• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH INDUSTRI PERFILMAN DI BATAVIA TA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH INDUSTRI PERFILMAN DI BATAVIA TA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH INDUSTRI PERFILMAN DI BATAVIA TAHUN

1900

1942

SARI WULAN C0508046

Abstract

This artikel describes the history of the film industry in Batavia since 1900 until 1942 had the the highest progress of genre film especially in 1900- 1930s. The Hollywood’s films as the form of genre film was liked very much by all the social class, those were European society and educated people. For the low class more dominated the local films because the texts were used easier to understand

than the Hollywood’s films which were overwhelming the cinemas in Batavia.

The first film was ―Loetoeng Kasaroeng‖ as the milestone for the birth of

other local films, then the film with audio technology entered to Hindia Belanda around 1929. After the progress of local films and the modern technology entered the film industry, the opera show artists became more and more to participate in the film industry. The results of this research that the film industry in Batavia had a progress.

Keyword: Film, Industry, Genre’s film

Pendahuluan

Batavia merupakan kota pusat pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1619–1942. Pada tahun 1620 di atas reruntuhan kota Jayakarta, Belanda membangun kota baru yang diberi nama Batavia sebagai penghormatan atas kaum

(2)

fisik mirip dengan kota Amsterdam dengan dinding muka atap rumah yang berbentuk tangga – tangga dan juga kanal – kanal.1

Pada tahap awal Batavia ditata dengan menggunakan prinsip – prinsip sebagai kota yang ideal. Batavia mempunyai karakter yang bersifat Indo atau

Mestizo (campuran). Akulturasi budaya antara budaya Timur dan Barat berkembang begitu pesat dan mendalam sehingga mengakibatkan munculnya sebuah gaya hidup baru yang menuntut sebuah penataan lingkungan pemukiman di Batavia. Kota Batavia yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan dan dengan segala infrastruktur kotanya yang modern dan berkembang hingga menjadi wajah Batavia baru, yaitu Jakarta.

Proses semakin mencairnya identitas etnis penduduk Batavia terlihat dari terjadi banyaknya perkawinan campuran merupakan salah satu penyebab dari semakin melemahnya identitas etnik. Batavia bukan hanya menjadi pusat administrasi pemerintahan tetapi juga tempat meleburnya berbagai penduduk yang multi etnis dan dengan segera melahirkan kebudayaan baru yang disebut kebudayaan Indis, yaitu kebudayaan hasil percampuran antara kebudayaan pribumi dengan Eropa.

Batavia sebagai kota pusat pemerintahan kolonial menjadikannya sebagai pintu gerbang dari segala kemajuan dan kebudayaan yang masuk ke kota ini. Pada mulanya seni pertunjukan yang berkembang sebelum abad ke-20 yaitu seni pertunjukan panggung yang berupa tiruan opera yang bercerita mengenai kehidupan raja – raja dan disisipkan dengan pertunjukan musikal. Pertunjukan panggung lainnya yang populer sebelum itu yaitu Wayang Cerita ― Siti Akbari ― yang dipimpin oleh orang Cina bernama Lie Kim Hock. Pertunjukan tersebut berbentuk prosa bersajak yang mengisahkan kehidupan istana yang dikutip dari cerita 1001 malam. Rombongan ini berkeliling dan bermain di pelataran dengan bentangan layar di belakang. Musik pengiringnya adalah gambang kromong yang melodinya sangat berbau musik Cina.

Pertunjukan panggung lainnya yang terkenal dan muncul pada tahun 1891 yaitu Komedi Stambul pertama kali didirikan oleh August Mahieu.

1

(3)

Perkumpulannya dibiayai oleh Yap Goan Thay. Kegandrungan pada cerita dengan setting Istambul inilah, yang kemudian melahirkan sebutan baru bagi jenis pertunjukan ini, yaitu Komedie Stamboel. Dari sini, lahir nama pelopor mereka yang legendaris yaitu Mahieu, Yap Goan Thay, dan Cassim.

Perkembangan seni pertunjukan panggung yang dibawa oleh kelompok Komedi Stambul ini menjadi terkenal dan digemari terutama di Batavia. Mereka yang terjun dalam kelompok panggung ini tercetak dalam subkultur Anak Wayang, istilah tersebut digunakan hanya di kalangan orang panggung itu sendiri. Seni pertunjukan panggung hingga awal abad ke-20 semakin menancapkan kemajuannya. Miss Riboet dan Opera Dardanella adalah contoh seni panggung yang masih tetap berjalan melawan arus modernisasi teknologi yang semakin canggih.

Pada awalnya tontonan panggung yang di gemari masyarakat kelas bawah sejak akhir abad ke-19 berupa tiruan opera yang dijejali banyak sisipan adegan hiburan. Ceritanya mengenai kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlapan, sebagian dialognya diucapkan dengan dinyanyikan sebagaimana lazimnya opera. Jumlah babaknya dibuat banyak sekali yang diselingi dengan adegan nyanyian, lawak dan tari yang juga serba gemerlapan.

