• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA BAB II PENGARUH PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR LUAR TERHADAP POLA DAN STRUKTUR RUANG KOTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA BAB II PENGARUH PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR LUAR TERHADAP POLA DAN STRUKTUR RUANG KOTA"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

BAB II

PENGARUH PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR LUAR

TERHADAP POLA DAN STRUKTUR RUANG KOTA

2.1 Struktur Ruang Kota

2.1.1 Pengertian struktur ruang kota

Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, seperti pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan yang ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal.

Ilmu Struktur Ruang Kota merupakan ilmu yang membahas tentang bagaimana pola-pola penggunaan lahan di kawasan kota. Menurut Hadi Sabari Yunus dalam buku Struktur Ruang Kota (2000) berpendapat bahwa ada 5 (lima) kategorisasi pendekatan-pendekatan tentang penggunaan lahan kota, yaitu:

(2)

3. Pendekatan Morfologikal (Urban Morphological Approach). 4. Pendekatan Sistem Kegiatan (Activity Systems Approach). 5. Pendekatan Ekologi Faktoral (Factoral Ecology Approach).

Pendekatan Ekologikal oleh McKenzie (1925) diartikannya sebagai suatu studi hubungan spatial dan temporal dari manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan, selektif, distributif, dan akomodatif dari pada lingkungan. Pendekatan Ekonomi oleh Cooley (1894) dan Weber (1895) mengemukakan bahwa jalur transportasi dan titik simpul (pertemuan beberapa jalur transportasi) dalam suatu sistem transportasi mempunyai peran yang cukup besar terhadap perkembangan kota. Pendekatan Morfologi Kota oleh (Hebert, 1973) mengemukakan bahwa tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian maupun bukan (perdagangan/industri) dan juga bangunan-bangunan individual. Pendekatan Sistem Kegiatan (Chapin, 1965) diartikan secara komprehensif sebagai suatu upaya untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan, lembaga-lembaga dan firma-firma yang mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan di dalam kota. Pendekatan Ekologi Faktoral, hal ini digunakan untuk menganalisis struktur keruangan kota (urban spatial structure) dengan menggunakan analisis faktor sebagai tekniknya.

(3)

merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni alam (nature), individu manusia (antropos), masyarakat (society), ruang kehidupan (shells), dan jaringan (network). Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur yaitu place (tempat tinggal); work (tempat kerja); folk (tempat bermasyarakat).

Kus Hadinoto (1970-an) mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu wisma, tempat tinggal (perumahan); karya: tempat bekerja (kegiatan usaha); marga, jaringan pergerakan, jalan; suka, tempat rekreasi/hiburan; penyempurna, prasarana dan sarana. Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional seperti dikemukakan oleh Kevin Lynch yang menyatakan sifat suatu objek fisik menyebabkan kemungkinan besar membuat citra (image) yang kuat pada setiap orang. Menurutnya ada lima unsur dalam gambaran mengenai kota yaitu path, edge, district, node, dan landmark. Sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang, kota terdiri dari susunan unsur-unsur pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural yang berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang kota. Adapun elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005:97) yaitu:

1. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat pelayanan.

(4)

3. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.

4. Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.

2.1.2 Bentuk dan model struktur ruang

Bentuk struktur ruang kota apabila ditinjau dari pusat pelayanan (retail) terbagi menjadi tiga, yaitu (Sinulingga, 2005:103-105):

1. Monocentric City

Monocentric City adalah kota yang belum berkembang pesat, jumlah penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang sekaligus berfungsi sebagai Central Bussines District (CBD).

2. Polycentric City

Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan tidak efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan lebih dari satu pusat pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru yang dinamakan sub pusat kota (regional centre) atau pusat bagian wilayah kota.

(5)

CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian wilayah kota (regional centre) akan membentuk kota menjadi polycentric city atau cenderung seperti multiple nuclei city yang terdiri dari:

a. CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi kompleks perkantoran. b. Inner suburb (kawasan sekeliling CBD), yaitu bagian kota yang

tadinya dilayani oleh CBD waktu kota belum berkembang dan setelah berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi sebagian lagi dilayani oleh sub pusat kota.

c. Sub pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang kemudian tumbuh sesuai perkembangan kota.

d. Outer suburb (pinggiran kota), yaitu bagian yang merupakan perluasan wilayah kegiatan kota dan dilayani sepenuhnya oleh sub pusat kota. e. Urban fringe (kawasan perbatasan kota), yaitu pinggiran kota yang

secara berangsur-angsur tidak menunjukkan kota lagi, melainkan mengarah ke bentuk pedesaan (rural area).

3. Kota Metropolitan

Kota Metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari kota tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan penduduk wilayah metropolitan. Adapun model struktur ruang apabila dilihat berdasarkan pusat-pusat pelayanan diantaranya adalah:

(6)

Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub pusat yang satu dengan sub pusat yang lain.

b. Multi Nodal

Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat daan sub-sub pusat yang saling terhubung satu sama lain. Sub-sub pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga terhubung langsung dengan pusat.

c. Multi Centered

Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lain.

d. Non Centered

Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node memiliki hirarki sama dan saling terhubung antara satu dengan yang lain (Gambar 2.1).

(7)

Selain itu beberapa penulis juga menggolongkan tipologi struktur ruang sebagaimana pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Tipologi Struktur Ruang Sumber: Wiegen (2005)

2.1.3 Perkembangan Kota dan Struktur Ruang

Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sorotan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode dalam Daldjoeni (1996:87), perkembang kota dipandang sebagai fungsi dari pada faktor-faktor jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial. Sedangkan menurut Bintarto (1989), perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zona-zona yang berada di dalam wilayah perkotaan.

(8)

posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk ilustrasi seperti:

1. Tofografi. 2. Bangunan.

3. Jalur Transportasi. 4. Ruang Terbuka. 5. Kepadatan Bangunan. 6. Iklim Lokal.

7. Vegetasi Tutupan. 8. Kualitas Estetika.

Secara skematik Branch, menggambar 6 (enam) pola perkembangan kota (Gambar 2.3).

(9)

Berdasarkan pada penampakan morfologi kota serta jenis penyebaran areal perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999), mengemukakan beberapa alternatif model bentuk kota.

Secara garis besar ada 7 (tujuh) buah model bentuk kota yang disarankan, yaitu:

1. Bentuk Satelit dan Pusat-pusat Baru (satelite and neighbour plans), kota utama dengan kota-kota kecil akan dijalin hubungan pertalian fungsional yang efektif dan efisien.

2. Bentuk Stellar atau Radial (stellar or radial plans), tiap lidah dibentuk pusat kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan yang menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi dan tempat olah raga bagi penduduk kota.

3. Bentuk Cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang disepanjang jalan utama yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah hijau terbuka.

(10)

5. Bentuk Inti/Kompak (the core or compact plans), perkembangan kota biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertikal sehingga memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil. 6. Bentuk Kota Bawah Tanah (underground city plans), struktur

perkotaannya dibangun di bawah permukaan bumi sehingga kenampakan morfologinya tidak dapat diamati pada permukaan bumi, di daerah atasnya berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah pertanian yang tetap hijau.

