BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Jihad merupakan bagian integral dari wacana Islam sejak masa-masa awal
kedatangan Islam hingga kontemporer. Kata jihad dalam Al-Quran dengan berbagai
derivasinya disebut sebanyak 41 kali.1 Sebagian ada yang turun di Makkah
(Makkiyah) dan yang lainnya turun di Madinah (Madaniyah).
Jihad berasal dari kata juhd yang berarti kemampuan
(Al-Thaqah) atau jahd artinya berat (Al-Masyaqqah). Namun ada yang berpendapat
bahwa keduanya sinonim, bermakna tunggal yaitu kemampuan. 2 Dari akar
kata jahd atau juhd ini terbentuk pula kata ijtihad dan mujahadah. Ijtihad biasanya
dipahami sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran melalui
penelusuran dalil-dalil Al-Quran dan al-Sunnah, sedangkan mujahadah berarti upaya
sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Allah. Jika ijtihad sebagai aktifitas otak
maka mujahadah merupakan aktifitas batin atau rohani. Ijtihad populer di lingkungan
para ahli ushul al-fiqh, sementara mujahadah banyak dikenal di lingkungan mistikus
Islam. 3 Term jihad secara etimologi ialah upaya bersungguh-sungguh dengan
mengerahkan segala kemampuan untuk selalu berada di jalan Allah, sedangkan secara
terminologi para fuqaha’ banyak yang mengidentikkan dengan “memerangi” orang
kafir atau musuh.
Kendati demikian para fuqaha’ merumuskan jihad dengan bermacam-macam
bentuk, sebagaimana disimpulkan oleh Sa’id Aqil Siradj, yaitu ada empat bentuk.
Pertama,Itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah di muka bumi, seperti
dengan melantunkan adzan, dzikir dan wirid. Kedua, Iqamatu Syari’atillah, yaitu
1
Yusuf Qaradhawi, Fiqih Daulah, cet. ke-6 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000) hlm. 27
2 M. Chirzin, Kontroversi Jihad, hlm. 148 3
menegakkan nilai-nilai agama Allah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, menegakkan
nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran dan sebagainya. Ketiga, al-Qital fi
sabilillah, berperang di jalan Allah, maksudnya jika terdapat komunitas yang
memusuhi umat Islam dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama maka
diperbolehkan berperang namun harus memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan
oleh Allah. Keempat, Daf’u dlarari al-Ma’shumin Musliman Kana Au
Dzimmiyyan, artinya mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, serta
memenuhi kepentingan seseorang yang harus ditanggung oleh pemerintah, entah itu
muslim maupun kafir (non Muslim yang tidak memusuhi umat Islam, Kristen,
Majusi, Yahudi, ataupun yang lainnya).4 Pemaknaan jihad hanya sebagai “memerangi
orang kafir” sangatlah menakutkan, akan tetapi kini jihad banyak dipahami oleh
sebagian orang sebagai tindakan memerangi orang-orang yang tidak sepaham atau
dalam bahasa mereka orang-orang yang beraliran sesat.
Mengartikan jihad sebagai perang fisik memang tidak seluruhnya salah, juga
tidak seluruhnya benar. Dikatakan tidak seluruhnya salah karena dalam Al-Quran
sendiri tidak hanya satu atau dua ayat tentang jihad yang diartikan sebagai perang,
seperti dalam Al-Qur’an :
ْمِھْيَلَعْظُلْغاَو َنيِقِفاَنُمْلاَو َراﱠفُكْلاِدِھاَج ﱡيِبﱠنلااَھﱡيَأاَي
“Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan
bersikap tegaslah kepada mereka”.5
Secara literal (apa adanya) ayat ini sebenarnya tidak menyebutkan sendiri
pengertian jihad sebagai peperangan fisik (qital). Namun para ulama menafsirkannya
sebagai peperangan fisik. Jalal al-Din al-Suyuthi, Thabari, Ibn Katsir dan
Al-Qurthubi mengartikan ayat tersebut sebagai jihad dengan menggunakan pedang
4
Yusuf Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terjemah Bustami A. Gani dan Zainal
Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang,1950) hlm. 67
5
terhadap orang-orang kafir dan menggunakan jalan dialog dan diplomasi terhadap
orang-orang munafik.6 Ayat lain yang mengandung kata jihad misalnya :
نُكنِإ ْمُكﱠل ٌرْيَخْمُكِلَذِ ﱠﷲ ِليِبَسيِف ْمُكِسُفنَأَو ْمُكِلاَوْمَأِبْاوُدِھاَجَوًلااَقِثَواًفاَفِخْاوُرِفْنا َنوُمَلْعَت ْمُت
“Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa senang maupun merasa berat dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih
baik bagimu sekiranya kamu mengetahui”.7
Secara jelas ayat ini menyuruh umat Islam untuk segera bergegas perang
melawan musuh yang sudah datang dan mengancam. Fakhr al-Din al-Razi
menegaskan, dalam kondisi bagaimanapun, baik dalam keadaan suka maupun duka,
punya bekal atau tidak, punya senjata atau tidak, umat Islam harus berangkat
melawan tantangan orang-orang kafir. Ayat-ayat jihad yang berartikan perang fisik
seperti ini turun setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah dan hanya sebagai upaya
pertahanan diri dari serangan orang kafir yang terlebih dahulu menyerang (defensif)
sebagaimana yang akan terlihat nanti dalam pembahasan berikutnya.