Pada penghujung abad ke-19, teknologi pembuatan film, yaitu gambar yang bisa bergerak, ditemukan di Prancis, Inggris dan Amerika. Pada waktu itu negeri Nusantara masih merupakan jajahan Belanda dengan nama Nederlands Indie atau dalam bahasa pribumi disebut Hindia Belanda. Dengan sebutan tersebut menandakan bahwa negeri ini dianggap sebagai bagian dari India yang merupakan milik Belanda. Pada waktu itu hanya beberapa orang saja yang mampu baca tulis. Nama Indonesia belum dikenal, bahkan suku-suku yang mendiami Nusantara belum merasa sebagai satu bangsa. Batavia sebagai kota pusat pemerintahan kolonial menjadikannya sebagai pintu gerbang dari segala kemajuan dan kebudayaan yang masuk ke kota ini.

(4)

oleh kehadiran empat kelompok ras, yaitu Belanda, Indo-Eropa, Cina, Arab, serta Pribumi. Orang pribumi sebagian besar tinggal di kampung dan menempati sebagian kecil areal perkotaan, semakin terdesak dengan bangsa Eropa yang tinggal di kampung khususnya yang terletak pada jalan-jalan utama. Akibatnya, perkembangan kota menjadi tidak teratur. Muncul permasalahan seperti kekurangan air dan kurangannya perairan, kondisi kehidupan tidak sehat, dan kurangnya rumah untuk tempat tinggal.

Perubahan mulai ditingkatkan oleh pemerintah kolonial untuk menata negeri jajahannya dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai proses lanjutan yang muncul sesudah penaklukan secara politis, representasi-representasi yang ada atas daerah kolonial tidak lain merupakan suatu proses dimulainya penguasaan secara budaya. Pemerintah kolonial tampak berperan penting mengajarkan kepada penduduk pribumi mengenai apa yang harus dilihat dan bagaimana harus melihat koloni. Secara tidak langsung hal ini telah mengintegrasikan tidak saja aspek kewilayahan, tetapi juga menghubungkan tempat-tempat dalam cara pandang

Hindia Belanda yang diimajinasikan mengenai konsep keindahan lanskap ― mooi indies ― atau Hindia molek, sejarah budaya dan tradisi maupun stereotip tempat

dan penduduk di Hindia Belanda.2

Sementara Hindia Belanda masih dalam gejolak, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan baru bagi penduduk negeri ini. Kebijakan itu dikenal dengan sebutan Politik Etis ( etische politiek ) yaitu irigasi, emigrasi dan edukasi. Kebijakan ini diambil setelah ada indikasi menurunnya tingkat kemakmuran penduduk pribumi, hasil penelitian Mindere Welvaart Commisie, yaitu komisi yang dibentuk untuk menyelidiki penurunan tingkat kesejahteraan penduduk.3 Intinya manjadikan kehidupan yang lebih baik karena menitikberatkan pada perlindungan terhadap hak dan kepentingan penduduk pribumi, dengan program utama memajukan irigasi, edukasi dan migrasi.

Salah satu bentuk kebijakan Politik Etis adalah edukasi atau pendidikan. Tujuan sebenarnya dari kebijaksanaan ini tidak lebih dari mendapatkan

2

H.C.C Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20, (Jakarta: Masup, 2007), hlm. 1.

(5)

pekerja terlatih yang dapat digaji murah bagi perusahaan-perusahaan dagang Belanda maupun Eropa yang makin meluas ke berbagai penjuru Hindia Belanda. Namun tanpa disadari oleh pemerintah kolonial, selain dapat mempertinggi status seseorang pendidikan juga dapat menjadi salah satu faktor dinamisator atau penggerak masyarakat.

Datangnya orang-orang Eropa merupakan awal penguasaan industri, diikuti dengan orang-orang Cina yang unggul dalam segi perekonomian. Orang-orang Eropa yang berdatangan di Batavia tidak hanya bekerja sebagai pegawai pemerintahan tetapi juga memegang peran dalam perkembangan industri dan perdagangan. Sistem kapitalisasi mulai berdiri tegak diatas kendali penguasa- penguasa. Mereka adalah orang-orang Eropa yang menjadi kelompok kaum Borjuis yang memegang kekuasaan besar dan kontrol terhadap kaum buruh proletar.

Sejak tahun 1900 tontonan film mulai dapat disaksikan oleh masyarakat di kota-kota besar di Hindia Belanda. Pada saat itu, Gubernur Jenderal Van Heutz memperkenalkan pendidikan bagi orang jajahannya. Ia mendirikan

Volkschool(sekolah rakyat ) yang masa belajarnya hanya tiga tahun. Dimana siswa hanya dituntut bisa menulis, membaca dan berhitung sederhana. Kemudian sekolah lanjutannya adalah Vervolg School yang masa belajarnya dua tahun. Sekolah ini didirikan di kota kecamatan dan disediakan bagi anak lulusan sekolah rakyat yang pandai dan orang tuanya mampu. Lulusan sekolah ini dapat bekerja di kelurahan atau menjadi Mantri Polisi, Mantri Rumah Sakit, Mantri Penjara, Mantri Pasar, yang semuanya disebut Juragan Mantri. Di mata rakyat jelata status Mantri tersebut dianggap tinggi karena sulit untuk mencapainya.