Bentuk-bentuk kota tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Beberapa Alternatif Bentuk Kota Sumber: Hudson, 1999

(11)

1. Unsur-unsur penggunaan lahan/tata guna lahan. 2. Bentuk dan tipe bangunan.

3. Pola dan fungsi yang dibentuk oleh jalan dan bangunan.

Berdasarkan studinya di kota-kota Amerika, Hebert (1976) mengemukakan bukti-bukti yang kuat akan pengaruh perkembangan prasarana transportasi terhadap morfologi kota. Menurut beliau, kota di Amerika adalah kota-kota yang terkondisikan oleh kemajuan teknologi di bidang transportasi.

Dari mulanya terbentuk sampai dengan perkembangan mutakhir kota-kota di Amerika, keadaan transportasi dan perkembangannya telah membentuk 7 (tujuh) kategori morfologi kota, yaitu;

1. Morfologi kota pada masa dominasi transportasi berjalan kaki. 2. Morfologi kota pada masa dominasi kereta binatang.

3. Morfologi kota pada masa dominasi kereta listrik (trolly) kecil. 4. Morfologi kota pada masa dominasi kereta api antar kota. 5. Morfologi kota pada masa dominasi automobile untuk antar kota.

6. Morfologi kota pada masa perkembangan jalan-jalan raya bebas hambatan antar kota-kota dan wilayah (region).

7. Morfologi kota pada masa perkembangan jalan-jalan lingkar.

(12)

pada masa berikutnya. Dari ketujuh morfologi kota tersebut dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan besar berdasarkan sifat-sifat perembetannya, yaitu:

1. Kategori morfologi kota dalam suatu pertumbuhan kompak; ini meliputi masa pejalan kaki, kereta binatang dan kereta listrik kecil.

2. Kategori morfologi kota dalam masa pertumbuhan literal meliputi masa perkembangan hubungan transportasi antar kota.

3. Kategori morfologi kota pertumbuhan menyebar (leapfrog development) dengan ciri tumbuhnya pusat-pusat baru di sekeliling kota karena dibangunnya beberapa jalan lingkar.

Hal ini banyak tergantung pada ketersediaan lahan-lahan pertanian itu sendiri, sistem perekonomian negara, sistem orientasi perencanaan kota serta kepedulian perencana kota terhadap lingkungan. Dengan makin tingginya aksesibilitas, makin banyak pula pusat-pusat kegiatan yang baru. “Leap-frog development” akan berkembang dengan pesat. Bentuk kotanya sangat tidak kompak dan terserak (Gambar 2.5).

(13)

2.1 4 Cara perkembangan kota

Dari bidang sejarah, kota diteliti dan diilustrasikan dengan baik bahwa sejak ada kota, maka juga ada perkembangannya, baik secara keseluruhan maupun dalam bagiannya, baik ke arah positif maupun negatif. Oleh karena itu, dinamika perkembangan kota pada prinsipnya baik dan alamiah karena perkembangan itu merupakan ekspresi dari perkembangan masyarakat di dalam kota tersebut. Kota bukan sesuatu yang bersifat statis karena memiliki hubungan erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi keempat, yaitu waktu.

Pada dasarnya, perkembangan perkotaan perlu diperhatikan dalam dua aspek, yaitu dari perkembangan secara kuantitas dan secara kualitas. Hubungan antara kedua aspek ini sebetulnya erat dan di dalam skala makro agak kompleks karena masing-masing saling berpengaruh sehingga perkembangan suatu daerah tidak boleh dilihat secara terpisah dari lingkungannya. Secara teoritis dikenal tiga cara perkembangan dasar di dalam kota, dengan tiga istilah teknis, yaitu perkembangan horizontal (Gambar 2.6, dan 2.7), perkembangan vertikal (Gambar 2.8), serta perkembangan interstisial (Gambar 2.9).

(14)

Gambar 2.7 Perkembangan horizontal di London, Inggris pada tahun 1830 dan 1960 (Digambar ulang menurut Benevelo, Leonardo, The history of the city, New York

1982. hlm 968) Sumber: Zahnd, (1999:26)

Gambar 2.8 Perkembangan Vertikal Sumber: Zahnd (1999,25)

(15)

2.1.5 Perembetan kenampakan fisik kota

Pergeseran waktu ke depan selalu membawa pertambahan jumlah penduduk terutama di daerah perkotaan yang serta-merta diikuti tuntutan kebutuhan hidup akan meningkat pula dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Hal-hal ini secara otomatis akan membuat peningkatan kegiatan penduduk perkotaan yang pada gilirannya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang semakin besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Terjadilah proses perembatan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar yang disebut “urban sprawl” dengan pengambil alihan lahan non urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran kota disebut sebagai “invasion”.

Menurut R.V. Retcliff (1949) bahwa pusat kota dianggap sebagai suatu tempat yang punya aksesibilitas terbesar dan dari lokasi inilah “centrality-value”

(nilai pemusatan) akan menurun secara teratur ke arah luar sampai pada “urban peripheries”.

(16)

keruangan suatu kota ditentukan melalui evaluasi dollar tentang pentingnya ”convencience” (dalam arti luas) dan gambaran struktur keruangannya mirip dengan apa yang telah dikemukakan oleh Burgess (concentric zone theory). Disini variabel jarak dianggap sebagai ukuran “convencience” di atas. Model yang dihasilkan adalah “concentric zonal model” yang terdiri berturut-turut dari pusat kota (Gambar 2.10) adalah:

1. Retailing functions.

2. Industrial and transportation facilities.

3. Residential zone.

4. Agricultural zones.

Gambar 2.10 Model “Bid Rent” dan Zone Penggunaan Lahan Kota (Menurut Retcliff, 1949)

(17)

2.1.6 Macam Urban Sprawl

Secara garis besar ada tiga macam proses perluasan areal kekotaan (urban sprawl) (Yunus, 2000:125), yaitu:

1. Tipe 1. Perembetan konsentris (Concentric Develompment/Low Density Continous Develompment). Tipe pertama ini oleh Hahrley Clark (1971) disebut sebagai “lowdensity, continous development” dan oleh Wallece (1980) disebut “concentric development”. Jadi ini merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat. Perembatan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota. Karena sifat perembetannya yang merata di semua bagian luar kenampakan kota yang ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak (Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Perembetan Konsentris Sumber: Yunus (1999:126)

(18)

pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat disepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membubungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit (Gambar 2.12).

Gambar 2.12 Perembetan Linear Sumber: Yunus (1999:128)

(19)

3. Tipe 3. Perembetan yang meloncat (leap frog develompment/checkerboard develompment). Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian. Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana-prasarana fasilitas kebutuhan hidup sehari-hari (Gambar 2.13).

Gambar 2.13 Perembetan Meloncat Sumber: Yunus (1999:129)

(20)

khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hirarki-hirarki tertentu (Gambar 2.14, dan 2.15).

Gambar 2.14 Perkembangan Kota Konsentrik dan Kota Linier Sumber: (Marshall, 2005)

(21)

Gambar rencana wilayah kota ini mengilustrasikan secara idealistis perumusan sebuah wilayah yang boleh dianggap perkotaan.

Wilayah ini memiliki ruang-ruang yang dibentuk dan disusun secara hirarkis. Hirarkis utama diberikan pada sebuah daerah tertentu yang berfungsi sebagai pusat dengan hubungannya di dalam skala makro yaitu keseluruhan.

