1 Perbandingan Hukum Terhadap Pelaksanaan Perlindungan Anak dari Konten
Game yang Membahayakan di Indonesia dan Amerika Serikat
Oleh
Sayyidus Wisnuwidagdo
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan Teknologi Digital di seluruh dunia,
Indonesia juga terkena imbasnya. Salah satu contoh efek dari perkembangan
dalam dunia teknologi digital adalah dengan meluasnya akses dalam penggunaan
video games di Indonesia. Video games yang seharusnya menjadi sarana hiburan atau bahkan edukasi, ternyata mempunyai efek samping yang buruk juga,
terutama terhadap kesehatan mental dan dapat mempengaruhi perilaku anak –
anak. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus mengenai kekerasan anak yang
mana dipengaruhi oleh video games yang anak – anak tersebut mainkan. Dimana
dalam satu dekade terakhir kita telah melihat besarnya pengaruh dari konten
kekerasan dalam video games terhadap anak. Para peneliti sosial telah menyediakan basis mengenai hubungan antara memainkan game yang memiliki
konten kekerasan dengan perilaku agresif dalam dunia nyata, meskipun hingga
saat ini basis hubungan tersebut masih dianggap kurang kuat oleh pengadilan
untuk menerima pembatasan hukum terhadap akses dari anak – anak.1
Salah satunya adalah kasus adanya kasus kekerasan siswa di SD Trisula
Perwari Bukittinggi, Sumatera Barat. Dimana kasus itu mendapat perhatian dari
banyak pihak setelah beredar sebuah video yang didalamnya terlihat beberapa
siswa sekolah dasar yang memakai seragam lengkap merah dan putih sedang
mengikuti kegiatan belajar mengajar, namun sebagain dari siswa itu terlihat
memukuli siswi di sudut ruangan kelas. Siswa itu juga tidak melawan saat teman – teman sekelasnya memukul, bahkan menendangnya bertubi – tubi. Kemudian Siswi yang menjadi korban pemukulan tersebut terlihat meringis kesakitan dan menangis di sudut ruangan. Tidak ada satupun teman – temannya yang ebrusaha
1 Kevin W. Saunders, Shielding Children From Violent Video Games Through Ratings Offender List,
2
menolongnya. Bahkan kemudian siswa yang memukiul dan menendang tampak
berganya dengan bangga di depan kamera yang merekam aksi tidak pantas
tersebut bahkan ada yang mengacungkan jari tengah. Yang mana pada kaus
tersebut perilaku kasar cenderung sadis dari pada siswa tersebut diduga
dipengaruhi oleh tayangan televisi dan game online yang umumnya bergenre
kekerasan. Hla tersebut dibenarkan oleh Dirjen Pendidikan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad, yang menyatakan bahwa “game kekerasan yang aslinya untuk dewasa atau remaja di Indonesia juga dimainkan anak – anak.”2
Kasus kekerasan anak yang diakibatkan oleh video game tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga terjadi negara – negara lain. Salah satunya adalah kasus penembakan oleh seorang anak berusia 8 tahun terhadap kepala
neneknya sendiri, Marie Smothers (90), di Lousiana, Amerika Serikat. Dilaporkan
bahwa anak itu sengaja menembak belakang kepala Marie saat nenek tersebut
sedang menonton televisi. Diduga perbuatan tersebut dilakukan setalah anak
tersebut bermain salah satu video game yang banyak mengandung adegan
kekerasan didalamnya, yaitu Grand Theft Auto (GTA). Hal ini didasarkan dari laporan dari petugas departemen setempat yang mengatakan bahwa “Meskipun motif penembakan tersebut belum diketahui secara pasti, namun pada saat ini
pemeriksa telah mengungkap bahwa anak ini bermain video game PlayStation III,
Grand Theft Auto IV, beberapa menit sebelum peristiwa terjadi. Dimana Permainan GTA ini sering menampilkan adegan kekerasan dan memberi poin setiap kalo pemainnya membunuh orang.” Yang kemudian dipertegas oleh pengacara anak itu sendiri, Sclynski Legier, yang menyatakan bahwa anak
tersebut sama sekali tidak tahu dampak dan konsekuensi atas tindakan yang ia
lakukan. Menurutnya, anak tersebut benar – benar tidak mengerti tentang hal
bahaya dari meniru adegan permainan tersebut. Hal ini karena diketahui fakta
bahwa hubungan antara nenek dan cucu ini sebelumnya tidak ada masalah sama
sekali, bahkan keduanya sering tidur di kamar yang sama.
