• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN DELIK PERCOBAAN DALAM HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBANDINGAN DELIK PERCOBAAN DALAM HUKUM"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN DELIK PERCOBAAN DALAM HUKUM PIDANA INGGRIS DAN HUKUM PIDANA INDONESIA

1. Sejarah dan Perkembangan Hukum Pidana di Inggris

Inggris merupakan negara tempat lahirnya sistem common law. Sistem

common law secara orisinil berkembang di bawah pengaruh sistem yang bersifat

adversial dalam sejarah Inggris yang berdasarkan pada keputusan pengadilan sesuai dengan tradisi, custom dan precedent.1 Istilah common law digunakan untuk menunjukkan hukum yang umum bagi seluruh wilayah kerajaan karena diterapkan oleh pengadilan kerajaan (royal courts). Ini dikarenakan bangsa Inggris mulanya masih mengakui hukum yang diterapkan oleh pengadilan-pengadilan khusus, seperti eccesiastical courts (pengadilan gereja) dan feudal courts (pengadilan oleh bangsawan).2

Dengan adanya pengaruh sifat adversial, sistem hukum inggris memiliki karakteristik yang sangat khas. Karakteristik khas yang dimiliki oleh bangsa Inggris sangat berbeda dengan karakter bangsa-bangsa yang ada di Eropa Daratan. Hal itu disebabkan karena perjalanan sejarahnya yang sangat khusus. Kebudayaan dan sistem pemerintahannya yang feudal tidak mengalami banyak perubahan antara zaman abad pertengahan dan abad modern. Ini karena suku bangsa Angle, Saxon dan Yut adalah juga bangsa Germania yang datang dari Eropa Barat sehingga tidak ada perubahan-perubahan yang mencolok seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Kontinental.3 Keadaan tersebut masih tampak pada

1 Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,

Raja Graindo Persada, Jakarta, Halaman 75.

Precedent artinya adalah hal yang telah ada lebih dahulu dan yang diikuti. Dapat dkatakan ini adalah doktrin terhadap hakim bahwa hakim terikat pada putusan yang telah ada lebih dahulu dan telah dipublikasikan. Secara teknis pengarahan hakim mengenai hukum kepada jury telah membentuk precedent untuk masa depan. Meskipun precedent tidak diatur dalam suatu undang-undang namun ketentuan-ketentuan umum hukum pidana Inggris tetap hanya dapat disimpulkan dari putusan-putusan hakim.”

2 Frans Faramis, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, Halaman 34.

(2)

parlemen Inggris yang terdiri dari House of Lord of Common sesuai dengan susunan masyarakatnya yang didasarkan pada golongan aristokrat dan rakyat jelata dalam abad pertengahan.4

Sebelum adanya stabilitas institusional yang diterapkan oleh William tahun 1066, warga negara inggris tunduk dan diatur oleh kebiasaan lokal yang tidak tertulis dan bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lainnya dan diterapkan sewenang-wenang. Ini merupakan hukum Germania yang diberlakukan pada masa Anglo-Saxon. Hukum Anglo-Saxon itu sendiri merupakan campuran antara keimanan dan ketahayulan.

Dibawah kekuasan William, sistem feodal lebih banyak dibangun dibawah kekuasaan atau kontrol raja. Dilahirkan bentuk pelayanan di bidang pengadilan, yaitu kewajiban mereka untuk menghadiri king’s court yang hanya menangani perkara-perkara terpenting dari orang-orang terpenting saja.5 William mengutamakan usaha melakukan sentralisasi kekuasaan atas Inggris dan Wales tanpa melakukan perubahan-perubahan hukum.

Pada tahunn 1154, Raja Henry II merupakan raja pertama yang melakukan pencapaian signifikan berupa melembagakan common law dengan

menciptakan uniffied system of law common to the country dengan melalui penggabungan dan elevasi kebiasaan lokal menjadi nasional, mengakhiri kontrol lokal dan kejanggalan-kejanggalan, mengeliminasi aturan yang sewenang-wenang dan membentuk suatu sistem juri yang disumpah untuk menginvestigasi perkara sipil maupun kriminal.6

Melalui kewenangan Raja Henry II, hukum pidana mengalami perkembangan dengan didirikannya royalcourts. Royal courts pada masa awalnya terdiri dari:7

4 Wardah cheche, 2014, Perbandingan Hukum inggris dan Jerman,

wardahcheche.blogspot.com.