Jihad yang diartikan sebagai perang fisik dikatakan tidak semuanya benar, karena
dalam Al-Quran sendiri banyak ayat-ayat jihad yang memiliki arti bukan perang fisik,
sebagai contoh misalnya :
اًريِبَكاًداَھِجِهِبمُھْدِھاَجَو َنيِرِفاَكْلاِعِطُتلاَف
“maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap
mereka dengan jihad yang besar”.8
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, al-Thabari, al-Qurthubi dan al-Razi, jihad
dalam ayat ini bermakna Al-Quran.
Contoh lain misalnya :
6
Ibid, hlm. 307
7 Q.S At-Taubah ayat 41 8
َنيِذﱠلاَو ...َنَلُبُس ْمُھﱠنَيِدْھَنَلاَنيِفاوُدَھاَج
“Orang-orang yang bersungguh-sungguh (jaahadu) di jalan Kami niscaya Kami
tunjukkan jalan-jalan menuju Kami…”.9
Fakhr al-Din al-Razi menafsirkan ayat ini dengan “barang siapa
bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah maka Allah akan menunjukkan kepadanya
jalan-jalan menuju surga”. Ibn Abbas dan Ibrahim Ibn Adham berpendapat, jihad dalam
ayat ini berarti mengamalkan ilmu. Abu Sulaiman al-Darani mengatakan, jihad dalam
ayat ini bukan berarti memerangi orang-orang kafir, melainkan menjalankan ajaran
agama yang salah satunya adalah berusaha secara sungguh-sungguh untuk taat
kepada Allah.10
Keberagaman arti jihad yang dikandung Al-Quran membuktikan bahwa arti
jihad tidak hanya perang fisik (qital) melawan orang-orang kafir, melainkan sangat
beragam. Jihad dalam arti qital hanya termaktub dalam ayat-ayat madani karena
semasa Nabi SAW dan pengikutnya berdomisili di Makkah selama tiga belas tahun
mereka hanya diperintahkan untuk bersabar dalam menghadapi kenakalan kafir
Quraisy. Oleh karena itu jihad priode Makkah diartikan sebagai usaha
bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah. Setelah umat Islam transmigrasi (hijrah) ke
Madinah barulah jihad dalam arti perang disyari’atkan dan itu pun sebatas pertahanan
diri (al-Difa’).
Kendati jihad disyari’atkan di Madinah, namun tidak semuanya bermakna
perang melawan kafir. Ayat jihad madani yang berarti memberikan bantuan harta
terhadap orang-orang yang membutuhkannya sebagaimana dalam Al-Qur’an :
ْلااَمﱠنِإ ِبَسيِفْمِھِسُفنَأَو ْمِھِلاَوْمَأِباوُدَھاَجَواوُباَتْرَيْمَل ﱠمُثِهِلوُسَرَوِ ﱠ اِباوُنَمآ َنيِذﱠلا َنوُنِمْؤُم ِ ﱠﷲ ِلي
9 Q.S Al-Ankabut ayat 69 10
“Sesungguhnya orang-orang mukmin hanyalah mereka yang beriman kepada Allah
dan rasul-Nya, mereka tidak ragu dan berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan
Allah.”11
Dengan demikian sangatlah jelas bahwa jihad tidak hanya berbentuk
memerangi orang-orang kafir semata, melainkan banyak bentuk lain dari jihad
tersebut. Di samping itu peperangan fisik dalam Islam biasanya disebut
dengan qital, ghazwah, harb, ma’rakah, syiar dan yang lainnya.12
Jihad ada tiga jenis:
1. Berjuang melawan sifat dasar yang buruk dalam diri sendiri yaitu melawan
nafsu dan kecenderungan kepada kejahatan.