2 Diakses dari https://www.jpnn.com/news/diduga-efek-game-dan-film-kekerasan?page=1, pada 20
3
Video Game seperti Grand Theft Auto telah lama dikecam sebagai permainan yang tidak manusiawi, terlalu banyak adegan kekerasan dan perilaku
antisosial. Laporan mengungkapkan bahwa pelaku penembakan pada kasus Sandy
Hook Elementary School tahun 2012 yang dilakukan oleh Adam Lanza juga
dipengaruhi oleh video game serupa. Pelaku kasus tersebut menembak dan
membunuh 26 orang. Ia diketahui menyukai bermain video game yang
menampilkan adegan kekerasan seperti Call of Duty dan Grand Theft Auto.3 Kasus – kasus seperti diataslah yang kemudian menyebabkan munculnya urgensi untuk mengeluarkan pengaturan mengenai rating game di Indonesia. Hal
ini diperkuat dengan masih rendahnya pengatahuan dan budaya game di Indonesia,
yang mana masih belum berkembang seperti di Jepang, Korea, Amerika Serikat atau negara – negara eropa. Dimana di negara – negara tersebut disadari bahwa game tidak hanya untuk anak – anak, tapi juga untuk orang dewasa. Sehingga di negara – negara tersebut diadakan pemanfaatan sistem rating untuk membagikan klasifikasi game mana yang boleh dimainkan oleh anak – anak kategori umur
tertentu dan mana yang tidak.4
Sebagai langkah pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi
dan Informatika, yang berusaha untuk dapat melakukan perlindungan terhadap
masyarakat khususnya anak – anak mengenai penggunaan produk teknologi
informasi berupa permainan interaktif elektronik yang sesuai dengan karakter
budaya dan norma di Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika pada tahun
2016, Rudiantara, memberlakukan Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi
Permainan Interaktif Elektronik. Yang mana hal tersebut kemudian melahirkan
Indonesia Game Rating System yang mengatur klasifikasi Permainan Interaktif
Elektronik berdasarkan kategori konten dan kelompok usia penggunanya.
3 Diakses dari
https://health.detik.com/true-story/2341011/diduga-terpengaruh-game-grand-theft-auto-bocah-8-tahun-tembak-neneknya, pada 20 April 2018.
4 Arman Dhani, Urgensi Rating Game di Indonesia, diakses dari
4
Namun, apabila kita bandingkan dengan negara lain seperti Amerika
Serikat misalnya sejak tahun 1992 telah ada kesadaran dari para legislator disana
mengenai bahaya dari konten dari suatu video game. Yang mana pada saat itu didasarkan atas adanya game Night Trap yang berisi tentang misi penyelamatan
terhadap lima mahasiswi yang tinggal bersama di rumah yang ada makluk seperti
vampir, dan juga peluncuran dari game Mortal Kombat, yang merupakan game yang menunjukkan perkelahian realistis dengan jumlah darah yang banyak. Yang
mana hal tersebut pada akhirnya menjadikan Kongres di Amerika Serikat
melakukan pembahasan mengenai perlu tidaknya regulasi terhadap penjualan
video games di Amerika Serikat pada tahun 1993 hingga 1994.5 Yang mana pada akhirnya dikeluarkanlah Video Games Ratings Act of 1994 yang mengatur mengenai pembatasan penjualan video games di Amerika Serikat.
Sehingga disini menarik untuk dibahas mengenai pengaturan terhadap
pembatasan penggunaan video games di Indonesia dan Amerika Serikat berikut juga perbandingan pengaturan di kedua negara tersebut.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaturan terhadap pembatasan rating usia video game di
Indonesia?
Bagaimana pengaturan terhadap pembatasan rating usia video game di Amerika
Serikat?