5Loc.Cit.

(3)

a. Court of King’s Bench untuk pelanggaran-pelanggaran berat. b. Court of Exchequer untuk perbendaharaan/pajak.

c. Court of Common Pleas untuk persoalan yang menyangkut hak milik.

Court of King’s Bench pada mulanya hanya mengadili pelanggaran-pelanggaran berat. Putusan-putusan hakim Court of King’s Bench dari abad 12 hingga abad 14 telah menciptakan pelanggaran-pelanggaran berat yang dikenal dengan felonies. Felonies pada pokoknya mengatur tentang pelanggaran perbuatan yang menyebabkan kematian (homicide), perkosaan (rape), pencurian (theft), perampokan (robbery), pencurian yang memasuki pekarangan atau bangunan yang bukan untuk umum (burglary) dan pembakaran (arson). Pidana untuk felony

(pelaku) adalah pidana mati dan perampasan harta benda yang disita oleh dewan (crown) serta kepemilikan tanah yang dialihkan kepada feudal lord. Pada masa ini penangkapan dan penahanan tanpa adanya surat perintah.8

Kualifikasi tindak pidana lainnya adalah treason yang biasanya diulas sebagai jenis pelanggaran tersendiri karena mempunyai prosedur-prosedur khusus.

Treason merupakan pelanggaran yang diancam dengan pidana mati jika melakukan pelanggaran merancang kematian raja, ratu atau anak/ahli waris mereka, pemberontakan terhadap kerajaan, dan berpihak pada musuh kerajaan. Treason sendiri pada awalnya diatur melalui Treason Act 1351.

Dengan makin meluasnya wewenang hakim Court of King’s Bench, dengan putusan-putusan pada abad 14 terbentuklah misdemeanours, yaitu pelanggaran-pelanggaran yang kurang berat dengan dihilangkannya ancaman hukuman mati dan mengharuskan penangkapan serta penahanan melalui prosedur dan surat perintah serta dalam pengadilan harus ada surat dakwaan (indichtment). Semakin berkembangnya hukum di Inggris berdasarkan putusan-putusan hakim akhirnya melahirkan jenis pelanggaran summary offence yang merupakan pelanggaran paling ringan dan diadili oleh magistrate court tanpa surat dakwaan dan tanpa jury.

(4)

Perkembangan terpenting pada hukum pidana di Inggris adalah pada abad 19 dan abad 20. Perkembangan itu bukanlah mengenai rumusan-rumusan delik tindak pidana maupun hukum acaranya, melainkan dalam hal pemidanaan. Konsep pemidanaannya selain pidana mati dan pidana penjara terdapat juga penderaan (whipping), pembuangan serta penyitaan barang dan tanah.

Dalam masa ini juga peran undang-undang pidana makin besar dengan dibuatnya berbagai undang-undang. Undang-undang pidana yang dibuat bermacam-macam pula sifatnya, yaitu:9

a. Menentukan batas pemidanaannya hanya dengan menyebutkan nama tindak pidana tanpa merumuskannya.

b. Menggantikan tindak pidana yang semula merupakan common law offence.

c. Menciptakan tindak pidana baru yang semula tidak dikenal dalam

common law offence.

