• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Makna Dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Makna Dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan budaya. Setiap suku di

Indonesia memiliki tradisi sukunya masing-masing. Bangsa adalah suatu

komunitas etnik yang ciri-cirinya adalah: memiliki nama, mitos leluhur bersama.

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan menghasilkan budaya

yang beraneka ragam.

“Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya

mempertahankan hidup, dan mengembangkan taraf kesejahteraan dengan segala

keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada

disekitarnya (Geertz, 1973a). Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan

tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses

penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan

pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami

dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka

landasan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Defenisi ini kebudayaan dilihat

sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia atau

sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia”.

Suku didefenisikan sebagai sebuah golongan dan menjadi identitas yang

paling mendasar dan umum, serta terbentuk berdasarkan latar belakang tempat

kelahiran seseorang maupun latar belakang keluarganya, serta digunakan sebagai

(2)

kelompok orang yang memiliki latar belakang budaya, sejarah, dan nenek moyang

yang sama. Negara kita terdiri dari banyak suku di antaranya adalah suku Batak.

Batak terdiri atas 5 etnis yakni : Toba, Karo, Simalungun, Pak-pak Dairi,

Angkola/Mandailing. Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan sebutan

marga sebagai garis keturunan patrilineal yang secara generasi ke generasi

mempunyai garis keturunan marga yang berbeda-beda berdasarkan garis

keturunannya. Bahasa Batak memiliki banyak persamaan dengan bahasa sub etnis

lainnya.

Masyarakat Batak umumnya memiliki bahasa dan adat-istiadat yang

berbeda tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan perpecahan di antara

masyarakat Batak. Demikian juga halnya dengan masyarakat Angkola memiliki

berbagai budaya dan adat-istiadat. Masyarakat Angkola ialah yang mendiami

wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten Tapanuli

Selatan. Penelitian ini akan membahas tentang makna dan fungsi mangupa

masyarakat Kecamatan Sipirok. Pada upacara tersebut ada beberapa perlengkapan

yang paling utama. Pira manuk na ni hobolan, manuk, hambeng, dan lain

sebagainya. Upacara mangupa atau upah-upah merupakan salah satu upacara adat

yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi ke badan dan

memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat dan

murah rezeki dalam kehidupan. Upaya mengembalikan tondi ke badan dilakukan

dengan cara menghidangkan seperangkat bahan (perangkat pangupa) dan nasihat

(3)

dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari orangtua, raja-raja dan pihak-pihak

adat lainnya.

Upacara mangupa mempunyai tanda yang masing-masing mengandung

makna dan informasi. Setiap tanda yang ada dalam upacara mangupa masyarakat

Angkola mempunyai makna tersendiri yang tidak terlepas dari kehidupan

masyarakat sekitarnya. Selain itu tanda tersebut mencerminkan perilaku, pikiran

atau ide-ide masyarakat yang bersifat kesopanan, didikan, bijaksana, yang harus

dijalankan oleh kedua mempelai agar rumah tangga mereka tetap utuh.

Terciptanya informasi atau makna dari tanda itu semua dari hasil konvensi

masyarakat setempat. Kepada generasi berikutnya diharapkan agar dapat

mempertahankan makna tanda tersebut serta dapat menumbuhkan sikap

kepedulian terhadap tanda yang merupakan ciri khas bagi kebudayaan Masyarakat

Angkola.

Upacara mangupa banyak dijumpai bentuk tanda yang mempunyai arti.

Dalam Pettinasry, 1996:2) menegaskan bahwa :

“Sebuah tanda seharusnya ditempatkan pada posisi, supaya dapat menghasilkan makna yang kemudian dapat membentuk suatu gambaran mengenai suatu benda yang mempunyai makna tambahan dan demikian halnya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui suatu tanda atau simbol”.

Tanda-tanda dalam upacara mangupa tidak terlepas dari makna.

Tanda-tanda yang ada dalam upacara mangupa memiliki fungsi sebagai cerminan

kepribadian masyarakat Angkola. Masyarakat Angkola diharapkan tetap menjaga

segala bentuk, aturan, dan kegunaan tanda-tanda sehingga tatanan adat-istiadat

tetap berlanjut. Hal itulah yang mendorong peneliti mengadakan penelitian

(4)

Meskipun sebelumnya sudah banyak ahli-ahli budaya yang meneliti

tentang upacara mangupa di Kecamatan Sipirok hanya sebatas penelitian

deskriptif. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan

mengkaji makna yang terdapat pada tanda yang ada pada upacara mangupa.