Pada tahun 1910, didirikan sekolah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, yakni HIS ( Hollandse Indische School ), sekolah pemerintah yang pada mulanya diperuntukkan bagi pribumi kelas atas. Mereka dipersiapkan untuk menjadi pegawai gubernemen. Apabila seorang pribumi mampu lulus dari HIS maka terbuka jalan baginya untuk bekerja sebagai pegawai atau meneruskan ke pendidikan lebih tinggi.

(6)

edukasi berakibat didirikannya sekolah-sekolah oleh pemerintah dan swasta. Sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial di Batavia, misalnya seperti KW

III, Stovia, Recht Hoge School dan Niswo. Sedangkan sekolah swasta yang didirikan oleh kalangan pergerakan nasional, misalnya seperti Taman Siswa di Kemayoran dan Tanah Abang. 4 Anak-anak pribumi yang berasaldari keluarga bangsawan yang mayoritas menjadi murid di sekolah-sekolah ini. Anak-anak bangsawan ini dapat diterima menjadi murid karena garis keturunan mereka.

Melalui proses komunikasi, para murid sekolah ini bergaul dengan teman

– temannya, baik di sekolah atau pun di dekat tempat tinggalnya di lingkungan penduduk Eropa. Melalui proses komunikasi, para murid sekolah ini bergaul dengan teman – temannya, baik di sekolah atau pun di dekat tempat tinggalnya di lingkungan penduduk Eropa. Dari sinilah anak-anak pribumi mengenal budaya Barat.

Terpampang dalam majalah Doenia Film tertanggal 8 Oktober 1941, bahwa sendi – sendi dalam pembuatan film terjadi dari bermacam – macam bentuk, corak dan ragam. Ada film yang berdasar sejarah dan mengandung

wetenschap ( pengetahuan ) atau pendidikan. Film – film dengan corak seperti itu umunya hanya disukai oleh golongan cabang atas, para cendikiawan atau intelektual.5

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah terdiri dari empat tahap yang saling berkaitan satu sama lain. Tahap yang pertama adalah heuristik, yaitu kegiatan atau proses pengumpulan sumber – sumber sejarah atau pengumpulan sumber data sebanyak

– banyaknya yang berhubungan dengan tema dan permasalahan penelitian. Pengumpulan sumber data ini dilakukan dengan menetapkan sumber data dan

4

M. Sarief Arief, Politik Film Hindia Belanda, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 9.

5 A. Taruna, ― Pemoeda dan Pemoedi Kita Dengan Perusahaan Film ―

(7)

membedakannya dalam kategori data primer dan data sekunder yang harus dilakukan dengan sistem pencatatan yang relevan.

Data primer yang digunakan seperti dokumen atau arsip meliputi Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1919 ( No.37 dan 378 ), Tahun 1920 ( No.51, 358, dan 438 ), Tahun 1922 (No.668), Tahun 1925 (No.477), Tahun 1926 (No.478), Tahun 1930 ( No. 447 dan 448 ), dan Tahun 1940 (No.507) serta artikel dan majalah yang sejaman.

Data sekunder meliputi buku – buku, majalah dan surat kabar tersebut antara lain Bintang Betawi, Preanger Post, Pewarta Soerabaia, Nieuw Weekblad, dan Vederland. Sedangkan majalah yang dijadikan sumber skripsi ini antara lain

Doenia Film, Panorama, Pertjatoeran Doenia dan Film, Filmland, dan

Pembangoenan.

Tahap kedua adalah Kritik Sumber ( Criticism of Data ) atau Penilaian Data. Pada tahap ini, penulis melakukan kritik atau verifikasi. Di tahap ini penulis menguji dan menilai data sumber primer dan sekunder tersebut untuk di uji dan di cari kebenaran faktanya. Tahap ketiga adalah interpretasi. Pada tahap ini dilakukan untuk menafsirkan keterangan yang saling berhubungan mengenai Sejarah Industri Perfilman di Batavia Tahun 1900 – 1942. Tahap selanjutnya merupakan tahap terakhir yaitu historiografi atau penulisan sejarah ini merupakan penyajian hasil penelitian dalam bentuk tulisan baru berdasarkan bukti-bukti yang telah diuji Pada langkah ini disajikan hasil penelitian yang berupa penyusunan fakta – fakta dalam suatu sintesa kisah yang baik.