2. Berjuang melalui karya tulis, bicara dan membelanjakan harta guna penyiaran
kebenaran Islam serta mengungkapkan keindahannya kepada non-Muslim.
3. Berjuang melawan musuh kebenaran, termasuk di dalamnya perang membela
diri.13
Dalam hadits-hadits Nabi SAW juga banyak sekali kata jihad disebutkan dengan
makna selain perang, seperti sabda Nabi SAW. “Jihad yang paling utama adalah
menyampaikan sesuatu yang benar di depan seorang penguasa yang zalim”. “Seorang
mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya untuk selalu berada di
jalan Allah”.
Pada suatu hari ‘Aisyah bertanya kepada nabi, “Wahai Rasul, kalau memang
jihad itu merupakan amal perbuatan yang paling utama, maka mengapa kami tidak
berjihad”. Nabi menjawab, “Jihad yang paling utama adalah haji yang mabrur”. Jika
11
Q.S Al-Hujarat ayat 15
12 Yusuf Qardhawi, Fiqih Daulah, cet. ke-6 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), hlm. 121
13
jihad hanya bermakna perang bagaimana mungkin Nabi SAW menggunakan istilah
jihad sebagai haji yang mabrur.14
Pembicaraan tentang jihad dan konsep-konsep yang dikemukakan sedikit atau
banyak mengalami pergeseran dan perubahan sesuai dengan konteks dan lingkungan
masing-masing pemikir.15 Jihad merupakan identitas pokok mukmin dalam praksisi
sosial teologi, dimana antara iman dan jihad tidak terpisahkan.16 Jihad dalam agama
Islam sangat dianjurkan bahkan jihad merupakan kewajiban bagi setiap kaum
muslimin untuk mempertahankan agama, karena jihad memiliki beberapa hukum,
antara lain yaitu: fardhu `ain (wajib bagi setiap muslim) dalam beberapa kondisi
ketika seorang muslim telah berada dalam barisan pasukan yang sedang menghadapi
pertempuran, maka fardhu `ain baginya berjihad dan berdosalah ia apabila
meninggalkan medan perang. Apabila musuh telah datang menyerang salah satu
negeri muslim, maka wajib bagi setiap penduduknya berjihad mengusir mereka. Jika
musuh belum tertumpas wajib `ain bagi setiap penduduk negeri muslim sekitarnya
berjihad hingga musuh keluar dari negeri tersebut.
Kata jihad yang kini menjadi sensitif dan kontroversial itu, sejatinya memiliki
multimakna. Namun, kini mengalami penyempitan makna yang mengarah kepada
perlawanan fisik; peperangan dan kekerasan yang radikal. Saat istilah jihad
diucapkan, makna yang tersirat pun hanya pertempuran, agresi militer, bom bunuh
diri, dan aksi-aksi kekerasan lainnya. Istilah jihad pun menjadikan mengerikan
banyak orang. Banyak contoh yang salah dalam mengartikan tentang jihad di
berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, terjadi peristiwa bom bunuh diri pada malam hari tanggal 12
Oktober 2002 di Kecamatan Kuta, Pulau Bali Indonesia. Peristiwa ini menelan 202
korban jiwa serta mencederai 209 orang lainnya dan kebanyakan merupakan
14
H.R Tarmizi
15
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga post-modernisme,
(Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 127.
16 Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies (ed), Wajah-Wajah Islam. Penerjemah A.E Priono dan Ade Armando
wisatawan asing. Setelah peristiwa bom bunuh diri di Bali 2002 itu, Indonesia terus
mengalami berbagai peristiwa bom bunuh diri lain, termasuk beberapa kali di Ibukota
Jakarta. Otak pelaku maupun para pelaku yang ikut tewas dalam peristiwa itu
semuanya mengaku melaksanakan jihad di jalan Allah dalam memerangi orang-orang
kafir.17
Namun demikian, di sisi lain, kita menyaksikan sejumlah ulama dan gerakan
Islam lain yang menentang konsep dan praktik jihad model Al-Qaedah atau Jamaah
Islamiyah ini. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dan Muhammad al-Sayyid Thanthawi
mengutuk aksi-aksi tersebut.18
Pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei, dan ulama
Syiah Irak, Ayatullah Ali al-Sistani, sama-sama mengutuk aksi tersebut. Al-Sistani
bahkan mengeluarkan fatwa yang memerintahkan seluruh Muslim untuk mematuhi
hukum yang berlaku di tiap negara yang ditinggalinya. “Setiap Muslim dan Muslimah
harus bertindak demi kepentingan tertinggi negara tempat tinggalnya dan menjaganya
dari segala tindakan yang membahayakan.”19 Hal yang lebih menarik menurut
catatan Amal Saad-Ghorayeb (2002), bahwa hampir semua peristiwa di atas maupun
peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi pada sasaran-sasaran sipil, Hizbullah
Lebanon, sebuah gerakan Islam yang sering diklaim sebagai teroris oleh Amerika
Serikat, pemerintah-pemerintah dan media massa Barat, justru selalu memberikan
pernyataan kutukan.
