BAB II
LANDASAN TEORI
4.1. Deskripsi Teori
2.1.1. Sistem Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja menurut Neely et. al., (2005) adalah proses kuantifikasi
tindakan, dimana pengukuran adalah proses kuantifikasi, dan tindakan mengarah kepada
kinerja. Tujuan lebih lanjut dari kinerja ini adalah adanya efisiensi dan efektifitas dari
setiap tindakan yang diambil. Secara lebih luas pengukuran kinerja dapat diartikan
sebagai suatu proses penilaian kemajuan yang dicapai perusahaan dalam rangka
mencapai sasaran yang telah ditetapkan termasuk didalamnya penilaian mengenai
efisiensi sumber daya dalam menghasilkan produk dan jasa, kualitas output perusahaan
dan efektifitas kegiatan organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi
(Taufiqurrahman, 2011).
Menurut Yuwono et. al., (2004) pengukuran kinerja adalah tindakan
pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada
perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang
akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana
perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan
pengendalian (Taufiqurrahman, 2011).
program, terutama kemajuan ke arah pencapaian tujuan jangka panjang. Di dalam
pengukuran kinerja, disebutkan tentang level dari aktivitas yang berhubungan dengan
program, output dari program, baik berupa produk secara langsung maupun jasa, serta
outcome dari produk atau jasa tersebut. Program yang dimaksud tersebut dapat berupa aktivitas, proyek, fungsi, atau kebijaksanaan yang mengidentifikasikan tujuan.
Dari definisi-definisi tersebut, terdapat dua dimensi penting yang
menggambarkan pengukuran kinerja yaitu efisiensi dan efektivitas. Sumanth (1984)
mendefinisikan efisiensi sebagai rasio jumlah output yang dihasilkan terhadap jumlah
standar output yang diharapkan. Sedangkan, efektivitas adalah derajad pencapaian
sasaran. Dengan perkataan lain, efektivitas adalah suatu ukuran yang menjelaskan
seberapa baik hasil yang dicapai relatif terhadap sasaran yang ditetapkan.
Pengukuran kinerja pada suatu perusahaan dalam periode atau jangka waktu
tertentu sangat diperlukan agar prestasi perusahaan dalam periode tersebut dapat
diketahui, apakah sudah mencapai kinerja yang diharapkan atau belum, sehingga dapat
menjelaskan hubungan sebab-akibat antara kegiatan pengukuran kinerja yang telah
dilakukan dengan hasil akhir yang dicapai. Pengukuran kinerja merupakan komponen
dalam performance-based management, yaitu suatu aplikasi informasi sistematik yang
dibangun berdasarkan perencanaan, pengukuran, dan evaluasi kinerja menuju
perencanaan yang strategik. Hasil pengukuran kinerja dapat dijadikan landasan bagi
perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan dan melakukan perbaikan-perbaikan
untuk meningkatkan kinerja, sehingga pada akhirnya perusahaan dapat meningkatkan
Artley, et. al., (2001) menjelaskan bahwa pengukuran kinerja sangat diperlukan
karena:
1. Pengukuran lebih memfokuskan suatu perusahaan pada apa yang ingin
diselesaikan dan memaksa untuk berkonsentrasi pada waktu, sumber daya,
dan energi dalam mencapai tujuan.
2. Pengukuran kinerja dapat memperbaiki komunikasi internal karyawan dan
eksternal antar perusahaan dengan konsumen maupun stakeholders.
3. Pengukuran kinerja akan sangat bermanfaat bagi perusahaan, yaitu dengan
menyediakan suatu pendekatan yang terstruktur, yang berfokus pada
rencana strategis, tujuan, dan performansi, serta adanya mekanisme
pelaporan pada manajemen tingkat atas.
4. Pengukuran kinerja dapat membantu suatu perusahaan untuk
mempertanggung jawabkan program serta biayanya.
Neely et. al., (2005) mendefinisikan sistem pengukuran kinerja sebagai
seperangkat ukuran kinerja yang digunakan untuk mengkuantifikasi baik efisiensi
maupun efektifitas dari tindakan-tindakan. Sistem pengukuran kinerja dapat diuji pada
tiga tingkatan yang berbeda, yaitu:
1. Pengukuran kinerja secara individu.
2. Seperangkat pengukuran kinerja–sistem pengukuran kinerja sebagai
entitas.
3. Hubungan antara sistem pengukuran kinerja dan lingkungan dimana
Kerangka kerja perancangan pengukuran kinerja menurut Neely dapat dilihat
pada Gambar 2.1. berikut.
Gambar 2.1 Kerangka kerja untuk merancang sistem pengukuran kinerja
(Sumber : Neely et. al., 2005)
Najmi, et. al., (2005) menjelaskan ada tiga elemen dasar dalam perancangan
sistem pengukuran kinerja, yaitu:
1. Arah
Menentukan arah perusahaan secara jelas dengan mendefinisikan visi, misi
dan tujuan strategis perusahaan.