Isi

Gelombang transformasi menuju masyarakat modern menghantar Hindia Belanda memasuki abad ke-20. Penduduk yang masih dikuasai penjajah, membuka kurun waktu ini dengan sebuah kejutan di akhir tahun 1900, melalui ikrar yang tertera di surat kabar Bintang Betawi, 4 Desembar 1900. Termuat disana kabar menggemparkan, Nederlandsche Biooscope Maatschappij

(8)

rumah di Tanah Abang Kebondjae ( Manage ), sebelah pabrik kereta ( bengkel mobil Maatschappij Fuchss ). 6 Penduduk di tanah jajahan menunggu – nunggu realisasi dari kabar ini. Warung – warung kopi, pasar, dan tempat – tempat berkumpul ramai membicarakan hal ini. Orang – orang tidak sabar menantikan benda yang akan dipertontonkan itu, yang konon mampu memperlihatkan dengan nyata segala kejadian yang belum lama terjadi di Eropa dan Afrika Selatan.

Tahun 1900 merupakan pertama kali munculnya film di Batavia. Melalui peradaban budaya di Perancis, seni pertunjukan gambar hidup diadopsi dan berkembang di Hindia Belanda sehingga menjadi hasil karya cipta manusia yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sehingga menghasilkan seni muatan lokal yang sangat khas.

Film merupakan media seni pertunjukan yang di dalamnya terkandung nilai – nilai tentang realitas kehidupan. Film yang saat itu banyak digemari masyarakat adalah produk dari perkembangan bentuk film yang di produksi dengan tujuan untuk menghibur penonton, namun tidak mencerminkan kreativitas produser film. Hal ini bisa terjadi karena sebagian besar penonton saat itu adalah anak muda dan kaum papa. Mereka butuh suatu pertunjukan yang dapat menghibur dan menyenangkan dengan menekankan aspek khayalnya untuk melupakan masalah – masalah yang dihadapi sehari – hari. Disinilah peran film bernuansa Genre.

Genre adalah suatu aliran yang muncul dari film – film hasil produksi Amerika Serikat. Pada dasarnya aliran ini merupakan ramuan dari beragam hal seperti gerak, bahasa, tata lampu ataupun suasana yang titik beratnya hanya untuk menyenangkan penonton. Artinya, penonton disuguhkan pada hal – hal yang tidak mengharuskan mereka untuk berfikir dan menelaah gerak, jalinan cerita, bahasa, tata lampu, atau pun suasana yang ada dalam film tersebut.7

Munculnya film genre yang merupakan film hasil produksi Amerika Serikat ( Hollywood ) yang pada dasarnya aliran ini merupakan bagian film populer, tergolong dalam kebudayaan massa yang mampu meletakkan perannya

6

Iklan dalam surat kabar Bintang Betawi ( Batavia ), 4 Desember 1900.

7

M. Sarief Arief, Politik Film di Hindia Belanda, (Jakarta : Komunitas

(9)

sebagai penentu tingkah laku ― massa ― atau masyarakat yang menyaksikannya dan titik beratnya hanya untuk menyenangkan penonton ke dalam hal – hal yang membentuk daya khayalnya, seperti penonton dibawa melihat adegan perkelahian, percintaan dan petualangan yang bahkan belum pernah dialami dan dilihatnya sehari – hari.8

Namun seiring dengan perkembangan film, film – film dengan nuansa

genre justru sangat diminati oleh masyarakat umum karena pola film yang mengikuti pasaran dunia lebih cenderung meniru film Barat ( Hollywood ) yang hingga saat ini menjadi center dari kemajuan suatu industri perfilman dunia.

Di wilayah Nusantara, film bisu dokumenter pertama kali diperkenalkan di di Batavia. Ada hal unik dalam pemutaran film di Batavia. Sejak pertama kali film bisu dokumenter diperkenalkan, sistem pemutaran di Batavia sangat berbeda dari sistem yang berlaku di Amerika Serikat. Boleh tidaknya seseorang menonton film sangat tergantung pada perbedaan golongan dalam masyarakat, yaitu disesuaikan dengan hukum pembagian penduduk. Ada bioskop yang filmnya hanya boleh ditonton oleh orang Eropa saja, seperti Bioskop Oriental di Batavia. Ada juga bioskop yang memutar film dengan pengaturan kursi penonton yang berbeda antara Pribumi dan Eropa. Kemudian ada pula sebuah bioskop yang mengadakan perbedaan tempat duduk pria dengan wanita.

Pada saat itu masyarakat mulai merasakan kejenuhan dari pertunjukan film karena gambar idoep yang ditampilkan tidak mengandung cerita melainkan film dokumenter dan itu pun tidak dilengkapi dengan media audio. Apalagi, harga tanda masuk kelas satu f2, kelas dua f1, dan kelas tiga f0.50, yang hanya dapat dijangkau kalangan menengah ke atas saja, yaitu orang – orang Cina dan kaum penjajah. Sedangkan bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah hal itu dirasa cukup berat.

Tepat pada tanggal 31 Desember 1900 yang mengumumkan penurunan harga tanda masuk mulai 1 Januari 1901. Kelas satu f1.25, kelas dua f0.75 dan kelas tiga f0.25. Disamping pengumuman itu, terdapat pula tambahan pembayaran

8

(10)

buat satu anak f0.25.9 Dengan penurunan harga tanda masuk itu, animo terhadap bioskop sedikit meningkat, hingga dapat terus berjalan. Orang umumnya datang untuk menyaksikan benda ajaib yang diiklankan dan menjadi buah bibir itu. Selain itu, menonton film di bioskop termasuk tindakan bergengsi, terutama karena ini jenis hiburan baru dan menjadi konsumsi orang berduit. Belum lagi dengan menonton film di bioskop, para inlander merasa naik gengsinya karena dapat duduk bersama dengan sinyo dan noni – noni yang waktu itu mempunyai kedudukan paling tinggi dalam strata sosial masyarakat Hindia Belanda.