Sekalipun peran undang-undang makin besar, namun mengenai ketentuan-ketentuan umum hukum pidana Inggris hampir seluruhnya dapat disimpulkan dari putusan-putusan hakim.10

2. Sumber Hukum Pidana Inggris

Seperti yang telah diulas sebelumnya, hukum pidana Inggris hampir seluruhnya dapat disimpulkan dari putusan-putusan hakim. Hal ini kemudian menjadi sumber hukum pidana Inggris yang mempunyai karakteristik khas. Tidak hanya itu, sumber hukum Inggris terdiri atas:

a. CommonLaw

Common law merupakan bagian dari hukum yang bersumber pada kebiasaan atau adat-istiadat masyarakat yang dikembangkan

(5)

berdasarkan keputusan pengadilan. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak melalui parlemen akan tetapi dilakukan oleh para hakim, sehingga dikenal dengan istilah judge-made law.11 Dapat diartikan bahwa hukum pidana Inggris bersumber dari hukum yang tidak tertulis dalam memecahkan kasus-kasus tertentu pada waktu tertentu yang telah dikembangkan dan diunifikasi dalam bentuk putusan-putusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent.

Common law ini juga sering disebut sebagai case law atau hukum preseden.12

Adanya pemberlakuan asas stare decisis atau asas the binding force of precedents di Inggris pada akhirnya mengembangkan sumber hukum common law yang berdasarkan keputusan-keputusan pengadilan ini mempunyai kedudukan yang kuat. Pada intinya asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti keputusan hakim yang ada sebelumnya dengan memiliki kekuatan mengikat dan berlaku untuk keputusan pengadilan yang lebih tinggi dan keputusan pengadilan yang setingkat dengan ketentuan tidak ada preseden yang saling bertentangan dan tidak terjadi kekeliruan dalam hukum (perincuriam).

Precedent ini hanya mempunyai kekuatan mengikat pada kasus konkret dengan putusan atau pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari suatu putusan tersebut. Penyebutan fakta-fakta di pengadilan yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang berlangsung tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Sistem precedent ini tidak terlalu mengikat seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Hakim diperbolehkan atau dapat menghindari kekuatan mengikat dari precedent jika ia dapat membuktikan bahwa perkara yang sedang disidangkan ada perbedaan dengan perkara yang telah diputus sebelumnya. Pembeda itu sendiri

11 Romli Atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju,

Bandung, Halaman 36.

12 Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafndo

(6)

tidak hanya dapat digunakan oleh hakim untuk melumpuhkan kekuatan mengikat dari precedent, melainkan advokat memiliki kewenangan yang sama asalkan pembeda itu dapat dibuktikan dalam beracara di pengadilan.

Konsekuensi diberlakukannya hukum preseden/case law/judge-made law/common law dalam hukum pidana Inggris, mengakibatkan asas legalitas sepenuhnya tidak diterapkan. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya statute law sebagai sumber hukum pula. Jika perkara yang sama terdapat pertentangan antara common law atau yang disebut precedent dengan statute law, maka common law/precedent akan digunakan dan mengenyampingkan statute law. Dalam hal demikian, hakim dapat menjatuhkan putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan asas decisis

sepenuhnya.

Terlalu luasnya kekuasaan hakim dalam memberikan penafsiran terhadap suatu kasus tertentu berimplikasi pada terciptanya hukum baru sehingga dalam hal ini kepastian hukum sangat dikesampingkan.13

b. StatuteLaw

Statute law merupakan sumber hukum yang berasal dari perundang-undangan. Statute law juga memiliki kekuatan mengikat (binding authority) seperti halnya sumber hukum common law.

Hukum pidana materiil yang berbentuk statute law (undang-undang) di Inggris hanya memuat perumusan delik pidana yang berupa kejahatan tertentu. Perumusan delik pidana di Inggris tidak dikodifikasikan dalam satu kitab undang-undang secara tunggal (single code) atau yang dikenal dengan kodifikasi tunggal yang bersifat tertutup, tetapi tersebar dalam beberapa undang-undang. Dalam statute law juga tidak memuat ajaran-ajaran umum mengenai hukum pidana.

