg-A Brief History of Piracy”, (Westport-Connecticut: Praeger, 2007).

Lihat Melda Kamil Aradno, “Hukum Internasional Hukum yang Hidup”, (Jakarta: Diadit Media, 2007).

Ario Triwibowo Yudhoatmojo, “Penerapn Yurisdiksi Universal Untuk Menanggulangi dan Mengadili Pembajkan di Laut Berdasarkan Resolusi Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Kasus Pembajakan di Teluk Aden”.

Marsetio, “Sea Power Indonesia”, (Jakarta:Universitas Pertahanan, 2014).

JURNAL

Thaune Lennox Gentele, “Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter ransom Payments and Hijacking,” Transportation La Journal, Vol. 37:199.

(18)

mengutip Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Universitas Trisakti, 008), h.250 yang mengutip Ronald Dworkin, Legal Research, (Daedalus; Spring,1973).

Gornowicz, Michal, “Perspective of Business Law”, Journal, 2013.

Haque Emdadul, Hasan Daud, “Maritime Boundary Deliitation: A Normative Standard?-Part I: Historical Development of the Legal Regime), Journal, 2014. Milena Sterio, “Case Western Reserve Journal of International Law”, Case Wstern

Reserve Journal, 2011.

Barry Hart Dubner and Ritvik Raturi, “On the Economics of International Sea Piracy”, Michigan State University Journal, 2012.

Marguerite Laraira, “Piracy is an International Problem That Needs a Multi-Prong”,

Regent Journal of International Law, 2012.

Sandra L. Hodgkinson, “Seeking the Best Prosecution Model for Somali Pirates”,

Case Western Reserve Journal of International Law, 2011.

Sandra L. Hodgkinson, “Current Trends in Global Piracy: Can Somalia’s Successes Help Combat Piracy in the Gulf of Guinea and Elsewhere?”, Case Western Reserve Journal of International Law, 2013.

Christopher Totten, Matthew Bernal, “Jurisdiction issues, enforcement problems and potential solutions”, Georgetown Journal of International Law, 2010.

Jill Harrelson, “American University International Law Review”, 2010.

Matthew C. Houghton, “Tulsa Journal of Comparative & International Law”, 2009. Damir Arnaut, “Stormy Waters on The Way to The High Seas: The Case of The

Territorial Sea Delimitation Between Croatia and Slovenia”, Marine Law Intitute, University of Maine chool of Law Ocean andCoastal Law Journal, 2002.

Marian Nash Leich, “The American Society of International Law”, American Journal of International Law, 1989.

Emily. A Georgiades, “A Beginning to The Maritime Delimitatiom of The Aegen Sea Disputes”, Ocean and Coastal Law Journal, 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimana karakteristik 10 penyakit utama yang ada di

Anda tahu tak, apabila kanak- kanak mempunyai pengalaman sebegitu, mereka belajar berprihatin terhadap orang yang kurang bernasib baik. Saya juga telah berjumpa

Dengan demikian, ilustrasi yang digunakan dalam buku teks MARBI sebagian besar sesuai indikator penilaian akan tetapi perlu perbaikan untuk menambah ilustrasi pada teks

 Abu „Amru isqat hamzah pertama apabila dua hamzah qato’ yang sama baris dalam 2 kalimah samada fathah, kasrah atau dhommah..  Huruf hamzah pertama fathah dan hamzah

Pada dasarnya barcode tersusun atas garis-garis vertikal hitam (bar) dan putih (spasi) dengan ketebalan yang berbeda. Umumnya digunakan pada aplikasi basis data

Dari pernyataan tersebut di atas yang termasuk alasan diperbolehkannya Pengadilan Agama memberikan izin seorang suami beristri lebih dari satu adalah.... Islam masuk ke

SMK Telekomunikasi Tunas Harapan menyediakan bandwidth 20 Mbps digunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar yang dikelola menggunakan Simple Queue. Saat kegiatan belajar

Secara umum di kawasan hutan hujan tropik kekayaan jenis lumut hati meningkat pada elevasi yang lebih tinggi sedangkan kekayaan jenis lumut sejati justru semakin