Ketentuan dalam pembagian kelas dan harga tanda masuk baru ini, mengatrol pendapatan bioskop. Namun bagi para kolonial, pembagian kelas tersebut mereka restui tampaknya bukan semata – mata karena alasan ekonomi. Lebih jauh, pembagian kelas tersebut mencerminkan usaha mereka memaparkan pula susunan masyarakat jaman ini yaitu dengan meletakkan masyarakat Belanda dan Eropa di puncaknya, kemudian masyarakat Timur Asing (vreemde oosterlingen ), dan bumiputra ( inlanders ) di posisi paling bawah.10

Munculnya bioskop – bioskop di Batavia ini semakin memperlihatkan kehidupan sosial masyarakat perkotaan di Batavia. Perkembangan kota yang semakin maju dan kebudayaan asing yang semakin menyebar ke dalam semua kalangan masyarakat di Batavia. Bertambahnya tempat pertunjukan film atau yang dikenal dengan nama bioskop ini menyebabkan meningkatnya pula jumlah importir film. Pada tahun 1900 di Batavia baru terdapat satu importir film. Kemudian pada tahun 1905 berkembang menjadi tiga importir, yaitu American Animatography, Nederlaandsch Indie Biograph Compagnie dan The Royal Bioscoope. Sampai dengan tahun 1920 –an pertunjukan film bisu berkembang dengan pesat yang didominasi oleh film – film produksi Universal Hollywood

Amerika Serikat. Keadaan ini dimungkinkan karena perusahaan Universal adalah satu – satunya perusahaan yang mampu membuat film cerita bisu dan film dokumenter. Amerika Serikat sangat kuat dalam peredaran film di Batavia. 11

9

Haris Jauhari, Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 5. 10

Ibid. hlm. 7. 11

(11)

Dengan masuknya film jenis genre dari Amerika, selera pribumi terpelajar menjadi terbentuk dengan cukup tinggi. Maka, ketika pembuatan film dimulai di Hindia Belanda, orang terpelajar sudah menggunakan ukuran yang mustahil dicapai oleh film buatan dalam negeri. Seniman film berusaha keras untuk diterima penonton kelas atas, yakni kalangan pribumi terpelajar. Namun dimata penonton terpelajar, mutu film buatan dalam negeri dinilai jauh dari harapan. Ukuran yang mereka gunakan adalah film Barat yang sudah begitu maju. Sehingga mayoritas penonton film dalam negeri adalah masyarakat lapisan bawah.

Tingginya animo di kalangan masyarakat pribumi—yang berasal dari beragam tingkat pendidikan--untuk menjadi penonton aktif di bioskop terjadi karena adanya kebutuhan akan tempat hiburan pada malam hari. Ini dimungkinkan karena aturan pergaulan antara wanita dengan pria di Batavia pada masa itu tidak seketat di daerah lainnya. Setiap malam minggu terjadi pertemuan remaja pria dan wanita yang kemudian dilanjutkan dengan acara menonton pertunjukan film di bioskop.

Genre sebagai bentuk film yang lebih tua, mendapatkan bentuknya yang jelas pada tahun 1918, ketika adanya studio – studio Hollywood. Pada saat itulah lahirnya formula pictures, suatu istilah yang kemudian dikenal di Indonesia

sebagai ― ramuan ― atau ― resep ― untuk membuat sebuah film menjadi laku. Keadaan seperti ini pun mempunyai arti penting dimana adanya hubungan antara manusia dan kesenian. Waktu yang semakin sempit pada akhirnya menyebabkan para pedagang dan pekerja di kota – kota semakin kekurangan kesempatan untuk

menikmati ― kesenian tinggi ― seperti dahulu. Mereka perlu hiburan ringan yang

(12)

Tabel 1

Jenis Genre Film dari Tahun 1936 – Era Teknologi

TEMA JENIS CORAK KHUSUS FORMATIF

(13)

Dalam genre tema di kelompokkan menjadi lima, yaitu Pertama, film anak

– anak dengan jenis drama dan terbagi lagi ke dalam tiga corak yaitu melodrama, musikal dan agama. Pengkhususan tema film anak – anak ini seperti dokumentasi, informasi, pendidikan, pelatihan dan iklan yang bentuknya bisa dipecah menjadi bincang – bincang (talk show) dan reality show. Kedua, film dengan tema kartun animasi yang cenderung bersifat komedi. Corak tema film ini yaitu satire, komedi situasi dan humor. Khusus film dengan tema ini seperti FTV, film cerita dan lepas yang dapat dipertunjukan dengan format kuis cerdas cermat. Ketiga, tema film sejarah, legenda, politik, kekerasan dan peran yang termasuk ke dalam jenis film laga. Dengan corak film kejahatan, ketegangan, kejutan, petualangan, koboi dan silat. Jika dikhususkan film dengan tema ini bisa berseri, bersambung dan berdasarkan tokoh – tokoh dalam cerita. Bentuk dari genre film ini yaitu

sport/olahraga, social welfair/kegiatan sosial, entertainment dan games

ketangkasan. Tema yang terakhir yaitu film dengan tema spionase atau khayalan yang terdiri dari jenis film fiksi. Corak yang dapat dari genre ini yaitu film fiksi ilmiah, horror/misteri, takhayul/cerita setan, dan klenik/ perdukunan.