(7)

Perumusan delik pidana yang tersebar di beberapa undang-undang hukum pidana di Inggris dapat dilihat dari beberapa contoh undang-undang sebagai berikut:

1) Offences Againts The Person Acts 1861 (Undang-Undang mengenai tindak pidana terhadap orang);

2) Perjury Act 1911 (Undang-Undang mengenai sumpah palsu);

3) Sexual Offences Act 1956 (Undang-Undang mengenai tindak pidana seksual);

4) Homicide Act 1957 (Undang-Undang mengenai pembunuhan);

5) Infanticide Act 1938 (Undang-Undang mengenai pembunuhan anak);

6) Murder/Abolition of Death Penalty Act 1965 (Undang-Undang mengenai pembunuhan berencana atau undang-undang mengenai penghapusan pidana mati);

7) Abortion Act 1967 (Undang-Undang mengenai aborsi); 8) Theft Act 1968 (Undang-Undang mengeni pencurian); 9) The Dangerous Drugs Act 1965 (Undang-Undang

mengenai obat-obatan berbahaya);

10)Hijacking Act 1971 (Undang-Undang mengenai pembajakan pesawat udara).

c. Textbook yang Memuat Doktrin

Dalam hukum pidana Inggris textbook atau pendapat atau yang dapat juga disebut sebagai doktrin juga merupakan menjadi bagian dari sumber hukum di Inggris. Textbook ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (binding authority) seperti halnya sumber hukum

(8)

yang bersifat memberikan keyakinan dan dorongan yang kuat terhadap pembenaran suatu hukum pada kasus konkret dan fakta-fakta dalam pembuktian di depan pengadilan.

Beberapa textbook yang telah dijadikan sebagai sumber hukum yang memuat ajaran-ajaran umum hukum pidana Inggris antara lain:

1) Hale’s History of The Pleas of The Crown Tahun 1736; 2) Foster’s Crown Law Tahun 1762;

3) Blackstone’s Commentaries Tahun 1765.

3. Rumusan Percobaan Menurut KUHP Inggris dan KUHP Indonesia Dalam sistem hukum pidana Inggris, perrcobaan dikategorikan sebagai

misdemenor meskipun percobaan tersebut ditujukan pada suatu kejahatan (crime) yang berarti bahwa percobaan tetap termasuk dalam suatu bentuk pelanggaran hukum yang ringan.14

Perrcobaan dalam KUHP Inggris diatur dalam Criminal Attempts Act

1981 yang rumusannya sebagai berikut:15

a. Mencoba untuk melakukan kejahatan.

1. Jika dengan maksud untuk melakukan kejahatan yang diatur oleh pasal ini maka seseorang yang melakukan tindakan lebih dari sekedar persiapan untuk memuncukan suatu tindak pidana, ia bersalah karena mencoba untuk melakukan pelanggaran. a) Tunduk pada ketentuan pasal 8 dari Undang

Penyalahgunaan Komputer 1990 (relevansi hukum eksternal), jika ayat ini berlaku untuk suatu tindakan, apa yang orang lakukan itu dipandang sebagai suatu pelanggaran maka ketentuan ini berlaku.

14 Barda Nawawi, Op. Cit, hlm. 47.

(9)

b) Ayat (1A) di atas berlaku untuk tindakan jika

1) Tindakan tersebut dilakukan di Inggris dan Wales, dan 2) Pada ayat (1) di atas diangggap sebagai pebuatan lebih

dari sekedar persiapan untuk pelaksanaan suatu tindak pidana menurut pasal 3 dari Undang Penyalahgunaan Komputer 1990 tapi berdasarkan fakta bahwa terjadi suatu pelanggaran, jika selesai, tidak dapat dihukum pelanggaran di Inggris dan Wales.

b. Seseorang mungkin bersalah karena mencoba untuk melakukan kejahatan yang diatur oleh pasal ini berlaku meskipun adanya fakta sedemikian rupa terhadap suatu perbuatan tindak pidana yang tidak mungkin.

c. Dalam hal apapun di mana;

1. terlepas dari ayat ini niat seseorang tidak akan dianggap telah mencapai suatu maksud untuk melakukan kejahatan, tetapi 2. jika fakta-fakta dari kasus tersebut karena ia telah berkeyakinan

untuk selesai, niatnya akan dianggap telah melakukan percobaan,

Kemudian, untuk tujuan ayat (1) di atas, ia akan dianggap telah memiliki maksud untuk melakukan tindak pidana tersebut.

