• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis Hukum Universitas Indonesia Urgens

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tesis Hukum Universitas Indonesia Urgens"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

i

URGENSI BATAS WAKTU PENYELESAIAN PENGUJIAN

UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

1945 DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Magister Hukum

RAFLI FADILAH ACHMAD

1606846346

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa, karena atas petunjuk dan hidayah-nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini secara baik dan tepat waktu. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut Aristotles manusia adalah zoon politicon

yakni makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dari orang lain, begitu halnya juga Penulis yang menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari pelbagai pihak tesis yang penulis buat tentunya tidak dapat selesai sebaik ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Melda Kamil Ariadno, S.H., LL.M., Ph.D dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu di Magister Hukum terbaik se-Indonesia dan juga telah mendukung Penulis dengan

men-support segala kebutuhan mahasiswa mulai dari ruangan, buku, pengajar dan fasilitas lainnya.

2. Bapak Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang tidak pernah lelah dalam membimbing Penulis kearah yang benar, selain itu juga Bapak telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran, waktu dan tenaga kepada Penulis sehingga memudahkan Penulis dalam menyusun tesis ini.

(5)

v bersama dalam menghadapi tantangan perkuliahan ini.

5. Teman Pecel Ayam Pra Kelas yaitu Bang Cis, Bang Polarys, Mbak Ria, Mbak Uci, Bang Adrian, Bang Etra, Bang Edwin, Pak Arif, dan Bang Hawari yang membuat hari-hari Penulis menjadi sangat berwarna selama menempuh studi di Salemba dengan penuh canda-tawa, dan diskusi-diskusi seru. Terimakasih telah menjadi inspirator!

6. Mantan rekan-rekan kerja di PALAPPA INSTITUTE dan BSA Law Office yakni Bang Gandjar, Bang Abdul Sallam, Adri, Firman, Boghi, Ilma, Dita, Bang Boim, Bang Budi, Bang Japra, Bang Arbeng, Bang Rambe dan Mas Agus yang telah berjuang bersama-sama dalam perbaikan hukum di Indonesia

7. Mantan rekan-rekan kerja di Citra International Underwritters yakni Pak Luki, Pak Anto, Pak Gunawan, Pak Niko, Pak Yamin, Bang Raby, Bang Indra, Ayas, Jelita, Prafin, dan rekan-rekan lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis yang singkat ini.

8. Ketua dan Wakil Ketua, Hakim-Hakim dan pegawai Pengadilan Negeri Sungai Penuh yang telah banyak mengajarkan Penulis tentang kehidupan baru di lembaga yudikatif.

9. Teman-teman Angkatan 60 Megamendung yang telah mengisi hari-hari Penulis dengan penuh canda tawa, kebahagiaan, dan keseruan yang ngangenin, sayang kita hanya bisa dipertemukan 1 bulan saja.

(6)
(7)

vii Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis :.Urgensi Batas Waktu Penyelesaian Pengujian Undang-______..Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di _______Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi hingga empat belas tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai batas waktu penyelesaiannya. Tesis ini membahas sekaligus merumuskan urgensi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan perbandingan lima negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi standar ganda antara batas waktu pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain dimana sengketa pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment memiliki batas waktu penyelesaian sedangkan pengujian undang-undang yang notabenenya adalah kewenangan dominan dari Mahkamah Konstitusi justru tidak memiliki batas waktu penyelesaiannya.Selain itu ketiadaan batas waktu penyelesaian juga terbukti menciptakan suatu kondisi yang dinamakan justice delayed is justice denied, dimana baik Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung tidak mengetahui kepastian waktu tentang putusan pengujian undang-undang akan memiliki kekuatan hukum tetap. Kasus korupsi mantan Hakim Konstitusi

berinisial “PA” juga menjadi studi dalam penelitian ini yang membuktikan bahwa

ketiadaan batas waktu menciptakan ruang negosiasi antara para pihak dan oknum pengadilan untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan tiga formulasi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dalam suatu rumusan norma. Ketiga rumusan tersebut adalah batas waktu pengujian undang-undang yang bersifat kerugian potensial terhadap peristiwa konkret, batas waktu penyelesaian terhadap PERPU, dan batas waktu secara umum. Apabila Mahkamah Konstitusi memutus lebih dari waktu yang telah ditentukan maka terdapat konsekuensi hukum yang harus dilakukan berupa melakukan notifikasi dan penjelasan yang rasional kepada Pemohon dan Masyarakat.

Kata Kunci :

(8)

viii Study Program : Master of Law

Title :.The Urgency Limitiation of Time on Judicial Review of ______,-The 1945 Constitution in Constitutional Court Republic of ______,-Indonesia

Judicial Review represents the most dominant authority at the Constitutional Court. However, it has been fourteen years since the establishment of the Constitutional Court and the regulation to specifically determine a definite deadline for case resolution has yet to be issued. This theses discusses and also formulate the urgency to establish case resolution deadline for judicial review at the Constitutional Court of the Republic of Indonesia. The research method applied utilizes normative research method improvised with comparative study from three countries. Research results revealed signs of double standards between the deadlines for judicial review with other judicial disputes, whereas political party dissolution dispute, general election results dispute and impeachment presented definite deadline for case resolution while judicial review which supposedly represents the domain jurisdiction of the Constitutional Court fails to submit any deadline for case resolution. In alternative, that the vacuum in such deadline has generated the condition known as ”justice delayed is justice denied”,in which the Applicant, Public and the Supreme Court is shrouded concerning the definite deadline for the judicial review, to interpret any legal binding effect out of it. The corruption case of “PA” as former Constitutional Court was also investigated in this research as an evidence that the vacuum in the deadline has in turn created a negotiation room between parties and court officials to conduct corruptive actions. As such, the necessity to revised the Law on Constitutional Court is of paramount importance by adding three formula on deadline for case resolution within a normative framework. Those three formulations constitutes deadline in judicial review for laws with potential laws in nature to concrete events, deadline in judicial review to PERPU, and general deadline. In the event that the Constitutional Court issued a decision for such case beyond the agreed deadline, then such act will trigger mandatory legal consequences comprised of issuing notification and rational reasoning to the Applicant and Public at large.