Penulis akan mengkaji adat mangupa pada masyarakat Batak Angkola Sipirok ini

dari segi semiotika, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti atau

makna dari tanda atau simbol-simbol yang ada pada upacara mangupa masyarakat

Angkola Sipirok.

1.2. Rumusan Masalah

Menghindari pembicaraan atau pembahasan yang menyimpang dari

permasalahan, penulis akan membatasi masalah agar pembahasan terarah dan

terperinci.

Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena

dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah

sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah

merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau

pemecahan. Bentuk perumusan adalah biasanya berupa kalimat atau pertanyaan

yang semakin menarik atau menambah perhatian.

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah makna dari mangupa pada masyarakat angkola?

2. Apakah fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola?

(5)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan makna dari mangupa pada masyarakat Angkola.

2. Menjelaskan fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola.

3. Menjelaskan bahan apa saja yang ada dalam upacara mangupa

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

1. Sebagai referensi kepustakaan khususnya fungsi dan makna pada upacara

mangupa masyarakat Angkola.

2. Menjadikan arsip di Departemen Sastra Daerah untuk dibaca oleh

mahasiswa Sastra Daerah.

3. Untuk memberi wawasan baru tentang makna dan fungsi mangupa pada

upacara perkawinan masyarakat Angkola, khususnya masyarakat Angkola

Sipirok.

1.5 Anggapan Dasar

Suatu penelitian seharusnya memerlukan anggapan dasar yang dapat

memberi gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti.

Arikunto (1987:17) “mengatakan anggapan dasar adalah sesuatu yang diakui kebenarannya oleh peneliti dan berfungsi sebagai pijakan bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian tersebut”.

Oleh sebab itu, anggapan dasar inilah yang merupakan dasar dan titik tolak

(6)

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anggapan dasar harus berdasarkan

kebenaran yang objektif, maksud kebenaran yang objektif ialah apabila anggapan

dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannnya.

1.6 Letak Geografis Sipirok

Daerah Sipirok merupakan sebuah Kecamatan yang berada di Provinsi

Sumatera Utara berjarak 385 km dari kota Medan, sedangkan dari kabupaten

Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sipirok ke Kecamatan Pahae Jae dengan

ibukotanya Pahae, yaitu daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang

berada di Kabupaten Utara jaraknya 42 km. Tepatnya letak Kecamatan Sipirok ini

berada dalam jalur lintas Sumatera bagian barat dan merupakan jalan utama yang

menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa.

Kecamatan Sipirok dan Ibukotanya Sipirok berada di daerah perbatasan

antara etnis Angkola dan etnis Batak Toba. Untuk jelasnya keberadaan daerah

Sipirok adalah sebagai berikut :

- Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Padang Bolak.

- Sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Batang Toru.

- Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan Pahae Jae.

- Sebelah selatan berbatas dengan Padang Sidempuan.

Luas kecamatan Sipirok 72,085 km, dengan ketinggian di atas 900 m dari

permukaan laut. Sebagaimana dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia

dengan ketinggian seperti itu, Kecamatan Sipirok merupakan juga mempunyai

musim yang sama dengan tempat-tempat lainnya, yaitu musim hujan dan musim

(7)

selain menanam padi daerah ini menghasilkan tanaman yang tidak tergantung

pada air, seperti karet, kopi, lada, kayu manis, tembakau, cengkeh, dan lain

sebagainya.

1.6.1 Kecamatan

Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri atas 14 kecamatan yaitu:

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

1.6.2 Pemekaran

Nama Kecamatan Padang Sidempuan dihapus dengan pemekaran menjadi

Kecamatan Padang Sidempuan Utara dan Kecamatan Padang Sidempuan Selatan

(8)

Sidempuan Barat (menjadi Angkola Barat) dan Kecamatan Padang Sidempuan

Timur (Angkola Timur) menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.6.3 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

1.6.4 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

(9)

1.7 Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani dengan menanam padi

di musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya milik sendiri, atau

mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan

September-Desember petani turun kesawah dan mengelola sawahnya.

