BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pidana denda merupakan salah satu bagian dari pidana pokok yang
ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau
pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP, dalam perjalanannya
dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, antara lain menurunnya nilai mata
uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana
denda. Selain itu, pidana penjara masih di nomor satukan dalam penetapan dan
penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama
tercapainya efek jera bagi pelaku dan tercapainya pencegahan umum.1
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara yang selama ini
diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda dapat
menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan
tujuan pemidanaan yang diharapkan yaitu efek jera. Pidana denda akan selalu
menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus
perkara pidana. Pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi
pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan secara materi yang
menimbulkan kerugian karena merasa materi durugikan dengan menyita harta
benda untuk menutupi denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara
1
pelelangan). Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah
kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.2 Efektivitas pidana denda masih jauh dari tujuan pemidanaan karena pidana
denda belumlah mempunyai fungsi dan peran yang optimal. Fungsi dan peran
pidana denda belum optimal karena para penegak hukum masih cenderung untuk
memilih pidana penjara ataupun kurungan daripada pidana denda. Kondisi ini
dikarenakan juga peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan
dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau
alternatif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan
masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu
undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Pidana
denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan
fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif ataupun pidana tunggal belum
mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan,
terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan
tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan.3
Pelaku dalam pidana denda seharusnya membayar sendiri pidana denda
yang dijatuhkan, walaupun dengan pemaksaan oleh pihak yang berwenang, dalam
hal ini jaksa penuntut umum melakukan penyitaan (sementara). Pidana denda
dapat dijadikan salah satu pemasukan negara sebagai penghasilan negara bukan
pajak (PNBP). Pola pidana denda harus ditetapkan dan dilaksanakan secara
konsisten dengan mendasarkan pada kepentingan hukum seseorang atau
2 Ibid,
hal.11. 3
masyarakat yang dilindungi. Penentuan pola pidana yang telah ditetapkan perlu
dijadikan dasar untuk melakukan pengharmonisasian peraturan
perundang-undangan, baik peraturan yang telah dibentuk maupun peraturan yang akan atau
sedang dibentuk.4
Pidana denda adalah pemberian sejumlah uang tertentu sebagai ganti
kerugian atas pelanggaran yang dilakukan. Salah satu bentuk tindak pidana yang
dikenakan dengan pidana denda adalah tindak pidana terhadap pelanggaran lalu
lintas. Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya
bersifat ringan sehingga hakim lebih cederung menjatuhkan pidana denda kepada
setiap pelanggar lalu lintas.5
Di Indonesia pengaturan tentang lalu lintas dan angkutan jalan secara
nasional diatur di dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menjadi dasar
pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan mengenai
pidana denda terhadap setiap pelanggaran lalu-lintas secara jelas telah diatur
dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tersebut..
Pelaksanaan penerapan pidana denda di masing-masing daerah
berpedoman kepada tabel denda tilang dari hasil koordinasi antara Ketua
Pengadilan Negeri, Kepala Kepolisian dan Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
Penetapan tabel denda ini didasarkan dengan pertimbangan kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat setempat, dengan demikian tabel pidana denda dari
masing-4 Ibid. 5
Niniek Suparni,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan
masing daerah akan bervariasi besar anggaran dananya. Dasar hukum berlakunya
penetapan tabel denda tilang tersebut adalah berdasarkan SEMA nomor 4 tahun
1993. Mahkamah Agung bersama dengan Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia tertanggal 19 Juni 1993 telah
mengeluarkan kesepakatan tentang “Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran
Lalu Lintas Jalan Tertentu” yang terutama dimaknai sebagai kesepakatan bersama
dalam menentukan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh pelanggar lalu
lintas dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1993
tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu
Lintas Jalan Tertentu hingga saat ini SEMA tersebut masih menjadi acuan dalam
pembuatan kesepakatan di tingkat daerah untuk menentukan besarnya pidana
denda yang harus dibayarkan oleh para pelanggar lalu lintas.6
SEMA Nomor 4 Tahun 1993 kemudian diimplementasikan oleh Ketua
Pengadilan Negeri dengan melakukan kesepakatan bersama Kepala Kejaksaan
Negeri dan Kepala Kepolisian Resort/ Kota Besar untuk menentukan kisaran
besaranya pidana denda yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat setempat.