Keywords:

(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pokok Permasalahan... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Kerangka Teori ... 16

1. Teori Negara Hukum... 16

2. Teori Konstitusi dan Konstitusionalisme ... 20

3. Teori Tentang Kepastian Hukum: Justice Delayed is Justice Denied ... 21

E. Kerangka Konsep ... 28

1. Konsep Norma Hukum... 28

2. Konsep Pengujian Norma ... 27

3. Konsep Mahkamah Konstitusi ... 29

F. Metode Penelitian ... 35

G. Kegunaan Teoritis dan Praktis ... 39

H. Sistematika Penulisan ... 40

BAB 2 KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG

(10)

x

B.Sejarah Judicial Review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ... 59

1. Tahap Gagasan ... 62

2. Tahap Perumusan ... 64

3. Tahap Institusionalisasi ... 67

C..Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang __.Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ... 68

1. Pengajuan Permohonan ... 75

2. Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan ... 78

3. Pendaftaran dan Penjadwalan Sidang ... 81

4..Kewajiban Menyampaikan Salinan Permohonan dan Putusan __Kepada Lembaga Negara Tertentu ... 83

5. Pemanggilan Para Pihak ... 86

6. Pemeriksaan Pendahuluan ... 89

7. Pembuktian dan Alat Bukti ... 90

8. Pemeriksaan Persidangan ... 93

9. Putusan ... 95

BAB.3…STUDI KOMPARATIF BATAS WAKTU PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DENGAN LIMA NEGARA A..Batas Waktu Penyelesaian Pengujian Undang-Undang di __.Mahkamah Konstitusi Korea Selatan ... 98

B..Batas Waktu Penyelesaian Pengujian Undang-Undang di Dewan __.Konstitusi Prancis ... 103

C..Batas Waktu Penyelesaian Pengujian Undang-Undang di __.Mahkamah Konstitusi Portugal ... 108

D..Batas Waktu Penyelesaian Pengujian Undang-Undang di __.Mahkamah Konstitusi Angola ... 110

(11)

xi

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG

DASAR 1945 DI MAHKAMAH KONSTITUSI SERTA FORMULASI

BATAS WAKTU PENYELESAIAN DALAM RUMUSAN HUKUM

A..Ketiadaan Batas Waktu Menciptakan Standar Ganda (Double Standard) Antara Batas Waktu Pengujian Undang-Undang Dengan Sengketa Yang Lain ... 114 B..Batas Waktu Dalam Pengujian Undang-Undang Memberikan

Kepastian Hukum dan Keadilan Prosedural Bagi Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung ... 120 C..Batas Waktu Menciptakan Peradilan Yang Unggul (Court

Excellence): Meminimalisir Terjadinya Justice Delayed is Justice Denied... 132 D..Batas Waktu Akan Meminimalisir Terjadinya Tindakan Koruptif

oleh Oknum Pengadilan ... 140 E..Formulasi dan Rumusan Norma Yang Ideal Dalam Batas Waktu

Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi... 145

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 165 5.2 Saran ... 167

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Gambar

(12)

xii Tabel 3.1 Daftar Putusan yang Diputus Lebih dari 1 Tahun ... 134 Tabel 3.2 Gambaran Jumlah Batas Waktu dalam Putusan yang Diputus Lebih

(13)

Universitas Indonesia BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya.1 Sebagai sebuah lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam mengawal dan menjamin terlaksananya prinsip-prinsip dan norma yang terkandung dalam konstitusi sebagai norma tertinggi penyelenggaraan hidup bernegara, maka dari itu Mahkamah Konstitusi dikenal sebagai The Guardian of The Constitution.2

Selain itu Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi sehingga dapat tercipta suatu pemerintahan negara yang stabil.3 Jimly Asshidiqie menjustifikasi hal yang serupa, dalam Cetak Biru Mahkamah Konstitusi Tahun 2004, beliau menyatakan bahwa dibentuknya Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengawal konstitusi untuk menciptakan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Di mana Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab.

Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi telah secara resmi disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 dengan berkedudukan di Ibukota negara dan 9 hakim konstitusi.4 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi juga mengatur menengenai kedudukan dan susunan, kewenangan

1

Miftakhul Huda, Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 3 (September 2007), hlm. 144.

2

Jimly Asshidiqie (1), Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.41.

3

Indonesia (1), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003, Penjelasan Umum.

4

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Peradilan, ”

(14)

Universitas Indonesia

Mahkamah Konstitusi, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, serta hukum acara mahkamah konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan satu kewajiban, adapun kewenangan tersebut yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun kewajibannya yaitu Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (untuk selajutnya disebut “DPR”) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.5

Berdasarkan sejarah pembentukannya, eksistensi dari Mahkamah Konstitusi pada awalnya untuk menjalankan wewenang pengujian terhadap Undang-Undang. Kewenangan ini dipahami sebagai bentuk perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern.6 Mekanisme pengujian undang-undang ini sendiri dimaksudkan untuk melakukan pengujian suatu produk perundang-undangan terhadap peraturan yang lebih tinggi melalui suatu lembaga peradilan yang independen dan imparsial.7 Di Indonesia lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah Mahkamah Konstitusi dengan cara merubah serta menghapus frasa, pasal, bab atau bahkan keseluruhan norma di Undang-Undang apabila dinyatakan inkonstitusional dengan prinsip Undang-Undang Dasar 1945.

Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan melakukan judicial review, Indonesia telah memiliki Mahkamah Agung yang juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun

judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah

5

Indonesia (2), Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 24 C. 6

Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekjend dan Panitera MK, 2010), hlm.3.

7

(15)

Universitas Indonesia

Undang. Sedangkan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah judicial review atas undang-undang terhadap Undang-undang dasar atau yang dikenal dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang.

Konsep dasar judicial review dan toetsingrecht berangkat dari ide negara hukum, bahwa terdapat prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas sehingga wadah untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan tidak diletakan pada lembaga yang membuatnya, akan tetapi diberikan kepada suatu lembaga yang netral, dalam hal ini adalah yudikatif. Selain itu, prinsip perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia juga menjadi salah satu bentuk pertimbangan adanya judicial review,

sebagai instrumen korektif apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang melanggar Hak Asasi Manusia.8 Mahkamah Konstitusi sebagai penguji Undang-Undang telah mengalami sejarah yang panjang, berawal dari Mahkamah Agung Amerika Serikat di bawah pimpinan John Marshall yang memeriksa dan memutus perkara William Marbury pada detik-detik pemerintahan Presiden Thomas Jefferson diangkat sebagai hakim tetapi surat keputusan pengangkatan tersebut tidak diserahkan oleh pemerintah baru kepadanya.

