• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK. Kata Kunci: Fungsi, Makna, Upacara Ngoa Ngi i.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK. Kata Kunci: Fungsi, Makna, Upacara Ngoa Ngi i."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

i ABSTRAK

Upacara Ngoa Ngi’i merupakan salah satu upacara adat yang dilakukan bagi kaum wanita yang sedang hamil pertama pada usia kandungan tujuh bulan di Desa Sawu Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo NTT. Ngoa Ngi’i dilakukan agar perempuan yang mengandung dan anak yang dilahirkan bisa diselamatkan dari bahaya gaib. Upacara Ngoa Ngi’i bagi masyarakat Desa Sawu sebagai suatu tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, jika upacara Ngoa Ngi’i tidak dilakukan maka masyarakat adat Desa Sawu akan menanggung konsekuensi gaib maupun nyata sebagai bagian dari hukum adat yang berlaku pada komunitas Desa Sawu. Upacara Ngoa Ngi’i juga diyakini masyarakat Desa Sawu memiliki fungsi dan makna yang penting untuk kelangsungan hidup masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka muncul permasalahan yang perlu dibahas dalam tulisan ini, antara lain: (1) Mengapa masyarakat melakukan upacara Ngoa Ngi’i di Desa Sawu? (2) Bagaimana prosesi upacara Ngoa Ngi’i di Desa Sawu? (3) Bagaimana fungsi dan makna upacara Ngoa Ngi’i di Desa Sawu?. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, untuk mengetahui latar belakang dilakukan upacara Ngoa Ngi’i, mengetahui prosesi upacara Ngoa Ngi’i, serta untuk mengungkapkan fungsi dan makna upacara Ngoa Ngi’i. Dalam mengkaji permasalahan seperti ini dioperasionalkan teori – teori sebagai berikut : (1) Teori Fungsional Struktural dari R. Radcliffe – Brown dan (2) Teori Life Cycle dari Arnold Van Gennep. Adapun beberapa konsep yang digunakan yaitu : upacara Ngoa Ngi’i, upacara, fungsi, makna dan masyarakat. Keterangan lengkap mengenai data yang diperlukan diperoleh dari mosalaki, budayawan, tokoh masyarakat, ibu hamil, orang yang memimpin pelaksanaan upacara serta keluarga, dengan menggunakan metode observasi atau pengamatan luas sampai mendalam, wawancara serta menggunakan pengumpulan data primer dan data sekunder juga ditunjang dengan kajian kepustakaan. Data yang dikumpulkan bersifat kualitatif dan kuantitatif sebagai penunjang, teknis penulisannya digunakan analisis deskriptif.

Dari penelitian di lapangan diketahui proses upacara ngoa ngi’i terdiri dari prosesi oko utu (kumpul keluarga), gae ba’o yeu (pengambilan pelepah pinang), ti’i ka pati ae (memberi makan dan minum), gedho sa’o (keluar rumah), pelaksanaan ngoa ngi’i (potong gigi), ka sama (makan bersama) dan dheka bako mea moro (pamitan). Upacara Ngoa Ngi’i mempunyai fungsi yaitu sebagai peralihan status perempuan di Desa Sawu, memohon keselamatan ibu dan penguatan bayi, Ngoa Ngi’i sebagai integrasi sosial, dan mempunyai makna antara lain: makna religius, makna kekerabatan dan makna pendidikan.

(2)

ii ABSTRACT

Ngoa Ngi'i ceremony is one of the traditional ceremonies that is conducted by women in their first pregnancy, at the age of seven months of pregnancy in the Sawu Village,Mauponggo District, Nagekeo Regency of NTT. This ceremony is conducted in order to the pregnant women and the baby can be saved of invisible (supernatural) things. For Sawu Village people the Ngoa Ngi’i ceremony is a traditions that cannot be separated from their social life, if this ceremony is not conducted by them, they will take the invisible/supernatural consequences or the real consequences as a part of their law of tradition that is done for the community in the Sawu Village. The Sawu Village people believe that The Ngoa Ngi’i ceremony has a function and important meaning for their life sustainability.

Based on the explanation above, there are some problems to discussed in this paper, specifically; (1) Why does the Sawu village people conduct the Ngoa Ngi’i ceremony? (2) How is the process of the Ngoa Ngi’i ceremony in the Sawu Village? (3) What are the functions and meanings of the Ngoa Ngi’i ceremony in Sawu Village? The aims of this research are to know the background of the Ngoa Ngi’i ceremony in Sawu Village, knowing as Ngoa Ngi’i ceremonial procession and also to reveal the functions and meanings of Ngoa Ngi’i ceremony. The theory used in this research are; (1) The Structural Functional Theory by R. Radcliffe - Brown and (2) Life Cycle Theory by Arnold Van Gennep. There are some concepts which applied, they are; Ngoa Ngi'i ceremony, ceremony, function, meaning and society. To complete information of the necessary data obtained from Mosalaki, the humanist, the socialite, pregnant women, a person who led the ceremony and also the family of the pregnant women who did the ceremony. This is a qualitative and quantitative research include the methods and techniques of data analysis used in this study are observation or deep and extensive observation, interviewing and using the collection of primary data and secondary data and also supported by the study of literature.

Based on the field researches, it is known that the process of Ngoa Ngi'i ceremony is consists of oko utu, gae ba'o yeu, ti'i ka pati ae, gedho sa'o, Ngoa Ngi'i, ka sama, and dheka bako mea moro. Ngoa Ngi'i ceremony has a function, namely as a transitional status of women in the Sawu Village, pleading safety of mother and baby reinforcement, Ngoa Ngi'i as social integration, and some other meanings, such as; a religious meaning, the meaning of kinship and meaning of education.