Perkembangan film genre pun semakin banyak terlihat di Hindia Belanda ketika film cerita dengan tema Legenda Jawa Barat dibuat oleh Heuveldorp. Ia adalah seorang Belanda yang ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk membuat film-film dokumenter. Heuveldorp ternyata lebih tertarik untuk membuat film-film cerita yang tema, lokasi, dan semua pemainnya adalah pribumi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, ia bekerja sama dengan Kruger (seorang Jerman) di bawah bendera perusahaan Java Film Company di tahun 1926.

Dampak positif dari pergelaran tersebut adalah menjadi populernya kembali nyanyian – nyanyian Sunda lama. Orang memainkan musik kecapi dan suling dimana – mana. Di setiap Kabupaten, terdapat lima sampai enam perkumpulan musik Sunda. Sejalan dengan berkembangnya kesenian, maka industri alat musik Sunda juga tumbuh dan dibuat lebih modern.

Awal pembuatan film cerita lokal pada tanggal 27 Desember 1926 yang dilakukan oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers dibawah perusahaan miliknya yaitu

(14)

tersebut Heuveldorp menjadi sutradara merangkap produser, sedangkan G. Krugers menjadi penata kamera. Film cerita pertama ini diputar pertama kali di Elita dan Oriental Bioscoop, Bandung. 12

Pada awalnya, film bagi kaum pribumi umumnya ditunjukan bagi kelas pekerja. Para pembuat film selain mengambil cerita rakyat juga menggunakan jurus yang sudah dikenal ampuh bagi kelompok ini di masa itu yaitu mengadopsi pertunjukan panggung atau tonil. Cerita yang berasal dari pertunjukan panggung atau tonil dari berbagai kelompok tonil memenuhi layar film pada masa itu. Elemen – elemen yang ada dalam tonil dipindahkan ke dalam film guna menjadi daya tarik utama bagi penonton kelas pekerja. Musik, tarian dan perkelahian serta adegan – adegan sensasional menjadi milik medium film – termasuk pemandangan indah dan eksotik adalah formula yang digunakan berulang – ulang. Namun demikian, tidak seluruh film yang menggunakan elemen – elemen panggung berhasil mendatangkan banyak penonton. Rumus demi rumus terus dicari dan dikembangkan.

Dari sejarah perfilman masa kolonial tampak adanya suatu pola menonjol dalam pembuatan film, yaitu suatu pola yang dipelopori oleh orang Tionghoa. Pola ini berciri utama dagang. Pola dagang yang dimulai oleh orang Tionghoa itu bisa ditemukan akarnya di Hollywood. Dalam literatur film produksi – produksi Hollywood ini digolongkan sebagai genre.

Film tidak hanya menyediakan cerita yang menghibur penonton semata, namun dibalik itu banyak terkandung pelajaran - pelajaran yang baik. Melalui film mereka yang buta huruf dapat mengetahui berbagai hal yang didapatkan dari sajian yang dilihatnya. Pengaruh film lebih besar lebih besar daripada pengaruh buku – buku, karena apa yang dilihat itu lebih dirasa dan diingat daripada apa yang dibaca. Sedangkan pengetahuan - pengetahuan yang terdapat dalam buku hanya dapat diketahui oleh orang – orang yang mampu membaca.

Film juga dapat dijadikan sebagai barometer atau pengukur masyarakat dalam evolusinya. Orang telah mengerti bahwa setiap film yang dipertunjukan dihadapan khalayak ramai mempunyai kecenderungan dan wujud cerita tersendiri.

12

(15)

Sebanyak cerita film yang dipertunjukkan di atas layar, maka sebanyak itu pula penglihatan publik yang kemudian dapat mendatangkan kesan kepada mereka, pengaruh – pengaruh positif maupun negatif film yang disajikan.

