• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komparasi Profesionalisme Militer Rusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Komparasi Profesionalisme Militer Rusia "

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Basis keamanan disuatu negara seringkali dirujuk kepada pertahanan dan kekuatan militer negara tersebut. Periode 1945-1969 yang juga ditandai dengan berakhirnya Perang Dunia II telah mengubah perkembangan politik dunia. Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara pemenang perang muncul menjadi kekuatan raksasa. Dua negara tersebut memiliki perbedaan ideologi, Amerika Serikat memiliki ideologi liberal-kapitalis, sedangkan Uni Soviet berideologi sosialis-komunis. Dalam waktu singkat memang pernah terjadi persahabatan diantara keduanya, namun kemudian muncul antagonisme diantara mereka. Ada dua karakter pada periode ini, Pertama, adanya keprihatinan akan ambisi rivalnya yang menimbulkan pesimisme. Kedua, Amerika Serikat dan Uni Soviet memiliki kekuatan militer yang sangat kuat. Bubarnya Uni Soviet ini menandai berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan di pihak Amerika Serikat. Russia sebagai salah satu negara pecahan Uni Soviet merupakan negara yang berhasil menjadi raksasa militer dunia menyusul Amerika Serikat. Walaupun anggaran militer Amerika Serikat jauh lebih banyak dari Russia, yakni rata-rata 524 juta dollars untuk AS dan 42,5 juta dollars untuk Russia setiap tahunnya antara 2000-20081 yang menjadikan

Amerika Serikat berada diperingkat pertama negara yang mengeluarkan militer terbesar di dunia, namun Russia yang berada diperingkat ketiga mampu mewarnai dinamika keamanan global dengan kebijakan pertahanan yang diberlakukan sebelumnya. Kedua negara terebut memiliki perlengkapan militer dan senjata seperti satelit nuklir, kapal selam nuklir,

(2)

pengebom jarak jauh, pesawat tempur, angakatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara dengan jumlah yang mendominasi dan dengan teknologi yang mutakhir.2 Russia sebagai Negara yang pernah mendapatkan predikat

super power masih memiliki kekuatan militer besar dan menjadi ancaman nyata bagi Amerika. Oleh karena itu perilaku keduanya menjadi sorotan dunia internasional dan dinamika hubungan mereka masih signifikan pengaruhnya terhadap keamanan global.

Militer merupakan suatu organisasi yang berada di bawah kendali pemerintah. Semua pengaturan tentang militer berada di bawah kendali pemerintah, termasuk anggaran, pengadaan sistem senjata dan lain sebagainya. Namun demikian, militer sampai pada tingkatan tertentu masih diberikan otonomi. Misalnya dalam mengatur personel sampai pada tingkatan pangkat dan jabatan tertentu. Di negara-negara maju, Panglima atau Kepala Angkatan Bersenjata dan para Kepala Staf Angkatan diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memberikan nasihat profesional kepada Presiden selaku Panglima Tertinggi. Nasihat profesional yang dimaksud adalah nasihat profesional militer, yaitu suatu pandangan terhadap suatu hal dari sudut pandang profesional militer, bukan sudut pandang politik. Sebagaimana diketahui, sudut pandang profesional militer tidak jarang berbeda dengan sudut pandang politik.

Studi komparasi militer antara Rusia-Amerika Serikat ini dititikberatkan pada pembahasan mengenai karakter profesionalitas sektor militer dimasing-masing Negara. Masalah utama yang ditekankan adalah bagaimana suatu Negara mampu menciptakan pertahanan militer yang cukup kuat untuk menjamin keamanan dari ancaman eksternal dan sekaligus mencegah kemungkinan adanya dominasi militer di ranah domestik Negara lainnya. Dilema ini muncul dari rasa kekhawatiran yang ditimbulkan oleh satuan bersenjata yang berkekuatan besar tersebut, yang

(3)

sengaja dibentuk untuk menjaga pertahanan dan keamanan Negara namun memiliki ancaman yang cukup inheren bagi masyarakat. Lebih jauh, studi ini dikaji untuk mengetahui bagaimana hubungan sipil dengan militer ditempatkan dalam kerangka kenegaraan tanpa mengurangi aspek fungsional tentang ketahanan dan keamanan.