(3)

iii DAFTAR ISI

JUDUL. ... i

PERSYARATAN GELAR ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv

LEMBARAN PENGESAHAN ... v PANITIA PENGUJI ... vi PERSEMBAHAN ... vii ABSTRAK ... viii ABSTRACT ... ix KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL DAN BAGAN ... xvii

DAFTAR GAMBAR………. xviii

GLOSARIUM ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 10

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 10

(4)

iv 1.4.1 Teori ... 11 1.4.2 Konsep ... 16 1.5 Model ... 19 1.6 Metode Penelitian ... 20 1.6.1 Lokasi Penelitian ... 20

1.6.2 Jenis dan Sumber Data ... 20

1.6.3 Penentuan Informan ... 22

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ... 23

1.6.5 Teknik Analisis Data ... 25

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Keadaan Geografis Desa Sawu ... 27

2.2 Sejarah Desa Sawu ... 30

2.3 Demografi ... 35

2.4 Pendidikan ... 38

2.5 Sistem Mata Pencaharian ... 39

2.6 Sistem Organisasi Sosial Masyarakat ... 40

2.7 Kesenian ... 44

2.8 Sistem Religi ... 46

BAB III LATAR BELAKANG DILAKUKAN UPACARA NGOA NGI’I DI DESA SAWU 3.1 Tradisi Upacara Ngoa Ngi’i ... 51

3.2 Ngoa Ngi’i Menjadi Bagian Integral dari Masyarakat Adat Desa Sawu ... 54

3.3 Tujuan Upacara Ngoa Ngi’i ... 56

3.3.1 Untuk Menjalankan Peya Wero Tora Mali ... 56

(5)

v

BAB IV PROSESI UPACARA NGOA NGI’I DI DESA SAWU

4.1 Prosesi Upacara Ngoa Ngi’i ... 62

4.1.1 Tempat Upacara ... 62

4.1.2 Saat – Saat Upacara ... 64

4.1.3 Benda – Benda Upacara ... 65

4.1.4 Orang – Orang yang Melakukan dan Memimpin Upacara ... 68

4.1.5 Rangkaian Prosesi Upacara Ngoa Ngi’i ... 70

4.2 Konsekuensi Bila Upacara Ngoa Ngi`i Tidak Dilaksana ... 93

4.2.1 Sanksi bagi Keluarga ... 93

4.2.2 Sanksi bagi Warga Desa ... 95

BAB V FUNGSI DAN MAKNA UPACARA NGOA NGI’I DI DESA SAWU 5.1 Fungsi Upacara Ngoa Ngi’i ... 98

5.1.1 Upacara Ngoa Ngi’i sebagai Peralihan Status Perempuan di Desa Sawu ….... ... 100

5.1.2 Memohon Keselamatan Ibu dan Penguatan Bayi dalam Kandungan ... 100

5.1.3 Upacara Ngoa Ngi’i sebagai Integrasi Sosial ... 101

5.2 Makna Upacara Ngoa Ngi’i ... 103

5.1.2 Makna Religius ... 103

5.2.2 Makna Kekerabatan ... 105

(6)

vi BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan ... 110 6.2 Saran ... 111 DAFTAR PUSTAKA ... 112 LAMPIRAN

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi pengalaman yang dialihkan secara sosial dan merupakan pandangan hidup (way of life) dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol yang diterima anggota masyarakat melalui proses komunikasi peniruan dari generasi ke generasi selanjutnya (Liliweri, 2003:8).

Salah satu bagian penting dari kebudayaan adalah upacara tradisonal yang merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukung yang berfungsi sebagai pengokoh norma-norma serta nilai – nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat secara turun – temurun, norma – norma serta nilai tersebut ditampilkan dengan peragaan dengan upacara yang dilakukan dengan hikmat oleh warga masyarakat. Kerja sama dalam upacara tradisional tersebut jelas dapat mengikat rasa solidaritas warga masyarakat.

Kebudayaan yang bersifat tradisional dikatakan baik, bukan berdasarkan ukuran etika dan estetika tetapi kebudayaan tradisional dapat membuat manusia melestarikan kehidupannya pada lingkungan tertentu. Di sini letak fungsi terpenting dari kebudayaan tradisional sehingga mempunyai hak yang sama untuk dipelajari dan dihargai. Menerima nilai–nilai dari kebudayaan berarti menghargai martabat masyarakat tersebut (Herimanto, 2012 : 30).

(8)

Salah satu unsur universal dari kebudayaan (cultural universal) yaitu sistem religi. Sistem religi terdiri dari empat komponen yang mempunyai perannya masing-masing tetapi sebagai bagian dari suatu sistem yang berkaitan erat satu dengan yang lain. Keempat komponen itu adalah emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, serta umat agama (Koentjaraningrat, 1987:80).

Sistem upacara keagamaan sebagai salah satu komponen dari sistem religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktian kepada Tuhan, dewa, roh nenek moyang atau makhluk halus lain dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia alam gaib lainnya (Koentjaraningrat, 1987:81). Melalui upacara, manusia menyadarkan diri terhadap kenyataan dan kekuatan-kekuatan alam untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta tujuan hidupnya baik material maupun spiritual.

Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi yakni : (1) tempat upacara keagamaan dilakukan; (2) saat-saat upacara keagamaan dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara (Koentjaraningrat, 1981:241).

Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat, baik suatu komunitas desa, kota, kelompok kerabat atau lainnya memiliki suatu corak yang khas terutama tampak oleh orang yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Pendukung kebudayaan itu sendiri biasanya tidak menyadari dan melihat corak khas tersebut. Sebaliknya mereka dapat melihat corak khas kebudayaan lain

(9)

terutama apabila corak khas itu mengenai unsur yang perbedaannya sangat mencolok dibandingkan dengan kebudayaannya sendiri. Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotanya seperti kekuatan alam maupun kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Selain itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiritual maupun material.

