BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN LEASING
A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata dalam Pasal 1313
KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud dalam Pasal
1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari semua
mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu mereka yang mengadakan
persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.8
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula
terlalu luas.9 Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai
perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup
perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan
perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam
KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III
kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.
Mengenai pengertian yang dirumuskan di atas yang diatur dalam KUHPerdata
8
Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 430.
9
tersebut lebih sempit apabila diperhatikan pengertian perjanjian yang dirumuskan
oleh para sarjana seperti.
Subekti mengatakan suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena
dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak
lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.10
R. Wirjono Projodikoro mengatakan perjanjian adalah sebagai suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk
tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.11
R. Wirjono Projodikoro juga menyebutkan didalam buku yang lain bahwa
suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda kekayaan antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap
berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan
pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.12
Subekti juga mengatakan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melakukan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya, dalam bentuknya perjanjian itu
10
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung : PT.Intermasa, 2008, hlm. 1. 11
Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung : PT.Bale, 2000, hlm. 4. 12
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucap atau ditulis.13
Handri Rahardjo mengatakan secara garis besar perjanjian dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu: 14
Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Misalnya, perjanjian bernama (perjanjian khusus yang diatur oleh undang-undang).
Handri Raharjo juga mengatakan perikatan adalah hubungan hukum antara
dua pihak dalam lapangan harta kekayaan dengan pihak yang satu berhak atas
prestasi dan pihak yang lain berkewajiban berprestasi. Yang dimaksud dengan
lapangan harta kekayaan adalah hubungan antara subjek hukum dengan objek
hukum (harta kekayaan) dan dapat dinilai dengan uang.15
Berdasarkan berbagai ukuran-ukuran, maka di dalam Ilmu Pengetahuan
Hukum Perdata perikatan itu dibedakan dalam berbagai-bagai jenis :16
1. Dilihat dari prestasinya, maka dapat dibedakan :
a. Perikatan untuk memberikan sesuatu.
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu.
c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
13
R. Subekti, Op. Cit, hlm. 13. 14
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 42.
15Ibid
, hlm. 75. 16
Perikatan untuk memberikan sesuatu (geven) dan untuk berbuat sesuatu
(doen) dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak berbuat
sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan negatif.
d. Perikatan mana suka (alternatif).
e. Perikatan fakultatif.
f. Perikatan generik dan spesifik.
g. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan
ondeelbaar).
h. Perikatan yang sepintas lalu dan terus-menerus (voorbijgaande dan
ondeelbaar).
2. Dilihat dari subjeknya, maka dapat dibedakan :
a. Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair).
b. Perikatan pokok dan tambahan (principale dan accessoir).
3. Dilihat dari daya kerjanya, maka dapat dibedakan :
a. Perikatan dengan ketetapan waktu.
b. Perikatan bersyarat.
Perikatan sekurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur, yaitu: 17
1. bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
2. hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak);
3. hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum
harta kekayaan;
17
4. hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam
perikatan.
Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum
(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)
atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan
hukum/ rechtbe-trekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum
antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam
lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan
suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam
harta benda.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian atau kontrak yang sah adalah persetujuan yang memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Menurut ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat
tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat
obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian. Perjanjian yang sah diakui dan
diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan
mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh Undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara
mereka, namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga
timbul sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu
batal.
Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu
perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa
suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah.
Namun dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka
berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Dengan
kata sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan
mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal
yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan
tersebut, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara
para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian sudah lahir pada saat
konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian.
Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah
kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang
lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam
perundingan.18
Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan
perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan
(dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela
para pihak. Dalam pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga
tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog). Apabila
ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan
kepada hakim (vernietigbaar). Hal ini sesuai dengan Pasal 1321
KUHPerdata yang bunyinya: “tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat
itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan”. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan
kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan
jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian
orang itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata).
Dan dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok
perjanjian atau sifat-sifat penting obyek perjanjian atau mengenai orang
18
dengan siapa diadakan perjanjian itu. Dikatakan tidak ada penipuan
apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti Undang-undang (Pasal
1328 KUHPerdata). Penipuan menurut arti Undang-undang ialah dengan
sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu
dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.19
b. Cakap untuk membuat suatu perikatan
Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata kecuali yang
diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan
cakap melakukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian
ialah bila ia sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin.