Kemudian, hirarki kedua diberikan pada bentuk dan susunan wilayah masing-masing serta pusatnya. Akhirnya, hirarki ketiga berfokus pada skala mikro di dalam wilayah masing-masing.

2.2 Ekspresi Keruangan Morfologi Kota

Berbagai macam variasi ekspresi keruangan dari pada morfologi kota. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ekspresi keruangan morfologi kota.

2.2.1 Bentuk-bentuk kompak

Bentuk-bentuk Kompak adalah sebagai berikut: 1. Bentuk bujur sangkar (the square cities).

Kota berbentuk bujur sangkar menunjukkan adanya kesempatan perluasan kota ke-segala arah yang “relatif” seimbang dan kendala fisikal ”relatif” tidak begitu berarti.

(22)

Gambar 2.16 Kota Berbentuk Bujur sangkar Sumber: Herbert (1976)

2. Bentuk empat persegi panjang (the rectanguler cities).

Melihat bentuknya orang dapat melihat bahwa dimensi memanjang sedikit lebih besar dari pada dimensi melebar. Hal ini dimungkinkan timbul karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap perkembangan areal kota pada salah satu sisi-sisinya (Nelson, 1958) (Gambar 2.17).

Gambar 2.17 Kota Bentuk Empat Persegi Panjang Sumber: Yunus (1999:115)

Hambatan-hambatan tersebut antara lain dapat berupa lereng yang terjal, perairan, gurun pasir, hutan, dan lain sebagainya. “Space” untuk perkembangan arealnya cukup besar baik melebar maupun mamanjang.

Kendala

(23)

3. Bentuk Kipas (fan shaped cities).

Bentuk semacam ini sebenarnya merupakan bentuk sebagian lingkaran (Gambar 2.18).

Gambar 2.18 Kota Berbentuk Kipas Sumber: Yunus (1999:116)

Dalam hal ini, ke arah luar lingkaran kota yang bersangkutan mempunyai kesempatan berkembang yang relatif seimbang. Oleh sebab-sebab tertentu pada bagian-bagian lainnya terdapat beberapa hambatan perkembangan areal kekotaanya. Secara garis besar, hambatan-hambatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Hambatan-hambatan alami (natural constraints) misalnya, perairan, pegunungan.

b. Hambatan-hambatan artifikal (artificial constraints): saluran buatan,

zoning, ring roads.

Khusus untuk bentuk Kipas ini, kendala-kendala dapat berada pada: a. Bagian dalam dari pada lingkaran.

b. Bagian luar lingkaran.

c. Bagian dalam dan bagian luar lingkaran. Kota-kota pelabuhan yang terletak di dataran rendah dan daerah belakangnya relatif datar maka

(24)

bentuk (a) adalah paling mungkin terjadi. Dalam hal ini kendala perkembangan areal terletak pada bagian dalam lingkarannya, yaitu “tubuh perairan”. Untuk kota-kota bentuk (b) biasanya berada dan berkembang pada delta sungai yang besar. Dalam hal ini kendala perkembangan areal berada pada bagian dalam dan bagian luar lingkaran. Namun untuk kota yang berbentuk pada “alluvialfan”

misalnya, maka kendalanya hanya pada bagian dalam. Bentuk (c) menunjukkan bentuk lingkaran hampir sempurna. Di sini jelas bahwa kendala perkembangan areal hanya berada pada bagian dalam lingkarannya. Kendala tersebut dapat berupa pegunungan (lereng terjal) atau dapat berupa “water body” (suatu teluk).

4. Bentuk bulat (rounded cities)

(25)

ini. Pada bagian-bagian yang terlalu lambat perkembangannya, dipacu dengan peraturan-peraturan misalnya “planned unit development” sedang untuk bagian-bagian yang terlalu cepat perkembangan areal kekotaannya dapat dihambat/dihentikan sama sekali, misalnya dengan “development moratoria”. Batas terluar daripada kotanya ditandai dengan “green belt zoning” atau “growth limitation” dengan “ring roads”. Dengan demikian terciptalah bentuk bulat arcificial (Gambar 2.19).

Gambar 2.19 Kota Berbentuk Bulat Sumber: Yunus (1999:118)

5. Bentuk pita (ribbon shaped cities)

(26)

Sepanjang lembah pegunungan dan sepanjang jalur transportasi darat utama adalah bagian-bagian yang memungkinkan terciptanya seperti ini. Northam, 1975 ”Space” untuk perkembangan areal kekotaannya hanya mungkin memanjang saja (Gambar 2.20).

Gambar 2.20 Kota Berbentuk Pita Sumber: Yunus (1999:119)

6. Bentuk Gurita/Bintang (octopus/star shaped cities).

Peranan jalur transportasi pada bentuk ini juga sangat dominan sebagaimana dalam “ribbon-shaped city”. Hanya saja, pada bentuk gurita jalur transportasi tidak hanya satu arah saja, tetapi beberapa arah ke luar kota. Hal ini hanya dimungkinkan apabila daerah “hinterland” dan pingirannya tidak memberikan halangan-halangan fisik yang berarti terhadap perkembangan areal kekotaannya (Gambar 2.21).

Gambar 2.21 Kota Berbentuk Gurita Sumber: Yunus (1999:120)

Kendal

(27)

7. Bentuk yang tidak berpola (unpatterned cities).

Kota seperti ini merupakan kota yang terbentuk pada suatu daerah dengan kondisi geografis yang khusus. Daerah dimana kota tersebut berada telah menciptakan latar belakang khusus dengan kendala-kendala pertumbuhan sendiri. Sebuah kota pulau (island city) misalnya, mungkin saja membentuk kota yang sesuai dengan bentuk pulau yang ada. Sebuah cekungan struktural dengan beberapa sisi terjal sebagai kendala perkembangan areal kekotaannya, sangat mungkin pula ditempati oleh suatu kota dengan bentuk yang khusus pula (Gambar2.22).

Gambar 2.22 Kota Pulau Sumber: Yunus (1999:120)

2.2.2 Bentuk-bentuk Tidak Kompak

Bentuk-bentuk areal kekotaan yang tidak kompak pada pokoknya merupakan satu daerah kekotaan yang mempunyai areal kekotaan terpisah-pisah oleh kenampakan bukan kekotaan. Pemisahnya dapat merupakan kenampakan topografis maupun kenampakan agraris.

Beberapa contoh antara lain: Laut

(28)

1. Bentuk Terpecah (fragmented cities).

Kota jenis ini pada awal pertumbuhannya mempunyai bentuk yang kompak dalam skala wilayah yang kecil. Dalam perkembangan selanjutnya perluasan areal kekotaan baru yang tercipta ternyata tidak langsung menyatu dengan kota induknya, tetapi cenderung membentuk “exclaves” pada daerah-daerah pertanian sekitarnya. Kenampakan-kenampakan kekotaan yang baru ini dikelilingi oleh areal pertanian dan dihubungkan dengan kota induk serta “exclaves” yang lain dengan jalur transportasi yang memadai.

Tersedianya lahan di luar kota induk yang cukup memungkinkan terciptanya keadaan ini. “Privat Developers” mempunyai andil yang sangat besar dalam penciptaan tipe ini. Untuk negara-negara berkembang “exclaves” ini kebanyakan merupakan daerah permukiman, baik permukiman baru maupun lama yang telah berubah dari sifat perdesaan menjadi sifat kekotaan. Lama-kelamaan daerah-daerah kekotaan yang terpisah-pisah tersebut dapat menyatu membentuk kota yang lebih besar dan kompak (Gambar 2.23).