Pada umumnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri dari banyak suku bangsa yang beraneka ragam adat istiadat. Dengan demikian ditemukan berbagai macam upacara tradisional yang menyebar di berbagai daerah di Indonesia. Pulau Flores merupakan suatu pulau yang terdiri dari delapan sub-sub suku bangsa yaitu: Suku Manggarai, Riung, Ngada, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka dan Larantuka. Di setiap suku bangsa mempunyai beragam upacara tradisional dan upacara tersebut mempunyai fungsinya masing-masing.

Adat-istidat berbeda dari satu tempat dengan adat-istiadat di tempat lain, demikian pula adat istiadat di suatu tempat, berbeda menurut waktunya. Adat istiadat mempunyai akibat hukum yaitu hukum adat. Namun adat istiadat mempunyai akibat-akibatnya apabila dilanggar oleh anggota masyarakat dimana adat istiadat tersebut berlaku (Soekanto, 1990:180). Umumnya kepatuhan terhadap peraturan dalam bentuk upacara disertai dengan sangsi yang sifatnya sakral dan magis.

(10)

Ritual merupakan salah satu perangkat tindakan nyata dalam beragama, yang dimantapkan melalui tradisi. Geertz (dalam Rostiyati, 1994) menyatakan bahwa ritus (upacara) itu merupakan suatu upaya manusia untuk mencari keselamatan, ketenteraman dan sekaligus menjaga keselamatan kosmos. Di Nagekeo terdapat dua sub suku dengan logat bahasa yang berbeda, yakni suku Nage dan suku Keo. Kepatuhan dan kesetiaan masyarakat terhadap adat istiadat dan budaya mereka juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari pada berbagai aktivitas sosial budaya. Salah satu ritual atau upacara adat yang masih dipertahankan oleh masyarakat Nagekeo adalah upacara pendewasaan diri untuk laki – laki dan perempuan.

Upacara adat Gua atau gedho logo (dapat dipersamakan dengan sunat dalam bahasa Indonesia) untuk kaum laki-laki. Upacara ini pada umumnya dilakukan di tengah hutan atau di tepi sungai terpencil dari kampung. Pada saat upacara Gua atau gedho logo semua peserta diharapkan mempunyai sikap tanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya, memperlihatkan sikap matang, keperkasaan dan percaya diri dalam menghadapi realita hidup. Orang yang sudah menjalankan upacara Gua atau gedho logo dipercaya menduduki kedudukan penting dalam masyarakatnya. Artinya mereka dipercayakan kedudukan kunci dalam masyarakat menggantikan tetua adat dalam semua urusan, menyangkut hidup kemasyarakatan ataupun kehidupan religious tradisional.

Upacara Gua biasanya berlangsung satu sampai dua minggu lamanya, sedangkan upacara adat potong gigi hanya untuk kaum perempuan yang sedang

(11)

hamil anak pertama dengan usia kandungan tujuh bulan. Karena keindahan tetap menjadi bagian kehidupan seorang perempuan, oleh karena itu seorang perempuan akan tetap kelihatan lebih cantik apabila giginya sudah dipotong/diratakan/dikikir (Daeng, 2000 : 166-167).

Upacara potong gigi termasuk dalam upacara yang berkaitan dengan ritus peralihan. Arnold Van Gennep membagi ritus dan upacara yang menyangkut lingkar hidup (life cycle) ke dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap perpisahan (separation), (2) tahap peralihan (marge), (3) integrasi kembali (agregation). (Koentjaraningrat, 1993: 32). Upacara potong gigi merupakan peralihan dari masa remaja ke masa dewasa. Dari masa yang harus dilewati dalam lingkar hidup manusia sehingga sering dianggap sebagai suatu masa yang berbahaya bagi manusia karena terjadi peralihan status, baik yang berlangsung secara normal maupun yang terjadi lebih cepat dari biasanya.

Masyarakat Bali dan masyrakat di Nagekeo, NTT, sama – sama menjalankan upacara potong gigi. Pada kedua daerah ini yaitu, di Bali dan Nagekeo NTT masing – masing mempunyai keunikan. Upacara potong gigi di Bali, adalah salah satu rangkaian kegiatan upacara untuk “manusa yadnya” (Upacara keagamaan untuk manusia) disebut juga Mepandes/Mesangih, yang boleh dilaksanakan pada anak yang sudah menginjak dewasa. Dalam ajaran agama Hindu, pemotongan taring yang dilaksanakan pada upacara potong gigi atau Mepandes/ Mesangih merupakan simbol penyucian diri lahir maupun batin. Gigi yang digosok atau yang diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri bagian atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan

(12)

simbol pengendalain terhadap Sad Ripu (enam sifat buruk yang ada dalam diri manusia) yang meliputi : kama (hawa nafsu), loba (rakus/tamak/keserakahan), krodha (angkara murka/kemarahan), mada (mabuk), moha (perasaan bingung), dan matsarya (iri hati/dengki). Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia. Upacara potong gigi di Bali merupakan kewajiban dari orang tua kepada anak-anaknya. Maknanya adalah sudah sepantasnya orang tua memberikan petuah yang baik agar sifat-sifat buruk pada anak dapat dikendalikan, sehingga di kemudian hari rohnya yang telah disucikan dapat mencapai Surga Loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi). Upacara potong gigi di Bali dilaksanakan hanya simbolis saja, sebagai tanda bahwa seorang sudah disucikan. Salah satu pantangan untuk mengikuti upacara ini adalah wanita yang sedang hamil/haid. Upacara ini biasa dilaksanakan secara massal (bersama-sama baik dalam keluarga maupun dalam satu desa) (Swastika, 2010 : 31).

