• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Etos Kerja dan Gaya Hidup Masyarakat Slum Area di Kota Medan ( Studi Kasus di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimoon )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Etos Kerja dan Gaya Hidup Masyarakat Slum Area di Kota Medan ( Studi Kasus di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimoon )"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

(2)

Menurut data BPS 2009, kawasan kumuh ( Slum Area ) di Indonesia tercatat seluas 57.800 hektar pada tahun 2009. Angka ini naik dari tahun 2004 yang luasnya 54.000 hektar. Dalam rentang lima tahun, kawasan kumuh ( Slum Area ) bertambah menjadi 3.800 hektar. Walaupun menurut BPS jumlah masyarakat miskin menurun dari 35 juta jiwa pada tahun 2008 menjadi 32,5 juta jiwa pada tahun 2009. Namun, kawasan kumuh ( Slum Area ) justru semakin meningkat. Berdasarkan data BPS 2008, terdapat 26,9 juta unit rumah yang tidak layak huni di Indonesia, baik yang semi permanen maupun tidak permanen. Jumlah rumah yang tidak terlayani air bersih sebanyak 9,7 juta unit. Sedangkan rumah yang tidak mendapatkan listrik sebanyak 3,9 juta unit dan yang tidak terlayani jamban sebanyak 10,5 juta unit. Untuk menata kawasan kumuh ( Slum Area ), yang paling diperlukan adalah perumahan dan pengendalian alih fungsi, memperbaiki kondisi lingkungan, pemugaran kondisi bangunan, pemeliharaan lingkungan, dan peremajaan terutama daerah kawasan industri yang merupakan kawasan identik dengan lingkungan kumuh dikarenakan kurangnya tempat tinggal bagi para pekerja sehingga menciptakan kawasan kumuh ( Slum Area ) di daerah tersebut.

(3)

pemukiman kumuh, khususnya di bantaran Sungai Deli. Sedangkan di pusat kota ada di bantaran sungai Babura dan daerah pinggir rel kereta api misalnya di sepanjang Jalan Sutomo - Jalan Thamrin. Hingga pada tahun 2010, luas wilayah kawasan kumuh ( Slum Area ) di Medan mencapai 462,3 hektar di 8 (delapan) kecamatan. Daerah tersebut mencakup 8 ( delapan ) kecamatan yakni Medan Area dengan luas daerah kumuh 27,55 Ha dengan 1.625 masyarakat miskin, Medan Denai 110,4 Ha dengan 6.849 masyarakat miskin, Medan Perjuangan 18,30 Ha dengan 1.067 warga miskin, Medan Belawan 65,35 Ha dengan penduduk miskin 17.716 warga, Medan Deli 116,2 Ha dengan penduduk miskin 25.280 warga, Medan Labuhan 60,5 Ha dengan penduduk miskin 20.599 warga dan Medan Marelan 35 Ha dengan penduduk miskin 11.931 warga, Medan Maimoon 39 Ha dengan penduduk miskin 3.134 warga. Sebagian masyarakat miskin selalu menempati kawasan kumuh ( Slum Area ) yang berada di sekitar kota Medan ataupun kota-kota di Indonesia.

( Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara / BPS Statistics of Sumatera Utara Province 2010 )

(4)

dan emosional. Dalam studi ilmiah 2011 Putra Indonesia ( http://www.putra-putri-indonesia.com/pengertian-etos-kerja.html ).

Masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh di beberapa kecamatan kota Medan, identik dengan masyarakat miskin. Kemiskinan itu terlihat dari kondisi fisik rumah yang berupa jenis lantai, jenis dinding, jenis atap, dan ventilasi, serta keberadaan lokasi dan situasi rumah, tempat pembuangan sampah, tempat MCK, sumber air bersih yang biasa digunakan, luas rumah yang ditempati, dan status kepemilikan lahan. Namun terkadang sebagian besar masyarakat miskin memiliki gaya hidup yang tinggi. Fenomena ini terjadi sebagai akibat dari arus globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Globalisasi telah memunculkan gaya hidup dan konsumtivisme yang kerap mengundang keprihatinan ( Bahtiar, 2002 ).