2. Proses-proses
Arah perusahaan diimplementasikan dengan dalam setiap proses dan
aktivitas dengan menerapkan improvement process practices.
3. Pengukuran
Interaksi ketiga elemen dasar tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2. berikut.
Gambar 2.2. Pendekatan Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja
(sumber : Najmi, et. al, 2005)
2.1.2. Indikator Kinerja
Moeheriono (2012) merangkum definisi-definisi indikator kinerja sebagai
berikut:
1. Nilai atau karakteristik tertentu yang digunakan untuk mengukur output
atau outcome suatu kegiatan/tindakan.
2. Alat ukur yang digunakan untuk menentukan derajat keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai tujuannya.
3. Ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian
suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi.
4. Informasi operasional yang berupa indikasi mengenai kinerja atau kondisi
Mustopadidjaja (2000) menyatakan bahwa di dalam pengukuran kinerja akan
dimunculkan indikator-indikator kinerja, dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi
yaitu:
1. Spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan
kesalahan interpretasi.
2. Dapat diukur secara obyektif, baik yang bersifat kuantitatif, maupun
kualitatif.
3. Relevan, harus menangani aspek-aspek obyektif yang relevan.
4. Dapat dicapai, penting, dan harus berguna. Hal ini bertujuan agar
pengukuran kinerja dapat menunjukkan keberhasilan masukan, keluaran,
hasil, manfaat, dan dampak, serta proses.
5. Harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan atau penyesuaian
pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan .
6. Efektif. Data atau informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang
bersangkutan dapat dikumpulkan dan diolah, dan dianilisis dengan biaya
yang tersedia.
2.1.3. Quantitave Models for Performance Measurement System (QMPMS)
Menurut Bititci, et al. (2001) sistem pengukuran kinerja melibatkan sejumlah
ukuran-ukuran kinerja multi dimensional, seperti biaya, kualitas, waktu, dll. Integrasi
beberapa ukuran multi dimensional yang ditunjukkan dalam unit-unit heterogen menjadi
sebuah unit tunggal merupakan suatu masalah yang perlu dihadapi. Berikut ini tiga
1. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dan hubungannya.
2. Menyusun faktor-faktor tersebut secara hirarki.
3. Mengukur pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kinerja.
Ketiga langkah pendekatan diatas dikembangkan sebagai model acuan dari
metode QMPMS ditunjukkan pada Gambar 2.3. berikut.
Gambar 2.3. Kerangka kerja pendekatan QMPMS (Sumber : Bititci, et al., 2001)
2.1.3.1 Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja dan Hubungannya
Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja merupakan langkah yang
paling penting dalam penerapan QMPMS. Kegagalan dalam mengidentifikasi seluruh
faktor yang mempengaruhi kinerja dan hubungannya akan menyebabkan gangguan
terhadap hasil rancangan. Untuk menyelidiki dan mengidentifikasi faktor-faktor tersebut
digunakan peta kognitif (cognitive maps).
Step 1
Identification of factors affecting performance and their relationship.
Tools: Cognitive maps
Step 2
Structuring the factors hierarchically Tools: Cause and Effect Diagrams and Structured Diagrams
Step 3
Quantifying the effects of factors on performance
Suwignjo, et al (2000) memberikan contoh peta kognitif sebagai berikut,
misalkan seseorang ingin pindah ke negara lain. Dia ingin memilih negara yang dapat
menambah kekayaannya di Bank. Dia dapat menggunakan cognitive maps untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uangnya di bank, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Cognitive Maps
(Sumber : Suwignjo, et al., 2000)
Secara umum pengaruh dari sebuah faktor terhadap kinerja dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Direct (vertical) effect (pengaruh langsung)
Pengaruh langsung dari sebuah faktor terhadap kinerja adalah sebuah
agregat/kumpulan dari seluruh pengaruh dari faktor kinerja terhadap
kinerja melalui faktor itu.
2. Indirect (horizontal) effect (pengaruh tidak langsung)
Indirect effect adalah pengaruh dari sebuah faktor terhadap kinerja melalui faktor lain pada level yang sama
Amount of money in the bank
Initial
Deposit Interest
Savings paid in +
+
+
+
3. Self-interaction effect
Self-interaction effect adalah pengaruh dari sebuah faktor terhadap dirinya sendiri.
2.1.3.2 Menyusun Faktor-Faktor Secara Hirarki
Pada langkah pertama, perhatian utama hanya menguraikan faktor-faktor yang
mempengaruhi dan hubungannya. Tidak ada usaha untuk mengelompokkan faktor-faktor
pada level yang sama dalam satu kelompok. Tools yang digunakan untuk menyusun
hirarki adalah Cause and effect diagram dan tree diagram. Diagram sebab akibat
ditunjukkan pada Gambar 2.5. berikut.