Bagaimana perbandingan pelaksanaan (law enforcement) terhadap upaya perlindungan anak melalui pembatasan rating usia untuk video game di Indonesia
dan Amerika Serikat?
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian Yuridis-Normatif,
yang mana dengan metode ini penilitian dilaukan berdasarkan bahan hukum
5 Gregory Kenyota, Thinking of the Children: The Failure of Violent Video Game Laws, Fordham
5
utama dengan cara menelaah teori – teori, konsep – konsep, asas – asas hukum
serta peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
D. Landasan Teori dan Peraturan Perundang - Undangan
Didalam Pasal 25 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan
bahwa anak – anak terikat pada perlindungan dan bantuan secara khusus, dimana
setiap anak, diharuskan untuk menikmati perlindungan sosial yang sama. Hal ini juga dipertegas dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa “... anak – anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Hal inilah yang kemudian
mengilhami lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian dirubah dengan Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Yang dimaksud dengan anak sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian yang dimaksud dengan
perlindungan anak berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak – haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kemudian yang dimaksud hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, Masyarakat, Negara,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Kemudian Anak – anak juga berhak untuk
mendapatkan perlindungan khusus, yang sebagaimana Pasal 1 angka 15 UU
Perlindungan Anak disebut bahwa yang dimaksud dengan Perlindungan Khusus
adalah suatu bentuk perlidnungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi
tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang
6
setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman
untuk emlakukan perbuatan, pemaksaa atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum.
Berdasarkan Pasal 15 UU Perlindungan Anak dijelaskan bahwa setiap Anak berhak
untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; pelibatan dalam peperangan; dan
kejahatan seksual. Kemudian pada Pasal 11 UU Perlindungan Anak diatur bahwa
setiap Anak berhak untuk beristiraha dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berkreasi dan berkreasi sesuai minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri. Dan kemudian pada Pasal 20 diatur bahwa
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau
Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan
Anak.
Kemudian Pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 diatur mengenai Klasifikasi Permainan Interaktif
Elektronik sebagai upaya Pemerintah untuk melindungi hak masyarakat khususnya
anak – anak dalam penggunaan produk teknologi informasi eketronik yang
menggangu ketertiban umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan. Dimana dalam Pasal 1 angka 1 Permenkominfo tersebut dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan permainan interaktif elektronik adalah aktivitas yang
memungkinkan tindakan bermain berumpan balik dan memiliki karakteristik
setidaknya berupa tujuan (objektives) dan aturan (rules) berbasis elektronik berupa aplikasi perangkat lunak. Tujuan dari Peraturan Menteri tersebut sendiri adalah untuk
mengklasifikasikan Permainan Interaktif Elektronik yang membantu Penyelenggara dalam memasarkan produk Permainan Interaktif Elektronik sesuai dengan nilai – nilai luhur bangsa Indonesia dan masyarakat pengguna, termasuk orang tua dalam memilih
7
Berdasarkan Pasal 4 Permenkominfo Nomor 11 Tahun 2016, Klasifikasi
Permainan Interaktif Elektronik didasarkan oleh kategori konten dan kelompok usia
pengguna. Dimana kategori konten tersebut terdiri atas:
a. Rokok, minuman keras, dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya;
b. Kekerasan;
c. Darah, mutilasi, dan kanibalisme;
d. Pengunaan bahasa;
e. Penampilan tokok;
f. Seksual;
g. Penyimpangan seksual;
h. Simulasi judi;
i. Horor; dan
j. Interaksi daring.
Kemudian kelompok usia pengguna sendiri terdiri atas:
a. Kelompok usia 3 (tiga) tahun atau lebih;
b. Kelompok usia 7 (tujuh) tahun atau lebih;
c. Kelompok usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
d. Kelompok usia 18 (delapan belas) tahun atau lebih; dan
8 E. Pembahasan/Analisis
Sebagai bentuk dari hak anak untuk mendapat perlindungan sebagai salah satu
hak asasi manusia, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa anak-anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita – cita perjuangan bangsa memiliki peran yang sangat strategis, ciri dan sifat khusus
sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Bahwa kemudian dalam
rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak-anak di Indonesia, diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang – undangan yang dapat menajmin pelaksanaannya. Hal ini karena pada dasarnya undang – undang yang ada hanya
mengatur hal – hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur
keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Dengan semakin marak terjadinya kasus kekerasan baik terhadap maupun yang
dilakukan oleh anak – anak yang diduga dipengaruhi oleh video game yang
menampilkan adegan – adegan kekerasan didalamnya, maka sebagai bentuk upaya
perlindungan pemerintah untuk hak anak adalah dengan memberlakukan Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi
Permainan Interaktif Elektronik.