Hal tersebut terlihat pada masyarakat di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimoon. Kelurahan Sei Mati terletak di kota Medan, tepatnya di sekitaran jalan Brigdjen Katamso. Kelurahan Sei mati berbatasan dengan kelurahan Sukaraja, kelurahan Teladan Barat, kelurahan Kampung Baru, dan kelurahan Suka Dame. Secara geografis, luas kelurahan Sei Mati adalah 23 Ha. Areal tanah kelurahan Sei mati dimanfaatkan sebagai pemukiman, areal kuburan, areal perkarangan, dan areal perkantoran.

(5)

informal antara lain sebagai buruh bangunan, pedagang asongan di lampu merah, penjahit keset kaki, cleaning service di ponsel dan tukang parkir.

Sedangkan parit dan gorong-gorong penuh dengan sampah, toilet umum tidak terawat dan tidak dimanfaatkan, akhirnya masyarakat banyak yang membuang air kecil dan besar langsung ke sungai. Sungai menjadi kotor dan keruh, serta sampah bertumpukan di bibir sungai. Padahal sehari – hari sungai ini digunakan untuk mandi , menyuci piring, dan bahkan juga membilas pakaian serta sayuran. Lokasi rumah yang rapat, minimnya sirkulasi cahaya dan udara. Rumah yang sempit, tata ruang yang tidak berfungsi semestinya ( multi fungsi ) jika pagi dijadikan sebagai ruang tamu, dan malam menjadi ruang tidur. Akses jalan yang tidak merata, berliku – liku dan berkelok – kelok seperti jalan tikus. Daerah ini rentan terkena banjir, karena dekat dengan bibir sungai serta tumpukan sampah yang berserakan. Hal ini menunjukkan betapa kumuhnya daerah ini.

(6)

pengangguran ). Selain dari hasil pengamatan penulis, hal ini senada dengan yang dikemukakan Ibu Kepala Lingkungan XII / Gang Ksatria, yaitu :

“ Anak lajang dan gadis di sini yang tamatan Sekolah Dasar mayoritas

pengangguran. Itu karena dulu mereka tidak suka untuk sekolah, lebih bagus

membantu bapaknya berjualan. Pada akhirnya mereka banyak menghabiskan

waktu di tempat billiard dan berleha – leha di depan tv. Mereka itu

kebanyakan pendatang, dan sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan. “

( Sumber wawancara dengan Ibu Mursida, 02 Februari 2014 )

Hal ini menjadi suatu pemandangan yang biasa di daerah ini dan fenomena yang biasa juga dianggap oleh masyarakat.

(7)

yang tinggi pada masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) di Gang Ksatria kelurahan Sei Mati kecamatan Medan Maimoon.

1.2. Perumusan Masalah

Masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) merupakan sekelompok individu yang miskin yang menempati kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak huni, seperti pinggiran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan. Meskipun begitu sebagian masyarakat slum area banyak berperilaku konsumtif dan bergaya hidup yang tinggi, dan tidak jarang pendapatan dari hasil kerjanya banyak dihabiskan dengan membeli barang yang tidak penting dibandingkan memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Jadi, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Mengapa masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) dengan etos kerja rendah tetapi mempunyai gaya hidup tinggi ?

2. Bagaimana masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) memenuhi kebutuhan gaya hidup tinggi mereka?

1.3. Tujuan Penelitian

(8)

Maka tujuan penelitian yang hendak di capai melalui penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) dengan etos kerja rendah tetapi gaya hidup tinggi.

2. Untuk mengetahui cara masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ) memenuhi kebutuhan gaya hidup tinggi.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan ilmiah yang berkaitan dengan masalah etos kerja dan gaya hidup masyarakat slum area di perkotaan serta dapat memberikan masukan bagi instansi terkait di kota Medan berupa informasi dan data pendukung bagi kajian sosiologi khususnya dalam bidang sosiologi perkotaan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi peneliti berupa fakta-fakta temuan di lapangan dalam meningkatkan daya kritis dan analisis peneliti sehingga memperoleh pengetahuan tambahan dari penelitian tersebut, dan diharapkan menjadi referensi penunjang bagi pihak-pihak yang berkompeten, serta bagi instansi terkait di kota Medan.

1.5. Defenisi Konsep

(9)

diberikan batasan-batasan makna dan arti konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi konsep-konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Etos Kerja, yaitu totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara

manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik.