Kesepakatan Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri dan
Kepala Kepolisian Resort/ Kota Besar pada umumnya dituangkan dalam bentuk
tertulis sebagai pedoman bagi polisi di jalan yang melakukan penindakan bagi
6
para pelanggar lalu lintas dan bagi Hakim dalam memutuskan besarnya pidana
denda yang harus dibayar oleh pelanggar untuk disetorkan kepada negara melalui
jaksa selaku eksekutor negara.
Pengadilan Negeri Medan telah menyikapi hal tersebut dan telah
melakukan kesepakatan secara lisan antara Ketua Pengadilan Negeri Medan,
Kepala Kejaksaan Negeri Medan dan Kepala Kepolisian Medan yang kemudian
oleh Ketua Pengadilan dituangkan dalam suatu tabel jenis pelanggaran dan
besarnya pidana denda yang kemudian menjadi acuan bagi Hakim dalam
memutuskan besarnya pidana denda yang harus dibayarkan kepada negara oleh
pelanggar.
Contoh dari penerapan pidana denda yang penulis peroleh dari Pengadilan
Negeri Medan ialah seorang pelanggar lalu lintas bernama Faisal yang beralamat
jalan Binjai km 10 pekerjaan wiraswasta berumur 26 tahun yang mengendarai
sepeda motor bernomor polisi BK 2041 UH pada tanggal 14 juli 2012 ditilang
polisi dengan nomor regisiter tilang 3340829 karena melanggar pasal 288 (2)
UULAJ Yo.211,212 PP 44 tahun 1993 (tidak dapat menunjukkan surat izin
mengemudi (SIM)) dan pasal 290 dan 291 (1)(2) UULAJ Yo.70 PP 43 tahun
1993 (melanggar kewajiban menggunakan helm bagi pengemudi atau penumpang
sepeda motor) di daerah Aksara wilayah hukum Polresta Medan dan berdasarkan
pasal 16 sub a dan e UU no 2 tahun 2002 dan pasal 39 dan pasal 40 UU no 8
tahun 1981 dan pasal 260 UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan maka polisi menyita sebuah STNK pelanggar tersebut.
diharuskan membayar denda Rp.100.000,- dan biaya perkara Rp.500,- atau
subsider 3 hari kurungan. Hal yang terlihat disini bahwa jumlah denda yang
dibayarkan oleh terdakwa tidak sesuai dengan tabel denda tilang sesuai hasil
koordinasi antara Kapoltabes MS, Kajari Medan dan Ketua Pengadilan Negeri
Medan. Putusan hakim tersebut akan tetapi tidak bertentangan dengan UULAJ.
Terdakwa hanya dikenakan denda sebesar Rp.100.000,- yang seharusnya
terdakwa dikenakan denda sebesar Rp.160.000,- yakni denda Rp.100.000,-
karena melanggar pasal 288 (2) UULAJ Yo.211,212 PP 44 tahun 1993 (tidak
dapat menunjukkan surat izin mengemudi (SIM)) dan Rp.60.000,- karena
melanggar pasal 290 dan 291 (1)(2) UULAJ Yo.70 PP 43 tahun 1993 (melanggar
kewajiban menggunakan helm bagi pengemudi atau penumpang sepeda motor)
apabila denda yang dikenakan didasarkan oleh tabel denda tilang sesuai hasil
koordinasi antara kapoltabes MS, kajari Medan dan ketua pengadilan negeri
Medan.