Pada masa kolonial, Ordonansi Film ( Film Ordonnatie ) bertujuan untuk menghapuskan citra buruk dan menjaga martabat orang – orang kulit putih yang tampil dalam film – film impor juga film buatan Hindia Belanda dan mengawasi materi pertunjukan. Guna mengantisipasi hal ini, pemerintah untuk pertama kalinya mengeluarkan undang – undang mengatur film dan bioskop melalui

Ordonnantie Bioscoope yang dibentuk pada tanggal 18 Maret 1916. Ordonansi ini memberikan hak pemeriksaan film oleh komisi regional yang ditunjuk Gubernur Jenderal.13

Kesimpulan

Pada awal diperkenalkannya hiburan film di bioskop kepada penduduk di Batavia khususnya, dan di Hindia Belanda pada umumnya, film belum menjadi hiburan yang digemari masyarakat. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, masih adanya berbagai bentuk seni pertunjukan lain, seperti tonil Eropa, tonil Melayu, sandiwara, maupun Stambul. Kedua, bentuk pertunjukan film masih berupa film dokumenter yang hanya sedikit membuat penonton menjadi terhibur. Hal ini disebabkan film dokumenter semata – mata hanya mempertunjukkan peristiwa yang terjadi disuatu tempat yang kering dengan hiburan.

Pada saat film cerita masuk ke Hindia Belanda dengan menampilkan aktor serta serangkaian cerita menarik yang mampu membawa penonton ke dunia impian, maka hal tersebut menjadikan kedudukan film sejajar dengan bentuk – bentuk seni pertunjukan lainnya yang sifatnya menghibur. Film menjadi sama digemarinya seperrt seni pertunjukan lainnya yang ada pada masa itu. Akibatnynya masyarakat menjadi dapat memberikan pilihannya terhadap bentuk seni yang ingin ditontonnya.

13

(16)

Sejalan dengan perkembangan film di Hindia Belanda terjadi pula perkembangan kota – kota tertentu di Hindia Belanda seperti misalnya perkembangan kota Batavia. Perkembangan kota – kota tersebut berkaitan dengan mencari pekerjaan dan bersekolah. Pada kondisi demikian inilah masyarakat ingin menikmati pertunjukan yang relatif singkat atau selesai pada waktu itu. Artinya satu jalinan cerita dari awal hingga akhir dapat diselesaikan dalam satu kali pertunjukan. Penonton juga membutuhkan tempat pertunjukan yang sifatnya menetap sehingga dapat dengan mudah dikunjungi oleh penonton untuk melihat pertunjukan. Gedung bioskop bagi pertunjukan film disediakan untuk penonton film dan pertunjukan filmlah yang dapat memenuhi kebutuhan hiburan penduduk di perkotaan ketika itu.

Film yang masuk ke Hindia Belanda umunya adalah film genre yang titik beratnya membawa penonton ke dunia impian tanpa perlu mengajak penonton untuk memikirkan mengenai adegan dan alur cerita yang ada di dalam film itu. Oleh karena sebagian film – film genre itu adalah film – film hasil produksi Barat ( Amerika Serikat dan Eropa ) maka hanya hasil produksi Barat itulah yang dilihat oleh penonton. Film – film pada umumnya memperlihatkan gambar mengenai perkelahian, pemerkosaan, percintaan dengan adegan seks maupun perilaku orang Barat di dalam menyelesaikan suatu masalah tanpa melalui jalur hukum.

Dalam perkembangannya film – film yang dibuat di Indonesia, mengikuti film – film Hollywood. Perkembangan genre semakin pesat, seniman – seniman lokal mulai mengambil cerita dari panggung sandiwara sebagai formula untuk menarik penonton. Selain itu film – film Hollywood yang masuk di bioskop – bioskop besar seperti Batavia lebih diminati oleh kalangan kelas atas dan menengah. Hal ini terjadi karena orang – orang Eropa dan kaum intelektual di Batavia menilai film dengan nuansa budaya asing (Amerika) lebih mewakili citra orang – orang Eropa yang dianggap mempunyai status sosial yang lebih tinggi dibandingkan golongan lainnya pada saat itu.

Dengan formula yang diambil dari dunia panggung dan juga menggunakan aktris dan aktor dari dunia panggung yang sudah terkenal, maka para seniman perfilman mulai mengetahui resep dalam pembuatan film. Hingga akhir 1942 film

(17)

sandiwara dan film – film yang disadur dari film – film Hollywood. Hal ini yang mengakibatkan pesatnya film – film genre membanjiri industri perfilman tanah air. Para seniman yang semula berasal dari dunia panggung dan jurnalis mulai melihat progress dari industri film yang bisa dijadikan peluang bisnis. Film – film seperti produksi Amerika yang berjenis laga, percintaan, horror dan detektif, mulai merasuk ke dalam film – film lokal.

Pada waktu itu penduduk pribumi hanya mengerti bahasa Belanda dan sedikit yang memahami bahasa Inggris, sehingga bukan alur cerita yang diperhatikan penonton pribumi melainkan gambar dalam film itu saja. Hal ini kemudian menimbulkan kecemasan di kalangan orang Eropa. Mereka takut citra negatif orang Barat dalam gambar film itu akan menyadarkan penduduk pribumi dan menganggap bahwa derajat yang tinggi dari orang Barat dalam gambar film itu akan menyadarkan penduduk pribumi.