(29)

2. Bentuk Berantai (chained cities).

Kota ini sebenarnya juga merupakan bentuk terpecah, namun karena terjadinya hanya disepanjang rute tertentu, kota ini seolah-olah merupakan mata rantai yang dihubungkan oleh rute transportasi. Oleh karena jarak antara kota induk dengan kenampakan-kenampakan kota yang baru tidak jauh, beberapa bagian tersebut membentuk kesatuan fungsional yang sama, khususnya dibidang ekonomi. Jalur transportasi mempunyai peranan dominan dalam perkembangan areal kekotaannya. Dalam perkembangan selanjutnya mungkin sekali bagian-bagian tersebut dapat membentuk “ribbon city” yang besar(Gambar 2.24).

Gambar 2.24 Kota Berantai Sumber: Yunus (1999:122)

3. Bentuk Terbelah (spilit cities).

(30)

Gambar 2.25 Kota Terbelah Sumber: Yunus (1999:123)

4. Bentuk Stellar (stellar cities).

Kondisi morfologi kota ini biasanya terdapat pada kota-kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit. Dalam hal ini terjadi penggambungan antara kota besar utama dengan kota-kota satelit di sekitarnya, sehingga kenampakan morfologi kotanya mirip “telapak katak pohon” dimana pada ujung-ujung jarinya terdapat bulatan-bulatan. Majunya sarana transportasi dan telekomunikasi, mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan kenampakan ini. Proses kontribusi yang terus-menerus akan menciptakan bentuk megapolitan (Gambar 2.26).

Gambar 2.26 Kota Stellar

(31)

2.3 Pola Ruang Kota

2.3.1 Pengertian pola ruang kota

Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Pola pemanfaatan ruang kota adalah bentuk yang menggambarkan ukuran, fungsi, dan karakteristik kegiatan perkotaan. Ditinjau dari pola pemanfaatan ruangnya, kota atau kawasan perkotaan secara garis besar terdiri dari kawasan terbangun–kawasan tidak terbangun (RTH). Dalam hal ini kawasan terbangun adalah ruang dalam kawasan perkotaan yang mempunyai ciri dominasi penggunaan lahan secara terbangun atau lingkungan binaan untuk mewadahi kegiatan perkotaan. Jenis-jenis pemanfaatan ruang kawasan terbangun kota antara lain adalah kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan industri.

(32)

pemanfaatan ruang yang ada atau yang ingin diwujudkan. Jaringan jalan dapat menjadi faktor yang mendorong perkembangan kegiatan, dan sebaliknya pengembangan suatu kegiatan memerlukan dukungan pengembangan jaringan jalan.

2.3.2 Perubahan tata guna lahan di perkotaan 2.3.2.1 Sistem guna lahan-transportasi

Interaksi guna lahan dan transportasi merupakan interaksi yang sangat dinamis dan kompleks. Interaksi ini melibatkan berbagai aspek kegiatan serta berbagai kepentingan. Perubahan guna lahan akan selalu mempengaruhi perkembangan transportasi demikian pula sebaliknya. Pola perubahan dan besaran pergerakan serta pemilihan moda pergerakan merupakan fungsi dari adanya pola perubahan guna lahan di atasnya. Sedangkan setiap perubahan guna lahan dipastikan akan membutuhkan peningkatan yang diberikan oleh sistem transportasi dari kawasan yang bersangkutan (Black, 1981). Untuk menjelaskan bagaimana interaksi itu terjadi, Meyer dan Miller (1984) menunjukkan kerangka sistem interaksi guna lahan dan transportasi.

(33)

ekonomi wilayah, harga lahan dan sebagainya. Selain itu komponen sistem transportasi terliput adanya unsur kemajuan teknologi, keterbatasan sistem jaringan, sistem operasi dan lain sebagainya. Implikasi dari perubahan atau perkembangan sistem aktivitas adalah meningkatnya kebutuhan sarana dan prasarana dalam bentuk pemenuhan kebutuhan aksesibilitas. Peningkatan aksesibilitas ini selanjutnya akan memicu berbagai perubahan guna lahan (Gambar 2.27).

Gambar 2.27 Bagan Sistem Interaksi Guna Lahan dan Transportasi Sumber: Michael, Meyer & Miller, 1984:63

Proses perubahan yang saling mempengaruhi ini akan berlangsung secara dinamis. Perubahan guna lahan selanjutnya akan menjadi faktor dominan dalam mengarahkan dan membentuk struktur kota. Perubahan ini akan mengakibatkan pula peningkatan produktivitas guna lahan dalam bentuk alih fungsi lahan ataupun peningkatan intensitas ruang. Tentunya proses ini tidak selalu berimplikasi positif,

SISTEM AKTIVITAS

AKSESIBILITAS SISTEM

(34)

implikasi yang bersifat negatif kerap terjadi pada saat beban arus pergerakan mulai mengganggu keseimbangan kapasitas jalan pada sistem jaringan kota (Paquette, 1982).

Selanjutnya Martin (1959) menyatakan bahwa adanya saling keterkaitan antara perkembangan guna lahan, perubahan guna lahan, perubahan populasi, serta perubahan pada sistem transportasi membentuk siklus suatu sistem dinamis yang saling mempengaruhi antara guna lahan dan transportasi. Pola guna lahan dapat mengidentifikasikan kegiatan perkotaan disetiap zona yang bersangkutan.

Setiap zona dapat dicirikan dengan tiga ukuran, yaitu jenis kegiatan, intensitas penggunaan dan aksebilitas antar guna-lahan (Warpani, 1990:74-77). Secara terperinci, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis Kegiatan

Jenis kegiatan dapat ditelaah dari dua aspek, yaitu yang umum menyangkut penggunaannya (komersial, industri, permukiman) dan yang khusus menyangkut sejumlah ciri yang lebih spesifik (daya dukung lingkungan, luas dan fungsi). Setiap jenis kegiatan membentuk karakteristik sistem transportasi tertentu, sesuai dengan bangkitan yang ditimbulkan.

2. Intensitas Guna Lahan

(35)

bersangkutan. Data ini bersama-sama dengan jenis kegiatan menjelaskan tentang besarnya perjalanan dari setiap zona.

3. Hubungan Antar Guna Lahan

Kebijaksanaan untuk mengalokasikan industri pada daerah pinggir kota perlu diimbangi Ukuran ini berkaitan dengan daya hubung antar zona yang terdiri dari jenis kegiatan tertentu. Untuk mengukur tingkat aksebilitas dapat dikaitkan antar pola jaringan perangkutan kota dengan potensi guna lahan yang bersangkutan.

Meyer dalam bukunya “Urban Transportation Planning” menyimpulkan bahwa sistem interaksi guna lahan dan transportasi tidak pernah mencapai keseimbangan, sebagai contoh: populasi sebagai salah satu subsistem selalu berkembang setiap saat mengakibatkan subsistem lainnya akan berubah untuk mengantisipasi kondisi. Yang pasti adalah sistem tersebut akan selalu menuju keseimbangan.

(36)

yang berkembang maka akan mengakibatkan peningkatan arus pergerakan, pola persebaran dan permintaan pergerakan yang mana perubahan-perubahan tersebut berkonsekuensi dengan aksebilitas.