Marbury kemudian menggugat berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tahun 1789, di mana berdasarkan undang-undang tersebut Mahkamah Agung berhak menggunakan Writ of Mandamus untuk menghukum pemerintah agar menyerahkan surat keputusan pengangkatan tersebut. Akan tetapi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung justru menghapus norma tersebut karena dipandang bertentangan dengan konstitusi. Meskipun konstitusi tidak mengatur hal tersebut, Mahkamah Agung Amerika menganggap hal itu adalah tugas pokok Mahkamah Agung yang ditafsirkan dari konstitusi dan dikembangkan bahwa Mahkamah Agung Amerika bertugas untuk mengawal konstitusi secara bertanggungjawab dan menjamin agar norma dasar yang terkandung di dalamnya sungguh ditaati dan dilaksanakan.9 Sejak putusan tersebut, lembaga judicial review menyebar ke seluruh dunia dan dipandang sebagai fungsi dan tugas mahkamah untuk menjaga, mengawal, dan melindungi konstitusi.

8Ibid.,

hlm.9. 9Ibid.,

(16)

Universitas Indonesia

Istilah judicial review terbatas penggunanya sebagai kewenangan untuk menguji perundang-undangan, keputusan dan kelalaian otoritas publik yang dilakukan oleh lembaga peradilan (to review the acts, decisions and omissions of public authorities). Jimly Asshidiqie membagi dua jenis judicial review, yaitu

concrete norm review dan abstract norm review. Concrete norm review adalah pengujian terhadap norma konkret terhadap keputusan-keputusan yang bersifat administratif (beschiking), seperti dalam Peradilan Tata Usaha Negara dan pengujian terhadap norma konkret dalam jenjang peradilan umum, pengujian putusan peradilan tingkat pertama oleh peradilan banding, pengujian, pengujian peradilan banding oleh peradilan kasasi serta pengujian putusan peradilan kasasi oleh Mahkamah Agung.10 Jenis judicial review yang kedua adalah abstract norm review, yaitu kewenangan pengujian produk perundang-undangan yang menjadi tugas dari Mahkamah Konstitusi yang terinspirasi dari kasus John Marshal antara Marbury vs Madison di Amerika Serikat.

Menurut Klentjes sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, bahwa Judicial Review terdapat dua macam yaitu uji formil (formale toetsingsrecht) dan uji materil (materiele toetsingsrecht) jika diihat dari objek yang diuji.11 Uji formil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti undang-udang sudah terjelma melalui cara-cara sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Jadi, review terhadap proses pembentukan produk perundang-undangan yang sesuai prosedur ataukah tidak. Sedangkan, uji materil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan substansinya sesuai atau bertentangan degan peraturan yang lebih tinggi drajatnya serta menilai apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan aturan tersebut. Pada prakteknya peradilan akan merubah serta menghapus frasa, pasal, bab atau bahkan keseluruhan norma di Undang-Undang apabila dinyatakan inkonstitusional dengan prinsip Undang-Undang Dasar 1945.

10

Jimly Asshidiqie (3), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia-Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 590.

11

(17)

Universitas Indonesia

Dasar yuridis wewenang Mahkamah Konstitusi berasal dari Pasal 24 C Undang Dasar 1945 yang dijabarkan lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, pemohon yang dapat mengajukan permohonan adalah: perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara. Semua perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi teregister sebagai permohonan, bukan gugatan seperti sidang perdata. Alasannya karena perkara di Mahkamah Konstitusi tidak bersifat contenious atau

adversarial.12 Dimana kepentingan yang sedang digugat dalam pengujian undang-undang adalah kepentingan masyarakat luas yang menyangkut kehidupan semua orang dalam suatu negara.13 Oleh karena itu, putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat dikategorikan bersifat biasa, melainkan erga omnes yang berarti putusan tersebut berpengaruh, harus dipatuhi dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali.14

Adapun alasan pengajuan terhadap permohonan pengujian undang-undang harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan dalam pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.

12

Asshidiqie (1), Op.Cit., hlm. 67. 13Ibid.,

hlm.61. 14

(18)

Universitas Indonesia Judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan instrumen korektif apabila terdapat ketidaksempurnaan dalam suatu Undang-Undang. Pasalnya masih terdapat suatu masalah di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang bahwa penyelesaian permohonan judicial review tidak memiliki batas waktu yang jelas dan terukur. Melihat pada kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi yang lain terdapat adanya batas waktu yang jelas dalam perkara memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Batas waktu penyelesaian perkara adalah waktu yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan suatu perkara tertentu terhitung sejak tanggal perkara dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi sampai dengan diucapkannya putusan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dicatatnya suatu perkara dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi mengartikan bahwa permohonan tersebut dinilai sudah laik dan lengkap oleh Panitera melalui proses pemeriksaan administratif. Kemudian pada saat putusan telah diucapkan dalam sidang pleno yang bersifat terbuka untuk umum maka secara per se putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat.15

Dalam perkara pembubaran partai politik, berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memutus permohonan pembubaran partai politik dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum juga memiliki batas waktu penyelesaian, dimana berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 43 ayat (1)

15

(19)

Universitas Indonesia

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD jo

Pasal 39 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memutus paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan untuk pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD wajib diputus paling lambat 30 hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Kemudian perkara mengenai impeachment Presiden juga memiliki batas waktu, berdasarkan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 19 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memutus paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Berangkat dari fakta hukum di atas dapat diketahui bahwa tidak terdapat keseragaman dalam batas waktu penyelesaian perkara yang menjadi kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi. Perbedaan lamanya waktu penyelesaian merupakan hal yang lumrah mengingat tiap perkara memiliki beban kompleksitas pembuktian yang berbeda dan kebutuhan akan penyelesaian yang cepat, akan tetapi perbedaan antara ada dan tidak terdapatnya batas waktu dalam perkara Pengujian Undang-Undang dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara nampaknya patut dipertanyakan. Pertanyaan pertama akan hal ini adalah pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment

presiden saja bisa diberikan batas waktu penyelesaiannya, mengapa sengketa pengujian Undang-Undang tidak dapat menerapkan hal yang sama?