Contoh lain yang penulis dapat ialah seorang pelanggar lalu lintas bernama
Imam Hanadi yang beralamat di jalan Sei Serayu nomor 4 pekerjaan pelajar
berumur 18 tahun yang mengendarai sepeda motor bernomor polisi BK 2677 SJ
pada tanggal 22 Juli 2012 ditilang polisi dengan nomor register tilang 3368552
karena melanggar pasal 293 (2) dan 107 (2) di daerah lapangan benteng wilayah
hukum Polresta Medan dan berdasarkan pasal 16 sub a dan e UU no 2 tahun 2002
dan pasal 39 dan pasal 40 UU no 8 tahun 1981 dan pasal 260 UU nomor 22 tahun
2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan maka polisi menyita sebuah STNK
Medan, terdakwa diharuskan membayar denda Rp.40.000,- dan biaya perkara
Rp.500,- atau subsider 3 hari kurungan. Hal yang terlihat disini bahwa jumlah
denda yang dibayarkan oleh terdakwa sesuai dengan tabel denda tilang sesuai
hasil koordinasi antara kapoltabes MS, kajari Medan dan ketua pengadilan negeri
Medan.
Penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu lintas di kota Medan belum
sepenuhnya dilaksanakan mengacu atau berpedoman kepada tabel denda tilang
tersebut. Berdasarkan contoh kasus yang telah diuraikan diatas, penerapan pidana
denda terhadap kedua kasus di atas menunjukkan adanya perbedaan pandangan
hakim dalam penerapan jumlah dendanya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk
menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “PENERAPAN
PIDANA DENDA DALAM HUKUM PIDANA (STUDI PELANGGARAN
LALU LINTAS DI MEDAN)”
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pandangan hukum pidana terhadap penerapan pidana denda
pada pelanggaran lalu-lintas ?
2. Bagaimana penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu-lintas di
3. Bagaimana analisa penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu-lintas
dalam putusan tilang di Medan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah
yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang
hukum yang mengatur tentang penerapan pidana denda serta mampu memberikan
masukan bagi pembaruan pidana denda di Indonesia. Adapun yang menjadi tujuan
dalam penulisan skripsi penulis yang berjudul “PENERAPAN PIDANA
DENDA DALAM HUKUM PIDANA (STUDI PELANGGARAN LALU
LINTAS DI MEDAN)” sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum pidana terhadap penerapan
pidana denda pada pelanggaran pidana lalu-lintas.
b. Untuk mengetahui penerapan pidana denda dalam pelanggaran pidana
lalu-lintas di Medan.
c. Untuk mengetahui. analisa penerapan pidana denda dalam pelanggaran
lalu-lintas dalam putusan-putusan tilang di Medan.
2. Manfaat Penulisan
Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana
dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari
1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu
bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana perspektif hukum pidana
terhadap penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu-lintas, mulai dari
kerangka teoritik pidana denda dalam hukum pidana, pengaturan hukum
menyangkut pidana denda, serta pidana denda itu sendiri dalam sistem
pemidanaannya terhadap pelanggaran lalu lintas
2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya tentang bagaimana
penerapan pidana denda dalam pandangan hukum pidana baik itu
menyangkut efektifitasnya, eksistensinya, implementasinya, serta
hambatannya hingga sampai pada upaya mengatasi hambatan tersebut dapat
memberikan suatu pengetahuan serta pencerahan.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan Skripsi yang berjudul ” Penerapan Pidana Denda Dalam
Hukum Pidana (Studi Pelanggaran Lalu Lintas Di Medan) ” adalah hasil
pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepegetahuan penulis belum pernah
ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul skripsi yang diuraiakan
dibawah ini, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan
demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah.
Penulis juga telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian
judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hal ini dapat
Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang
Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :
1. Nama : Erwin H. Simanjuntak
Nim : 050200007
Judul : Penyelesaian hukum terhadap anak dalam perkara kecelakaan
lalulintas (studi polres labuhan batu)
2. Nama : David Ondian Panggabean
Nim : 050200187
Judul : Tindak pidana di bidang lalulintas dan angkutan jalan menurut
UU No 22 Tahun 2009 dan upaya penanggulangannya (Studi
Satlantas Poltabes Medan)
3. Nama : Hotman Silalahi
Nim : 030221028
Judul : kecelakaan lalulintas di jalan raya suatu tinjauan teori kelaparan
4. Nama : Nova Ratna Miranda
Nim : 050200309
Judul : Penegakan hukum pidana dalam kecelakaan lalulintas (studi
kasus PN Kabanjahe)
5. Nama : Aser br. Ginting’
Judul : Kajian yuridis pidana denda pada pelaku tindak pidana menjual
minuman beralkohol tanpa izin (studi putusan PN Balige
No.01/Pid.c/TPR/2010/PN.Blg)
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Pidana
Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang di dalamnya
berisikan tentang jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga
mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana.