Ukuran orang dewasa 21 tahun atau sudah kawin, disimpulkan secara a
contrario redaksi Pasal 330 KUHPerdata. Sedangkan mereka yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur Pasal 1330
KUHPerdata ialah:
1) Orang-orang yang belum dewasa
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh
undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
19
c. Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah
objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok
perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan
untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu. Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 angka 1 menyatakan bahwa
suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok
perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai
jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan
d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang
mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu
perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,
sedangkan adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi
perjanjian. Pada pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab
atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang,
tidak bertentangan dengan ketertiban umumdan kesusilaan. Perjanjian
yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu
batal demi hukum. 20
Berbicara mengenai transaksi umumnya orang akan mengatakan hal
tersebut adalah perjanjian jual beli antar pihak yang bersepakat untuk itu. Dalam
lingkup hukum, sebenarnya istilah transaksi adalah keberadaan suatu perikatan
20
atau hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Jika berbicara mengenai
transaksi yang sebenarnya adalah berbicara tentang aspek materil dari suatu
hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak (lihat Pasal 1338 juncto Pasal
1320 KUHPerdata), sehingga sepatutnya bukan berbicara tentang perbuatan
hukumnya secara formil, kecuali untuk melakukan hubungan hukum yang
menyangkut benda tidak bergerak. Sepanjang mengenai benda tidak bergerak
maka hukum akan mengatur mengenai perbuatan hukumnya itu sendiri yakni
harus dilakukan secara terang dan tunai. Oleh karena itu, keberadaan
ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan sebenarnya tetap valid karena ia akan
mencakup semua media yang digunakan untuk melakukan transaksi itu sendiri,
baik dengan menggunakan media kertas (paper based) maupun dengan media
sistem elektronik (electronic based). Namun dalam prakteknya seringkali
disalahpahami oleh masyarakat bahwa yang namanya transaksi dagang harus
dilakukan secara hitam diatas putih atau dikatakan diatas kertas dan harus
ditandatangani serta bermaterai. Padahal hal tersebut sebenarmya adalah
dimaksudkan agar lebih mempunyai nilai kekuatan pembuktian, jadi fokusnya
bukanlah formil kesepakatannya, melainkan materill hubungan hukumnya itu
sendiri.
C. Jenis-Jenis Perjanjian
Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata,
peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan
dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan
perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk
mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk
perjanjian itu:21
1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini.
2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam
hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai
undang-undang bagi masing-masing pihak.
Dalam KUH Perdata pasal 1234, perikatan dapat di bagi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang. Ketentuan
ini diatur dalam KUH Perdata pasal 1235 sampai dengan pasal 1238
2. Perikatan untuk berbuat sesuatu. Hal ini diatur dalam pasal 1239 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berhutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban
memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.
3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Hal ini diatur dalam pasal 1240
KUH Perdata.
Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH
Perdata atau di luar KUH Perdata dan macam perjanjian dilihat dari lainnya, disini
21
R.Subekti, membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya,
yaitu:22
1. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu
kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah
akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian
yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat
yang menunda atau memprtanggung jawabkan (ospehoriende voorwade).
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling),
perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang
pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak
akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan
datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya.
3. Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternative) adalah suatu
perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan
kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
4. Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ialah suatu
perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau
sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang
dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali
terdapat dalam praktek.
22
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan
dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi
prestasi.
6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah
jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya,
dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang
sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula
sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila
perjanjian telah sebahagian dipenuhi.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut
berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:23
1. Perjanjian timbal balik
Adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah
pihak.
2. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak saja.24 Perjanjian atas beban adalah
perjanjian dimana atas terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu
terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada
hubungannya menurut hukum
23
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III, Op. Cit., hlm 29. 24
3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend)
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi
nama oleh pembentuk undang-undang, bedasarkan tipe yang paling
banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d
XVIII KUH Perdata. Perjanjian umum yaitu perjanjian yang tidak diatur
dalam KUH Perdata, tetapi terdapat didalam masyarakat.Jumlah perjanjian
ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah
berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi
yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian.
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir
adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan
penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak
telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan
perikatan-perikatan.
6. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.
a. Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan
b. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst) yaitu perjanjian dimana
para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara
mereka.
c. Perjanjian untung-untungan misalnya perjanjian asuransi pasal 1774
KUH Perdata.
d. Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai
penguasa (pemerintah).