Nawaf al-Musawi, Ketua Departemen Luar Negeri Hizbullah, Lebanon,
secara tegas menolak serangan terhadap warga sipil World Trade Center. Dia
mengecam tindakan itu sebagai aksi terorisme. Pernyataan resmi Hizbullah mengutuk
aksi Al-Qaedah yang menyasar masyarakat sipil New York, tapi tidak memberikan
pernyataan soal serangan ke Pentagon.
17
Kompas, Juni 2011
18Situs The American Muslim, 2009 19
Hizbullah juga mengutuk rangkaian aksi pembantaian di Aljazair oleh
kelompok bersenjata Islam GIA, serangan-serangan Al-Jama’ah Al-Islamiyyah,
serangan kepada para wisatawan di Mesir, pembunuhan Nick Berg, pengeboman
Gereja Koptik di Aleksandria (Situs Muqowama, 2011) dan yang terakhir
pengeboman Bandara Moskow.20
Hasan Nashrullah, sekretaris jenderal Hizbullah, dalam berbagai kesempatan
mengutuk aksi-aksi kekerasan terhadap sasaran-sasaran sipil yang mengatasnamakan
jihad. Dia juga mengungkapkan bahwa ada perbedaan mendasar antara
sasaran-sasaran sipil dan militer di dalam dan di luar Israel.
“Di tanah pendudukan Palestina, kita tidak bisa membedakan antara sipil dan
tentara, karena mereka semua adalah penjajah, perampok dan perampas tanah.”
Sebaliknya, Hizbullah mengutuk keras seluruh aksi kekerasan, terutama bom bunuh
diri yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang berafiliasi
dengan Al-Qaedah di tempat-tempat ibadah dan ruang-ruang publik lainnya, terutama
di Gaza, Irak, Pakistan, dan Afghanistan terhadap kelompok-kelompok Muslim yang
berbeda mazhab. 21
Hasan Nashrullah, dalam sebuah wawancaranya dengan televisi Al-Manar
(Oktober, 2011), menyatakan bahwa musuh utama bangsa Arab dan umat Islam
dewasa ini ada tiga: politik Amerika Serikat di Timur Tengah; gerakan Zionis; dan
aliran takfiri (al-tayyar al-takfiri) yang cenderung mengkafirkan kelompok-kelompok
Muslim di luar lingkaran sempitnya dan mendorong penggunaan senjata dalam
merealisasikan program-program politiknya. Oleh karena itu, dia mengajak mayoritas
Muslim Ahlus Sunnah, minoritas Muslim Syiah, dan minoritas Kristen di Timur
Tengah untuk melawan ketiga musuh itu secara bergandengan tangan. 22
20
Ibid, hlm. 124
21
Amal Saad-Ghorayeb, 2002, hlm. 24
22
Perbedaan konsep dan praktek jihad menjadi semakin rumit ketika dikaitkan dengan
konsep takfir (pengkafiran) yang secara luas diadopsi oleh gerakan-gerakan Islam
Wahabi yang bernaung di bawah Al-Qaedah.
Salah satu gerakan jihad yang dibentuk pada tahun 1990-an oleh Abu Mus’ab
al-Zarqawi dengan nama al-Tawhid wa al-Jihad dan kemudian bergabung di bawah
komando Al-Qaedah dengan jelas melancarkan aksi-aksi kekerasan terhadap
mayoritas Muslim Syiah di Irak yang telah dikafirkannya.