Masyarakat Nagekeo mengenal istilah potong gigi dengan istilah Zaba ngi’i atau Roso Ngi’is yang merupakan istilah potong gigi bagi masyarakat Nagekeo bagian utara khususnya di Kecamatan Aesesa dan Aesesa Selatan. Potong gigi di wilayah Nagekeo bagian Utara merupakan tanda bahwa anak wanita telah dewasa dan layak untuk dipinang. Ritual Potong gigi ini biasa dilakukan untuk kaum perempuan atau anak gadis. Ritual ini harus dijalani ketika seorang gadis memasuki usia akil balik. Di daerah Nagekeo utara upacara potong gigi bisa dilakukan secara massal (bersama – sama dalam rumpun keluarga). Sedangkan istilah potong gigi pada masyarakat Nagekeo bagian Selatan seperti

(13)

di Kecamatan Mauponggo Desa Sawu disebut Ngoa Ngi’i. Secara etimologis

Ngoa Ngi’i berasal dari dua kata yaitu Ngoa yang artinya

potong/meratakan/mengikir dan Ngi’i berarti gigi. Jadi Ngoa Ngi’i berarti potong gigi. Hal yang menarik dari masyarakat Desa Sawu adalah gigi yang dikikir dilanjutkan dengan mengasahnya sehingga menjadi rata dan rapih.

Ritual adat ini merupakan salah satu tradisi masyarakat Desa Sawu yang diwariskan secara turun-temurun. Upacara Ngoa Ngi’i dalam masyarakat Desa Sawu memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri karena upacara Ngoa Ngi’i tersebut dilakukan pada kehamilan pertama dengan usia kehamilan tujuh bulan berbeda dengan upacara potong gigi di Bali. Pantangan untuk mengikuti upacara potong gigi adalah wanita yang sedang hamil/haid. Ngoa Ngi’i di Desa Sawu sangat menarik karena giginya benar di kikir atau diratakan sampai semuanya rata, yang tidak diratakan yaitu gigi graham.

Menurut Van Gennep, bahwa inisiasi adalah soal peralihan dari satu status ke status yang lain, dimana status diartikan tempat dari sesuatu posisi sosial dalam tingkat tatanan posisi – posisi sosial (Koentjaraningrat, 1981 : 222). Merujuk dari teori Van Gennep, upacara Ngoa Ngi’i sebagai bertanda bahwa wanita yang sudah dipotong/diratakan giginya beralih status seorang perempuan menjadi dewasa dan disahkan dalam lingkungan yang baru. Makna diadakannya upacara Ngoa Ngi’i adalah peralihan status seorang perempuan yang menjadi ibu dari anak – anaknya selain itu juga sebagai upacara keselamatan dan penguatan bayi dalam kandungan.

(14)

Jika tidak melakukan upacara tersebut maka keluarga yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi adat berupa denda yang dalam bahasa setempat disebut ‘Waja’ untuk pemulihan nama baik keluarga dengan melakukan ritual yang disebut ‘Pegho/para Kaba’ yakni penyembelihan kerbau untuk upacara persembahan bagi leluhur sekaligus memberi makan kepada seluruh warga kampung sebagai bentuk permohonan maaf kepada leluhur dan pranata adat dalam wilayah setempat.

Perkembangan jaman telah mempengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya dinamika dalam upacara Ngoa Ngi’i yang menyebabkan masyarakat Desa Sawu meniggalkan pola – pola tradisional terutama dalam penggunaan sarana upacara. Namun dinamika tersebut tidak mengubah prosesi upacara Ngoa Ngi’i, hanya mengubah beberapa sarana dalam prosesi sebagai contoh, pada zaman dahulu ketika melakukan upacara Ngoa Ngi’i busana yang dikenakan oleh pemimpin upacara dan orang – orang yang terlibat dalam upacara Ngoa Ngi’i serta perempuan yang akan melakukan Ngoa Ngi’i adalah pakaian adat tetapi seiring dengan perkembangan zaman mulai ada perubahan dan sarana lainnya yaitu peralatan yang digunakan pada saat pelaksanaan Ngoa Ngi’i.

Upacara Ngoa Ngi’i sangat menarik untuk diteliti karena upacara tersebut berkaitan dengan kepercayaan atau keyakinan akan malapetaka bagi masyarakat setempat jika terjadi pelanggaran adat seperti tidak melakukan upacara Ngoa Ngi’i pada seorang perempuan yang hamil pertama kali. Berkaitan dengan itu, penelitian ini menjadi lebih menarik apabila dikaitkan dengan perkembangan zaman di era modernisasi dan globalisasi saat ini dimana

(15)

masyarakat di Desa Sawu dengan basic agama Katolik sampai saat ini tetap menjalankan tradisi lokal yaitu, upacara Ngoa Ngi’i. Pada masa sekarag sebelum pelaksanaan potong gigi berlangsung seorang wanita mendapat berkat dari pastor agar pelaksanaan Ngoa Ngi’i berjalan lancar. Upacara Ngoa Ngi’i di Sawu tidak menghilangkan niala – nilai sakral dan merupakan upacara pendewasaan diri yang masih tetap bertahan sebagai warisan leluhur yang sangat diyakini untuk terus dilestarikan, selain itu agar memperkuat hubungan tali silaturahmi keluarga. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki budaya tradisional seperti halnya Desa Sawu, masyarakat harus lebih sadar untuk lebih menghayati budaya sendiri, karena dengan berakar dan mengenal budaya sendiri dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Kebudayaan daerah dengan berbagai upacara adat mempunyai nilai yang sangat baik dalam proses menjaga dan melestarikan keharmonisan keluarga, suku dan masyarakat serta dengan lingkungan alam sekitar pada umumnya.

Berdasarkan keunikan upacara potong gigi pada masyarakat Desa Sawu tersebut maka penulis mengajukan judul penelitian : Upacara Ngoa Ngi’i Di Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo NTT?