d. Bagian ini berlaku untuk setiap pelanggaran yang, jika diselesaikan, akan dapat dihukum di Inggris dan Wales sebagai pelanggaran dituntut, selain;

1. konspirasi (common law atau di bawah ayat 1 Undang-Undnag M1 Criminal Act 1977 atau diberlakukannya lainnya);

2. membantu, bersekongkol, konseling, pengadaan atau suborning komisi suatu tindak pidana;

(10)

untuk tidak mengungkapkan informasi tentang pelanggaran arrestable) Undang-Undang M2 Criminal Act 1967.

Percobaan diatur dalam Criminal Attempts Act 1981 yang mengatur hukuman tentang percobaan adalah hukuman maksimum pada tindak pidana yang terselesaikan. Actus reus ada jika pelaku telah melakukan lebih dari sekedar perbuatan persiapan. Elemen yang paling penting dalam percobaan adalah adanya niat.16 Percobaan masuk dalam kategori tindak pidana yang tidak lengkap atau baru pada taraf permulaan. Untuk dapat dipidananya percobaan diperlukan pembuktian bahwa terdakwa telah berniat melakukan perbuatan melanggar hukum dan ia telah melakukan beberapa tindakan yang membentuk actus reus dari percobaan jahat yang dapat dipidana tanpa memperhatikan apakah tindakan tersebut selesai karena keinginannya ataupun karena orang lain.17

Untuk adanya percobaan, unsur yang paling esensial terpenuhi adalah adanya mens rea.18 Mens rea tetap ada sekalipun seseorang berbuat secara jujur ataupun dengan kesadaran jiwa yang bersih serta meyakini bahwa perbuatannya sesuai dengan moral dan benar menurut hukum.19 Mens rea sendiri dapat berupa

intention (kesengajaan), recklessness (kesembronoan), dan negligence

(kealpaan/kurang hati-hati).20

Dalam hukum pidana di Inggris, recklessness diartikan sebagai tindakan yang mengambill resiko dengan sengaja dan resiko tersebut tidak dapat dibenarkan.21 Recklessness dapat disamakan dengan bewuste schuld (kealpaan/kesalahan yang disadari) atau disebut juga advertent neglience

(kealpaan yang penuh perhatian/kehati-hatian).22 Untuk membuktikan telah terjadinya suatu recklessness, harus dilihat keadaan si pelaku sebenarnya

16Ibid, hlm. 48. 17Ibid.

18Ibid.

19Ibid, hlm. 27. 20Ibid.

21Ibid.

(11)

menyadari hukum dan mengetahui kemungkinan terjadinya suatu akibat dari perbuatan sembrononya itu.23

Suatu putusan oleh hakim edmund davies dalam perakara R. V. Easom pada tahun 1971 menyatakan bahwa tidak ada penghukuman yang sah terhadap terdakwa yang dituduhkan percobaan pencurian, kecuali terbukti ia melakukan hal itu karena digerakkan oleh niat yang sama untuk merampas barang-barang polisi itu untuk selama-lamanya seperti diperlukan untuk menetapkan tindak pidana yang lengkap.24

Jadi untuk membuktikan bahwa seseorang itu telah melakukan suatu percobaan kejahatan, haruslah dilihat kehendak dan pengetahuan sebelumnya akibat-akibat dari perbuatan yang terkandung dalam rumusan kejahatan yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa kehendak dan pengetahuan merupakan unsur kesengajaan, maka untuk membuktikan percobaan itu haruslah dibuktikan unsur kesengajaan tidak hanya semata-mata membuktikan adanya

recklessness.

4. Rumusan Percobaan Menurut KUHP Indonesia

Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:

a. Pasal 53

1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak

23Ibid.

(12)

selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.

3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

b. Pasal 54

Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.

Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan. Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.

Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:

“Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen.”

(13)

“Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan.”

Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;

b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;

c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.

Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.

Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana.