Hukum penitensier juga di samping itu berisi tentang sistem tindakan (maatregel
stelsel). Dalam usaha negara mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban,
melindunginya dari penyimpangan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara
represif disamping diberi hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana, negara
juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan (maatregelen). 7
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan
istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena sudah
lazim merupakan terjemahan dari recht.8
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai
akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan
7
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo,2010) hal.23. 8
hukum pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut
sebagai tindak pidana (strafbaar feit).9
Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu diharapkan pada masalah-masalah
atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Keadaan yang
demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban
dalam masyarakat.
Istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht
sedangkan dalam bahasa Inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law.
Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan
pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya
yang khas. Beberapa pendapat dari para Sarjana tentang pidana yaitu sebagai
berikut :
Menurut Sudarto : Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara
kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.10
Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada
seorang pelanggar ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang
itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam
mempetahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam
dalam hukum pidana inilah yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum
yang lain. Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana
9Ibid., hal.24. 10
terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak
memadai.
Menurut Roeslan Saleh dalam buku Stelsel Pidana Indonesia mengatakan
bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang
sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik.11
Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama
dengan pengertian pidana dari Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu
nestapa, diberikan oleh negara, kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang
dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat
memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman
hukuman atau pidana.
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan
penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa :12
“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan
sentence atau veroordeling.”
Pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim, merupakan
pengertian “penghukuman” dalam arti sempit yang mencakup bidang hukum
pidana saja; dan maknanya sama dengan sentence atau veroordeling, misalnya
11
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.5. 12
dalam pengertian sentence conditionally atau voorwaardelijk veeroordeeld yang
sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”.13
2. Pengertian Pidana Denda
Pidana denda adalah pemberian sejumlah uang tertentu sebagai ganti
kerugian atas pelanggaran yang dilakukan. Pidana denda sebagai bagian dari
pidana pokok, belum dikupas secara mendalam oleh para ahli hukum pidana
apakah pidana denda dapat disejajarkan dengan pidana hilang kemerdekaan, atau
jika tidak disejajarkan apakah pidana denda dapat dikatakan mempunyai efek jera
bagi pelaku tindak pidana sebagaimana dikupas dalam tujuan pemidanaan. Pada
saat pidana denda digunakan dan ditentukan sebagai pidana alternatif atau pidana
yang diancamkan secara tunggal dalam beberapa pelanggaran yang ditentukan
dalam buku III KUHP, maka orang beranggapan bahwa pidana denda sebagai
bagian dari pidana pokok, akam mempunyai efek jera dan hal ini merupakan
bagian dari penderitaan.14
Pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan
kemerdekaan. Sarana dalam politik kriminal pidana tidak kalah efektifnya dari
pidana pencabutan kemerdekaan. Pada dasarnya, sedapat mungkin denda itu harus
dibayar oleh terpidana dan untuk pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu.
Denda yang dibayar itu dapat diambilkan dari kekayaan atau pendapatan terpidana
sebagai gantinya. Pengertian “apabila keadaan mengizinkan” berarti terpidana
mampu, akan tetapi tidak mau melunasi dendanya. Usaha pengganti itu tidak
13
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981) hal.42. 14
mungkin, maka pidana penjara pengganti dikenakan kepadanya. Ketentuan agar
terpidana sedapat mungkin membayar dendanya harus diartikan bahwa kepadanya
diberi kesempatan oleh Hakim untuk mengangsur dendanya.15
Mengingat tujuan pemidanaan yang tidak berupa pembalasan, maka dalam
penjatuhan pidana denda hakim harus memperhatikan kemampuan terpidana
secara nyata.