1.2 Rumusan masalah

Bertitik tolak dari latar belakang terurai di atas, maka dapat dikemukakan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :

(16)

1. Mengapa masyarakat melakukan upacaran Ngoa Ngi’i di Desa Sawu? 2. Bagaimana prosesi upacara Ngoa Ngi’i di Desa Sawu?

3. Bagaimana fungsi dan makna upacara Ngoa Ngi’i di Desa Sawu?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui latar belakang atau alasan masyarakat Desa Sawu melakukan upacara Ngoa Ngi’i.

2. Untuk mengetahui prosesi upacara Ngoa Ngi’i di Desa Sawu.

3. Untuk mengetahui fungsi dan makna upacara Ngoa Ngi’i dalam kehidupan masyarakat di Desa Sawu.

1.3.2 Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi gelar serjana dalam ilmu Antropologi. Secara teori penelitian ini akan mencoba menerapkan teori-teori maupun konsep-konsep yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam tulisan ini, dengan harapan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memacu penelitian selanjutnya yang lebih mendalam yang sangat berguna bagi perkembangan ilmu Antropologi. Selain itu juga penelitian ini untuk menambah bahan bacaan pada perpustakaan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.

(17)

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat Desa Sawu Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo agar selalu melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya adiluhung. Bagi pihak pemerintah, khususnya pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam menyusun kebijakan-kebijakan pembangunan khususnya dalam bidang pembangunan sosial budaya.

1.4 Kerangka Teori, dan Konsep 1.4.1 Teori

Teori yang digunakan sebagai kerangka landasan dalam penelitian ini adalah teori Fungsional Struktural Redcliffe-Brown dan teori Life Cycle Arnold Van Gennep.

1) Teori Fungsional Struktural

R. Radcliffe-Brown (1881-1955) adalah sebagai pendiri aliran Fungsional Struktural. Antropologi kelahiran Inggris ini beranggapan bahwa setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat memiliki fungsi tertentu, yaitu untuk melestarikan struktur mayarakat yang bersangkutan sehingga masyarakat bisa melestarikannya. Pandangan Redcliffe-Brown tentang kebudayaan memiliki karakteristik sebagai milik bersama, yaitu kebudayan adalah sejumlah cita-cita, nilai-nilai standar perilaku. Untuk itu, kebudayaan adalah sebutan bersama (common denominator) yang menyebabkan perbuatan para individu dapat dipahami bersama. Manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan perilaku

(18)

manusia lainnya yang disebabkan oleh adanya common denominator ini. Selanjutnya mereka berinteraksi bersama dalam ruang dan waktu yang sama maka akan memiliki kesamaan pengetahuan yang dapat dipahami bersama. Melihat bukunya yang berjudul The Andaman Islanders, konsep fungsi yang diajukan itu tidak berbeda dengan konsep fungsi B Malinowski, yang menyebutkan efek dari pranata sosial terhadap kebutuhan mutlak guna berlangsungnya integrasi masyarakat dari suatu sistem sosial (Koentjaraningrat, 1979 : 10). Redcliffe – Brown dalam analisisnya tentang masyarakat Andaman (di pedalaman Australia) dalam menerapkan konsep-konsep fungsional juga mengacu kepada hubungan serta efek dari fungsi sosial pranata terutama upacara agama, mitologi dan keyakinan dengan kebutuhan mutlak berlangsungnya integrasi sosial dari sistem sosial masyarakat tersebut (Koentjaraningrat 1977 : 40).

Oleh karena itu, tampak upacara masyarakat Andaman yang kelihatan lucu dan aneh itu ternyata justru menjadi cara baginya untuk mengespresikan dan mensistematisasi gagasan-gagasan fundamentalnya tentang kehidupan dan alam. Dalam pandangn Redcliffe-Brown, pemikiran tentang fungsi didasarkan pada pemikiran bahwa budaya sebagai suatu mekanisme adaptif yang membuat manusia menjaga kehidupan sosial sebagai suatu komunitas yang teratur. Pendekatan ini didasarkan atas analogi organik-eksplisit. Artinya, setiap kebiasaan dan keyakinan suatu masyarakat primitif memainkan beberapa bagian peran yang menentukan dalam kehidupan komunitas. Suku Andaman banyak melakukan ritual dengan tangisan. Tangisan itu tidak bermakna kesedihan, tetapi merupakan

(19)

ekspresi dari solidaritas sosial, dan tangisan adalah memiliki fungsi sebagai ungkapan rasa solidarits sosial. (Nur syam, 2007: 34-35).

Upacara Ngoa Ngi’i sebagai salah satu unsur kebudayaan bertujuan dan berfungsi sebagai mekanisme adaptif yang membuat manusia menjaga kehidupan sosial sebagai suatu komunitas yang teratur. Upacara Ngoa Ngi’i pada masyarakat desa Sawu merupakan salah satu upacara yang masih dilestarikan sampai saat ini, dalam prosesi upacara melibatkan masyarakat desa beserta kerabat untuk melaksanakan upacara adat. Upacara yang ada dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu cara untuk menjaga hubungan dalam masyarakat. Dengan demikian adanya Upacara Ngoa Ngi’i adalah salah satu cara untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan, sehingga masyarakat di Desa Sawu biasa melestarikannya.

2) Teori Life Cycle

Arnold Van Gennep, Rites of Passage (Ritus peralihan). Menurutnya dalam jangka waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang menjadi obyek perhatiannya, dan yang sering menakutinya. Peristiwa – peristiwa krisis sepanjang lingkar hidup idividu atau crisis rites, ialah masa hamil, kelahiran, pemberian nama, penyapihan, perkawinan dan berkabung pada kematian. Dalam hal menghadapi masa krisis serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan dirinya. Perbuatan – perbuatan serupa yang berupa upacara – upacara pada masa – masa krisis merupakan pangkal dari religi dan bentuk – bentuk religi tertua. Upacara – upacara tersebut sering

(20)

dilakukan di dekat tempat tempat suci dalam rumah (perapian dsb), (Koentjaraningrat 1981 : 222).