D. Pengertian Leasing
Istilah leasing berasal dari bahsa inggris yakni dari kata lease yang berarti
sewa. Pengertian leasing menurut surat Pasal 1 Keputusan Bersama Menteri
Keuangan dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia No. KEP-
122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/KPB/I/1974 tanggal
7 Februari 1974 adalah:
”Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah disepakati bersama”.
Definisi leasing dalam surat keputusan bersama tersebut difokuskan pada
pengertian leasing pada financial lease, artinya bahwa penyewa guna usaha atau
memperpanjangnya. Ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian leasing
yang terkandung dalam keputusan surat bersama tersebut, yaitu:25
1. penyediaan barang modal,
2. jangka waktu tertentu,
3. pembayaran dilakukan secara berkala, dan
4. adanya hak opsi, yaitu memilih untuk membeli objek atau
memperpanjangnya.
Dalam kamus Black Laws Dictionary, yang diartikan dengan lease adalah
any agreement which gives rises to relationship of landlord and tenant (real
property) or lessor and lesse (real or personal property). Artinya, leasing adalah
sebuah persetujuan untuk menimbulkan hubungan antara pemilik tanah dengan
petani (benda tidak bergerak) atau antara lessor dengan lesse (benda tidak
bergerak atau benda bergerak).26
Definisi ini difokuskan pada persetujuan tentang objek dan subjek leasing.
Subjek leasing dalam definisi ini adalah pemilik tanah dan penyewa tanah atau
antara lessor dengan lesse sebagai penyewa, sedangkan objeknya berupa benda
bergerak atau benda tidak bergerak.
Subekti mengartikan leasing adalah perjanjian sewa-menyewa yang telah
berkembang dikalangan pengusaha, dimana lessor (pihak yang menyewakan, yang
sering merupakan perusahaan leasing) menyewakan suatu perangkat alat-alat
25
Salim. HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal. 139.
26
perusahaan (mesin-mesin) termasuk sevis, pemeliharaan, dan lain-lain pada lesse
(penyewa) untuk suatu jangka waktu tertentu.27
Dalam rumusan tersebut, subekti mengkonstruksikan leasing sebahai berikut:
1. leasing sama dengan sewa-menyewa,
2. subjek hukum yang terkait dalam perjanjian tersebut adalah pihak lessor
dan lesse,
3. objeknya perangkat alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk pemeliharaan
dan lain-lain,
4. adanya jangka waktu sewa.
Kelemahan dari definisi ini adalah tidak mencantumkan hak opsi dan
jumlah angsuran yang harus dibayarkan oleh pihak lesse, padahal hakikat dari
lembaga leasing adalah ada atau tidak adanya hak opsi. Definisi lain juga
dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang mengatakan bahwa
leasing adalah suatu perjanjian dimana si penyewa barang modal (lesse) menyewa
barang modal untuk usaha tertentu, dan jumlah angsuran tertentu. 28
Definisi yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan tersebut
memandang bahwa institusi leasing merupakan suatu kontrak atau perjanjian
antara para pihak lesse dengan pihak lessor. Oleh karena itu, antara lesse dengan
pihak lessor terdapat hubungan hukum sewa menyewa. Objek yang disewa adalah
barang modal. Jangka waktu dan jumlah angsuran ditentukan oleh para pihak.
Oleh karena adanya kelemahan dari berbagai definisi yang dipaparkan
diatas, maka menurut Salim, H.S mengatakan bahwa lesing merupakan kontrak
27
R.Subekti, Aneka Perjanjian, Op. Cit.,hlm. 55 28
sewa menyewa yang dibuat antara pihak lessor dengan lesse, dimana pihak lessor
menyewakan kepada lesse barang-barang produksi yang harganya mahal, untuk
digunakan oleh lesse, dan pihak lesse berkewajiban untuk membayar harga sewa
sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dengan disertai hak opsi,
yaitu untuk membeli atau memperpanjang sewa.29
Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi terakhir ini adalah:
1. adanya subjek hukum, yaitu pihak lessor dan lesse,
2. adanya objek, yaitu barang-barang modal yang harganya mahal,
3. adanya jangka waktu tertentu,
4. adanya sejumlah angsuran yang dimana pembayaran ini merupakan harga
sewa barang tersebut, dan
5. adanya hak opsi.
Hak opsi merupakan hak dari lesse untuk membeli atau memperpanjang
objek leasing. Sedangkan cirri-ciri perjanjian leasing adalah sebagai berikut:30
1. adanya hubungan tertentu antara jangka waktu perjanjian dengan unsur
ekonomis barang yang menjadi objek perjanjian.