(20)

Universitas Indonesia

dikabulkan, 298 ditolak, 277 tidak dapat diterima dan 92 ditarik kembali.16 Data ini menyimpulkan bahwa perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi di dominasi oleh permohonan Pengujian Undang-Undang. Banyaknya permohonan pengujian undang-undang ibarat “bom waktu” yang dapat meledak sewaktu -waktu jika tidak dikelola dengan baik, misalnya adalah lembaga peradilan yang telah ada sebelumnya yakni Mahkamah Agung yang masih menyisakan 2.550 perkara pada tahun 2016 silam.17

Permasalahannya, Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang saat ini tidak memiliki batas waktu yang jelas dan terukur, sehingga potensi terjadinya penumpukan perkara di masa depan akan sangat mungkin terjadi. Hal ini ditambah dengan jumlah hakim konstitusi yang terbatas sejumlah 9 orang saja dengan sistem sentralisasi kelembagaan penafsir konstitusi yang tunggal dan terpusat hanya di Mahkamah Konstitusi. Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, masyarakat sampai pada titik kesadaran hukum yang tinggi, sehingga banyak sekali permohonan pengujian Undang-Undang yang di register ke Mahkamah Konstitusi, belum lagi sengketa-sengketa lain yang menjadi bagian kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dapat terakumulasi sewaktu-waktu. Maka dari itu, batas waktu dalam pengujian Undang-Undang ini pada akhirnya bermanfaat bagi Mahkamah Konstitusi itu sendiri karena terdapat standar yang jelas dan terukur dalam menyelesaikan perkara sehingga dapat meminimalisir terjadinya penumpukan perkara di masa yang akan datang.

Lebih dari itu, status quo pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi yang tidak memiliki batas waktu penyelesaian pada akhirnya menciptakan ketidakpastian hukum bagi justitiabellen dan disparitas penanganan perkara. Berdasarkan penelitian dari Kode Inisiatif, diketahui terdapat ketidakpastian penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dari tahun ke tahun yang di proyeksikan dengan diagram berikut:

16

Veri Junaidi, et.al., Tiga Belas Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, 2016), hlm.1.

17 Budi Riza,”MA Klaim Berhasil Turunkan Tumpukan Perkara”,

(21)

Universitas Indonesia

Gambar 1.1

Waktu Pengujian Undang-Undang di MK dari Tahun 2003-2016.

(22)

Universitas Indonesia

menyarankan dan merumuskan berapa batas waktu yang sesuai dengan kriteria asas cepat dengan metode yang jelas dan terukur.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Indonesia dengan tegas menganut konsepsi negara hukum. Konsekuensi dari negara Indonesia sebagai negara hukum ialah menuntut negara untuk memberikan jaminan hak-hak warga negara sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianutnya. Salah satu prinsip negara hukum yang paling fundamental adalah prinsip supremasi hukum yang merupakan pilar utama dalam prinsip negara hukum yang menghargai kedudukan warga negara, hak asasi manusia dan mendasarkan segala sesuatu pada hukum tertinggi atau konstitusi.18

Manifestasi Indonesia sebagai negara hukum adalah menjunjung tinggi cita negara hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan bagian dari cita-cita dan tujuan hukum selain keadilan dan kebermanfaatan.19 Pada awalnya Gustav Radbruch menyatakan bahwa kepastian hukum menempati drajat tertinggi diantara tujuan hukum yang lain sebab dengan adanya kepastian hukum maka keadilan dan kebermanfaatan dapat tercipta. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan dengan tanpa memandang siapa orang tersebut. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa adanya diskriminasi.20

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, karena hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.21 Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuam hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa adanya kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki

18

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm.2.

19

W. Friedman, Legal Theory, diterjemahkan oleh Muhammad Arifin dengan judul Teori dan Filsafat Hukum-Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm.42.

20 Jaka Mulyata, “Keadilan, Kepastian, dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konsitusi Republik Indinesia Nomor: 100/PUU-X/2012 Tentang Judicial Review Pasal 96 Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”, (Tesis Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2015), hlm. 24.

21

(23)

Universitas Indonesia

ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya peraturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki muatan yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.22 Jika direlasikan dengan tema besar penulisan Tesis ini dengan kepastian hukum, maka ketiadaan batas waktu menciptakan situasi ketidakpastian hukum.

Logika dasarnya, pemohon mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan penyelesaian hukum dengan sebaik-baiknya. Tidak jarang pemohon yang mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi telah mengalami kerugian konstitusional yang sifatnya aktual. Maka dari itu, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu harapan sebagai lembaga yang menilai ketidakkonstitusionalitasan suatu Undang-Undang dituntut dapat memberikan kepastian kepada Pemohon terkait kapan putusan dapat diterima oleh Pemohon, sebab dengan tidak diketahuinya kapan putusan dapat diterima akan menyebabkan kerugian konstitusionalitas yang secara aktual telah diderita akan menjadi semakin besar, dan lebih parahnya kerugian konstitusionalitas yang sifatnya potensional bisa benar-benar terjadi karena tidak adanya kepastian yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi.

Perlu disadari bahwa ketidakpastian hukum yang terjadi bukan hanya terjadi kepada Pemohon pengujian Undang-Undang secara individual semata. Hal ini disebabkan adanya sifat kepentingan umum di dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang berakibat hukum tidak hanya individu yang mengajukan permohonan, tetapi juga orang lain, lembaga negara lain, aparatur pemerintah dan masyarakat pada umumnya.23 Nuansa public interest yang melekat pada putusan Mahkamah Kontitusi memiliki perbedaan yang jelas dengan perkara perdata, pidana dan tata usaha negara yang umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan invididu lain atau pemerintah.

22 Yance Arizona, “Apa itu Kepastian Hukum”,

http://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/, diakses 17 Oktober 2017.

23

(24)

Universitas Indonesia

Ketiadaan batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi juga membuka peluang terjadinya tindakan koruptif yang dapat mengintervensi substansi putusan hakim. Kasus Patrialis merupakan

prototype sempurna dalam menggambarkan relevansi antara ketiadaan batas waktu Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dengan tindakan koruptif. Patrialis Akbar sebelumnya telah dinyatakan bersalah pada Senin, 4 September 2017 dengan vonis delapan tahun penjara dan pidana denda Rp. 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Vonis tersebut diterima Patrialis karena secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima total uang sebesar Rp. 137.573.000 yang melanggar Pasal 12 huruf c jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP. Penyuap atas nama Basuki Hariman dan Ng.Fenny melakukan hal tersebut dengan harapan dapat dibantu oleh Patrialis Akbar untuk memenangkan uji materil pada perkara 129/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penternakan dan Kesehatan Hewan.