Menurut Arnold Van Gennep, bahwa dalam hal inisiasi menurutnya adalah soal peralihan dari satu status ke status yang lain, di mana status diartikan tempat dari sesuatu posisi sosial dalam tingkat tatanan posisi-posisi sosial. Peralihan seperti itu bukanlah suatu kekecualian tetapi kehidupan itu penuh dengan perubahan-perubahan status seperti: kelahiran, pertunangan, perkawinan, kehamilan, menjadi ayah atau ibu, meninggal, dan sebagainya. Perubahan status bukannya terjadi tanpa diperhatikan sebaliknya, perubahan-perubahan itu ditonjolkan dalam kehidupan masyarakat. Setiap status, seperti yang terjadi dalam masyarakat primitif, mempunyai aspek sakral, karena dalam hal menghadapi masa krisis manusia butuh melakukan perbuatan berupa upacara – upacara masa krisis untuk memperteguh imannya untuk memperkuat dirinya (dalam Van Baal, 1988 : 26-27).

Berbeda halnya pada orang-orang primitif; menurut Van Gennep, bagian-bagian dari kelompok dalam masyarakat primitif seperti klan, kasta, dan keluarga, aspek religius semacam itu sangat jelas. Peralihan dari satu kelompok (status) ke kelompok (status) yang lain berjalan menurut skema tertentu. Selalu ada tiga tahap, yaitu pemisahan dari keadaan yang semula, peralihan yang sebenarnya ke status yang baru, dan akhirnya diterimanya dalam kelompok yang baru. Tahap-tahap itu disertai ritus, Tahap-tahap yang pertama disertai "ritus perpisahan", Tahap-tahap kedua disertai "ritus peralihan", dan tahap yang terakhir disertai "ritus penerimaan" dalam status yang baru. Tahap-tahap yang sama kita dapatkan pada kehamilan dan

(21)

kelahiran yang dialami oleh sang ibu, pada kelahiran dan diterimanya sang anak dalam kelompok. Tahap-tahap tersebut juga terdapat pada inisiasi, pada pertunangan, pada perkawinan, dan pada pemakaman. Dalam membahas ritus-ritus ini Van Gennep mengemukakan pendapat yang sangat tepat, bahwa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, yang biasanya terjadi lebih dari satu kali, justru pada peristiwa yang pertama seperti itu disertai ritus yang khas: dipotongnya rambut untuk pertama kali, gigi yang pertama, melahirkan anak yang pertama, dan sebagainya. Van Gennep menegaskan bahwa dalam inisiasi, soalnya bukan masalah puber fisik, tetapi masalah puber sosial, suatu hal yang berbeda sekali. Pada waktu yang lalu terdapat banyak hal yang omong kosong tentang khitanan dan Van Gennep adalah orang yang pertama yang mengatakan sesuatu yang masuk akal mengenai hal itu. (dalam Van Baal, 1988 : 27).

Teori Life Cycle Arnold Van Gennep di atas, bila dikaitkan dengan masalah penelitian melihat bahwa dalam hal inisiasi adalah soal peralihan dari satu status ke status yang lain, di mana status ini diartikan tempat dari suatu posisi sosial dalam tingkat tatanan posisi-posisi sosial. Selalu ada tiga tahap, yaitu pemisahan dari keadaan yang semula, peralihan yang sebenarnya ke status yang baru, dan akhirnya diterimanya dalam kelompok yang baru. Upacara potong gigi atau Ngoa Ngi’i pada masyarakat Desa Sawu proses inisiasi, merupakan peralihan ke status yang baru dan meningkatkan status seorang perempuan menjadi dewasa sehingga diterima dalam status yang baru. Tahapan – tahapan dalam peralihan status perempuan di Desa Sawu, yaitu pemisahan dari keadaan yang semula pada saat kehamil seorang perempuan belum memasuki usia

(22)

kandungan tujuh bulan, selanjutnya peralihan yang sebenarnya ketika usia kandungan tujuh bulan, dan pada saat melakukan/melaksanakan upacara Ngoa Ngi’i seorang wanita disahkan dan diterima dalam lingkungan yang baru.

1.4.2 Konsep

Konsep adalah suatu hal yang penting di dalam penulisan, oleh karena itu melalui konsep akan didapat batasan pengertian yang perlu dijelaskan. Konsep merupakan suatu istilah abstraksi tentang suatu gejala yang dibuat untuk memperoleh pengertian tentang gejala tersebut. R. Merton menyatakan bahwa konsep merupakan definisi yang perlu diamati, yang menentukan adanya hubungan empiris (Koentjaraningrat, 1977 : 32). Kerangka konsep dalam penelitian ini dipandang sangat penting untuk menentukan arah penelitian dan menghindari kesalah pengertian dari permasalahan yang diajukan. Adapaun beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

Upacara Ngoa Ngi’i adalah salah satu upacara adat bagi kaum wanita yang sedang hamil anak pertama dengan usia kandungan tujuh bulan yang ada pada masyarakat Desa Sawu, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo. Kata Ngoa Ngi’i terdiri dari dua kata. Ngoa dan Ngi’i, Ngoa artinya potong/mengikir/meratakan,Ngi’iartinyagigi.(http://chyrro.blogspot.com/2013/05/ normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html) (diunduh pada 22 juni 2015).

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara keagamaan adalah kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku. Tiap upacara keagamaan dapat terbagi dalam keempat komponen

(23)

yaitu: tempat upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, serta orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara (Koentjaraningrat, 1981 : 241). Definisi ini dapat dipahami bahwa dalam konteks ini upacara Ngoa Ngi’i merupakan serangkaian tindakan atau perbuatan dalam upacara tersebut di dasarkan pada adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat agama dan kepercayaan dalam masyarakat Desa Sawu. Dalam proses upacara terdapat tempat upacara dilakukan upacara Ngoa Ngi’i, benda – benda dalam alat – alat yang digunakan saat upacara Ngoa Ngi’i, serta orang – orang yang terlibat dalam upacara Ngoa Ngi’i.