Data dari sebuah survey yang dilakukan menunjukkan bahwa sektor militer di Rusia memiliki tendensi profesionalitas yang cukup tinggi.3 Survey ini dilakukan kepada 600 prajurit militer yang menyatakan

bahwa tugas mereka adalah sebagai satuan yang melindungi dan menjaga pertahanan dan keamanan Negara. Para prajurit tersebut enggan untuk terlibat dalam ranah sipil yang mereka nilai dapat mengurangi kemampuan bertempur dalam perang. Sebagian besar prajurit militer di Rusia menyatakan keberatan mereka untuk menggunakan kekuatan militer sebagai alat bantu dalam pembangunan jalan, partisipator kampanye partai politik maupun pekerjaan umum lainnya yang menyangkut dengan masalah perekonomian sosial. Namun, pada saat yang sama mereka juga menyatakan kesiapan untuk membantu pada saat bencana alam, seperti gempa bumi. Dengan demikian, para prajurit ini menyadari adanya urgensi pertolongan yang harus diberikan bagi masyarakat ketika dibutuhkan, juga menilai bahwa keterlibatan mereka atas tugas-tugas sipil yang cenderung rutin dapat melemahkan esensi dasar profesionalisme dan moral militer.4

Di Amerika, corak hubungan antara pemimpin dengan rakyat adalah dengan berlandaskan kepercayaan. Rakyat Amerika seolah memberikan seluruh hidup dan mati mereka untuk Negara dan sepenuhnya percaya kepada pemerintah atas segenap hal yang harus dilakukan demi kepentingan Negara. Pola seperti ini pun terlihat dalam bentuk hubungan

3 Ball, Deborah Yarsike. “The Pending Crisis in Russian Civil-Military Relations”. PONARS-Policy Memo 4. October 1997: Lawrence Livermore National Laboratories. http://www.gwu.edu/~ieresgwu/assets/docs/ponars/pm_0004.pdf

(4)

sipil dengan militer. Etos kepemerintahan yang dipegang secara teguh dan konsisten menjadi bukti nyata bahwa prajurit militer Amerika diciptakan untuk secara kolektif memenuhi tanggung jawab sebagai seorang prajurit yang memberikan keamanan bagi rakyat Amerika dan merefleksikan etika profesionalitas atas nama pengorbanan yang menegaskan konsekuensi menjadi prajurit militer adalah untuk dibunuh bukan membunuh.5

Selanjutnya, hubungan antara sipil dengan militer yang terjalin terbangun dalam prinsip yang pragmastis dan bermoral.6 Pragmatisme yang terlihat

adalah konsepsi awal menjadi seorang prajurit militer adalah sebagai pelindung Negara dan masyarakat. Kontribusi rakyat Amerika yang secara regular membayar pajak dengan salah satu tujuan untuk dapat membiayai keperluan militer, dinilai sebagai suatu hubungan yang seimbang antara militer dengan sipil. Dengan masyarakat Amerika diminta untuk mengirimkan anak-anak mereka agar dapat mengikuti wajib militer merupakan sebuah wujud kesepakatan yang terformasi atas dasar kepercayaan, bahwa para prajurit militer akan selalu ada untuk mereka. Moralitas yang terbangun atas nama kepercayaan tersebut juga didasari oleh pengertian rakyat dan Kongres untuk memperbolehkan para prajurit yang ingin melakukan aktivitas kemiliterannya secara bijaksana dan terorganisir. Dengan demikian, eksistensi para prajurit militer di Amerika hanya akan ada oleh keinginan dan dukungan dari rakyat.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat sekilas tentang hubungan sipil dengan militer yang ada dikedua Negara, maka peneliti tertarik untuk menelaah demi jauh bagaimana perbandingan militer yang ada di Rusia dan Amerika Serikat pada saat ini?

5 Sir John Hackett, quoted in Gwynne Dyer, War: The Lethal Custom (New York: Carroll & Graff), 129.

(5)

1.3 Kerangka Teori

Isu mengenai hubungan sipil dengan militer diawali dengan tahap krisis dihampir semua negara. Hal ini dikarenakan dua kubu ini memiliki perbedaan naluri emosional, persepsi tentang ancaman dan cara mengatasinya, kepekaan terhadap para aktor yang memegang kendali sekaligus adanya ketidakpercayaan diantara keduanya.7Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana dinamika hubungan sipil dengan militer di Rusia dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, terdapat 2 landasan konseptual yang akan digunakan, yakni:

1.3.1 Supremasi Sipil (Civilian Supremacy)

Penjelasan akan dilakukan dengan berfondasi pada konsep pertama, yakni supremasi sipil (civil supremacy) yang mengatur: (1) Kekuasaan dan tanggung-jawab antara kelompok militer dan sipil harus terpisah, (2) Transparansi kekuasaan dan kekuatan militer kepada otoritas sipil/pemerintah, dan (3) Praktik transparan ketika militer menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan.8 Menurut S.E.