Dalam pandangan kelompok-kelompok ini, takfir adalah cara efektif untuk
mengidentifikasi sasaran jihad yang absah dan merupakan konsep yang khas dari
ideologi Wahabi. Konsep inilah yang membawa gerakan-gerakan Islam di bawah
metonimi Al-Qaedah memiliki kultur jihad yang sangat eksklusif. Ia tidak mengenal
aliansi, koalisi atau sekadar kerjasama dengan kelompok yang tidak sejalan dengan
ideologinya. Bahkan, dengan mudah kelompok ini dapat berpecah dan bertikai satu
sama lain hanya karena salah satunya berkoalisi dengan kelompok-kelompok di luar
lingkaran eksklusif ideologinya.23
Di sisi lain, Hizbullah sebagai sebuah organisasi gerakan Islam tidak
mengenal diskursus takfir dan dengan demikian tidak bermusuhan dengan
kelompok-kelompok Muslim lain. Bahkan, ia menjalin hubungan politik dan strategis dengan
kelompok-kelompok sekuler atau penganut-penganut agama lain. Muhammad
Fnyasy, anggota legislatif dari fraksi Hizbullah di Parlemen Lebanon, mengecualikan
kalangan sekuler yang “menghina prinsip-prinsip dan kesucian-kesucian Islam” atau
yang memaksakan sekularisme sebagai ideologi negara.24 Dalam kenyataannya,
Hizbullah selalu melakukan aliansi, koalisi, dan kerjasama dengan berbagai
kelompok Muslim maupun non-Muslim lain dalam kerangka perjuangan politik dan
militernya melawan Israel. Di pentas politik nasional Lebanon misalnya, Hizbullah
menjalin koalisi yang kuat dengan Gerakan Patriotik Merdeka (Free Patriotic
Movement atau Al-Thayyar Al-Wathani Al-Hur) yang dipimpin oleh Jenderal Michel
23Ibid, hlm. 135
24
Aoun dari Kristen Maronit. Pada tahun 2006, Gerakan Patriotik Merdeka yang sudah
berubah menjadi partai politik Maronit terpopuler, menandatangani memorandum
kesepahaman dengan Hizbullah.25
Untuk menghindari sensitivitas dan eksklusivitas dalam istilah jihad,
Hizbullah lebih sering menggunakan istilah muqawamah (perlawanan, resistence)
dalam pernyataan-pernyataan politiknya.
Implikasi serius lain yang muncul dari perbedaan pandangan dalam penerapan
jihad ialah penentuan musuh dan wilayah yang diistilahkan oleh sejumlah teoritisi
jihad dengan dar al-harb (wilayah perang) sebagai lawan dari dar al-Islam (wilayah
Islam). Dalam konteks ini, dapat dilihat kembali perbedaan pandangan yang
mencolok antara Hizbullah dan Al-Qaedah. Mengikuti teori fiqih Syiah, Hizbullah
tidak mengakui dikotomi yang dicetuskan oleh Abu Hanifah dan dikembangkan oleh
Ibn Taymiyyah ini. Oleh karena itu, dalam pandangan Hizbullah, tidak terdapat
legitimasi untuk mengangkat senjata melawan negara Lebanon. Malah sebaliknya,
Hizbullah menuntut penguatan negara Lebanon dalam segala bidang, termasuk
bidang militer. 26
Pandangan gerakan-gerakan Islam Wahabi yang bernaung di bawah
organisasi induk Al-Qaedah, Lebanon termasuk dalam dar al-harb yang
membolehkan diterapkannya jihad melawan negara. Hal ini, misalnya, bisa dilihat
dari perilaku Fatah Al-Islam yang berafiliasi dengan Al-Qaedah di Lebanon.
Pertempuran antara Fatah Al-Islam dan militer Lebanon di kamp pengungsi Palestina,
Nahr Al-Barid, menurut Hassan Mneimneh, pada bulan Mei tahun 2007,
menunjukkan jihad model Al-Qaedah terhadap konsep negara Lebanon. Dari
berbagai pengakuan yang diberikan oleh para militan Fatah Al-Islam terungkap
adanya rencana untuk mengumumkan berdirinya “imarah” di Lebanon Utara dalam
rangka mengguncang negara Lebanon. Mneimneh menjelaskan bahwa para pemikir
25 Imron Al-Idrusy, Jihad di Jalan Allah, cet. ke-1 (Surabaya: Putera Pelajar, 2001), hlm 56
26
dan ideolog Al-Qaedah mendukung dan memuji Syakir Absi, pemimpin Fatah
al-Islam kelahiran Yordania yang selamat dari pertempuran tersebut. 27
Beberapa kasus di atas menggambarkan betapa kompleksnya konsep dan
praktik jihad di kalangan gerakan-gerakan Islam, sehingga muncul pertentangan yang
ekstrem antara aktor-aktor jihad. Kompleksitas ini sering menimbulkan persepsi yang
distorsif dan membingungkan tentang jihad di opini publik dunia, sehingga sering
diidentikkan secara tidak adil dengan terorisme. Mayoritas orang awam bahkan dari
kalangan Islam sendiri memahami jihad sebagai tindakan memerangi orang kafir.