(25)

Universitas Indonesia

Gambar 1.2

Kronologi dan Rekonstruksi Kasus Suap Patrialis Akbar.

(26)

Universitas Indonesia

telah selesai pada tahap kesimpulan hanya dengan membutuhkan waktu selama 6 bulan dan 3 minggu atau 204 hari saja, sehingga terdapat waktu kosong, waktu senggang atau waktu yang tidak terpakai dari saat penyerahan kesimpulan hingga pembacaan putusan selama 10 bulan, 2 minggu dan 4 hari atau 324 hari.

Jika dilihat dari kronologi diagram di atas, waktu kosong yang terlalu lama dan tidak dibatasi selama 10 bulan, 2 minggu dan 4 hari atau 324 hari inilah yang menyebabkan oknum dapat leluasa mengambil keuntungan dari proses di atas dengan cara negosiasi. Terlihat bahwa setelah penyerahan kesimpulan, tepatnya pada tanggal 22 September 2016, 23 Desember 2016, dan 24 Januari 2017

merupakan celah waktu yang dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan tindakan koruptif berupa penyuapan. Fenomena ini seharusnya dapat diminimalisir atau tidak seharusnya terjadi apabila terdapat batas waktu yang jelas dan terukur terkait pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian negosiasi untuk mengintervensi putusan tidak dapat lagi dilakukan, karena Hakim dituntut harus membacakan putusan dengan batas waktu tertentu.

Pada akhirnya dalam menyelenggarakan peradilan yang baik, Mahkamah Konstitusi harus mendasarkan segala sesuatunya pada ketentuan hukum acara. Menurut Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan, hukum acara di Mahkamah Konstitusi masih sangat sumir, sehingga masih banyak kekosongan hukum. Hal ini sejatinya sudah disadari oleh pembuat undang-undang, dimana kekurangan hukum acara di Mahkamah Konstitusi terjadi karena keterbatasan waktu dan kurangnya sumber acuan yang dapat digunakan sebagai bahan dalam menyusun hukum acara di Mahkamah Konstitusi.24 Pengakuan tersebut merupakan pengalaman yang dapat dijadikan ide dasar untuk merevisi dan mengisi kekosongan hukum pada batas waktu pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijabarkan Penulis di atas, maka dari itu batas waktu penyelesaian uji materil oleh Mahkamah Konstitusi dengan standar yang terukur, jelas dan ilmiah harus segera direalisasikan karena terdapat beberapa alasan: (1) ketiadaan batas waktu menciptakan standar ganda (double

24Ibid

(27)

Universitas Indonesia standard) antara batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain, (2) ketiadaan batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang berpotensi menciptakan tunggakan perkara di Mahkamah Konstitusi, (3) ketiadaan batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum bagi justitiabellen, orang lain, lembaga negara lain, aparatur pemerintah dan masyarakat pada umumnya, (4) ketiadaan batas waktu tidak sesuai dengan asas hukum acara menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yakni cepat, (5) ketiadaan batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang membuka peluang terjadinya tindakan koruptif.

B. Pokok Permasalahan

Penelitian ini mengangkat permasalahan utama yaitu:

1. Bagaimanakah proses penyelesaian pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dari tahap pendaftaran permohonan hingga pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang?

2. Apakah urgensi batas waktu penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang-Undang-Undang Dasar 1945 dari perspektif teori dan praktek?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dengan memberikan kajian yang lebih mendalam tentang pentingnya batas waktu dalam penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk:

(28)

Universitas Indonesia

permohonan hingga pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

2. Untuk mengetahui urgensi batas waktu penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

3. Untuk mempelajari batas waktu penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang di Negara-Negara lain.

D. Kerangka Teori

1. Teori Negara Hukum

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik yang memiliki kedaulatan ditangan rakyat serta dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dan hukum yang berlaku.25 Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechstaat. Negara Hukum adalah konsep baku yang telah mengalami simplifikasi makna menjadi dalam negara berlaku suatu hukum. Menurut Gautama, negara hukum adalah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh undang-undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat.26Artinya, eksistensi hukum terhadap negara terjadi ketika kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis (konvensi). Akan tetapi, jika pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak memadai, pengertian substansi negara hukum akan terperosok kedalam kubang lumpur negara yang kuasa. 27

25

Indonesia (2), Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 1 ayat 1,2 dan 3. 26

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.9

27

(29)

Universitas Indonesia

Dalam paradigma negara hukum konstitusional, terdapat komitmen yang disebut oleh Juan Linz dengan self binding procedure, dalam sistem serupa ini pemerintah sangat terikat oleh tata cara penggunaan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi. Sebab itu dalam bingkai pemerintahan yang dapat dikendalikan seharusnya kekuasaan hanya dapat mengalami pergantian oleh kekuatan mayoritas eksepsional atau mayoritas absolut. Di samping ciri utama pemerintahan konstitusional menghendaki hierarki peraturan perundang-undangan yang jelas dan hanya dapat ditafsirkan oleh kewenangan yudisial.28

Perkembangan teori negara hukum sudah dimulai sejak era Plato dalam karyanya yang berjudul Nomoi. Selanjutnya Kant menyempurnakan dengan gagasan prinsip-prinsip negara hukum secara formil. F.J Stahl menjadi pihak moderat yang mengusung teori negara hukum secara materil, dan terakhir A.V Dicey mengajukan konsep negara hukum yang dinamakan rule of law.29 Menurut F.J Stahl, dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum (rechstaat) sebagai berikut:

a. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. b. Pemisahan kekuasaan negara.

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. d. Adanya peradilan administrasi.30

Sedangkan menurut A.V Dicey prinsip rule of law yang berkembang di negara-negara anglo saxon sering dikenal sebagai Government of Law, and not of

Man.”. Menurutnya ciri-ciri dari rule of law adalah sebagai berikut:31

a. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.

b. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat;

28Ibid.

29

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm.7.

30

Jimly Asshiddiqie (4), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 122.

31

(30)

Universitas Indonesia

c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang dan Keputusan-Keputusan pengadilan.