Finer, kepatuhan militer terhadap konsep supremasi sipil merupakan salah satu mekanisme efektif (selain profesionalisme militer) untuk mencegah intervensi militer atas pemerintahan sipil.9 Eric A. Nordlinger menjelaskan

tiga model pemerintahan sipil yang berkaitan dengan hubungan militer-sipil di dalamnya. Salah satu model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah “Liberal Model”. Model ini membedakan kedua kelompok sesuai dengan bidang tanggung-jawab masing-masing. Namun, militer harus memerhatikan etika atau kode etik sipil. Etika sipil yang dimaksud adalah sebuah prinsip dasar bahwa

7O’Connor,Andrew.C,Lieutenant US Navy,Thesis NPS,March 2011 < http://www.fkpmaritim.org

(6)

nilai-nilai militer memiliki kedudukan yang lebih rendah dari otoritas sipil. Dengan adanya prinsip tersebut, maka militer akan netral dan menerima otoritas sipil sebagai pemegang kekuasaan politik. Meskipun begitu, Nordlinger menambahkan bahwa kelompok sipil tetap harus menghormati urusan militer yang merupakan bidang profesional militer, serta tetap melibatkan militer terhadap keputusan-keputusan politik yang membutuhkan keahlian atau pertimbangan militer.10

1.3.2 Kontrol Sipil (Civilian Control)

Salah satu sudut pandang dalam menilai hubungan sipil-militer adalah dengan cara melihat kontrol sipil terhadap militer. Pembahasan utama dalam konsep kontrol sipil adalah bagaimana meminimalkan power atau kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok militer. Dengan adanya kekuasaan sipil yang lebih tinggi dibanding militer, maka konsep kontrol sipil ini berlaku. Dalam hal ini, Huntington memberikan 2 cara melakukan kontrol sipil. Jenis yang pertama adalah Subjective Civilian Control (Kontrol Sipil secara Subyektif). Menurut Huntington, cara ini merupakan cara yang paling mudah dilakukan. Kontrol sipil jenis ini dilakukan dengan memperkuat kekuasaan kelompok sipil melalui penguatan institusi sipil tertentu (misalnya parlemen atau presiden), konstitusi negara, dan atau penguatan kelompok-kelompok sipil tertentu (misalnya pengusaha atau birokrat).11 Jenis yang kedua adalah

Objective Civilian Control (Kontrol Sipil secara Obyektif). Cara ini ditempuh melalui penguatan profesionalisme

10 E. A. Nordlinger. Soldiers in Politics : Military Coups and Governments. New Jersey: Prentice-Hall. 1977. Hal. 15

(7)

militer, yakni dengan adanya pembagian kekuasaan antara kelompok militer dan kelompok sipil. Tujuan akhir dari kontrol sipil obyektif adalah memiliterkan kelompok militer sehingga mereka dapat focus menjadi alat negara untuk menjaga pertahanan dan keamanan.12

(8)

BAB II PEMBAHASAN

Institusi militer di lingkungan masyarakat dibentuk oleh dua kepentingan. Pertama, kepentingan fungsional yang lahir dari adanya ancaman terhadap keamanan nasional. Kedua, lahir dari kepentingan sosial akibat adanya kekuatan sosial, ideologi dan berbagai institusi dominan di masyarakat. Begitupun yang terjadi di Rusia dan Amerika Serikat. Posisi militer di tengah kehidupan masyarakat yang sangat ditentukan oleh sifat hubungan fungsional bersifat cukup melekat. Sebuah hubungan fungsional mengartikan jaminan ketahanan dan keamanan. Negara sebagai bentuk organisasi tertinggi memiliki mandat untuk mewujudkan jaminan keamanan bagi tiap warga negara yang tertuang dalam konsitusi. Untuk mencapai sebuah hubungan fungsional dibutuhkan mekanisme kontrol sipil berupa kebijakan politik pemerintah, dan militer yang berwenang menetapkan strategi untuk mencapai tujuan-tujuan keamanan.13

Huntington sedari awal sampai akhir tulisannya terus menerus menekankan pentingnya memaknai konteks hubungan militer-sipil beserta kebijakan politik yang diambil untuk menjawab situasi perang. Pola politik sipil dan strategi militer sedari masa pra perang sipil sampai Perang Dunia II telah melahirkan pemikiran profesionalisme sebagai kualifikasi kontrol sipil. Menurut Huntington, militer adalah sebuah profesi, sama seperti pekerjaan seorang dokter dan pengacara yang membutuhkan keahlian.14 Untuk mewujudkan

profesionalisme militer, dibutuhkan institusi-institusi militer yang profesional. Demi memudahkan analisisnya, penulis membuat semacam alat ukur berupa indeks sederhana tentang hubungan militer sipil berupa indikator politik dan

13 Samuel P. Huntington. The Soldier and the State; the Theory and Politics of Civil-Military Relations. 2003

(9)

profesionalisme, untuk mengukur kecenderungan militer menyikapi persoalan kenegaraan dan kemiliteran.