3. Pengertian Lalu Lintas dan Pelanggaran Lalu Lintas
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan adalah suatu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angutan
jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan serta pengelolaannya. Lalu lintas
adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan.16 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, bahwa lalu lintas adalah perjalanan bolak-balik; perihal
perjalanan dijalan dan sebagainya; perhubungan antara sebuah tempat. Subekti
juga memberikan definisi tentang lalu lintas adalah sebagai berikut: “segala
penggunaan jalan umum dengan suatu pengangkutannya”.17 Dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengertian lalu lintas dalam arti luas adalah hubungan antar
manusia dengan ataupun tanpa disertai alat penggerak dari suatu tempat ke tempat
lain dengan menggunakan jalan sebagai ruang geraknya.
Sebenarnya seorang pengemudi kendaraan bermotor tidak menginginkan
terjadinya gangguan kendaraan selama perjalanan, baik itu gangguan ringan
15
Niniek Suparni, Lop.Cit, hal.36. 16
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 17
seperti mogok maupun gangguan yang terberat. Pengemudi yang mengalami
keterlambatan sampai ke tujuan, gangguan tersebut dapat juga mengakibatkan
timbulnya kemacetan, pelanggaran atau kemacetan lalu lintas.
Pelanggaran lalu lintas atau yang sering disebut dengan tilang merupakan
perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan lalu lintas. Pelanggaran yang dimaksud tersebut
adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 106 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 yang berbunyi: setiap orang yang menggunakan jalan wajib:
a. Berperilaku tertib;dan/atau
b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan
keselamatan lalu lintas dang angkutan jalan, atau dapat menimbulkan
kerusakan jalan.
Ketentuan tersebut apabila dilanggar, maka dikualifikasikannya sebagai
salah satu pelanggaran yang terlibat dalam kecelakaan.
Hal ini dapat dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi dalam praktek
sehari-hari dimana pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran ternyata
memang pada umumnya lebih ringan daripada sanksi pelaku kejahatan. KUHP
tidak memberikan pengertian atau definisi tentang pelanggaran. Untuk
menguraikan tentang pengertian pelanggaran, maka dikemukakan beberapa
pendapar sarjana hukum, diantaranya adalah Wirjono Prodjodikoro yang
mengatakan bahwa pelanggaran (overtredingen) berarti suatu perbuatan yang
melanggar suatu dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada
Menurut Bambang Poernomo bahwa pelanggaran adalah politis-on recht
dan kejahatan adalah crimineel-on recht. Politis-on recht itu merupakan perbuatan
yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa
Negara. Crimineel-on recht itu merupakan perbuatan yang bertentangn dengan
undang-undang.18
Dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur pelanggaran adalah sebagai
berikut:
a. Adanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang
b. Menimbulkan akibat hukum. Jadi harus mempertanggungajawabkan
atas perbuatan tersebut.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan
pelanggaran lalu lintas adalah perbuatan atau tindakan seseorang yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas dan
angkutan jalan atau peraturan perundang-undangan lainnya.
F. Metode Penelitian
Metode diartikan sebagai suatu jalan atau suatu cara untuk mencapai
sesuatu.
1) Jenis Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dibagi menjadi dua yaitu:19
a. Penelitian Hukum Normatif, yaitu: metode penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan
18
Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum Pidana (Bandung : Citra Aditya, 2002) hal.48. 19
pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan
perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri.
b. Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris adalah metode penelitian yang
dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran
dengan menggunakan metode berpikir induktif .
Untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian hukum
adalah yuridis normative. Maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian
juridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan
penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu lintas. Hal ini ditempuh dengan
melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan
adalah yuridis normative maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan pidana denda dan mengenai hal
pelanggaran lalu lintas.