Fungsi menurut M. E. Spiro (dalam Koentjaraningrat, 1985: 212-213) yaitu: a) pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan antara suatu hal dengan suatu tujuan tertentu, b) pemakaian yang menerangkan kaitan korelasi antara suatu hal dengan hal lain, dan c) pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara suatu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi. Dalam penelitian ini fungsi yang di maksud adalah fungsi upacara Ngoa Ngi’i bagi masyarakat Desa Sawu, dalam upacara tersebut bahwa aktivitas kebudayaan mempunyai tujuan atau berfungsi untuk menerangkan berbagai macam hubungan berlaku antara suatu hal denagan tujuan tertentu, hubungan suatu hal dengan hal lain dalam upacara Ngoa Ngi’i bagi masyarakat pendukungnya.

Makna adalah arti dari maksud yang terkandung pada suatu hal atau benda atau lambang atau lainnya yang menyangkut asosiasi subjektif yang dihubungkan dengan suatu hal oleh masyarakat pendukungnya (Koentjaraningrat dalam Suniti, 2006:20). Makna dalam penelitian ini adalah beralihnya status sosial

(24)

seorang wanita dan disahkan serta diterima dalam status yang baru, selain itu juga agar terhindar dari tuntutan adat atau hukum adat yang berlaku. Pesan dan amanat dalam hidup masyarakat yang berhubungan dengan nilai keagamaan dapat dijadikan sebagai acuan bagi generasi berikutnya untuk mengatur hidupnya dalam tata pergaulan dalam masyarakat serta dengan lingkungan hidupnya agar dapat merasa tenteram, aman, selamat dan sejahtera.

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1985 : 126). Ikatan yang membuat satu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat yaitu pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu, pola tersebut harus bersifat mantap dan kontinyu serta menjadi adat – istiadat yang khas.

Masyarakat Desa Sawu merupakan penduduk dari wilayah Desa Sawu di wilayah Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara khusus batas administrasi Desa Sawu meliputi: sebelah utara berbatasan dengan Desa Jawapogo, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Mauponggo, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ua, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lokalaba.

(25)

1.5 Model

Model merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan yang digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

: saling mempengaruhi : pengaruh sepihak

Keterangan :

Religi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Desa Sawu, karena bagi masyarakat Desa Sawu religi merupakan salah satu pedoman dalam hidup bermasyarakat. Untuk memantapkan keyakinanya akan sesuatu yang disembah dan diyakini benar – benar ada, masyarakat Desa Sawu melakukan salah satu upacara religi, yaitu upacara Ngoa Ngi’i (potong gigi) upacara Ngoa Ngi’i selalu dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sawu pada saat seorang perempuan hamil anak pertama dengan usia kandungan

Religi

Fungsi upacara Makna upacara

Masyarakat di Desa Sawu

Prosesi upacara Ngoa Ngi’i

(26)

tujuh bulan, upacara ini dilaksanakan dengan saksama oleh masyarakat Desa Sawu, karena upacara Ngoa Ngi’i memiliki fungsi dan juga makna untuk kelangsungan hidup masyarakat Desa Sawu.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena dalam penelitian ini data yang diperoleh adalah data-data yang berupa data deskriptif yang tidak menggunakan data yang berupa angka untuk menerangkan hasil penelitian.

1.6.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sawu kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo Nusa Tenggara Timur. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah, (1). meskipun perkembangan teknologi sudah semakin pesat, namun tingkah laku, alam pikiran dan kepercayaan masyarakat, yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang berada di luar batas kemampuan manusia atau kekuatan-kekuatan-kekuatan-kekuatan gaib lainnya masih terasa dalam kehidupan manusia atau rakyatnya. (2). Salah satu desa di Kecamatan Mauponggo yang masih melakukan upacara Ngoa Ngi’i, serta upacara dan ritual adat lainnya yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi muda, meskipun ada beberapa unsur – unsur yang sedikit berubah. 1.6.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif sebagai penunjang. Kualitatif dinyatakan dalam bentuk kata-kata,

(27)

kalimat narasi, uraian dan berbagai bentuk lainnya. Selain kalimat kata-kata , ungkapan, data juga ditampilkan dalam bentuk gambar atau foto. Pada penulisan ini diharapkan dapat menghasilkan suatu data deskriptif mengenai Upacara Ngoa Ngi’i pada masyarakat Desa Sawu, Kabupaten Nagekeo. Data kualitatif berfungsi untuk mendapatkan informasi yang mendalam serta untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan dari perspektif emik. Sedangkan data kuantitatif merupakan data yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Berkaitan dengan sumber data maka data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer, adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama karena kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Data primer diperoleh dengan pengamatan dan wawancara. Sumber data primer adalah para informan yang memberikan berbagai informasi tentang upacara Ngoa Ngi’i di Desa Sawu, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo. Informasi yang di dapat sebagai data primer dalam penelitian ini adalah dari para mosalaki (tua adat), budayawan, pemerhati budaya, ibu hamil, orang yang melakukan upacara, dan keluarga. Alasan pemilihan para informan tersebut karena mereka dianggap memahami dan mengetahui tentang budaya masyarakat Nagekeo dalam kaitan dengan upacara adat potong gigi (Ngoa Ngi’i).

(28)

2. Data Sekunder

Data sekunder, adalah data yang digunakan oleh peneliti dalam memperoleh informasi tambahan tentang upacara adat potong gigi pada masyarakat Desa Sawu, Kabupaten Nagekeo. Data sekunder diperoleh dari catatan atau dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti termasuk hasil penelitian yang telah dibuat terlebih dahulu didokumentasikan dan dipublikasikan melalui referensi lainnya seperti jurnal , laporan kegiatan, serta berbagai naskah yang relevan sebagai penunjang data primer.