2.3.2.2 Pengertian penggunaan lahan

Lahan kota merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena lahan tersebut merupakan tempat manusia melakukan segala aktifitasnya.

Pengertian lahan dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi fisik geografi, lahan adalah tempat dimana sebuah hunian tercipta dan mempunyai kualitas fisik yang penting dalam penggunaannya.

Sementara ditinjau dari segi ekonomi lahan adalah suatu sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam produksi (Lichfield dan Drabkin, 1980:12).

Beberapa sifat atau karakteristik lahan yang dikemukakan oleh Sujarto dan Drabkin adalah sebagai berikut:

1. Secara fisik, lahan merupakan aset ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh kemungkinan penurunan nilai dan harga, dan tidak terpengaruh oleh waktu.

(37)

adanya harapan peningkatan fungsi penggunaan lahan tersebut selanjutnya.Lahan tidak dapat dipindahkan (not transportable) tetapi sebagai substitusinya intensitas penggunaan lahan dapat ditingkatkan. Sehingga faktor lokasi untuk setiap jenis penggunaan lahan tidak sama. 3. Lahan tidak hanya berfungsi untuk tujuan produksi tetapi juga sebagai

investasi jangka panjang (long-term investment) atau tabungan. Keterbatasan lahan dan sifatnya yang secara fisik tidak terdepresiasi membuat lahan menguntungkan sebagai tabungan.

Keunikan sifat lahan mendorong pergeseran aktifitas penduduk perkotaan ke lahan yang mulai berkembang di daerah penggiran kota, tidak hanya sebagai barang produksi tetapi juga sebagai investasi terutama pada lahan-lahan yang mempunyai prospek akan menghasilkan keuntungan yang tinggi.

(38)

2.3.2.3 Penggunaan lahan kota

Ada 3 (tiga) sistem yang berhubungan dengan penggunaan lahan kota, yaitu (Chapin,1979:28-31):

1. Sistem aktivitas kota, berhubungan dengan manusia dan lembaganya seperti rumah tangga, perusahaan, pemerintahan dan lembaga-lembaga lain dalam mengorganisasikan hubungan-hubungan mereka sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan keterkaitan antara yang satu dengan yang lain dalam waktu dan ruang. Dalam melakukan interaksi ini, melibatkan dimensi hubungan yang kadang-kadang menggunakan media tetapi tidak jarang juga berhadapan langsung dengan didukung oleh sistem transportasi. Jadi, dalam konteks ini sistem aktifitas kota mewujudkan aktifitas-aktifitas antar tempat dan antar perjalanan dan tempat sebagai pelengkap kegiatan mereka. Dengan kata lain, pergerakan diwujudkan dalam jaringan transportasi dan aktifitas dalam bentuk guna lahan.

2. Sistem pengembangan lahan, berhubungan dengan proses konversi atau rekonversi lahan (ruang) dan penyesuaiannya bagi kegunaan manusia dalam mendukung sistem aktifitas yang telah ada sebelumnya. Sistem pengembangan lahan ini berhubungan dengan lahan kota baik bagi dari segi penyediaan maupun dari segi ekonomisnya. Dalam sistem pengembangan lahan ini, unsur-unsur yang terlibat adalah pemilik lahan,

(39)

3. Sistem lingkungan, berhubungan dengan unsur-unsur biotik dan abiotik yang dihasilkan dari proses alam yang dikaitkan dengan air, udara dan zat-zat lain. Sistem ini berfungsi untuk menyediakan tempat bagi kehidupan dan keberadaan manusia dan habitat serta sumber daya untuk mendukung kelangsungan hidup manusia.

Ketiga sistem tersebut akan saling mempengaruhi dalam membentuk struktur penggunaan lahan kota. Di negara-negara yang telah maju, unsur yang paling mempengaruhi dalam pembentukan struktur ruang kota ini adalah sistem aktivitas karena di negara yang telah maju tersebut biasanya mempunyai penduduk yang padat dan banyak serta bermacam-macam kegiatan kota sehingga sistem aktivitas masyarakat kotanya akan jauh lebih baik berperan dari pada sistem pengembangan lahan dan sistem lingkungannya. Pada dasarnya ketiga sistem tersebut apabila saling berinteraksi dan saling berhubungan satu dengan yang lain akan membentuk suatu pola penggunaan lahan kota. Pola penggunaan lahan kota ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kotanya.

2.3.2.4 Jenis Penggunaan lahan

(40)

penambangan sumber daya alam). Untuk mengetahui penggunaan lahan di suatu wilayah maka perlu diketahui komponen-komponen penggunaan lahannya. Berdasarkan jenis pengguna lahan dan aktivitas yang dilakukan di atas lahan tersebut, maka dapat diketahui komponen-komponen pembentuk guna lahan (Chapin dan Kaiser, 1979:28-30). Menurut Maurice Yeates, komponen penggunaan lahan suatu wilayah terdiri atas (Yeates,1980):

1. Permukiman 2. Industri 3. Komersial 4. Jalan

5. Tanah Publik 6. Tanah Kosong

Sedangkan menurut Hartshorne, komponen penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi (Hartshorne, 1980):

1. Private Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan lahan permukiman, komersial, dan industri.

2. Public Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan lahan rekreasi dan pendidikan.

3. Transportasi/Jalan.

(41)

1. Penggunaan lahan yang menguntungkan.

Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk pertokoan, perumahan, industri, kantor dan bisnis. Tetapi keberadaan guna lahan ini tidak lepas dari kelengkapan penggunaan lahan lainnya yang cenderung tidak menguntungkan, yaitu penggunaan lahan untuk sekolah, rumah sakit, taman, tempat pembuangan sampah, dan sarana prasarana. Pengadaan sarana dan prasarana yang lengkap merupakan suatu contoh bagaimana guna lahan yang menguntungkan dari suatu lokasi dapat mempengaruhi guna lahan yang lain. Jika lahan digunakan untuk suatu tujuan dengan membangun kelengkapan untuk guna lahan disekitarnya, maka hal ini dapat meningkatkan nilai keuntungan secara umum, dan meningkatkan nilai lahan. Dengan demikian akan memungkinkan beberapa guna lahan bekerjasama meningkatkan keuntungannya dengan berlokasi dekat pada salah satu guna lahan.

2. Penggunaan lahan yang tidak menguntungkan.

Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk jalan, taman, pendidikan dan kantor pemerintahan. Sementara menurut Keputusan Menteri Negara KBPN Nomor: 1 Tahun 1997, komponen penggunaan lahan di suatu wilayah meliputi:

(42)

b. Industri dan Pergudangan, penggunaan lahan untuk industri/pergudangan masih rinci dalam penggunaan lahan untuk industri pertanian, industri non pertanian, dan pergudangan.

c. Jasa, penggunaan lahan untuk jasa terdiri atas jasa pemerintahan, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa peribadatan, dan jasa pelayanan umum.

d. Komersial, penggunaan lahan untuk tanah komersial terdiri atas pasar, perdagangan umum, akomodasi dan rekreasi, lembaga usaha, prasarana transportasi.

e. Taman, penggunaan lahan untuk taman yang dimaksud adalah taman kota.

f. Tanah tidak ada bangunan, penggunaan lahan untuk lahan ini adalah tanah kosong, pertanian tanah basah, pertanian tanah kering, peternakan, perikanan, dan hutan.

g. Lain-lain, penggunaan lahan untuk lain-lain yang dimaksud adalah jalan, sungai, saluran, rawa, dan waduk.