Jika cukup baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam

mengelola sawahnya. Pengerjaan sawah, dari mulai mengolah tanah sampai

dengan menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk

mendapatkan hasil panen 5-6 bulan dari waktu tanam.

Jika selesai panen disawah mereka melanjutkan pekerjaannya dengan

menanam tanaman muda atau palawija, seperti cabai, kacang tanah, kacang

panjang, kacang merah, kacang kedelai, jagung, dan lain sebagainya. Masa

penanaman palawija dilakukan pada awal musim kemarau, sehingga petani harus

bekerja keras mencari air guna menanam tanaman itu. Penyiraman dilakukan 2

kali, yaitu pagi dan sore. Cara penyiramannya juga sangat sederhana seperti

menggunakan alat ember dan gayung. Tanaman palawija yang mereka tanam dan

telah menghasilkan, mereka kembali lagi menanam palawija yang disesuaikan

dengan tanaman padi berikutnya. Hasil yang diperoleh oleh petani sebahagian

dikonsumsi sendiri dan sebahagiannya lagi dijual untuk keperluan lainnya antara

lain menyekolahkan anak-anaknya dan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat

ataupun jiran tetangga.

Selain bertani mereka juga mempunyai keahlian lain, seperti membuat

kramik/grabah, kerajinan tangan dan manik-manik berupa dompet, tempat sirih,

(10)

1.8 Budaya Masyarakat Angkola

Kebudayaan Masyarakat Angkola dalam banyak hal mempunyai

persamaan dengan kebudayaan masyarakat Mandailing. Adat-istiadat kedua

masyarakat tersebut tidak banyak berbeda. Demikian juga bahasanya.Masyarakat

Angkola merupakan masyarakat agraris yang hidupnya banyak tergantung kepada

pertanian, sawah dan perkebunan yang ditanami dengan karet, kopi, kulit manis,

dan lain-lain. Masyarakat Angkola pada umumnya bertempat tinggal beberapa

desa. Umumnya desa-desa tersebut terletak tidak jauh dari lahan persawahan dan

perkebunan milik penduduk. Desa tempat tinggal dinamakan huta.

1.9 Adat Masyarakat Angkola

Acara perkawinan etnis Angkola, sistem kekerabatan yang terbentuk

dalam struktur Dalihan Na Tolu sangat penting kedudukannya dan berperan

dalam upacara mangupa.

Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Na Tolu itu

masing-masing disebut mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan anggota kerabat

yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan. Kahanggi adalah

anggota kerabat satu marga. Anak boru adalah anggota kerabat yang berstatus

sebagai penerima anak dara dalam perkawinan. Antara para kerabat yang berstatus

sebagai mora dan berstatus sebagai anak boru terdapat hubungan perkawinan.

Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai kahanggi terdapat hubungan

(11)

Prinsipnya, adat yang merupakan kaidah atau norma-norma, menata dan

memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup bermasyarakat.

Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat

Angkola, merupakan suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk

menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup

bermasyarakat. Kekuatan penggerak dalam mekanisme adat yang berupa sistem

sosial Dalihan Na Tolu itu, adalah tiga komponen fungsionalnya yang terdiri dari

mora, kahanggi, dan anak boru yang masing-masing anggota kerabat yang satu

sama lainnya terikat oleh hubungan perkawinan atau hubungan darah. Ketiga

komponen fungsional dari sistem sosial itu, dikonsepsikan oleh masyarakat

Angkola-Hutapadang (Sipirok) sebagai suatu Dlihan (tungku) penumpu yang

terdiri dari tolu (tiga) unsur fungsional, yakni mora, kahanggi dan anak boru.

1.10 Sistem Kekerabatan

Pelaksanaan upacara adat mangupa, berkaitan erat dengan sistem

kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Angkola-Sipirok. Oleh karena itu perlu

diuraikan beberapa hal penting mengenai sistem kekerabatan masyarakat

Angkola. dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola-Sipirok menganut

garis keturunan patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis

keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Angkola membentuk

kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut marga sebagai gabungan dari

orang-orang yang merupakan keturunan dari seseorang-orang kakek bersama. Oleh karena itu

di dalam masyarakat Angkola terdapat sejumlah marga yang masing-masing

mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Harahap, marga Pane,

(12)

Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan.

Melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan

anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis

dalam perkawinan berstatus sebagai mora dan orang-orang yang berada dalam

pihak penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem

kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat

memperoleh status kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru.

Masing-masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban

tertentu yang satu sama lain berlain-lainan. Hak dan kewajiban seseorang dalam

statusnya sebagai mora berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh

status kekerabatan itu dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan

upacara adat atau pada waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya

sedang berinteraksi.

Hubungan ini ungkapan yang berbunyi:

Somba Marmora elek maranak boru, manat markahanggi” yang artinya

“Hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap

cermat terhadap kahanggi”. Ungkapan tersebut dengan jelas mengungkapkan

bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh

kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi

ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga

punya hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang

mempunyai status sebagai kahanggi.

Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mempunyai

(13)

dan mengatur panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para

kerabatnya sesuai dengan status kekerabatannya masing-masing. Dua orang

laki-laki yang masing-masing punya status kekerabatan kahanggi misalnya

menggunakan panggilan angkang (abang) dan anggi (adik). Dalam hal ini yang

usianya lebih tua menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih

muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang

terhadap yang berusia lebih tua.

1.11 Sistem Organisasi Sosial

Masyarakat Sipirok (Hutapadang) menganut sistem perkawinan exogami.

Marga yang menetukan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan antara

orang-orang yang berlainan marga. Perkawinan dilakukan dengan adat manjujur.

Artinya dalam pelaksanaan perkawinan calon pengantin laki-laki diwajibkan

memberikan mas kawin yang disebut tuhor kepada pihak calon istrinya. Di

samping itu, calon pengantin laki-laki harus menjemput calon istrinya untuk

dibawa kerumah orang tuanya. Upacara persemian perkawinan secara adat yang

disebut horja haroan boru yang diselenggarakan dirumah orang tua pengantin

laki-laki.

Upacara adat untuk meresmikan perkawinan hanya boleh dilakukan

setelah lebih dahulu mendapat persetujuan dari tokoh-tokoh pimpinan tradisional

setempat itu dinamakan harajaon dan hatobangon.

Waktu sistem pemerintahan tradisional masih berlaku dalam wilayah

Angkola Hutapadang (setelah masa kemerdekaan tidak berlaku lagi),

masing-masing komunitas desa yang disebut huta di wilayah tersebut dikepalai oleh

(14)

Pemerintahan dijalankan secara demokrasi oleh Raja Pamusuk

bersama-sama dengan sejumlah tokoh pemimpin masyarakat. Kependudukan mereka yang

melembaga sebagai pimpinan, Raja Pamusuk disebut sebagai harajaon (yang

dirajakan) dan tokoh-tokoh pemimpin atau pemuka masyarakat yang ikut yang

menjalankan pemerintahan bersama raja disebut sebagai hatobangon (tokoh-tokoh

yang dituakan).

Selain raja yang berpangkat sebagi Raja Pamusuk. Di wilayah Angkola

dahulu terdapat pula raja-raja yang berpangkat Raja Panusunan Bulung yang

berkedudukan didesa induk ialah desa asal dari penduduk yang kemudian pergi

membuka desa-desa lain yang berstatus sebagai anak dari desa induk. Dalam

pelaksanaan pemerintahan, antara suatu desa induk dengan desa-desa yang

berstatus sebagai anaknya tidak terdapat hubungan struktural. Karena

masing-masing desa anak menjalankan pemerintahan secara otonom, tetapi dalam hal

urusan adat, misalnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat, desa-desa

anak tetap terikat secara struktural dengan desa induk masing-masing. Hal ini

Raja Panusunan Bulung memegang wewenang tertinggi untuk mengesahkan

keputusan musyawarah adat yang harus dilakukan untuk setiap penyelenggaraan

upacara adat, seperti upacara adat perkawinan dan kematian.