2.1 Transisi Rusia pada Era Putin-Sekarang

Kebangkitan kekuatan militer Rusia, di mulai ketika Presiden Vladimir Putin menjabat pada tahun 2000. Putin memprioritaskan pada sektor militer Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, hingga dewasa ini, Rusia mulai menempuh kebijakan strategis, guna memulihkan kondisi dalam negeri. Rusia masih tetap berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya pasca Perang Dunia II, terutama dalam peningkatan kekuatan militernya, yang merupakan sektor vital negara. Rusia juga masih memiliki persenjataan Nuklir, warisan Uni Soviet, dan sekarang tengah dikembangkan. Rusia memiliki keinginan untuk menjadi kekuatan baru di negara-negara pecahan Uni Soviet.

Pada masa kepemimpinan Vladimir Putin, Rusia mengalami perbaikan di berbagai sendi kehidupan termasuk hubungan sipil militer.15 Tujuan Putin untuk mengembalikan

kejayaan Rusia sebagai Great Power menempatkan militer sebagai perwujudan kekuatan negara. Kepemimpinan Putin yang kuat mampu menumbuhkan kepercayaan yang tinggi dari golongan militer pada kepemimpinan sipil. Oleh karena itu, hubungan sipil dengan militer Rusia kian harmonis. Namun, militer Rusia tetap memiliki pengaruh dalam politik meski dengan corak yang berbeda dari era Yeltsin. Sejak menjadi Perdana Menteri di era Yeltsin, terlihat upaya Putin untuk membangun hubungan yang harmonis dengan militer. Dalam menyelesaikan masalah strategis, sebagai

(10)

Commander in Chief Putin16 merangkul kalangan militer untuk

berperan aktif dalam menyelesaikan masalah tersebut. Contohnya adalah pemberian kebebasan pada militer untuk melakukan cara apapun demi tercapainya tujuan Rusia dalam perang di Chechnya17.

Kalangan militerpun menyambut baik terobosan dari Putin tersebut. Hingga kemudian mereka menganggap Putin sebagai seseorang yang membuat keputusan yang jantan dan kukuh pada keputusan itu.

Loyalitas militer terhadap Putin juga kian tinggi. Hal ini disebabkan oleh perhatian Putin yang tinggi terhadap golongan militer. Taraf hidup militer meningkat sebagai implikasi dari naiknya gaji. Pertama kalinya sejak 1991, gaji tentara Rusia setara atau lebih tinggi daripada kalangan sipil di sektor swasta. Ditopang oleh naiknya pendapatan negara karena sektor minyak dan gas, modernisasi peralatan militer mendapatkan momentumnya. Militer Rusia pun kembali ke jajaran elit militer di dunia. Berbeda dengan era Yeltsin, peran militer dalam parlemen Rusia di era Putin menurun drastis.18 Memang ada beberapa penyebab seperti nihilnya

dukungan dari Kementrian Pertahanan dan dekrit presiden yang melarang pemberian gaji bagi personil militer yang sedang dalam masa pencalonan. Namun, yang perlu kita sadari adalah tidak lagi ada kritisisme sebagian perwira di parlemen terhadap kepemimpinan sipil sebagaimana terjadi di era Yeltsin. Di luar parlemen, kritisisme itu juga sulit ditemukan. Putin sadar betul bahwa jika ingin membuat Rusia sebagai strong state, dia harus menerapkan sistem hirarki-kemiliteran dalam pemerintahan. Dalam

16 Anne C. aldis and Roger n. McDermott (eds), Russian Military Reform,

1992-2002, Frank Cass,2003), 72. Henry Plater-Zyberk, The Russian Decision Makers in the Chechen.

17 Ibid.

(11)

hal ini, Putin membentuk efektivitas birokrasi melalui rekrutmen orang-orang yang pernah bekerja dengan Putin –Personil KGB, birokrat di Kementrian Pertahanan dan Kementrian Dalam Negeri, dan teman Putin selama berkarir di St. Petersburg.19 Tidak

mengherankan, banyak jendral ditunjuk Putin untuk menempati berbagai posisi strategis di dalam birokrasi seperti Popov, Kvashnin, dan Troshev. Selain itu, Putin juga mendukung banyak perwira tinggi yang maju dalam pemilihan Gubernur. Perwira-perwira tersebut di antaranya adalah Laksamana Vladimir Yegorov yang maju di region Kaliningrad, Mayjen Vladimir Shamanov yang maju di region Ulyanovsk, dan Kolonel Jendral Georgii Shpak yang maju di region Ryazan. Di dalam sebuah buku yang mengemukakan analisa pemerintahan Putin, Richard Sakwa mengatakan “intervensi dalam ranah militer dapat dilakukan dalam bentuk yang berbeda”. Untuk segelintir pihak, hal tersebut berarti suatu tindakan tegas yang tanggap terhadap kontrol sipil.20

Namun, dilain sisi hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah transisi kontrol sipil terhadap respon militer yang baik.