Dimana Peraturan Menteri tersebut bertujuan untuk mengklasifikasikan
Permainan Interaktif Elektronik guna membantu penyelenggara dalam memasarkan
9
Indonesia dan masyarakat pengguna, termasuk orang tua dalam memilih Permainan
Interaktif Elektronik yang sesuai dengan usia Pengguna. Adapun Berdasarkan Pasal
4 Permenkominfo Nomor 11 Tahun 2016, Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik
didasarkan oleh kategori konten dan kelompok usia pengguna. Dimana kategori
konten tersebut terdiri atas:
k. Rokok, minuman keras, dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya;
l. Kekerasan;
m. Darah, mutilasi, dan kanibalisme;
n. Pengunaan bahasa;
o. Penampilan tokok;
p. Seksual;
q. Penyimpangan seksual;
r. Simulasi judi;
s. Horor; dan
t. Interaksi daring.
Kemudian kelompok usia pengguna sendiri terdiri atas:
f. Kelompok usia 3 (tiga) tahun atau lebih;
g. Kelompok usia 7 (tujuh) tahun atau lebih;
h. Kelompok usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
i. Kelompok usia 18 (delapan belas) tahun atau lebih; dan
j. Kelompok semua usia.
Kemudian selain harus memenuhi ketentuan diatas, penyelenggara harus juga
menyediakan informasi Permainan Interaktif Elektroniknya sebagai berikut:
a. Nama Permainan Interaktif Elektronik;
b. Platform distribusi;
c. Jenis atau genre;
d. Waktu rilis;
e. Versi;
f. Target kelompok usia;
10
h. Gameplay berupa video dan/atau cuplikan gambar (screenshot); i. Komposisi, termasuk peringatan; dan
j. Anjuran batas waktu penggunaan game sesuai usia.
Kemudian penyelenggara yang mengajukan klasifikasi Permaianan Interaktif Elektronik
tersebut wajib melakukan pendaftaran melalui situ www.igrs.id .
Untuk melindungi masyarakat Pengguna dan melakukan uji kesesuaian terhadp
hasil klasifikasi mandiri Permainan Interaktif Elektronik, maka kemudian dibentuk
Komite Klasifikasi yang berwenang melakukan uji kesesuaian tersebut. Uji kesesuaian
itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Permenkominfo No. 11 Tahun
2016, dilakukan secara acak dan berkala; berdasarkan pengaduan masyarakat terkait
ketidaksesuaian klasifikasi; dan /atau berdasarkan berita/isu/informasi yang beredar di
masyarakat terkait tidak sesuaian hasil klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik.
Kemudian apabila Komite Klasifikasi tersebut menemukan ketidaksesuaian berdasarkan
hasil pengujian sebagaimana dimaksud diatas, maka Komite Klasifikasi akan
menyampaikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal paling lambat 5 (lima) hari kerja
sejak ditemukannya ketidaksesuaian. Kemudian Pada Pasal 14 ayat (1) menyatakan
bahwa Direktur Jenderal melakukan pneysuaian terhadap daftar rekomendasi klasifikasi
Permainan Interaktif Elektronik berdasarkan hasil rekomendasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (4) pada saat rekomendasi diterima dari Komite Klasifikasi. Yang
kemudian hasil penyesuaian terdahap daftar rekomendasi klasifikasi Permainan Interaktif
Elektronik tersebut akan disampaikan kepada penyelenggara.
Pengaturan di Amerika Serikat
Sebagai perbandingan sejak tahun 1994, di Amerika Serikat telah memiliki salah
satu bentuk perlindungan hak anak dalam hal peredaran Permainan Interaktif Elektronik.