Menurut Sri Soemantri, negara hukum secara umum memiliki empat ciri yaitu: (1) pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasar hukum atau peraturan perundang-undangan, (2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, (3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara, (4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle). Kemudian nenurut Azhary, bangsa Indonesia tidak secara tegas menanut konsep barat (rechstaat) ataupun konsep rule of law dari negara-negara anglo saxon melainkan memiliki konsepnya sendiri.32 Lebih lanjut Azhary mengemukakan bahwa yang menjadi ciri khas Negara Hukum Indonesia ialah unsur-unsur utamanya, yakni (1) hukumnya bersumber pada Pancasila, (2) berkedaulatan rakyat, (3) pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, (4) persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, (5) kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, (6) pembentukan undang-undang oleh Presiden bersama-sama dengan DPR, (7) dianutnya sistem MPR.33

Jimly Asshiddiqie kemudian mengembangkan konsep negara hukum dari A.V Dicey dan Julius Stahl menjadi 12 pilar, yakni (1) supremasi hukum (supremacy of law); (2) persamaan dalam hukum (equality before the law); (3) asas legalitas (due process the law); (4) pembatasan kekuasaan; (5) organ-organ eksekutif independen; (6) peradilan bebas dan tidak memihak; (7) peradilan tata usaha negara; (8) peradilan tata negara; (9) perlindungan hak asasi manusia; (10) bersifat demokratis; (11) berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara; (12) transparansi dan kontrol sosial.34

Selain itu M.Scheltema juga memamaparkan karakteristik negara hukum bahwa pada intinya negara memberikan jaminan kepada warganya dengan cara yang berbeda bagi masing-masing bangsa. Menurut Scheltema ada 4 (empat) asas

32

Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 33-34. 33

Azhary, Op.Cit., hlm. 119. 34

(31)

Universitas Indonesia

atau unsur utama negara hukum dan setiap unsur utama diikuti beberapa unsur turunannya yaitu:

1. Adanya kepastian hukum, yang unsur turunannya adalah: a. Asas legalitas;

b. Undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan;

c. Undang-Undang tidak boleh berlaku surut; d. Hak asasi dijamin dengan undang-undang;

e. Pengendalian yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain; 2. Asas persamaan, yang unsur turunannya adalah:

a. Tindakan yang berwenang diatur dalam undang-undang dalam arti materiil;

b. Adanya pemisahan kekuasaan;

3. Asas demokrasi, yang unsur turunanya adalah: a. Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara;

b. Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen; c. Parlemen mengawasi tindakan pemerintah;

4. Asas pemerintahan untuk rakyat, yang unsur turunannya adalah: a. Hak asasi dijamin dengan Undang-Undang Dasar;

b. Pemerintahan secara efektif dan efisien.35

Sehingga dapat disimpulkan bahwa di dalam negara hukum terdapat pembatasan oleh hukum, dalam arti segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan, baik yang dilakukan oleh para penguasa Negara maupun para warga negaranya berdasarkan hukum positif. Sehingga warga negara terbebas dari tindakan sewenang-wenang dari para penguasa Negara. 36

Untuk membatasi kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan di dalam Negara haruslah dipisahkan dan dibagi ke dalam kekuasaan yang mengenai bidang tertentu. Pembatasan kekuasaan pemerintahan juga harus tunduk pada kehendak rakyat dan haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang pada

35

M. Scheltema, De Rechstaat Herdact, dalam Azhary, Op.Cit., hlm. 50. 36

(32)

Universitas Indonesia

tinggkatan tertinggi disebut konstitusi. Salah satu ciri dan prinsip pokok dari Negara hukum dan demokrasi adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak.37

2. Teori Konstitusi dan Konstitusionalisme

Istilah konstitusi berasal dari bahasa perancis “consitituer „‟ yang berarti

membentuk. Dalam konteks ketatanegaraan istilah konstitusi maksudnya ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara. Sementara itu istilah undang-undang dasar adalah terjemahan bahasa asing, yaitu

Inggris: “constitution”, Jerman: Grunddgezetz (grund = dasar + gezetz = Undang- undang), Belanda : Grundwet ( ground = dasar + wet = Undang- undang),dan_dikenal_pula_istilah_constitue.38

Menurut Hans Kelsen menguraikan tentang pengertian konstitusi yaitu konstitusi Negara, biasanya disebut sebagai hukum fundamental negara adalah dasar dari tatanan hukum nasional. Dari tinjauan teori politik, konsep konstitusi mencakup juga norma-norma yang mengatur pembentukan dan kompetensi dari organ-organ eksekutif dan yudikatif tertinggi.39 Konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi ketatanegaraan yang menentukan susunan kedudukan organ-organ Negara, mengatur hubungan antarorgan negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ Negara tersebut dengan warga Negara. 40

Kemudian konstitusional adalah segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang berdasarkan segala ketentuan yang ada di konstitusi.41 Sedangkan Konstitusionalisme dikemukakan oleh Friedrich sebagai

an institutionalized system of effective, regularised restaraints upon governmental action” atau suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintahan.42

37

Mahfud M.D (1), Pergaulan Politik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 270-271.

38

Sobirin Malian, dalam Romi Librayanto, Ilmu Negara Suatu Pengantar (Makassar: Pustaka Refleksi, 2010), hlm. 211-212.

39

Hans Kelsen, Dalam Romi Librayanto, Ibid., hlm. 217. 40

(33)

Universitas Indonesia

Kemudian menurut Abdul Muktie Fajar istilah konstitusionalisme adalah paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.43

Menurut Walton H. Hamilton untuk tujuan to keep a government in order

diperlukan pengaturan sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk memproses perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia. 44

Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap Negara modern. Sebagamana dikatakan oleh C.J Friderich bahwa kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenan dengan Negara. Organisasi Negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut Negara. Kata kuncinya adalah consensus atau general agreement.45

Konsensus yang menjamin tegaknya Konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:

1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). 2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau

penyelenggaraan Negara (the basis of government).

3. Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur katatanegaraan (the form of institution and procedures).

3. Teori Tentang Kepastian Hukum: Justice Delayed is Justice Denied

Berbicara mengenai cita-cita hukum tidak dapat dilepaskan dari pemikiran seorang ahli hukum bermahzab Relativisme yakni Gustav Radbruch (1878-1949).

43

Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, 2006), hlm. 35.

44

Walton H. Hamilton, dalam Asshiddiqie (4), Ibid., hlm. 20. 45

(34)

Universitas Indonesia

Menurutnya keadilan (Gerchtigkeit), kepastian (Rechtssicherheit), dan kemanfaatan (Zweckmanbigkeit) adalah tiga terminologi yang ditujukan di ruang-ruang kuliah dan peradilan. Ketiga nilai dasar hukum ini menjadi kategori untuk menilai hukum yang baik.46

Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch nilai hukum berupa kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi justru melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikamanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan cara mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun kemudian meralat teorinya tersebut.47 Keadilan kemudian ditempatkan sebagai tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.

Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang, sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.48 Radbruch menilai ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa berubah-ubah dan situasional. Satu waktu bisa menonjolkan keadilan dan mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke wilayah tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan. 49 Teori Radbruch tidak mengenal adanya pertentangan antara keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Kepastian dan kemanfaatan bukan saja harus diletakkan dalam kerangka keadilan, tetapi juga sebenarnya merupakan suatu kesatuan dengan keadilan itu sendiri. Kepastian hukum, tidak lagi sekedar kepastian legalitas, tetapi kepastian yang berkeadilan. Demikian juga soal

46

Jaka Mulyata, Op.Cit., hlm. 12.

47 Ahmad Zaenal Fanani, “Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim”, Jurnal Varia Peradilan No.304 (Maret 2011), hlm. 3

48Ibid. 49

(35)

Universitas Indonesia

kemanfaatan yang tidak lagi dilakukan tanpa patokan, tetapi kemanfaatan yang berkeadilan dengan memajukan nilai-nilai kemanusiaan.50

Seandainya lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia akan segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Sebab yang terpenting pada nilai kepastian adalah peraturan itu sendiri, namun apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Kemudian apabila lebih cenderung berpegang pada nilai kegunaannya saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum. Maka dari itu harus dibuat formulasi yang membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut.51

Perdebatan antara keadilan dan kepastian seperti tidak ada akhirnya. Namun, kata keadilan sejatinya menjadi terma analog sehingga kemudian timbulah istilah baru seperti keadilan prosedural, keadilan legalis, keadilan komutatif, keadilan distributif, keadilan vindikatif, keadilan kreatif, keadilan substantif dan sebagainya. Menurut Nonet dan Selznick, keadilan prosedural adalah salah satu indikator dari tipe hukum otonom bahwasannya setelah dicermati kepastian hukum pada akhirnya juga bermuara demi tegaknya the rule of law. Dengan demikian, konteks keadilan dan kepastian hukum sejatinya tidak bersebrangan akan tetapi justru bersandingan.52

50

Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum,. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014), hlm. 74.

51

Jaka Mulyata, Op.Cit., hlm. 14. 52

(36)

Universitas Indonesia

Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.53

Kepastian hukum sebagaimana keadilan dan kemanfaatan hukum sesungguhnya adalah sebuah doktrin. Doktrin kepastian hukum mengajarkan kepada setiap pelaksana dan penegak hukum demi terkendalinya kepatuhan warga agar ikut menjaga ketertiban dalam kehidupan untuk mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama. Dengan dipatuhinya doktrin kepastian hukum dapat menciptakan keefektifan berlakunya kaidah-kaidah guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di dalamnya.54

Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari hukum. Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan sesuai yang bersifat normatif baik ketentuan maupun putusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaanya jelas, teratur, konsisten dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.55 Keteraturan

53

Mahfud MD, Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Berbicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai Hanura, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 8 Januari 2009.

54

Wignjosoebroto, Terwujudnya Peradilan Yang IndependenDengan Hakim Profesional Yang Tidak Memihak, Sebuah risalah ringkas,dimaksudkan untruk rujukan ceramah dan diskusi tentang“Kriteria dan Pengertian Hakim Dalam Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis”yang diselenggarakan dalam rangka Seminar Nasional bertema “Problem Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia”diselenggarakan olehKomisi Yudisial dan PBNU-LPBHNU di Jakarta 8 September 2006.

(37)

Universitas Indonesia

masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara kepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.56

Menurut Dory Reiling dalam Technology of Justice: How Information Technology Can Support Judicial Reform menyatakan bahwa terdapat tiga persoalan yang sering dikeluhkan kepada lembaga peradilan, yakni lambatnya penanganan perkara (delay), sulit diakses (access), dan integritas aparatur.57 Permasalahan tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi pula di negara-negara lain. 58 Maka dari itu, penyelanggaran peradilan di Indonesia harus di dasarkan pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan.59 Asas tersebut, khususnya asas peradilan cepat merupakan asas universal yang dianut oleh seluruh peradilan di dunia. Universalitas asas ini dapat dilihat dari adagium justice delayed is justice denied yang lahir sejak satu abad sebelum masehi dan senanitasa dirujuk oleh tokoh-tokoh dunia.

Pasal 29 Magna Charta merupakan awal dari berkembangnya asas justice delayed is justice denied ini.60 Magna Charta (The Great Charte of Freedoms) adalah piagam yang dikeluarkan di Inggris pada tanggal 15 Juni 2015 untuk mengakhiri absolutisme raja Inggris dengan cara melindungi hak-hak warga, menghargai prosedur hukum, dan membatasi kewenangan raja.61 Adagium tersebut bermakna bahwa proses peradilan yang lambat sama dengan tidak memberikan keadilan kepada para pihak. Adagium ini terlahir secara induktif dari ekspektasi publik terhadap penangan perkara yang cepat sehingga segera

56

Jaka Mulyata, Op.Cit., hlm. 26 57

Reiling, Dory, Technology for Juctice: How Informaton Technology Can Support Judicial Reform, (Leiden: Leiden University Press, 2009), hlm. 17.

58

Maurice Rosenberg,The Literatur on Court Delay”, University of Pennsylvania Law Review, Vol.114 No. 2 (Dec. 1945), hlm. 323.

59

Indonesia (3), Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN. No 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Pasal 2 ayat (4).

60 National Archives and Records Administration, “Magna Charta Translation”, https://www.archives.gov/files/press/press-kits/magna-carta/magna-carta-translation.pdf, diakses pada 18 Desember 2017.

61

(38)

Universitas Indonesia

memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.62 Maksudnya menunda keadilan yang seharusnya sudah dapat dinikmati sekarang kemudian ditunda tidak ada bedanya dengan menolak keadilan itu. Bahkan sampai batas tertentu, menunda keadilan merupakan tindakan dzalim. Bagaimana tidak, keadilan adalah hak dasar yang harus dipenuhi dan tidak boleh ditahan dengan alasan apapun.63

Justice Delayed is Justice Denied merupakan bentuk penyimpangan dari nilai kepastian hukum, sebab ketidakpastian waktu dalam memperoleh keadilan sama saja dengan menolak keadilan itu sendiri.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menggariskan sebuah ketentuan bahwa pengadilan harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.64 Ketentuan tersebut diimplementasikan dengan dijalankannya sistem administrasi peradilan (case management) yang efektif dan efisien. Senada dengan asas yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, Konsorsium Internasional untuk Pengadilan yang Unggul (International Consorsium for Court Excellence)

menyebutkan bahwa penyelenggaraan peradilan harus dilakukan secara efektif dan efisien.65 International Consorsium for Court Excellence menegaskan bahwa peradilan yang efektif dan efisien adalah salah satu indikator bagi sebuah

peradilan yang unggul (court excellence).