Pemaknaan seperti itu tidak dapat disalahkan, karena kata-kata jihad yang terdengar
di media massa saat ini sering dikaitkan dengan bom bunuh diri, mati syahid bahkan
terorisme.
Kecendrungan mengaitkan jihad dengan perang suci, berakibat penyempitan
makna.28 Padahal istilah jihad fisabilillah bermakna amat luas, karena pengertian
membela agama tak hanya identik dengan mengangkat senjata, akan tetapi juga
cakupan yang luas dalam aktivitas manusia.29 Zakat, puasa, shadaqah, mengurusi
orang tua, berkata hak di hadapan penguasa yang menyeleweng juga merupakan
jihad, bahkan jihad dalam bentuk ini merupakan jihad yang paling utama. Seperti
yang dapat dilihat dalam Al-Qur’an :
ٌرْيَخ
ْمُكِل َٰذ
ۚ
ِ ﱠﷲ
ِليِبَس
يِف
ْمُكِسُفْنَأَو
ْمُكِلاَوْمَأِب
اوُدِھاَجَو
ًلااَقِثَو
اًفاَفِخ
اوُرِفْنا
ْمُكَل
ْنِإ
َنوُمَلْعَت
ْمُتْنُك
“ Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”30
27
Hassan Mneimneh, hlm. 15
28
Istilah Al-Qur’an untuk menunjukkan perjuangan adalah kata jihad sayangnya, istilah ini sering di salah pahami atau di persempit artinya. Lihat M. Quraish shihab, Batasan Al-Qur’an, cet. ke-3 (Bandung : Mirzan, 1996 ) hlm.501
29 Ibid, hlm. 503. 30
Dalam hal ini, Rasulullah memerintahkan kaum muslimin agar melenyapkan
kerusakan di dalam daulah dan menganggapnya lebih utama daripada menghadapi
serangan musuh dari luar. Hal ini sesuai dengan sabda beliau tatkala ditanya tentang
jihad paling utama.31
Menyampaikan kebenaran terhadap pemimpin yang zalim adalah berusaha
sekuat tenaga untuk dapat mengubah suatu kondisi pada pemerintahan yang berbuat
zalim atau melakukan kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya.
Kekuasaan atau pemerintahan dalam kehidupan bermasyarakat merupakan
peranan yang sangat penting dan strategis. Banyak hal yang dapat dilakukan dengan
mudah dalam sebuah lingkaran kekuasaan. Jika kekuasaan berada di tangan
penguasa yang adil, segala kebaikan dapat ditegakkan dan sebaliknya apabila
kekuasaan berada di tangan penguasa yang zalim, maka akan terjadi penindasan
terhadap rakyat dan segala macam bentuk ketidakadilan. Di dalam Al-Qur’an terdapat
beberapa contoh orang-orang yang sewenang-wenang di muka bumi, seperti Fir’aun,
Haman, Qarun, pasukan dan para pengikutnya.
Dewasa ini serangan militer yang dilakukan kaum kafir terhadap umat Islam
masih terjadi. Akibatnya umat Islam saat ini hidup dalam kondisi yang semakin berat
dan tantangannya pun semakin kompleks, seperti yang terlihat di Afganistan dan Irak
yang dijadikan sebagai lahan jihad bagi umat Islam di pelosok dunia. Bahkan dari
Indonesia pun banyak umat Islam yang turut serta untuk pergi jihad ke Afganistan
dan Irak.
Selain jihad dengan bertempur di medan perang, ada jihad yang lain. Bahkan
jihad ini lebih utama daripada berperang di medan tempur, tanpa harus menghunus
pedang dan mengangkat senjata, yaitu jihad dengan berkata benar di hadapan
penguasa yang zalim. Zalim di sini dalam artian melakukan sesuatu kemungkaran
31 Abu Abdu Rahman Ahmad An-Nasa “Terjemahan Sunan An-Nasa’iy, jilid IV, Alih Bahasa Bey Arifin dkk, cet
seperti penguasa yang melakukan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya,
memanipulasi hasil pemilihan umum, mencuri kekayaan milik rakyat, menimbun
harta kekayaan, mengeksploitasi rakyat, menekan oposisi, membentuk
peraturan-peraturan untuk melanggengkan kekuasaan, mencabut hak asasi manusia serta segala
macam bentuk tindakan yang menyebabkan terjadi kemungkaran.
Untuk meluruskan kemungkaran-kemungkaran tersebut tidak bisa seenaknya
menuduh pemerintah telah berbuat zalim terhadap rakyatnya dengan menuding
mereka dan melakukan anarkisme tanpa melalui prosedur hukum di negara tersebut.