Dimana pada tahun 1994 diberlakukanlah Video Game Rating Act of 1994. Yang mana kemudian Act tersebut menjadi dasar dari berdirinya Interactive Entertainment Rating Comision. Dimana Komisi tersebut berwenang untuk mengevaluasi apakah standariasasi mandiri dari industri video game telah cukup sesuai untuk mengingatkan pembeli dan
pengguna mengenai konten kekerasan atau pertunjukan yang berbau seksual dari video
games tersebut. Kemudian mereka juga berwenang untuk menentukan apakah klasifikasi
11
Kemudian selain dengan memberlakukan Video Game Rating Act of 1994 seperti telah dijelaskan diatas, Amerika Serikat juga memerlakukan Video Games Rating Enforcement Act pada tahun 2013. DImana pada bagian kedua Act tersebut diatur mengenai larangan untuk setiap orang mendistribusikan, menjual atau menyewakan
sebuah video game yang tidak memiliki atau mencamtumkan label rating berdasarkan
usia sebagaimana telah ditetapkan oleh Entertainment Software Ratings Board. Kemudian pada bagian ketiga Act tersebut diatur bahwa setiap orang dilarang untuk menjual atau menyewakan ataupun melakukan usaha untuk melakukan kedua hal tersebut apabila video game tersebut mengandung penilaian konten untuk “Dewasa saja”
sebagiaman telah ditetapkan oleh Entertainment Software Rating Board kepada setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun. Kemudian dilarang juga untuk melakukan hal serupa diatas untuk konten yang dinilai sebagai “dewasa” kepada setiap orang yang berusia dibawah 17 tahun.
Kemudian di bagian empat dari Video Games Ratings Enforcement Act tersebut diatur mengenai penindakan oleh Komisi Kerdagangan Federal Amerika Serikat. Dimana
pelanggaran terhadap bagian 2 dan 3 Video Games Ratings Enforcement Act diatas akan dinilai seagai sebuah pelanggaran terhadap peraturan Federal Trade Comision Act bagian 18 (a) (1) (B). Hingga diatur pula sanksi terhadap pelanggaran dari ketentuan tersebut.
Dimana berdasarkan section 4 (b) Video Games Ratings Enforcement Act, diatur bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan pada section 2 dan 3 Video Games Ratings Enforcement Act dapat dikenakan terhadap sanksi sipil tidak lebih dari $5.000 per pelanggaran yang dilakukan.
Perbadandingan Antara Pengaturan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 11 Tahun 2016 dengan Video Games Ratings Act dan Video Games Ratings
Enforcement Act di Amerika Serikat
Dalam pembahasan pada poin 1 diatas, dijelaskan bahwa dalam Peraturan Menteri
Komunikasi Nomor 11 Tahun 2016 mengatur mengenai klasifikasi terhadap Permainan
Interaktif Elektronik/Video Games, dimana pengklasifikasiannya didasarkan atas dua lingkup, yaitu berdasarkan konten yang ada dalam video game tersebut dengan klaisifikasi umur penggunanya. Kemudian di dalam Pasal 13 hingga Pasal 15 pada
12
Klasifikasi untuk melakukan uji kesesuaian terhadap Permainan Interaktif Elektronik
yang ada. Akan tetapi ternyata kewenangan dari Komite Klasifikasi tersebut hanyalah
untuk melakukan penyesuaian klasifikasi dan memberikan rekomendasi kepada Direktur
Jenderal yang akan berwenang untuk menyampaikan hasil penyesuaian tersebut kepada
Penyelenggara/pembuat dari Permainan Interaktif Elektronik/video games tersebut. Hal ini berbeda dengan pengaturan mengenai hal yang sama di Amerika Serikat,
dimana dengan diberlakukannya Video Games Ratings Act dan juga Video Games Ratings Enforcement Act, komite yang berwenang mengawasi peredaran video game di Amerika Serikat, Entertainment Software Rating Board, memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan – tindakan tertentu untuk membatasi peredaran video game yang tidak sesuai dengan pengaturan mengenai rating video games yang berlaku di Amerika Serikat. Dimana mereka dapat menindak penjual dan ataupun orang yang menyewakan video game yang tidak sesuai dengan kategori yang telah ditetapkan, termasuk kepada terutama kepada anak-anak, yang mana berusia dibawah 18 tahun, dengan cara melakukan
pemberhentian kegiatan pendistribusian video games tersebut. Kemudian didalam Video Games Ratings Enforcement Act juga diatur mengenai pemberian sanksi kepada pelaku pelanggaran tersebut, dimana mereka dapat dikenai denda hingga $5.000 untuk setiap
pelanggaran yang mereka lakukan.