2. Gaya Hidup, yaitu pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup

mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan.

3. Perilaku Konsumtif, yaitu suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kencenderungan

untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas dimana individu lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah

berlebihan, pengunaan segala hal yang paling mewah yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik.

4. Kawasan Kumuh ( Slum Area ), yaitu sebagai suatu kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang

bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah

(10)

5. Masyarakat Kawasan Kumuh ( Masyarakat Slum Area ), yaitu sekelompok individu yang miskin yang menempati kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan.

6. Nilai – nilai sosial, yaitu nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.

7. Rentenir, atau sering juga disebut tengkulak adalah orang yang memberi pinjaman uang tidak resmi atau resmi dengan bunga tinggi. Pinjaman ini tidak diberikan melalui, misalnya bank, dan bila tidak dibayar akan diperlukan atau dipukuli. Tengkulak biasanya beroperasi disaat panen gagal, ketika para petani sangat membutuhkan uang namun tidak dapat memberi jaminan kepada bank. Sasaran

rentenir lainnya adalah konsumen produk perbankan yang telah dimasukkan ke daftar hitam karena bermasalah dengan bank ( kredit, macet, dsb ). Atau pengusaha – pengusaha kecil menengah yang kesulitan akses permodalan dari bank serta rumah tangga – rumah tangga yang memerlukan dana cepat. Pinjaman dari tengkulak tidak memerlukan jaminan sertifikat rumah atau barang berharga lainnya ( kebanyakan

(11)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Etos Kerja Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area )

Etos adalah sikap dasar seseorang atau kelompok orang dalam melakukan kegiatan tertentu ( Suseno, 1991 : 56 ), Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu ( kelompok ) dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif. Berpangkal tolak dari uraian itu, maka jika suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:

1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia yaitu diorientasikan pada ukuran hasil dan kualitas kerja yang lebih baik dan bermutu.

2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia.

(12)

4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,

5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Bagi individu atau kelompok masyarakat, yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu;

1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, 2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, 4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup,

6. Tidak dapat memisahkan antara waktu bekerja dengan waktu senggang.

( http://www.psychologymania.com/2012/11/pengertian-etos-kerja.html )

Etos atau semangat kerja, merupakan karakteristik pribadi atau kelompok masyarakat yang dipengaruhi oleh orientasi nilai – nilai budaya mereka. Antara etos kerja dengan nilai budaya masyarakat seakan sulit dipisahkan ( Syahrial de Saputra T, 1996 ). Etos ( etika ) kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

(13)

seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya, jika ia sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, jelaslah bahwa agama akan

turut menentukan jalannya pembangunan.

2. Budaya, bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya

masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.

3. Sosial politik, tinggi atau rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja

keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.

4. Kondisi lingkungan ( geografis ), adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk

turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.

(14)

merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi.

6. Motivasi intrinsik individu, dikatakan individu memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi etos kerja seseorang. Ini menurut studi yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dalam website (http:www.stan.ac.id/aspek-aspek-etos-kerja-dan-faktor-yang-mempengaruhi).

Dalam penelitian ini, faktor lingkungan, pendidikan dan motivasi instrik individu yang relevan dalam mengkaji penelitian ini. Menurut Koentjaraningrat ( dalam Sjafri, 2002 : 12 ) dari hasil kajian, mayoritas bangsa Indonesia masih memandang bekerja itu adalah dengan tujuan untuk mencari nafkah dan mendapatkan status sosial. Cukup menarik bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia kata bekerja selalu dikaitkan dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi bekerja, sering ia mengatakan pergi mencari makan. Hal ini mencerminkan bahwa orientasi nilai budaya bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan kegiatan bekerja hanyalah sekedar untuk mencari nafkah.

(15)

kepribadian. Di sini, perilaku, motivasi untuk berprestasi, ternyata berkaitan dengan mobilitas ke atas, frekuensi bepergian, lamanya jam kerja, keinginan untuk mengakumulasi kapital, aspirasi untuk mendidik anak, dan aktivitas berusaha. Disisi sikap terlihat dorongan inovatif, ketinggian rasa tanggung jawab, rencana tindakan, pilihan atas perhitungan rasional dan kesediaan untuk memikul resiko tingkat menengah ( Stzompka, 2004 : 283 ). Namun, dalam penelitian ini masyarakat yang berada di kawasan kumuh sebagian besar memiliki pemandangan bahwa bekerja itu hanya sekedar untuk makan, mengisi sejengkal perut.