Keterlibatan militer dalam ranah politik memiliki karakteristik dependensi terhadap otoritas sipil, khususnya presiden. Di era Putin ini ditandai pengaruh militer dalam politik yang cenderung berkutat pada posisi mereka di berbagai jabatan dalam birokrasi.21 Dalam hal ini, Putin secara tunggal yang

melakukan penunjukkan terhadap mereka yang dinilai eligible untuk duduk dalam jabatan tersebut. Di samping itu, Putin juga memberikan dukungan pada perwira tinggi yang maju dalam

19 Goltz, A., ‘The Social and Political Condition of The Russian Military dalam The Russian Military; Power and Policy, S.E., Miller & D.V. Trenin, MIT Press, Cambridge, 2004

20 3 Richard sakwa, Russian Politics and Society (london and new york: Routledge, 2002), 409.

(12)

pemilihan gubernur di beberapa region. Partisipasi aktif dan independen dari personil militer seperti keikutsertaan mereka dalam pemilu legislatif sebagaimana di era Yeltsin menurun jauh. Pada masa Putin, level intervensi militer pada otoritas sipil terbatas hanya pada influence22, yaitu berupa usulan. Dengan posisinya di di

jajaran birokrasi, mereka tentu bisa memberi pengaruh secara konstitusional yakni dengan memberikan masukan-masukan pada presiden. Kritisisme mereka di parlemen serta di khalayak umum menjadi hilang karena perhatian mereka tersedot untuk jabatannya. Finer menjelaskan bahwa level intervensi influence bisa kita temui dalam masyarakat dengan tingkat budaya politik yang tinggi.23

Dengan kata lain, telah terjadi transformasi tingkat budaya politik Rusia dari era Yeltsin ke Putin di mana Putin mampu menciptakan taraf budaya politik yang tinggi di Rusia. Akhirnya, loyalitas dari kalangan militer terhadap otoritas sipil bisa terbentuk.

2.2 Amerika di Masa Damai-Sekarang

Definisi hubungan sipil dengan militer sangat beragam namun secara garis besar hubungan ini dapat dijelaskan sebagai interaksi antara lembaga militer di satu sisi dengan pengambil keputusan kepemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat, pemimpin opini publik dan juga melibatkan masyarakat disisi lain.24 Di dalam bukunya, Huntington berasumsi bahwa jika sebuah

Negara memiliki kontrol sipil yang cenderung seimbang, maka hal

22 Ibid.

23 Finer, S.E., ‘The Man on Horseback; The Role of Military in Politics’, Frederick A. Praeger, New York, 1962.

(13)

tersebut dapat memaksimalkan kokoh pertahanan dan keamanan.25

Praktek di apangan yang terjadi di Amerika adalah peran pejabat eksekutif yang menonjol dan kuat, sedangankan korps perwira militer akan secara professional menjalankan tugasnya dengan senantiasa menunjukkan kualitas skill, tanggung jawab dan dengan

corporateness.26 Hal ini dilihat sebagai tantangan bagi Amerika namun juga mampu meningkatkan efektivitas kontrol sipil, karena peran militer yang berusaha untuk menjauhkan diri dari ranah politik.27

Gagasan profesionalisme militer muncul pada masa damai sebagai perwujudan kontrol sipil dan kualifikasinya. Pola politik sipil dan strategi militer sedari masa pra perang sipil sampai Perang Dunia II telah membuat Amerika Serikat sebagai model negara yang menerapkan sistem demokrasi liberal mencoba untuk menyesuaikan proporsi penerapan politik pemerintah sipil yang berdaulat dengan arah strategi yang diambil oleh institusi militer. Bisa dikatakan bahwa liberalisme merupakan antitesa dari institusi militer yang profesional.28 Di satu sisi, kekuasaan liberal yang

didominasi oleh masyarakat sipil, bertentangan dengan doktrin-doktrin militer yang kaku dan rigid. Sementara di sisi yang lain, kekuasaan liberal membutuhkan pengamanan akan eksistensi dirinya dari ancaman yang beraneka ragam. Dengan kata lain, kekuasaan sipil menolak militerisme, tapi membutuhkan institusi militer untuk menopang keberadaannya.