Maka disini jelas dapat dilihat, bahwa pengaturan pembatasan dan
pengklasifikasian dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi telah memiliki
tujuan yang baik, yaitu mengisi kekosongan hukum mengenai pembatasan dan
pengklasifikasian peredaran video games/Permainan Interaktif Elektronik di Indonesia, yang mana hal tersebut dapat menjadi salah satu wujud nyata pemerintah untuk berperan
melindungi hak anak yang ada di Indonesia. Akan tetapi, ternyata setelah ditelaah lebih
lanjut, pengaturan dalam Peraturan Menteri tersebut hanya sebatas rekomendasi dari
klasifikasi yang ada saja, tidak ada tindakan apa yang dapat dilakukan Komite Klasifikasi
untuk mencegah peredaran video games yang tidak sesuai dengan klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik tersebut maupun sanksi bagi mereka yang tidak mematuhi peraturan
tersebut. Sebaliknya, sebagai perbadingan, di Amerika Serikat telah diatur secara rinci
mengenai pembatasan, tindakan, dan sanksi apa yang bisa dijatuhkan oleh pemerintah
13
bahkan terus meningkat pengaturan dan penegakan hukumnya dari tahun ke tahun.6
Bahkan pengaturan dari Video Games Ratings Act tersebut mempengaruhi juga terhadap lahirnya Family Entertainment Protection Act.7
Padahal dilain sisi, tindakan tegas dari pemerintah untuk melindungi hak anak untuk
terhindar dari tayangan ataupun konten yang membahayakan bagi mereka sangatlah
dibutuhkan. Hal ini karena menurut penelitian, video games yang memuat konten kekerasan dapat memberi beberapa efek yang negatif kepada pemainnya, antara lain
permainan yang mengandung kekerasan tersebut dapat meningkatkan perilaku agresif
dari penggunanya, kemudian dapat guna meningkatkan kognisi agresif dari pemainnya,
selain itu video games yang mengandung kekerasan juga dapat memnyebabkan penurusan tingkat perilaku prososial hingga peningkatan terhadap kondisi fisiologis dari pemainnya,
seperti peningkatan tekanan darah, peningakatan detak jantung, peningkatan tingkat
epninephrine, testosterone, norepinephrine dan kortisol dalam darah, yang mana hal tersebut dapat memberikan efek yang lebih buruk bagi anak – anak yang telah memiliki perilaku agresif.8 Selain itu menurut penilitan yang lain menyatakan bahwa selain dapat
meningkat perilaku agresif, video games yang mengandung konten kekerasan juga dapat menyebabkan timbulnya the victim effect, dimana orang tersebut seringkali melihat dunia ini sebagai tempat yang lebih mengerikan, yang mana pada akhirnya dapat menyebabkan
timbulnya ketakutan berlebih dalam diri mereka, hingga akhirnya timbul perilaku self-protective, seperti membawa senjata ke sekolah, yang aman secara ironis, meningkatkan tingkat orang – orang yang dapat terkena serangan atas perilaku tersebut. Selain itu dapat
juga menyebabkan muncul the bystander effect, diaman seseorang dapat melakukan kekerasan karena merasa kurang simpatik terhadap korban dari kekerasan tersebut. Selain
itu dapat pula menimbulkan the appetite effect, dimana pemain video games yang mengandung kekerasan tersebut memiliki keinginan yang lebih untuk melihat kontek
6 Gregory Kenyota, Thinking of the Children: The Failure of Violent Video Game Laws, Fordham
Intellectual Property, Media and Entertainment Law Journal Volume XVIII Book 3, 2008, hlm. 811.