Menurut Immanuel Kant memandang peradilan cepat atau “speedy administration of justice” selalu didambakan oleh setiap pencari keadilan. Pada umumnya setiap pencari keadilan menginginkan penyelesaian perkara yang cepat dan tuntas, walaupun akhirnya dikalahkan oleh pemeriksaan yang bertele-tele, tertunda-tunda, sekalipun dimenangkan juga perkaranya. Sudahlah wajar kalau para pencari keadilan menghendaki penyelesaian perkara yang cepat, kecuali

62 Asep Nursobah, “Pemanfaatan Teknologi Informasi Untuk Mendorong Percepatan Penyelesaian Perkara di Mahkamah Agung”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 2 (Juli, 2015), hlm. 323.

63

Rivan Indra Santoso, Analisis Normatif Terhadap Kumulasi Gugatan Cerai Dengan Harta Bersama, (Malang: Jurnal Ilmiah Universitas Brawijaya, 2015), hlm.14.

64

Indonesia (3), Op.Cit.,, Pasal 4 ayat (2).

65ICCE, “The International Framework For Court

(39)

Universitas Indonesia

ingin lekas tahu mengenai kepastian hak-haknya dalam suatu perkara, pemeriksaan yang bertele-tele atau tertunda-tunda berarti mengeluarkan banyak biaya dan waktu.66

Secara internasional justice delayed dapat dilihat dalam kasus Azinian v. Mexico, Award, 1 November 1999, 5 ICSID Reports 272, paras. 102-103, dimana Majelis Arbiter ICSID menjelaskan justice delayed sebagai salah satu bentuk

denial of justice dengan menyatakan:67

A denial of justice could be pleaded if the relevant courts refuse to

entertain a suit, if the subject it to undue delay, or if they administer

justice in a seriously inadequate way. There is a fourt type of denial of

justice, namely the clear and malicious misapplication of the law

Mahkamah Konstitusi pun telah menjustifikasi pentingnya justice delayed is justice denied dalam Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 dalam rangka penegakan hukum. Menurut Makamah, ketidaksempurnaan hukum bukan menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk menunda-nenunda tindakan penegakan hukum secara nyata.68 Putusan selanjutnya adalah Putusan No.16/PUU-VIII/2010 dimana Mahkamah menyatakan pentingnya batasan dalam rangka menciptakan kepastian hukum yakni:69

“Dengan pembatasan itu pula akan terhindarkan adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya

memperoleh keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan

pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri sebagaimana dilukiskan

dalam adagium “justice delayed is justice denied”

66

Andi Hamzah, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 37.

67 Recca Ayu Hapsari, “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pengingkaran Keadilan Dalam Arbitrase Internasional,” Jurnal Ilmu Hukum Pranata Hukum, Volume 11 Nomor (Januari 2016), hlm.21.

68

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, hlm. 46.

69

(40)

Universitas Indonesia E. Kerangka Konsep

1. Konsep Norma Hukum

Pembahasan megenai judicial review erat kaitannya dengan konsep struktur norma dan struktur lembaga negara. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi prilaku serta tindakan masyarakat dalam koloninya. Norma-norma yang sangat peka dalam kehidupan masyarakat adalah norma adat, norma agama, dan norma moral, sedangkan norma hukum timbul bukan dari masyarakat tetapi berasal dari suatu negara yang bersifat wajib untuk dipatuhi oleh setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Berikut adalah perbedaan antara norma hukum dengan norma lainnya:70

1. Suatu norma hukum itu besifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datang dari luar diri seseorang. Sedangkan norma lainnya bersifat otonom, dalam arti norma itu berasal dari diri seseorang.

2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik, sedangkan norma yang lain tidak dapat dilekati dengan sanksi pidana atau sanksi pemaksa secara fisik.

3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh aparat negara, sedangkan terhadap pelanggarapan norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri.

Sedangkan persamaanya adalah bahwa norma-norma itu merupakan pedoman bagaimana seseorang harus bertindak dan selain itu norma-norma tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi ini berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar yang disebut dengan Grundnorm. Norma-norma hukum dan norma-norma lainnya itu berjenjang dan berlapis-lapis hingga membentuk suatu hierarki.

Terkait hal tersebut Benjamin Azkin dalam bukunya “Law, State and International State Order” mengemukakan bahwa pembentukan norma-norma

70

Gambar

Gambar 1.1 Waktu Pengujian Undang-Undang di MK dari Tahun 2003-2016.
Gambar 1.2
Tabel 3.1
Gambaran  Jumlah Batas Waktu dalam  Putusan yang Diputus Lebih dari 1

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh penggunaan multimedia pembelajaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan tidak signifikan variabel profesionalisme sebesar 0,184 dengan nilai signifikan sebesar 0,086>0,05

Biasanya dikasih tugas untuk mencari bahan-bahan yang belum lengkap dalam materi dan disuruh praktek juga. Terkadang siswa sesekali saya ajak belajar di

Gambaran kebahagiaan penderita kanker serviks pada usia dewasa awal di Yayasan Kanker Indonesia yang berlokasi di Surabaya didukung oleh aspek- aspek

1) Marcellina Rasemi W,. SST, M.Pd selaku dosen pembimbing 1 yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan

Setelah dilakukan analisis, perancangan sistem, pembuatan aplikasi dan dilakukan evaluasi hasil aplikasi Sistem Evaluasi Belajar Online, dapat disimpulkan bahwa Sistem

Werdhiana (2009) mengungkapkan bahwa kemampuan peserta didik untuk memahami arti fisis biasanya diukur dengan soal-soal yang umumnya bersifat kuantitatif.Untuk itu dalam

Temuan penelitian menunjukkan bahwa: 1 Implementasi pendidikan karakter di SDIT Permata Ummat Trenggalek telah terlaksana, hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai karakter yang