2.2. Perilaku Konsumtif Pada Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area )

Menurut Hendro ( 2001 : 48 ) bahwa pemukiman kumuh ( Slum Area ) yang tersebar pada beberapa bagian kota di negara – negara berkembang, khususnya yang terdapat di kota – kota Indonesia. Pusat kota yang terdiri dari taman dan ruang terbuka yang semula cukup banyak tersedia, beralih rupa menjadi bangunan yang makin memperpadat lingkungan. Dalam beberapa kasus paru – paru kota dan menjadi lambang kebanggaan penduduk, terpaksa merelakan diri untuk diubah fungsinya menjadi kawasan pertokoan dan perdagangan. Bertambah luasnya kawasan pertokoan dan perdagangan membuat masyarakat berperilaku konsumtif ( Eko Budihardjo dan Sudanti, 1993 : 5 ).

(16)

faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan. Menurut web Abu Daud ( http://abudaud2010.com/2010/12/p engertian-prilaku-konsumtif.html ) menyatakan bahwa perilaku konsumen tidak hanya melibatkan apa yang dikonsumsi seseorang tetapi juga menyangkut di mana, seberapa sering, dan dalam kondisi seperti apa barang dan jasa tersebut dikonsumsi. Seseorang yang konsumtif mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Membeli produk untuk menjaga status, penampilan, dan gengsi.

2. Memakai sebuah produk karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk tersebut.

3. Adanya penilaian bahwa dengan memakai atau membeli produk dengan harga yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri.

4. Membeli produk dengan pertimbangan harga bukan karena manfaat dan kegunaannya.

5. Membeli karena kemasan produk yang menarik.

6. Membeli produk karena iming-iming hadiah.

7. Mencoba produk sejenis dengan dua merk yang berbeda.

(17)

ketersediaan sumber daya ekonomi, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama seseorang sebelum melakukan tindakan konsumsi. Dalam tataran yang lebih luas, jika tidak mampu megendalikan sifat konsumtifisme-nya, tentu akan menjadi bahaya komunal yang sanggup menggulung bangsa ini pada kebangkrutan.

Dalam perspektif psikologis, pola hidup konsumtif adalah produk kebudayaan hedonis dari sebuah masyarakat yang “ sakit ” atau setidaknya tengah mengalami benturan kebudayaan. Pola hidup ini terbentuk secara sadar atau tidak sadar berasal dari pola hidup yang dijalani manusia setiap harinya. Proses pembentukan perilaku manusia, termasuk juga perilaku konsumerisme umumnya berasal dari stimulus yang diterima oleh panca indera melalui proses sosial atau melalui media audio visual yang kemudian terinternalisasi dan membentuk kepribadian. Saat sekarang, pola hidup konsumtifisme sebenarnya secara pelan-pelan sedang diajarkan oleh media, masyarakat dan bahkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Di televisi, majalah dan koran yang setiap hari gencar menayangkan gaya hidup glamour, penuh dengan sikap konsumtif yang dipamerkan terang-terangan.

(18)

bangsa ini menjadi bangsa yang kalah dalam bersaing dengan bangsa lain, serta berpotensi kehilangan sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk kehidupan generasi mendatang “, di da lam web Riski ( http://riskiariyani.com/2011/12/01/contoh-prilaku-konsumtif-masyarakat ).

Dalam penelitian ini, menyebutkan bahwa perilaku konsumtif ini tidak hanya melanda masyarakat kalangan atas, namun ditiru ( diimitasi ) juga oleh masyarakat kalangan bawah.