7 Jennifer Chang, Rated M for Mature: Violent Video Game Legislation and the Obscenity Standard,
Journal of Civil Rights and Economic Development, Volume 24, 2010, hlm. 714.
8 N. L. Carnagey dan C. A. Anderson, Violent video game exposure and aggression, Minerwa Psichiatr
14
kekerasan lainnya. 9 Meskipun pada dasarnya permainan termasuk video games merupakan sebagai sebuah seni dan sarana hiburan, namun demi melindungi hak anak,
pemerintah bersama – sama masyarakat perlu melakukan usaha sinergi untuk mencegah
efek negatif dari video games tersebut terhadap anak – anak yang merupakan generasi penerus bangsa Indonesia
F. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pengundangan dari
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik adalah sudah sejalan dengan tujuan dari upaya perwujudan nyata dari peran pemerintah untuk melindungi hak anak – anak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 25 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 41 ayat (2) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian dirubah dengan Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014. Namun, karena masih lemahnya tingkat ketegasan pengaturan dan lemahnya kewenangan dari
lembaga yang berwenang untuk menegakkan peran pemerintah untuk mengawasi
peredaran video games yang ada di Indonesia, menyebabkan masih belum adanya peran nyata dari pemerintah Indonesia untuk melindungi hak anak – anak untuk
terlindungi dari konten yang membahayakan bagi kesehatan fisik maupun mental
mereka. Hal ini berbeda dengan di Amerika Serikat yang telah sejak tahun 1992
memahami akan fenomena bahaya dari efek video games dengan kekerasan terhadap mental terutama anak – anak. Yang mana dari tahun – ketahun terus meningkat
kualitas pengaturannya. Meskipun pada pelaksanaannya masih juga memiliki banyak
kritik. Namun, sudah seharusnya dengan banyaknya penggunaan video games oleh anak – anak di Indonesia, pemerintah Indonesia harusnya lebih tegas dalam
melakukan mengatur pembatasan terhadap peredaran video games di Indonesia, agar dapat lebih menjamin perlindungan terhadap hak anak – anak di Indonesia yang mana
9 Douglas A. Gentile and Craig A. Anderson, Violent Video Games: The Newest Media Violence Hazard,
15
merupakan generasi penerus bangsa Indonesia sendiri untuk mewujudkan cita – cita
bangsa Indonesia.
G. SARAN
i. Pemerintah Indonesia seharusnya dapat mempertegas pengaturan mengenai
pembatasan penggunaan dan peredaran video games di Indonesia.
ii. Pengaturan mengenai pembatasan penggunaan dan peredaran video games di Indonesia lebih baik diatur dalam Undang – Undang, agar dapat memiliki
sanksi termasuk sanksi pidana bagi para pelanggarnya.
iii. Komisi Klasifikasi maupun Direktur Jenderal yang mengawasai pembatasan
penggunaan dan peredaran video games di Indonesia seharusnya diberi kewenangan yang lebih untuk menegakkan hukum terkait dengan masalah
16 DAFTAR PUSTAKA
BUKU/JURNAL
Carnagey, N. L. dan C. A. Anderson, Violent video game exposure and aggression,
Minerwa Psichiatr Juornal, 2004, hlm 7-8.
Chang, Jennifer, Rated M for Mature: Violent Video Game Legislation and the Obscenity Standard, Journal of Civil Rights and Economic Development, Volume 24, 2010. Gentile, Douglas A. and Craig A. Anderson, Violent Video Games: The Newest Media Violence Hazard, (Westport: Praeger Publishers/greenwood Publishing Group, 2003). Kenyota, Gregory, Thinking of the Children: The Failure of Violent Video Game Laws,
Fordham Intellectual Property, Media and Entertainment Law Journal Volume XVIII
Book 3, 2008.
Saunders, Kevin W.,Shielding Children From Violent Video Games Through Ratings Offender List, Indiana Law Review, Volume 41, hlm. 55.
PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
ARTIKEL
https://www.jpnn.com/news/diduga-efek-game-dan-film-kekerasan?page=1, diakses
17
https://health.detik.com/true-story/2341011/diduga-terpengaruh-game-grand-theft-auto-bocah-8-tahun-tembak-neneknya, diakses pada 20 April 2018.