Di Indonesia misalnya, sering ditayangkan berita-berita di televisi, mahasiswa yang
berdemonstrasi di jalanan dengan seenaknya saja menuding pemerintah telah berbuat
kemungkaran dengan berbuat anarki merusak aset-aset negara tanpa ada tindak lanjut
dan solusi yang jelas. Pertanyaannya, apakah melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar harus dengan melakukan teror bom yang sering terjadi akhir-akhir ini. Tentu
tidak, karena pemerintah sudah punya solusi dan prosedural yang jelas dalam rangka
mendengar suara rakyat, yaitu melalui MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang notabenenya sebagai pendengar dan
penyampai aspirasi suara rakyat.
Peran partai politik sangat urgen dan umat Islam dituntut untuk memiliki andil
dalam kancah perpolitikan dan mempelajari ilmu politik, karena secara teoritis,
politik adalah suatu ilmu yang memiliki urgensi dan kedudukan tersendiri. Secara
praksitis, politik adalah suatu profesi yang memiliki kehormatan dan manfaat
tersendiri, karena berkaitan dengan usaha menangani urusan manusia dengan cara
sebaik-baiknya.32 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwa
Darminta, politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan seperti
tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula
32
berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.33
Para ulama terdahulu telah memaparkan nilai dari keutamaan politik, hingga
Al- Imam Al- Ghazali pernah berkata seperti yang dikutip Yusuf Al-Qardhawi dalam
bukunya Fiqih daulah : “Dunia ini merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan
menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Pemimpin dan agama merupakan anak
kembar. Agama merupakan dasar dan penguasa merupakan penjaga. Sesuatu yang
tidak mempunyai dasar pasti akan ambruk, dan sesuatu yang tidak mempunyai
penjaga pasti akan lenyap”.34
Umat Islam dapat mencontoh perjuangan para tokoh-tokoh muslim yang tak
henti-hentinya melakukan perjuangannya melalui jalan politik. Contoh yang paling
dekat adalah Rasulullah. Beliau adalah seorang politikus, di samping sebagai
mubaligh, pengajar dan hakim. Beliau adalah pemimpin daulah dan pemimpin umat.
Berkaitan dengan tema jihad dan menyoroti kondisi umat Islam dewasa ini
terdapat hal menarik yang dilontarkan oleh Yusuf Qardhawi. Beliau adalah seorang
intlektual muslim yang banyak mengorbankan waktu, tenaga dan pikirannya dalam
pembahasan masalah politik Islam. Beliau kerap datang ke Indonesia dan beliau
menaruh harapan besar akan datangnya kebangkitan umat Islam di Indonesia.
Menurutnya Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia mempunyai kekayaan
alam dan sumber daya manusia yang sangat potensial untuk “memenangkan” umat
Islam dari tekanan dunia Internasional.35 Di dalam Fiqih Daulah beliau berpendapat
bahwa kebebasan berpolitik merupakan kebutuhan pokok pada zaman sekarang.
Islam tidak akan bangkit, dakwahnya tidak akan menyebar, kekuatannya tidak akan
tampak, dan penyakitnya akan terus menggerogoti, kecuali ia diberi kebebasan yang
tidak hanya terbatas, sehingga ada peluang baginya untuk berjalan berdampingan
33
W.J.S. Poerwa Darminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. ke-12, hal 763.
34 Yusuf Qaradhawi, Fiqih Daulah, cet. ke-6 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000) hlm.138. 35
dengan fitrah manusia yang menyertainya, memperdengarkan adzan yang
dirindukannya dan memberi kepuasan yang dirindukannya.36
Menjadi hak manusia dalam Islam dan bahkan merupakan kewajiban mereka
untuk menyampaikan nasihat kepada pemimpin dan meluruskannya jika
menyimpang, memerintahkannya kepada yang ma’ruf dan mencegahnya dari yang
munkar. Pemimpin adalah salah seorang dari kaum muslimin, bukan orang yang
terlalu agung sehingga tidak memerlukan nasihat dan tidak bisa diperintah.
Orang-orang Islam juga tidak perlu kerdil untuk memberi nasihat atau memerintah.