25 Samuel P. Huntington. The Soldier and the State; the Theory and Politics of Civil-Military Relations. 2003

26 Ibid.

27 http://www.foreignaffairs.com/articles/23574/colonel-robert-n-ginsburgh/the-challenge-to-military-professionalism

(14)

Untuk memenuhi cara pandang yang demikian, tiga hal yang dilakukan oleh kelompok sipil di Amerika Serikat adalah memangkas kekuatan militer hingga ke tulangnya, mengasingkan institusi militer dari lingkungan masyarakat dan mengurangi pengaruh militer sampai pada proporsi yang tidak berarti.29 Militer

kembali ke barak merupakan eufemisme yang sebenarnya upaya mengerdilkan tentara hingga titik nol.

Nampaknya produk unggulan Huntington untuk meneorikan hubungan militer-sipil dalam kerangka demokrasi liberal di Amerika tercetus dalam bukunya yang mengemukakan bahwa hubungan sipil dengan militer berhenti pada tiga pilar tradisi militer Amerika; (1) Pilar teknisme yang berorientasi pada penguasaan teknologi, skill teknis, keahlian permesinan dan peralatan tempur, (2) Pilar popularisme yang mengacu pada keberpihakan militer pada dunia sipil, pewujudan watak negarawan daripada watak Jendral perang dan (3) Pilar profesionalisme yang benar-benar memurnikan gagasan tentang strategi perang dengan menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan-tujuan fungsional, bukan semata-mata hanya berlandaskan tujuan politik.30

Meski demikian, kaum konservatif masih berpandangan bahwa institusi militer adalah warisan peradaban kuno yang barbar dan pemikiran tentang perang harus selalu ternegasi. Hingga Huntington menjelaskan dalam bukunya mengenai babak baru prajurit militer di Amerika pada masa damai. Menurutnya,

29 The Civil-Military Problematique: Huntington, Janowitz and the Question of Civilian Control.’’ Armed Forces and Society. 23(2): pp. 149-178.

(15)

profesionalisme pada dasarnya merupakan reaksi dari kelompok konservatif melawan masyarakat liberal, bukan hasil sebuah gerakan reformasi konservatif umum di dalam masyarakat”.31

Dengan demikian, anggapan kontrol sipil yang melekat pada profesionalisme militer sama sekali gugur di hadapan kaum konservatif. Namun, bukan berarti para pemikir militer semakin terasing dari dunia sipil, karena pengalaman Perang Dunia II menunjukkan bahwa Amerika berperang semata-mata bukan demi tujuan militer. “tujuan jangka panjang Amerika Serikat bukanlah untuk mengalahkan Jerman dan Jepang, melainkan pembentukan suatu kekuasaan yang seimbang di Eropa, dimata dunia”.32 Hal ini

penting, salah satunya untuk memberikan klaim sejarah, bahwa Amerika dulu dan sekarang merupakan sekumpulan tentara profesional bergagasan sipil.33 Tentara yang menjunjung tinggi

profesionalisme sekaligus seorang negarawan. Tentara negarawan yang tak berhenti pada tujuan-tujuan militer, tapi memelihara hubungan politik sipil dengan militer secara institusional.34 Untuk

itu institusi militer yang profesional tetap dibutuhkan untuk memberi supply secara kontinyu sumber daya militer, demi kepentingan masyarakat sipil.35 Keterangan final tentang sumber

daya masyarakat sipil ada dalam dalam konstitusi, dan politik militer, yang pada dasarnya hanya memberikan penegasan hak pada wilayah kewenangan strategis di peta politik internasional.

31 Ibid. hal 257 32 Ibid. hal 367

33 Desch, Michael C. 1999. Civilian Control of the Military: The Changing Security Environment. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.

34 Ibid.

(16)

BAB III KESIMPULAN

Setelah membaca ulasan mengenai komparasi profesionalitas militer antara Rusia dan Amerika Serikat, penulis merasa perlu membuat kesimpulan yang dapat dijadikan sebagai proyeksi awal pemahaman dalam penelitian ini secara keseluruhan.