(43)

1. Guna lahan komersial.

Fungsi komersial dapat dikombinasikan dengan perumahan melalui percampuran secara vertikal. Guna lahan komersial yang harus dihindari dari perumahan adalah perdagangan grosir dan perusahaan besar.

2. Guna lahan industri.

Keberadaan industri tidak saja dapat memberikan kesempatan kerja, namun juga memberikan nilai tambah melalui lansekap dan bangunan megah yang ditampilkannya. Jenis industri yang harus dihindari dari perumahan adalah industri pengolahan minyak, industri kimia, pabrik baja dan industri pengolahan hasil tambang.

3. Guna lahan publik maupun semi publik.

Guna lahan ini meliputi guna lahan untuk pemadam kebakaran, tempat ibadah, sekolah, area rekreasi, kuburan, rumah sakit, terminal dan lain-lain.

2.3.2.5Perubahan guna lahan

Pengertian perubahan guna lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

(44)

Perubahan guna lahan ini melibatkan baik reorganisasi struktur fisik kota secara internal maupun ekspansinya ke arah luar (Pierce, 1981). Perubahan guna lahan ini dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab. Ada empat proses utama yang menyebabkan terjadinya perubahan guna lahan yaitu (Bourne, 1982):

1. Perluasan batas kota. 2. Peremajaan di pusat kota. 3. Perluasan jaringan infrastruktur.

4. Tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu.

Dilihat dari faktor-faktor penyebabnya, pada umumnya proses perkembangan penggunaan lahan kota-kota di Indonesia dipengaruhi faktor penentu dari segi ekonomi (economic determinant).

Menurut Santoso (1999), secara rasional pembangunan lahan oleh masyarakat biasanya ditentukan berdasarkan pendapatan atau produktifitas yang bisa dicapai oleh lahan, sehingga muncul konsep highest and best use, artinya adalah penggunaan

lahan terbaik adalah penggunaan yang dapat memberikan pendapatan tertinggi. Jadi, perubahan penggunaan lahan kota terjadi karena pergantian kegiatan kurang produktif menjadi kegiatan lain yang lebih produktif (Jayadinata, 1991).

2.3.2.6 Jenis perubahan guna lahan

(45)

tingkat produktivitas setiap jenis guna lahan. Tingkat produktivitas suatu jenis kegiatan dapat dicerminkan dari kemampuannya dalam membayar sewa lahan yang merupakan kompensasi dari kestrategisan lokasi yang ditempati.

Peningkatan kebutuhan lahan, keterbatasan lahan, perbedaan produktivitas kegiatan dan perbedaan kestrategisan lokasi mengakibatkan dinamika guna lahan yang intinya berupa proses perubahan dari suatu guna lahan menjadi guna lahan lain. Perubahan guna lahan di koridor jalan Jend.Abdul Haris Nasution didomonasi oleh perubahan guna lahan non-komersial dan komersial yang menunjukkan bahwa kawasan tersebut sedang berkembang.

2.3.2.7Kecepatan perubahan guna lahan

Secara garis besar kegiatan di wilayah perkotaan berdasarkan fungsinya terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kegiatan non-komersial dan kegiatan komersial. Pembagian kegiatan menjadi dua kelompok besar karena kedua kelompok tersebut memiliki karasteristik perkembangan yang berbeda.

1. Guna Lahan Non-Komersial. a. Perumahan.

(46)

kompetisinya rendah. Perkembangan perumahan di pusat kota pada umumnya rendah bahkan menurun, karena terbatasnya lahan, dan lahan perumahan yang sudah ada berubah menjadi guna lahan lain, sedangkan di pinggiran kota perumahan berkembang lebih cepat, karena banyak lahan yang tersedia. Koridor Jalan Abdul Haris Nasution merupakan wilayah baru sub pusat kota yang sudah mulai menjadi lahan terbangun, seperti perkembangan perumahan yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan. b. Sarana-prasarana Sosial dan Institusi Pemerintah.

Sarana-sarana sosial dan institusi pemerintah merupakan guna lahan dengan produktivitas lahan rendah, bersifat sosial dan penentuan lokasinya sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan pemerintah. Aspek yang mendasari keberadaan dan pengalokasian sarana-sarana sosial penduduk yang dilayani dan jarak pencapaian, sehingga jumlah satuan (unit) luas lahan sarana-sarana sosial dan institusi pemerintah disesuikan dengan jumlah penduduk di wilayah pelayanan. Kadang kala pengalokasian guna lahan institusi pemerintah didasari oleh aspek politis.

2. Guna lahan komersial.

(47)

perkembangan lahan komersial secara kuantitas sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi kota.

Perkembangan kegiatan komersial berkaitan dengan perkembangan kemampuan penduduk dalam berbelanja yang diindakasikan dengan jumlah pendapatan perkapita penduduk kota total yang merupakan hasil perkalian antara jumlah penduduk kota dengan pendapatan perkapita (Goldberg, 1984:124).

Kondisi perekonomian, pendapatan perkapita dan jumlah penduduk kota Padandsidimpuan yang berkembang berpengaruh besar terhadap perkembangan kegiatan komersial, yang pada akhirnya meningkatkan kuantitas guna lahan komersial.

2.3.2.8Arah perubahan guna lahan

Arah perubahan guna lahan merupakan salah satu karasteristik kecenderungan dinamika guna lahan, salah satunya disebabkan oleh perbedaan produktifitas setiap guna lahan.

Sebagai contoh, lahan komersial lebih terfokus di pusat kota, pusat- pusat perbelanjaan lebih banyak tumbuh di sepanjang jalan arteri utama dari pada ditempat lain, kegiatan industri manufaktur berkembang di pinggiran kota, dan lain sebagainya (Yeates, 1980:186).

(48)

komersial, tingkat aksebilitas menjadi aspek yang sangat berpengaruh dalam proses pemilihan lokasi pengembangan kegiatan komersial.

2.3.2.9Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan guna lahan

Faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi beberapa sistem (Chapin, 1979:265):

1. Sistem aktivitas kota.

2. Sistem pengembangan lahan. 3. Sistem lingkungan.

Sistem aktivitas kota adalah cara manusia dan lembaganya seperti lembaga rumah tangga, lembaga perusahaan, lembaga pemerintahan dan lain-lain mengorganisasikan berbagai aktivitasnya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dan berinteraksi satu dengan lainnya dalam waktu dan ruang.

Sistem pengembangan lahan adalah suatu proses konversi dan rekonversi lahan dan proses penyesuaiannya untuk berbagai penggunaan lahan dalam skala waktu dan ruang sesuai dengan sistem aktivitas kotanya. Dalam kaitannya dengan lahan perkotaan, sistem ini berpengaruh dalam penyediaan lahan kota dan didalam pengembangannya dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi kota dan penguasaan ilmu dan teknologi dalam mengeliminasi adanya limitasi terhadap lahan yang dimanfaatkan.