Pemerintah kolonial kemudian mengambil kebijakan untuk membentuk suatu komisi bagi pengguntingan gambar dalam film yang diberi nama Komisi Sensor Film. Keberadaan komisi ini dimaksudkan untuk membatasi jumlah film Barat yang masuk ke Hindia Belanda dan menggunting gambar dari film – film impor yang menurut penafsiran anggota komisi itu tidak baik untuk di tonton oleh penduduk di Hindia Belanda.

(18)

Ordonansi yang terakhir tahun 1940 No.507, berisi penetapan tugas Komisi Film yang salah satu nya, mengklasifikasi film sesuai usia penonton.14

Ordonansi ini masih memberi peluang bagi bioskop untuk berkembang dan mendatangkan film – film yang disukainya, mengingat peraturan lebih bersifat pengawasan pada mekanisme perizinan sebelum film ditayangkan

Ordonansi tidak membatasi gerak mereka, sebaliknya merangsang perkembangan pembuatan film. Film – film yang ditanyangkan lebih beragam dan juga lebih cepat berganti program dua sampai tiga kali seminggu. Nieuw Weekblad vood de Cinematografie dalam tulisannya tanggal 10 Juli 1925 menjelaskan bahwa bioskop di negeri ini memutar film baru lebih cepat karena perputaran dan pergantian di bioskop lebih cepat. Hampir setiap pekan ada film baru. Iklan di surat kabar ramai mengumumkan diputarnya film – film baru dengan bumbu berbagai keajaiban dan keheranan, hingga terus menarik minat penonton. Calon – calon penonton baru pun berdatangan, bioskop makin marak.15

14

Arsip Nasional RI. Staatsblad van Nederlandsch Indie No.507.(1940) 15Geo. K. ―

(19)

Daftar Pustaka

A. Arsip

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1919. No.37. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1919. No.378. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1920. No.51. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1920. No.356. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1920. No.438. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1922. No.668. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1925. No.477. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1926. No.478. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1930. No.447. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1930. No.448. Koleksi ANRI

Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1940. No.507. Koleksi ANRI

B. Buku

Ardan, M.S, dkk. 1933. Film Indonesia ( 1900 1950 ). Jakarta: Dewan Film Nasional.

Haris Jauhari, 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ismail, Usmar. 1983. Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan, IKAPI.

Jusa Biran, Misbach. 2009. Sejarah Film 1900 1950 Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Paeni, Mukhlis. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia; Seni Pertunjukan dan Seni Media. Jakarta: Rajawali Pers.

Pane, Armijn. 1953. Produksi Film Tjerita di Indonesia; Perkembangannja sebagai Alat Masjarakat. Jakarta: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.

(20)

Sarief M., Arief. 2009. Politik Film di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu.

Saptatia, Henny, dkk. 2011. 111 Tahun Kronika Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementerian dan Ekonomi Kreatif RI.

Said, Salim. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers.

C. Surat Kabar

Bintang Betawi ( Batavia ), 30 November 1900.

Bintang Betawi ( Batavia ), 4 Desember 1900.

Bintang Betawi ( Batavia ), 5 Desember 1900.

Bintang Betawi ( Batavia ), 31 Desember 1900.

De Preanger Post, 20 Desember 1926.

Nieuw Weekblad, 10 Juli 1925.

D. Majalah

Ariva, Monami. ― Film adalah Barometer Masyarakat ―, Doenia Film. No.8 ( 1941 ).

Dewantara, Ki Hadjar. ―Film dan Radio―. Pertjatoeran Doenia dan Film. No.I / Th I 1941.

Gambar

Tabel 1 di atas menunjukan bahwa film – film genre yang ada seiring

Referensi

Dokumen terkait

Tabel IV.12 Nilai delta (∆) keluaran program untuk eksperimen tahap 4 90 Tabel IV.13 Sebaran data kekerapan mendengar musik, kekerapan mendengar Al-Quran dan preferensi

Berdasarkan pada nilai heterosis dan heterobeltiosis karakter hortikultura (Tabel 4.) diketahui bahwa keragaman genetik yang luas diantara tetua yang digunakan

tous myco sis fun goi des and gra nu lo ma tous slack skin: a mul ti cen- ter study of the Cu ta ne ous Lympho ma Hi sto pat ho logy Task For ce Group of the Eu ro pean Or ga ni

Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk mendeskripsikan (1) wujud penanda wujud penanda referensi dalam wacana tajuk rencana pada surat kabar Republika

Kompetensi profesional pada aspek pengembangan profesi dilakukan dengan menggunakan 20 pernyataan yang diberikan kepada 6 orang guru Biologi kelas VII Sekolah Menengah

Tabel 8 menunjukkan perbandingan antara hasil pemeriksaan histopatologi potong beku dengan histopatologi rutin menurut potensi keganasan tumor ovarium tipe

Wawancara dengan Dudi, seorang pedagang besi bekas asal Panjalu yang merupakan generasi ketiga dari urbanisan Panjalu yang bergerak dalam bidang besi tua di

Pengetahuan Prosedur Kerja dan Tanggap Darurat adalah segala sesuatu yang diketahui responden tentang tata kerja awak 1 dan awak 2 dalam melaksanakan pengangkutan