Dalam isu hubungan sipil dan militer di Rusia, nampak jelas bahwa salah satu aspek yang sangat berpengaruh terhadap pola hubungan sipil dengan militer yang ada dipengaruhi oleh budaya politik pada periode kepemimpinan yang berbeda. Budaya politik bisa dipahami sebagai sebuah pola dari perilaku serta orientasi individual terhadap politik diantara anggota sebuah sistem politik.36

Setiap negara memiliki kecenderungan kultur politik yang berbeda, hal ini disebabkan oleh perbedaan norma politik yang berpengaruh besar terhadap cara berpikir dan cara bertindak masyarakat terhadap sistem politik yang ada. Dalam kaitannya dengan militer dan politik, besar kecilnya intensitas dan longgarnya peranan yang mungkin dimainkan oleh militer dalam arena politik bergantung pada tingkat kebudayaan politik masyarakat yang bersangkutan. Tingkat kebudayaan politik bisa dinilai dari kemauan seluruh anggota masyarakat, baik sipil maupun militer, untuk mengikatkan diri dan patuh terhadap lembaga sipil dan pemerintahan serta konstitusi yang secara prosuderal telah dibentuk. Semakin tinggi masyarakat dapat berkolaborasi bersama untuk mematuhi segala peraturan, maka akan semakin tinggi tingkat budaya politiknya dan sebaliknya. Tingginya tingkat budaya politik suatu masyarakat membuat faktor-faktor yang mencegah dan membatasi masuknya militer untuk memainkan peranan politik semakin dapat ditekan. Jika tingkat budaya politiknya rendah, maka peluang dan kesempatan

(17)

militer memainkan peranan politik makin tinggi. Budaya politik Rusia kontemporer memang menunjukkan kecenderungan gabungan dari beberapa cara hidup. Menurut Thomas F. Remington, budaya politik Rusia era kontemporer adalah kepercayaan yang kuat pada nilai demokratis yang mengutamakan akan pentingnya negara yang kuat dan kekecewaan yang cukup tajam terhadap demokratisasi dan reformasi perekonomian yang dijalankan di Rusia.37 Budaya ini

terbentuk melaui proses jangka panjang (seperti sosialisasi politik melalui pendidikan di era Soviet) serta proses jangka pendek (keinginan yang membuat masyarakat Rusia menginginkan standard hidup seperti Barat). Sehingga kita dapat melihat pada era kepemimpinan Putin, dimana tingginya tingkat budaya politik Rusia di era ini bisa dilihat dari tingginya kepercayaan masyarakat dan golongan militer pada Putin. Putin dinilai mampu untuk membentuk Rusia menjadi negara kuat sebagaimana diinginkan oleh sebagian besar rakyatnya. Di samping itu, penciptaan hubungan yang harmonis antara otoritas sipil dengan militer pada akhirnya mampu menumbuhkan kepercayaan dan loyalitas dari golongan militer terhadap otoritas sipil.38 Putin tidak hanya mampu menaikkan

gaji bagi personil militer, namun juga memodernisasi alat perang dari militer Rusia. Partisipasi militer dalam Rusia juga terbatas pada level influence, berbeda pada masa kepemimpinan Yeltsin yang menyebabkan pressures dan displacement. Dalam hal ini, pengaruh militer dalam politik Rusia era Putin memiliki karakteristik dependensi golongan militer terhadap otoritas sipil. Putin banyak merekrut personil militer untuk duduk di jajaran birokrat. Selain itu, Putin juga mendukung beberapa perwira yang maju di pemilihan gubernur.

Selanjutnya mengenai hubungan sipil dengan militer di Amerika yang terjalin secara seimbang dan mapan dalam bingkai liberalisme. Gejala militerisasi dalam tubuh pemerintahan nampaknya terjadi di berbagai negara, tanpa terkecuali di Amerika Serikat. Hal ini seolah menjadi benang merah yang sekaligus dapat

37 Remington, T.F., dalam ‘Politics in Russia dalam Comparative Politics Today; A world View’, Pearson Longman, New York, 2008.

(18)

menggambarkan kondisi yang ada, yang dimulai pada masa damai. Hubungan sipil dengan militer serta perenungan sejarah perang dan peran militer dalam kehidupan masyarakat Amerika setelah perang usai dapat dilihat dari ketegasan pemerintah untuk membagi setiap sektor dalam tubuh pemerintahannya secara jelas dan mengutamakan fungsionalitas sebagai takaran penyeimbang.39

Kecenderungan kontrol sipil subyektif dan kontrol sipil obyektif yang ada semakin meyakinkan bahwa elit militer semakin efektif dengan meminimumkan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan nasional. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat Amerika kepada Negaranya memiliki dampak yang cukup besar dalam mempengaruhi hubungan sipil dengan militer.