(49)

fundamental yang berhubungan dengan air dan udara. Sistem ini menyediakan tempat bagi kelangsungan hidup manusia dan habitat serta sumber daya lain guna mendukung kehidupan manusia. Sistem lingkungan dalam hal ini lebih berfungsi sebagai sumber daya yang mendukung kedua sistem tersebut diatas dan berada pada posisi penyediaan lahan. Dari ketiga sistem tersebut, sistem aktivitas merupakan penentu utama guna lahan yang meliputi:

1. Individu dan rumah tangga, dengan komponen-komponennya: a. Kegiatan rutin rumah tangga.

b. Kegiatan sosial.

c. Kegiatan interaksi sosial. d. Kegiatan rekreasi.

e. Kegiatan istirahat dan santai. 2. Perusahaan:

a. Kegiatan produksi.

b. Kegiatan pelayanan individu, rumah tangga, perusahaan dan kelembagaan.

3. Kelembagaan/institusi:

a. Kegiatan pembangunan manusia. b. Kegiatan dasar pelayanan masyarakat. c. Kegiatan-kegiatan pada kelompok tertentu.

2.3.2.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan guna lahan

(50)

1. Topografi

Topografi merupakan faktor pembatas bagi perkembangan suatu kawasan karena topografi tidak dapat berubah kecuali dalam keadaan yang labil. Meskipun demikian usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah topografi atau mengatasi keadaan ketinggian, kelerengan tanah misalnya dengan menggali bukit, menguruk tanah, reklamasi laut/rawa dapat mengurangi hambatan.

2. Penduduk

Perkembangan penduduk menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman meningkat sebagai akibat langsung dari pemenuhan kebutuhan permukiman. Peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman sudah tentu diikuti oleh tuntutan kebutuhan lahan untuk sarana dan prasarana serta fasilitas yang lain.

3. Nilai lahan

Nilai lahan atau land value adalah suatu penilaian atas lahan didasarkan pada kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktifitas dan strategi ekonominya. Harga lahan adalah penilaian atas lahan yang diukur berdsarkan harga nominal dalam satuan uang untuk satuan luas pada pasaran lahan (Derin-Drabkin, 1977).

(51)

lahan ini banyak tergantung pada “fertility” (kesuburan), faktor lingkungan, drainase dan lokasi dimana lahan tersebut berada. Hal yang terakhir ini banyak berkaitan dengan masalah aksesibilitas. Lahan-lahan yang subur pada umumnya memberikan “output” yang lebih besar dibandingkan dengan lahan yang tidak subur dan akibatnya akan mempunyai nilai yang lebih tinggi serta harga yang lebih tinggi pula. Walau demikian ada pula nilai-nilai lahan yang tidak ditentukan oleh kesuburan seperti contoh di atas, tetapi lebih banyak ditentukan oleh lokasi. Dalam hal ini untuk lokasi tertentu mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain. Derajat aksesibilitaslah yang mewarnai tinggi rendahnya nilai lahan ini. Semakin tinggi aksesibilitas suatu lokasi semakin tinggi pula nilai lahannya dan biasanya hal ini dikaitkan dengan beradanya konsumen akan barang dan jasa. Derajad keterjangkauan ini berkaitan dengan “potential shoppers” yang banyak dan kemudahan untuk datang/pergi ke/dari lokasi tersebut atau pasar.

(52)
(53)

diperdagangkan sehingga penggunaannya ditentukan oleh tingkat demand

dan supply. Sesuai dengan teori keseimbangan klasik harga lahan menjadi fungsi biaya yang menjadikan lahan produktif dan fungsi pendapatan dari pengembangan suatu lahan. Seperti yang diungkapkan (Santoso, 1999), secara rasional penggunaan lahan oleh masyarakat biasanya ditentukan berdasarkan pendapatan atau produktifitas yang bisa dicapai oleh lahan, sehingga muncul konsep highest and best use, artinya penggunaan lahan terbaik adalah penggunaan yang dapat memberikan pendapatan tertinggi. Jadi faktor ekonomi menjadi pegangan dalam pengambilan keputusan untuk mengembangkan sebidang lahan. Beberapa penemuan baru juga mengungkapkan bahwa dengan nilai lahan dari pusat kota menuju ke arah luar kota ternyata terdapat penyimpangan disana-sini.

Kalau pada kota-kota hipotesis dipersyaratkan bahwa derajat aksesibilitas ke segala arah menunjukan keseragaman, namun pada kenyataannya tidak terjadi demikian. Pengaruh jaring-jaring transportasi baik itu “ring road”

maupun “radial road” telah membuktikan penyimpangan-penyimpangan ini, penelitian Berry (1963) membuktikan hal tersebut. Memang untuk kota-kota kecil, gambaran ideal tentang “distance decay principle” untuk nilai lahan masih nampak.

(54)

Gambar 2.28 Distribusi Nilai Lahan Kota Kecil (Berry, 1963) Sumber: Yunus (1999:72)

Gambar 2.29 Distribusi Nilai Lahan Kota Besar (Berry,1963) Sumber: Yunus (1999:73)

(55)

peak) dari nilai lahan. Sesuai dengan “distance decay principle” maka puncak-puncak mini nilai lahan ini pun menunjukkan gradasi yang nyata.

Mini peak yang terletak lebih dekat dengan pusat kota mempunyai kisaran nilai lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mini peaks yang terletak lebih jauh (Gambar 2.30).

Gambar 2.30 Hubungan antara “Locatian Rent” dengan Jarak ke Pasar Sumber: Yunus (1999:73)

4. Aksesibilitas

(56)

merupakan fungsi dari biaya transportasi. Dimana ongkos transportasi dapat mempengaruhi sewa lahan dan permintaan lahan permukiman. 5. Prasarana dan Sarana.

Kelengkapan sarana dan prasarana, sangat berpengaruh dalam menarik penduduk untuk bermukim disekitarnya, sehingga dapat menarik pergerakan penduduk untuk menuju ke daerah tersebut.

6. Daya dukung lingkungan

Kemampuan daya dukung lahan dalam mendukung bangunan yang ada diatasnya, menentukan kawasan terbangun, lahan pertanian, dan harus dipelihara serta dilindungi.

2.4 Konsep Transportasi

2.4.1 Pengertian sistem transportasi

Menurut Papacosta (1987:3) transportasi didefinisikan sebagai suatu sistem yang memungkinkan orang atau barang dapat berpindah dari suatu tempat ketempat lain secara efisien dalam setiap waktu untuk mendukung aktifitas yang diperlukan manusia. Menurut Nasution (1996:97) berpendapat bahwa transportasi sebagai perpindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tujuan dan dalam hubungan tersebut terlihat 3 (tiga) hal berikut:

1. Ada muatan yang diangkut.

(57)

Proses transportasi merupakan gerakan dari tempat asal dimana pengangkutan dimulai, ketempat tujuan dimana kegiatan diakhiri. Secara sederhana transportasi dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan untuk memindahkan barang atau orang dari suatu kegiatan yang tempat asal ke tempat tujuan tanpa mengalami kerusakan dan tepat waktu. Produk dari transportasi adalah jasa angkutan yang dihasilkan dari proses pemindahan tadi dan dengan menggunakan transportasi dapat menciptakan suatu barang atau komoditi berguna menurut tempat (place utility) dan berguna menurut waktu (time utility). Jadi dengan transportasi suatu barang dan komoditi dapat dimanfaatkan. Dengan demikian maka transportasi memiliki dimensi seperti lokasi (asal dan tujuan), alat (teknologi), dan keperluan tertentu (Fidel Miro; 1997). Jadi dalam suatu transportasi selalu berhubungan dengan ketiga dimensi tersebut, Jika salah satu dari tiga dimensi tersebut tidak ada maka bukanlah transportasi. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 2.31.