(14)

5. Kesimpulan

Dalam hukum pidana Inggris, unsur pertama kali yang melekat dalam suatu percobaan adalah niat (kehendak), sama halnya seperti unsur percobaan yang ada di Indonesia. Niat (kehendak) dinilai apakah perbuatan tersebut memang dikehendaki atau tidak berdasarkan actus reus yang dimiliki pembuatnya. Tetap diihat bahwa berkehendak merupakan unsur dari kesengajaan, maka dari itu pembuktian terhadap percobaan tidak sebatas pada kesembronoan/kealpaan yang membentuk suatu perbuatan, melainkan sikap berkendak dan mengetahui merupakan komponen yang harus dibuktikan apakah percobaan tersebut benar-benar tidak terselesaikan secara sengaja ataupun tidak.

Hukum pidana Inggris mengatur terpisah mengenai percobaan diluar penal code, mengatur secara tegas mengenai percobaan seperti apa yang dapat dianggap sebagai bentuk perbuatan yang tidak selesai. Percobaan dikategorikan sebagai pelanggaran, bukanlah suatu kejahatan. Pengaturan percobaan dalam hukum pidana di Inggris diatur dengan jelas, mulai dari percobaan terhadap tindak pidana dengan hukuman terberat hingga tindak pidana yang termasuk dalam kategori pelanggaran. Perbedaan mendasar dalam hukum pidana di indonesia, percobaan diatur dalam kodifikasi, dan sanksinya mengikuti sepertiga sanksi hukuman terhadap perbuatan apa yang dilakukan. Hal sedemikian tidak efektif, karena jika kembali pada tujuan pemidanaan kontemporer yang ditujukan pada rehabilitasi, jelas sekali bahwa hukum pidana di inggris yang mengatur mengenai percobaan dikategorikan sebagai pelanggaran ringan dan tertuang di dalam peraturan tersendiri lebih efektif, karena pada dasarnya, perbuatan yang tidak selesai tanpa menimbulkan akibat apapun tidak seharusnya dihukum pula sepertiga mengikuti sanksi yang ada pada hukuman tersebut. Di Indonesia, percobaan masih belum jelas apakah termasuk dalam suatu bentuk delik atau tidak, sedangkan di Inggris, secara tegas bahwa percobaan telah dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran.

(15)

Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: Raja Graindo Persada.

Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Criminal Attempts Act 1981, legislation.gov.uk

Frans Faramis, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Michael Bogdan, 2010, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Bandung: Nusa Media.

Peter de Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law dan Socialist Law), Bandung: Nusa Media.

Romli Atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju.

Referensi

Dokumen terkait

Dampak lain yang dirasakan oleh guru-guru dan warga sekolah dari kegiatan PAK ini adalah sebagai berikut; (1) Siswa menjadi tertib, disiplin, tepat waktu datang ke sekolah dan

Double Stop: membunyikan dua nada yang berbeda atau lebih secara bersamaan dalam satu gesekan pada dua senar yang berbeda baik kedua senar ditekan, salah satu

berakhir (disebut evaluasi sumatif). Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan, model yang kedua ini ketika melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat melepaskan

Skenario stabil dengan keuntungan maksimum dari masing-masing frame kemudian dibandingkan sedemikian hingga, dapat diketahui frame yang lebih baik untuk dipergunakan oleh

2) Insidensi penyakit atau kejadian penyakit yang merupakan persentase jumlah tanaman yang terserang patogen (n) dari total tanaman yang diamati (N) tanpa melihat

Dalam membuktikan sifat-sifat dari kedua pembangkit bilangan acak yang telah dibahas sebelumnya, kita dapat melihat pada beberapa percobaan dengan menggunakan

adalah karya tulis ilmiah berupa paparan hasil penelitian yang membahas suatu masalah dalam bidang ilmu hukum untuk mencari pemecahan masalahnya dengan menggunakan teori-teori,

1) Untuk memahami perilaku sistem imun, khususnya perilaku seleksi. 2) Untuk memahami algoritma yang dihasilkan dari model seleksi sistem imun. 3) Untuk memetakan model dengan