Wiranatakusumah menyatakan bahwa tingkat kepercayaan antara elit sipil maupun elit militer sangatlah penting.40 Menurutnya definisi supremasi sipil

adalah supremasi sipil berbasis hak sipil, dan ini tidak hanya berlaku bagi sipil saja tetapi juga bagi para prajurit militer Negara. Sebab tanpa kepercayaan ini, maka definisi kontrol sipil atau supremasi sipil sulit diterapkan. Faktor keseimbangan kekuatan antara instrumen militer dengan non-militer perlu digaris bawahi agar tidak ada kekuatan dominan dalam proses pengambilan keputusan strategik atau nasional. Bruneau mulai mengamati dan fokus terhadap hubungan sipil dengan militer dari tiga (3) serangkai parameter yakni kontrol demokratik,

efektif dan efisiensi.41 Kontrol demokratik artinya keputusan nasional terbaik

dibuat bersama tanpa dominasi kekuatan tertentu, terukur dan disiplin kepada obyektif yang ditetapkan (efektif) serta efisien karena berorientasi kepada kegiatan yang berbobot dan terpilih dipasangkan dengan konsekuensi biaya yang minimum. Dengan demikian, hubungan sipil dengan militer di Amerika dapat dikategorikan sebagai suatu hubungan professional yang mapan dan sinkron, seperti beberapa kriteria yang telah dikemukakan sebelumnya. Sipil dan militer yang berjalan bersama menunjukkan konsistensi pemerintah Amerika yang ingin 39 BBC News US and Canada, Military balance: The US and other key countries

40Wiranatakusumah, Kisenda,Maj TNI-AU,Thesis US NPS,June 2000, MA in National Security Affairs,”Civil-Military Relations In The Late Soeharto-Era

(19)

membangun jajaran birokrat ditubuh pemerintahannya secara professional dan kontinyu.

Hal ini kemudian menjadi menarik untuk penulis paparkan tentang komparasi profesionalitas militer dalam hubungan sipil dengan militer diantara Rusia dan Amerika. Melalui penelitian ini, dapat ditarik lurus mengenai perbedaan yang paling fundamental dipenelitian ini. Di Rusia, tingkat profesionalitas militernya cenderung tinggi, hampir dapat dikatakan seimbang antara sipil dengan militernya. Namun, para birokrat dengan latar belakang militan sebelumnya masih mampu untuk berdiri dijajaran pemerintahan Rusia. Hal ini berada dalam legitimasi konstitusi Rusia dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki pengetahuan khusus dalam basis militer, yang kemudian dapat membantu Presiden dalam mengambil sebuah kebijakan demi terwujudnya keamanan nasional. Berbeda dengan Amerika Serikat, yang secara tegas memisahkan kekuasaan sipil dengan militer serta dibuat dalam suatu alur pemerintahan yang serasi dan seimbang. Keputusan Presiden untuk sama sekali tidak memberi peluang bagi militer untuk turut serta dalam proses pengambilan kebijakan ditopang dengan tanggung jawab dan keinginan yang besar untuk menjadikan Amerika Serikat secara professional mampu menjadi role model dipemerintahan

global, yang tidak hanya dalam basis ekonomi, sosial ataupun politik, tapi secara kolektif mencakup seluruh persendian pemerintahan termasuk militer. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa profesionalitas militer di Rusia masuk ke dalam kategori new professionalism, sedangkan Amerika dengan kategori

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata produksi, harga jual, dan nilai produksi yang diperoleh usaha pengolahan pupuk bokashi kelompok tani Bambong Makmu dalam jangka waktu satu bulan

Namun dinamika tersebut tidak mengubah prosesi upacara Ngoa Ngi’i, hanya mengubah beberapa sarana dalam prosesi sebagai contoh, pada zaman dahulu ketika

Hasil penelitian menunjukkan ditemukan keragaman pada keragaan mutan- mutan ubi kayu generasi M1V2 yaitu pada peubah tinggi tanaman, tinggi ke cabang, jumlah cabang,

Hal senada juga dijelaskan pada penelitian Lestari dan Sugiharto (2007) yang menganalisis perbedaaan kinerja keuangan antara bank devisa dan bank non devisa setelah

Bagi menilai keberkesanan keseluruhan program dakwah yang telah dijalankan oleh SPI JPS terhadap guru Pendidikan Islam, dapatan kajian menunjukkan daripada seramai 242

Segunung Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) menghasilkan penekanan yang tinggi terhadap karat putih asal krisan dibanding dengan Cladosporium dari Bandung Barat

Anak usia sekolah adalah anak berusia 6 – 21 tahun , yang sesuai dengan proses tumbuh kembangnya di bagi menjadi 2 sub kelompok yakni praremaja 9( 6-9 tahun) dan remaja ( 10 – 19

Untuk mengetahui jumlah tulangan yang dipakai pondasi tiang bor pada Gedung Pusat Umar Bin Khotob Universitas Islam Malang2. 1.5