2. adanya pemisahan kepentingan atas benda yang menjadi objek perjanjian.
Hak milik secara yuridis tetap berada pada pihak lessor (pihak yang
menyewakan) dan hak menikmati benda diserahkan kepada lesse
(penyewa).
3. adanya kewajiban untuk memberikan penggantian atas kenikmatan yang
E. Dasar Hukum Perjanjian Leasing
Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat
sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang
tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada. Surat Keputusan
Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah peraturan pertama yang
khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain-lain peraturan yang
dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan kegiatan
leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat
memaksa. Sumber hukum yang lebih luas dan mendalam yang melandasi dan
mendasari kegiatan leasing dewasa ini di Indonesia antara lain:31
1. Umum (General)
a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan
Undang- Undang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata
yang berlaku bagi penduduk eropa.
b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta
asasasas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam
bab I Buku III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada
semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal
ini tidak betentangan dengan Undang-Undang, kepentingan atau
kebijaksanaan umum.
c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata (Buku III sampai dengan Buku
IV), yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang
31
Chapter II, Aspek Hukum Mengenai Leasing, diunduh pada
tidak ada dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini
membahas hak dan kewajiban lessee.
2. Khusus
a. Surat Keputusan Bersama(SKB) Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No. KEP.122/MK
/IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974 tertanggal 7
Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing.
b. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK
/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan usaha leasing.
c. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK
/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak
penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha leasing.
d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL
7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang:
1) Tata cara perizinan.
2) Pembatasan usaha.
3) Pembukaan.
4) Tingkat suku bunga.
5) Perpajakan.
6) Pengawasan dan Pembinaan.
e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal
sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan
sewa-menyewa.
f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal
31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha
perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara
asing pada perusahaan leasing.
g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1
September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor
cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing.
h. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984
tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial
leasing.
i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26
Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.
j. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang
kegiatan sewa guna usaha
Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus
mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang
bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut
diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang
terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang
Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi
kebiasaan di negeri ini.
F. Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing
Setiap transaksi leasing sekurang-kurangnya melibatkan 4 (empat) pihak
yang berkepentingan, yaitu : lessor, lessee, supplier, dan bank atau kreditor.32
1. Lessor adalah perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa
pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk barang modal. Lessor
dalam financial lease bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang
telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan
mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam operating lease, lessor
bertujuan mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang serta
pemberian jasa-jasa yang berkenaan dengan pemeliharaan serta
pengoperasian barang modal tersebut.
2. Lesseeadalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam
bentuk barang modal dari lessor. Lessee dalam financial lease bertujuan
mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara
pembayaran angsuran atau secara berkala. Pada akhir kontrak, lessee
memiliki hak opsi atas barang tersebut. Maksudnya, pihak lessee memiliki
hak untuk membeli barang yang di-lease dengan harga berdasarkan nilai
sisa. Dalam operating lease, lessee dapat memenuhi kebutuhan
32
Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Bab 7. Sewa Guna Usaha (Leasing), hlm 74-75,
diunduh pada
peralatannya di samping tenaga operator dan perawatan alat tersebut tanpa
risiko bagi lessee terhadap kerusakan.
3. Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau
menyediakan barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran
secara tunai oleh lessor. Dalam mekanisme financial lease, supplier
langsung menyerahkan barang kepada lessee tanpa melalui pihak lessor
sebagai pihak yang memberikan pembiayaan. Sebaliknya, dalam operating
lease, supplier menjual barangnya langsung kepada lessor dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu secara
tunai atau berkala.
4. Bank yang dalam suatu perjanjian atau kontrak leasing, pihak bank atau
kreditor tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut, namun
pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor,
terutama dalam mekanisme leverage lease di mana sumber dana
pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank. Pihak supplier dalam hal
ini tidak tertutup kemungkinan menerima kredit dari bank, untuk
memperoleh barang-barang yang nantinya akan dijual sebagai objek
leasing kepada lessee atau lessor.
Dalam setiap transaksi leasing di dalamnya selalu melibatkan 3 pihak utama,
yaitu:
1. Lessor adalah perusahaan sewa guna usaha atau di dalam hal ini pihak
2. Lessee adalah peruahaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki
hak opsi pada akhir perjanjian