2) Jenis Data dan Sumber Data
Data dapat dibagi menjadi 2 yaitu data primer dan data sekunder. Sumber
data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah mengunakan data primer dan
data sekunder.
a. Bahan Hukum Primer, yaitu :
Berbagai dokumen peraturan perundang-undangan yang tertulis yang ada
dalam dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum
KUHAP, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu :
Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat
digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada.
Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai pidana
denda dan pelanggaran lalu lintas, seperti hasil seminar atau makalah dari
pakar hukum, Koran, majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni internet
yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.
a. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah :
a) Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan
inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan, dan dokumen
serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.
b) Field Research, yaitu penelitian lapangan, yang dilakukan melalui
wawancara terhadap informan. Penulis melakukan wawancara di
Pengadilan Negeri Medan dengan informan Baslin Sinaga S.H, M.H
hakim Pengadilan Negeri Medan dan Jonny Sitohang S.H, M.H hakim
Pengadilan Negeri Medan, Kejaksaan Negeri Medan dengan informan
Amrizal Fahmy S.H jaksa tilang di Kejaksaan Negeri Medan dan
Agustinus Perangin-angin S.H. jaksa di Kejaksaaan Negeri Medan dan
Pembinaan Operasional Polantas Medan dan Benny S.H. polisi lalu lintas
di poltabes Medan.
b. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Metode
deskriptif yaitu mengambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi
pokok permasalahan. Kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan
dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan
kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban
atas permasalahan yang dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Secara sistematis, organisasi penelitian dan penulisan skripsi ini,
dirumuskan sebagai berikut :
Bab I. PENDAHULUAN
Terdiri atas sub-sub bab yang datangnya dari penulis, terhadap topik dan
atau pokok persoalan yang akan diteliti dan dibahas. Sub-sub bab yang
dimaksud adalah : Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penulisan, Keasliaan Penulisan, Tinjauan Kepustakaan,
Metode penelitian dan terakhir Sistematika Penulisan.
Bab II. PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN
Berisikan mengenai bab-bab pembahasan, yang merupakan pokok
permasalahan yang dibahas dalam skripsi dan terorganisir dalam beberapa
bab yang tersusun secara logis, yang terdiri atas sub-sub bab : Kerangka
Teori Pidana Denda dalam Hukum Pidana, Pengaturan Pidana dalam
KUHP, Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Pelanggaran Lalu
Lintas.
Bab III. PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM PELANGGARAN LALU
LINTAS DI MEDAN
Berisikan uraian-uraian mengenai pokok permasalahan yang menitik
beratkan kepada bagaimana sistem penerapan pidana denda itu sendiri
dalam sistem Pelanggaran Lalu Lintas khususnya di Medan mulai dari
eksistensi diterapkannya pidana denda dalam Pelanggaran Lalu Lintas,
implementasi pidana denda sebagai salah satu bentuk pemidanaan serta
hambatan yang terjadi pada penerapan pidana denda dalam pelanggaran
lalu lintas khususnya yang terjadi di Medan setelah melalui pengamatan
serta penelitian yang dilakukan. Terdiri dari sub-sub bab : Faktor
Penyebab Terjadinya Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Medan, Keberadaan
dan Pelaksanaan Pidana Denda dalam Penerapan Sanksi terhadap
Pelanggaran Lalu Lintas di Medan hingga Efektifitas Penerapan Pidana
Denda dalam Pelanggaran Lalu Lintas di Medan.
Bab IV. ANALISA PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM
PELANGGARAN LALU LINTAS DALAM PUTUSAN TILANG DI
Berisi hasil dari penelitian yang isinya hasil analisa dari putusan-putusan
tilang dalam pelanggaran lalu lintas di Medan. Terdiri dari sub-sub bab :
Putusan dengan Register Nomor perkara tilang yang akan dianalisis dan
analisis kasus putusan register nomor tersebut
Bab V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian
terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dan saran-saran penulis
dari hasil penelitian untuk perbaikan hukum kedepan khususnya yang
berhubungan dengan penerapan pidana denda dalam pandagnan hukum