Gambar 2.31 Pengertian Transportasi Sumber: Fidel Miro, 1997

(58)

2.4.2 Sistem transportasi

Menurut Tamin (1997:22-29) sistem transportasi secara makro terdiri dari beberapa sistem mikro yang masing-masing sistem tersebut saling terkait satu sama lainnya, yaitu:

1. Sistem kegiatan. 2. Sistem jaringan. 3. Sistem pergerakan. 4. Sistem kelembagaan.

Sistem transportasi makro tersebut terlihat pada Gambar 2.32. Dari gambar tersebut, dapat dijelaskan bahwa interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan suatu pergerakan manusia dan/atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan. Perubahan pada sistem kegiatan akan mempengaruhi sitem jaringan melalui suatu perubahan pada tingkat pelayanan sistem pergerakan. Perubahan sistem jaringan akan mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksebilitas dari sistem pergerakan tersebut.

Gambar 2.32 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin, 1997;28

SISTEM KEGIATAN

SISTEM JARINGAN

(59)

2.4.3 Pengertian jaringan jalan

Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 1980 tentang jalan, bahwasanya jalan merupakan suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas. Klasifikasi jalan berdasarkan peranan, yang membagi ruas jalan menurut peranannya dalam sistem jaringan jalan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1985 adalah:

1. Jalan Arteri Primer

Adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu lainnya yang berdampingan, serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan jenjang kedua (pasal 4 ayat 2).

2. Jalan Kolektor Primer.

Adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua lainnya serta kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang berada dibawah pengaruhnya (pasal 4 ayat 3).

3. Jalan Lokal Primer.

(60)

Jaringan jalan terdiri dari ruas-ruas jalan yang menghubungkan satu dengan lainnya pada titik pertemuan yang merupakan simpul-simpul transportasi yang dapat memberikan alternatif pilihan bagi pengguna jalan.

Jaringan jalan berdasarkan sistem (pelayanan penghubung) (Miro, 1997:28) terbagi atas:

1. Sistem Jaringan Jalan Primer adalah sistem jaringan jalan yang menghubungkan kota/wilayah tingkat nasional.

2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder adalah sistem jaringan jalan yang menghubungkan zona-zona, kawasan-kawasan (titik simpul di dalam kota).

Sedangkan berdasarkan peranannya, jaringan jalan (Miro, 1997:28) dapat dibagi atas:

1. Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan jarak jauh dengan kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah masuk (access road) dibatasi secara efisien.

2. Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan jarak sedang dengan kecepatan rata-rata sedang dan jumlah masuk (access road) yang masih dibatasi.

(61)

Gambar 2.33 Hirarki Jalan Berdasarkan Peranan Sumber: Miro, (1997;54)

2.4.4 Jalan lingkar (ring road)

Pembangunan jalan yang semakin kompleks baik didalam maupun diluar kota akan menimbulkan pusat-pusat kegiatan dan fungsi-fungsi perkotaan baru yang menempati tempat sepanjang jalur jalan yang ada sehingga perluasan permukiman paling banyak terjadi di kiri-kanan jalur transportasi. Hal ini mengakibatkan kecenderungan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman, perdagangan maupun industri di sekitar jalur transportasi. Semakin jauh perkembangan kota dan semakin banyaknya pertumbuhan pusat-pusat baru akan sangat diperlukan adanya jalan-jalan lingkar kota (ring road).

Jalan-jalan lingkar ini digunakan untuk memperbaiki aksesbilitas daerah-daerah terpencil, memperlancar mobilitas penduduk, barang, jasa dan informasi serta mengurangi beban kota utama akan lalu lintas kota. Dengan semakin tingginya aksesibilitas maka akan makin banyak pusat-pusat kegiatan baru serta Leap-frog development akan berkembang dengan pesat (Yunus, 2000).

Jalan Arteri

Jalan Mas k

Jalan Masuk

(62)

Dalam Kamus Tata Ruang (Dirjen Cipta Karya Departemen PU) disebutkan Jalan Lingkar adalah semua jalan yang melingkari pusat suatu kota yang fungsinya agar kenderaan dapat mencapai bagian kota tertentu tanpa harus melalui pusat kota atau bagian kota lainnya untuk mempercepat perjalanan dari satu sisi kota ke sisi lainnya.

Sedang menurut Tamin (2000), jalan lingkar yaitu jalan yang melingkari suatu wilayah yang pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengalihkan pergerakan lalu lintas menerus agar jangan memasuki wilayah yang bersangkutan sehingga kemacetan yang timbul karena pembebanan yang terlalu banyak pada jalan arteri radial dapat dihindari.

Terdapat tiga bentuk jalan lingkar, yaitu: 1. Jalan Lingkar Dalam (Inner Ring Road).

Jika kita bayangkan bentuk dasar jalan kota sebagai roda pedati, lalu jari-jarinya sebagai rute-rute radial. Poros dari roda pedati sebagai jalan lingkar inner. Jalan lingkar inner dapat berupa lingkaran, kotak atau memanjang.

2. Jalan Lingkar Luar (Outer Ring Road).

(63)

3. Jalan Lingkar Menengah (Intermediate Ring Road).

Jalan lingkar intermediate melayani kebutuhan lalu lintas yang diinginkan untuk mencapai titik antara jalan-jalan lingkar inner dan outer.

Kawasan perkotaan dengan kelompok populasi besar cenderung memiliki satu atau lebih jalan lingkar intermediate sebagai tambahan jalan-jalan lingkar inner dan

Gambar

Gambar 2.3 Pola Umum Perkembangan Perkotaan                                                  Sumber: Branch, 1996
Gambar 2.4 Beberapa Alternatif Bentuk Kota Sumber: Hudson, 1999
Gambar 2.5  Perubahan Morfologi Kota dan Kondisi TransportasiSumber: Herbert (1976)
Gambar 2.6  Perkembangan Horizontal Sumber: Zahnd (1999, 25)
+7

Referensi

Dokumen terkait

diperhitungkan besarnya defleksi yang terjadi pada kondisl jalan yang tidak rata. Jalan tidak rata dapat disebabkan oleh adanya batu di jalan, jalan berbukit,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil Karya Tulis Ilmiah yang berjudul

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon jawaban IST dari peserta yang mengikuti tes di Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M) Universitas

mendukung proses produksi telah sesuai dengan yang ditetapkan. Pengendalian sistem meliputi pengendalian penerapan sistem CPOB dan penerapan ISO. Proses validasi penting dilakukan

Simpangan baku(S) adalah nilai yang menunjukan tingkat variasi kelompok data atau ukuran standar penyimpangan dari nilai rata-ratanya... X = nilai rata-rata data n = jumlah data

(2008) Meningkatkan Motivasi Berprestasi, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD melalui Pembelajaran Matematika Realistik dengan Strategi

Hal ini ditandai dengan kadar protein karbonil pada lensa yang diberikan curcumin tidak mengalami perbedaan yang bermakna, yakni 33.16119.83 nm/ml pada kelompok konkol

Tujuan strategi bersaing untuk suatu unit usaha dalam sebuah industri, dalam hal ini industri pendidikan, adalah menemukan posisi dalam industri tersebut dimana lembaga