Jika umat Islam mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar, maka hilanglah
rahasia keistimewaan dan kebaikannya yang akhirnya akan disusul dengan datangnya
laknat seperti yang dialami umat sebelum mereka, karena mereka tidak saling
mencegah dari kemungkaran yang dikerjakan.37
Hal yang harus dilakukan adalah menata pemerintahan untuk meluruskan
penyimpangan tanpa harus menghunus pedang dan mengangkat senjata. umat Islam
perlu berjihad untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
penguasa serta menggunakan prosedural yang jelas dan dapat diikuti oleh seluruh
umat Islam tanpa melanggar hukum atau aturan-aturan yang berlaku di negara
tersebut. Dengan demikian, jihad sebagai salah satu syarat bagi orang beriman dapat
teraplikasi dan terakomodir seperti yang tertera dalam Al-Qur’an.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah jihad yang seperti apa yang cocok
diterapkan dalam meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
penguasa dan juga dalam mencegah kemungkaran yang terjadi di tengah-tengah
umat. Oleh karena dalam Islam makna jihad amatlah luas, maka ada banyak bentuk
dan macam-macamnya dari mulai jihad melawan hawa nafsu sampai qital.
36 Yusuf Qardhawi, Fiqih Daulah, cet. ke-6 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), hlm 202. 37
Yusuf Qardhawi sabagai seorang tokoh yang sangat memperhatikan
permasalahan umat dewasa ini menawarkan sebuah konsep jihad yang menarik yang
dapat dilakukan umat Islam dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar melalui
sarana politik praktis atau partai sebagai kekuatan politik yang merupakan alat yang
sangat berpengaruh untuk suatu tujuan yang mulia.
Saat ini terdapat beberapa partai dengan mengatasnamakan partai Islam dan
mempunyai misi melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan juga para wakilnya
yang sering ditayangkan media masa, baik cetak maupun elektronik
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan penguasa dan juga kemungkaran semakin bertambah
telah menduduki sebagian kursi di parlemen, akan tetapi kenyataannya.
Hal ini yang menarik bagi penulis untuk membahas dan meneliti pemikiran
Yusuf Qardhawi tentang jihad politik, dan realitas jihad.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya,
dan rumusan masalah dapat menghasilkan jawaban dari topik penelitian atau judul
penelitian.
Dari latar belakang dan juga pemaparan di atas, maka dalam penelitian ini
yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimanakah jihad menurut pandangan
Yusuf Al-Qardhawi ?
1.3 Batasan Masalah
Dalam suatu penelitian, penulis perlu membuat pembatasan masalah terhadap
masalah yang akan dibahas dengan tujuan untuk memperjelas dan membatasi
ruang lingkup penelitian, serta menghasilkan uraian yang sistematis dan hasil
penelitian yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai.
Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang jihad.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
maka permasalahan pokok yang akan dibahas dan menjadi sasaran studi dalam
penelitian ini adalah : untuk mengetahui dan mendeskripsikan pandangan Yusuf
Qardhawi tentang jihad dan realitasnya.
1.5 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat terlebih lagi untuk
perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian
ini adalah :
a. Sumbangan pemikiran bagi umat Islam khususnya bagi yang menyebut
dirinya tokoh politik dalam memformulasikan penyelesaian masalah umat
Islam.
b. Sebagai bahan pertimbangan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut
bagi pengembangan disiplin ilmu politik Islam.
c. Upaya untuk memahami jihad dalam pemaknaan yang dinamis dan
progresif di tengah persoalan sosial
7. Metodologi Penelitian 7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan ( library research )
yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi
relevansinya dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini, seperti
Al-Qur’an dan hadist, buku, majalah, surat kabar, dan naskah-naskah lainnya yang
objek kajian penelitiannya adalah pemikiran politik tokoh dalam hal ini Yusuf
Qaradhawi.
7.2 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yaitu untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,38 dalam hal ini
menguraikan pemikiran Yusuf Qaradhawi secara sistematis dan seobjektif mungkin.
7.3 Teknik pengumpulan data
Data diambil dari sumber kepustakaan, berupa : Al-Qur’an dan Hadist, buku,
majalah, ensiklopedi, dokumen-dokumen sejarah, maupun sumber-sumber lainnya
yang berkaitan dengan obyek penelitian. Buku Yusuf Qardhawi, fiqih daulah menjadi
data primer, sedangkan buku-buku lain yang relevan dengan Yusuf Qardhawi
menjadi data sekunder.
7.4 Analisis Data
Analisis data akan dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan instrumen
analisis deduktif. Deduktif merupakan analisis dengan cara menerangkan data-data
yang bersifat umum untuk menemukan kesimpulan yang lebih bersifat khusus. Dalam
konteks ini akan dianalisis pemikiran Yusuf Qardhawi tentang jihad dan realitasnya
kemudian mendeduksikannya dengan pendekatan normatif.
38 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986) hlm.