Masa sekarang, setelah sistem pemerintahan tradisional dihapuskan,

eksistensi Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk, dan Hatobangon hanya

berlaku dalam konteks penyelenggaraan upacara adat. Demikian juga wewenang,

hak dan kewajiban mereka yang tradisional. Dalam urusan pemerintahan mereka

(15)

Karena hingga kini hak dan wewenang para pemimpin tradisional itu

dalam urusan adat masih tetap berlaku dan diakui oleh masyarakat, maka

tokoh-tokoh Harajaon Panusunan Bulung harus diikutsertakan dalam setiap

musyawarah adat yang dilakukan dalam konteks penyelenggaraan upacara adat,

seperti upacara mangupa. Seperti upacara mangupa. Merekalah yang memegang

wewenang sepenuhnya untuk mengesahkan berlakunya semua hasil mufakat yang

dibuat melalui musyawarah itu. Demikian, masyarakat Angkola yang ada di

Hutapadang (Sipirok) tidak dapat menyelenggarakan upacara adat tanpa

persetujuan dan pengesahan dari harajaon, hatobangon, dan panusunan bulung.

Begitulah keadaannya yang berlaku dalam masyarakat Angola-Hutapadang

sampai saat ini.

Prosedur Mengambil keputusan :

1. Suhut Sihabolonan/Sepangkalan : Penyampai niat dan hajat

2. Ompu Nikotuk (khusus Angkola) : Menyimpulkan.

3. Hatobangon Nihuta : Penjawab/Penjelasan

4. Raja Nihuta : Penjawab/Penjelasan

5. Raja Adat yang Semarga : Penjawab/ seadat/penjelasan

6. Raja adat dari daerah na humaliang humaloho : penjawab/memberi

pendapat.

7. Raja-Raja Torbing Balok : Penjawab/memberi pendapat.

8. Orang Kaya/Goruk-goruk Hapinis : Penyusun apa-apa yang akan

dilaksanakan.

9. Raja Pangondian( khusus Angkola) : Menyimpulkan pendapat

Raja-raja Torbing Balok.

10.Raja Panusunan Bulung : Menutup/mengucapkan Horas 3 kali (Sutan

Managor, 1995: 21)

1.12 Sistem Religi

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan

peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan

dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama"

(16)

menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal darireligio dan

berakar padare-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya

dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepad

Masa sekarang umumnya orang-orang Angkola menganut agama Islam,

dan hanya sedikit yang menganut agama Kristen (protestan). Tetapi nenek

moyang mereka pada zaman dahulu (sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke

wilayah Angkola-sipirok) menganut religi tradisional yang dikenal sebagai pele

begu (pemujaan roh-roh nenek moyang). Ajaran religi tersebut mengakui adanya

berbagai macam mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib yang dapat

menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka, atas diri

manusia. Selain itu ada juga mahluk halus dan kekuatan gaib yang dapat memberi

kekuatan memberikan kebaikan gaib bagi manusia.

Pengaruh masuknya agama Islam dan agama Kristen ke wilayah Angkola

maka lama-kelamaan penduduk di wilayah tersebut meninggalkan Religi

pele-begu. Karena kedua agama tersebut memberantas dengan keras sistem religi

tradisional yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam dan Kristen.

Namun demikian, sebagian dari upacara yang berasal dari masa berlakunya

pemujaan terhadap roh nenek moyang masih tersisa penyelenggaraannya

disesuaikan dengan keadaan yang tidak dilarang oleh agama yang dianut oleh

Referensi

Dokumen terkait

ketidakseimbangan waktu penyelesaian produk di setiap stasiun kerja yang akan.. mengakibatkan adanya penumpukan barang setengah jadi dan idle time

HTML atau yang merupakan singkatan dari Hypertext Mark Up Language adalah bahasa standar pemrograman untuk membuat suatu website yang bisa diakses dengan internet.. Dengan

Alhamdulillahi robbil’ alamin, puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dan atas rahmat-Nya sehingga penulit dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul

perusahaan-perusahan pencari laba yang bergelut dengan industri dan produksi kreatif dan sirkulasi budaya (Holt & Perren 2009, 146-147). Dalam kerja media,

Namun, kedua spesimen tersebut menunjukkan kurva histeresis yang tidak stabil dan tidak berulang, tekuk pada bresing, dan gaya tekan maksimum yang lebih kecil

Harsanto (2007:83) “Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kedisiplinan anak yaitu dengan tindakan darurat.. Tindakan darurat adalah tindakan yang diambil untuk

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentukKemitraan Pemerintah dan LSM melalui pelaksanaan program kota layak anak di Kota Surakarta yang didasarkan pada

[r]