1.6.3 Penentuan Informan

Untuk mendapatkan data yang akurat diperlukan informan secara tepat. Informan adalah orang yang memberikan keterangan dalam suatu kasus yang sedang diteliti atau merupakan narasumber. Jadi ia harus memiliki banyak pengelaman tentang latar penelitian. Informan ‘berkewajiban’ secara sukarela menjadi anggota tim peneliti.

Proses penentuan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling atau pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan permasalahan yang diteliti. Informan dalam penelitian ini adalah mosalaki sebagai informan kunci (key informan), tokoh masyarakat yang ada di desa Sawu, orang yang sedang hamil, orang yang melakukan upacara serta keluarga. Alasan pemilihan informan kunci dan para informan lainnya di atas karena mereka memiliki pengetahuan lebih

(29)

tentang upacara maupun anggota masyarakat di Desa Sawu sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang benar terkait dengan upacara Ngoa Ngi’i.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dan instrument penelitian sebagai berikut :

1. Observasi atau pengamatan

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi yaitu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan. Teknik pengamatan adalah teknik pengamatan luas (gren tour observation) sampai pada pengamatan yang lebih berfokus dan mendalam (mini tour observation). Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini dengan melibatkan diri langsung ke lokasi penelitian di Desa Sawu. Observasi sangat diperlukan karena bertujuan untuk mengamati gejala dan fakta yang dirahasiakan dan untuk mendapatkan validitas data yang lebih tinggi (Mantra, 2004 : 83)

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2001 : 135) bahwa percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (narasumber) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Teknik ini adalah situasi peran antar pribadi yang bertemu muka (face to face) ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan

(30)

dengan masalah penelitian kepada seseorang yang diwawancarai atau responden sosial ekonomi. Guna mendapatkan informasi tentang sosial budaya dan yang bersifat kompleks digunakan pula teknik wawancara mendalam. Wawancara mendalam biasanya dinamakan wawancara baku etnografi atau wawancara kualitatif. Wawancara mendalam bertujuan untuk memperoleh kedalaman data menyeluruh dan lebih bermanfaat (Supardan, 2008:94).

Instrument pokok yang dipakai dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara merupakan instrument pokok penelitian ini berisikan pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya sesuai dengan kebutuhan terkait dengan pokok permasalahan. Pertanyaan bersifat terbuka dengan maksud agar dapat diupayakan dalam rangka memperoleh data yang mendalam. Pedoman wawancara amat penting karena dengan itu peneliti dapat melakukan wawancara dengan lancar.

Wawancara mendalam (indept interviw) dalam pelaksanaan penelitian ini ditujukan kepada informan yaitu para ketua adat, pemerhati budaya. Dengan melakukan wawancara mendalam informan akan senantiasa lebih mendalam menceritakan upacara potong gigi (Ngoa Ngi’i) di desa Sawu. Informasi terkait proses pelaksanaan upacara potong gigi (Ngoa Ngi’i) digali secara perlahan namun semakin dalam sesuai dengan kebutuhan penelitian. Menggunakan teknik wawancara mendalam ini guna mendapat informasi yang akurat dari tokoh adat, dan budayawan masyarakat Desa Sawu.

(31)

3. Kepustakaan

Salah satu hal yang perlu disiapkan dan dilakukan dalam setiap penelitian adalah pendayagunaan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan. Memanfaatkan perpustakaan ini, baik untuk penelitian lapangan maupun untuk memperoleh data sekunder. Studi kepustakaan yakni teknik pengambilan data dengan mengkaji bahan-bahan bacaan, buku-buku majalah, serta bahan sekuder lainnya seperti jurnal. Melalui studi kepustakaan ini diharapkan ditemukan konsep-konsep atau teori yang telah dikemukakaan oleh peneliti terlebih dahulu, serta dapat menambah wawasan pemikiran yang lebih luas mengenai topik yang dibahas agar dapat digunakaan sebagai pembanding teori dalam penganalisisan data selanjutnya sehingga akan didapatkan informasi sebagai bahan sekaligus untuk mempertajam analisis data primer di lapangan.

4. Dokumentasi

Penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi guna menunjang perolehan data. Dokumen berupa foto-foto dan gambar yang terkait dengan penelitian. Digunakan juga alat pendukung lainnya berupa alat perekam dan catatan lapangan.

1.6.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu memakai pengetahuan, ide-ide konsep, yang ada dalam kehidupan masyarakat bersangkutan, berkenaan dengan sudut pandang mereka tentang dunia mereka. Hasil data yang

(32)

dikumpulkan baik melalui observasi atau pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan akan diklarifikasikan berdasarkan permasalahan yang akan dibahas. Menganalisis data dilakukan peneliti sepanjang berlangsungnya penelitian, dimulai dari pengumpulan data, pengorganisasian data menjadi suatu laporan penelitian, kemudian mengeditnya dan dianalisis sesuai dengan teori yang dipakai.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon kombinasi bahan organik dan varietas sorgum ratoon I yang tepat untuk produksi biomassa dan nira yang tinggi adalah pada dosis 10 ton/ha

tanda dalam mangupa pada upacara perkawinan masyarakat Angkola... Meskipun sebelumnya sudah banyak ahli-ahli budaya

Populasi dalam penelitian ini semua ibu bersalin primigravida kala I fase laten yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Sukosari Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo,

Terjadi peningkatan kesiapan peserta dalam kegiatan Workshop di pada guru Agama Hindu tingkat Sekolah Dasar (SD) Gugus Pejeng, Keca- matan Tampaksiring Kabupaten Gianyar Disam-

Upacara Mapag Toya selalu dilaksanakan dan tidak pernah dilupakan sesuai dengan tatanan atau awig-awig yang berlaku di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru, sebagai