2.3. Gaya Hidup Pada Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area )

Gaya hidup dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang – lambang sosial. Menurut Piliang ( dalam Agus Sachari , 2007 : 73 ), gaya hidup dapat dipahami sebagai sebuah karakteristik seseorang secara kasatmata, yang menandai sistem nilai, serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan serta objek – objek yang mendukungnya, dalam pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu. Oleh karena itu, menurut Koentjaraningrat (1974 : 8 ) bahwa suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

(19)

berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status, dan tindakan. Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya, sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada aksi, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Sehingga demikian dapatlah dikatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu ( aktivitas ), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya ( ketertarikan ), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitarnya ( pendapat ), dalam web Frommarketing ( http://frommarketing.com/2009/08/definisigayahidup.html ).

(20)

2.4. Sektor Informal Pada Masyarakat Kumuh ( Slum Area )

Dalam skripsi yang dilakukan oleh Risha ( 2012 ) Jurusan Sosiologi, FISIP Universitas Hasanuddin Makassar bahwa penduduk pemukiman kumuh disebut massa apung, yaitu masyarakat yang memiliki pekerjaan berganti-ganti dan dominan pada sektor informal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ciri mereka adalah menghasilkan barang dan jasa hanya untuk konsumsi hari ini bagi anggota keluarga yang bersangkutan.

Menurut Sumalyo ( dalam skripsi Risha, 2012 ) pemukiman kumuh adalah suatu kawasan di perkotaan yang penduduknya hidup dalam kondisi soaial ekonomi yang rendah dan penduduknya berasal dari pedesaan. Kedatangan penghuni migran atas dasar adanya kontak atau hubungan dengan saudara, kerabat yang sudah berada terlebih dahulu di kota pendidikan bukanlah masalah bagi mereka datang ke kota, dasar pendidikan yang dimilikinya adalah pendidikan rendah ( di bawah SMA ) serta tidak memiliki keterampilan. Maka penyesuaian pola hidup para pendatang dengan dengan kehidupan social ekonomi perkotaan tidak dapat berlangsung secara cepat dan gaya hidup pedesaan atau tradisional masih dijalankan. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar penghuni pemukiman kumuh bergerak dalam kehidupan sektor informal dangan pendapatan yang terbatas dalam menghadapi kehidupan perkotaan. Dengan keterbatasan ekonomi dan pola hidup pedesaan, rumah-rumah dihuni secara terbatas dalam hal kontribusi material bangunan dan fasilitas lingkungan seadanya.

(21)

serta keahlian yang kurang memadai, kondisi pasar sangat bersaing karena menyangkut hubungan antara penjual dan pembeli yang bersifat personal dan keadaanya tidak teratur.

Prakarsa dari Hart ini kemudian diteruskan oleh ILO ( International Labour Organization ) dalam berbagai studinya di negara-negara sedang berkembang ( Sjahrir, 1985 ) menyatakan bahwa kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha yang timbul tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal. Pada umumnya, unit usaha tidak mempunyai izin usaha. Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Pada umumnya, kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub sektor ke lain sub sektor. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil; tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Pada umumnya, usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi kota atau desa yang berpenghasilan rendah, tetapi terkadang juga berpenghasilan menengah.

(22)

memperkerjakan tenaga kerja yang sedikit dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama.

Referensi

Dokumen terkait

Eksplorasi Fungi Perombak di Bawah Tegakan Macaranga indica dan Hibiscus macrophyllus pada Areal Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung

□ Mengingkari penyakit yang diderita □ Menyalahkan hal-hal diluar dirinya.. Jelaskan

Aplikasi Business Intelligence memanfaatkan investasi dalam data dan sistem untuk menyediakan informasi yang mudah digunakan, yang dapat mendukung pengambilan

Setelah melihat gejala alam yang merupakan akibat dari peningkatan polusi udara dari industri, transportasi, bangunan dan penggunaan energi secara besar-besaran pada semua

Siswa yang memiliki disposisi matematis sedang juga semangat belajar. matematika karena ada dorongan dari teman-temannya yang

Pada penelitian ini, paritas tidak behubungan dengan PEB (p=1).Kesimpulan : Prosentase responden berusia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih banyak terjadi

Akan tebpi banya{nya perusahaan ini juga TJ*lb": akan mengganggu reseimranga; ;;ift ;'ii"e*unsan bila I imbah vana drbuang tidak diolah tedebih dahuru..

Alat untuk menampung feces, cairan gas yang keluar dari lubang usus buatan hasil pembedahan melalui otot dan kulit perut. Hal ini dilakukan untuk mengganti fungsi normal