Gambar 2.5. Diagram Sebab Akibat (Sumber : Suwignjo, et al., 2000)
Diagram sebab akibat digunakan untuk mengetahui susunan hirarki dari
faktor-faktor tersebut. Sebuah faktor-faktor adalah anggota level 0 jika faktor-faktor ini dipengaruhi oleh
faktor lain namun tidak mempengaruhi faktor lain. Sementara, faktor yang secara
langsung mempengaruhi faktor lain pada level tertentu akan menjadi anggota level
berikutnya yang lebih rendah.
Diagram pohon yang digunakan dalam penyusunan hirarki dapat dilihat pada
Gambar 2.6. berikut.
Amount of money in the bank
Saving s Initial Deposit
paid in
Gambar 2.6. Tree Diagram
(Sumber : Suwignjo, et al., 2000)
Diagram pohon dapat digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai struktur hirarki.
2.1.3.3 Mengukur Pengaruh Faktor-Faktor Terhadap Kinerja
Pengaruh relatif dari faktor-faktor (direct, indirect, dan self interaction) dapat
diukur menggunakan prosedur Analytical Hierarchy Process (AHP). Proses pengukuran
dijalankan berdasarkan hasil perbandingan berpasangan diantara faktor-faktor. Untuk
tiap pasangan faktor dari level tertentu, pengaruhnya terhadap faktor lain dari level
berikutnya yang lebih tinggi (direct effect) atau terhadap faktor dalam kelompok yang
sama (indirect effect) dibandingkan. Sebuah nilai yang berada antara satu (sama-sama
penting) dan sembilan (pasti lebih penting) akan ditetapkan untuk tiap perbandingan,
bergantung pada pertimbangan subyektif dari analisis. Pengaruh-pengaruh relatif dari
faktor-faktor terhadap kinerja dapat dibangkitkan dengan menormalisasi eigen vector
dihubungkan dengan nilai eigen maksimum dari matriks perbandingan berpasangan.
Kuesioner perbandingan berpasangan dan matriks perbandingan berpasangan
ditunjukkan pada Gambar 2.7. berikut.
Amount of money in the Bank
Gambar 2.7. (a) kuesioner perbandingan berpasangan, (b) matriks perbandingan berpasangan
(Sumber : Suwignjo, et al., 2000)
2.1.4. Structural Equation Modeling (SEM)
Structural equation modeling (SEM) adalah suatu teknik statistik yang mampu menganalisis pola hubungan antara konstruk laten dan indikatornya, konstruk laten yang
satu dengan lainnya, serta kesalahan pengukuran secara langsung. SEM memungkinkan
dilakukannya analisis di antara beberapa variabel dependen dan independen secara
langsung (Hair et al, 2006).
Teknik analisis data menggunakan SEM, dilakukan untuk menjelaskan secara
menyeluruh hubungan antar variabel yang ada dalam penelitian. SEM digunakan bukan
untuk merancang suatu teori, tetapi lebih ditujukan untuk memeriksa dan membenarkan
Amount of Deposit Interest Saving Priority money in bank
Deposit 1 5 1/5 0.212
Interest 1/5 1 1/8 0.062
Saving 5 8 1 0.726
The priority in the table is computed using QMPMS software developed at DMEM. Level : 0
Factor : Amount of money in bank. Sub-factors : Initial deposit, Interest, Saving.
suatu model. Oleh karena itu, syarat utama menggunakan SEM adalah membangun
suatu model hipotesis yang terdiri dari model struktural dan model pengukuran dalam
bentuk diagram jalur yang berdasarkan justifikasi teori. SEM adalah merupakan
sekumpulan teknik-teknik statistik yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian
hubungan secara simultan. Hubungan itu dibangun antara satu atau beberapa variabel
independen (Santoso, 2011).
SEM menjadi suatu teknik analisis yang lebih kuat karena mempertimbangkan
pemodelan interaksi, nonlinearitas, variabel-variabel bebas yang berkorelasi (correlated
independent), kesalahan pengukuran, gangguan kesalahan-kesalahan yang berkorelasi (correlated error terms), beberapa variabel bebas laten (multiple latent independent) dimana masing-masing diukur dengan menggunakan banyak indikator, dan satu atau dua
variabel tergantung laten yang juga masing-masing diukur dengan beberapa indikator.
Dengan demikian menurut definisi ini SEM dapat digunakan alternatif lain yang lebih
kuat dibandingkan dengan menggunakan regresi berganda, analisis jalur, analisis faktor,
analisis time series, dan analisis kovarian (Byrne, 2010).
Yamin (2009) mengemukakan bahwa di dalam SEM peneliti dapat melakukan
tiga kegiatan sekaligus, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrumen (setara
dengan analisis faktor konfirmatori), pengujian model hubungan antar variabel laten
(setara dengan analisis path), dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prediksi
(setara dengan model struktural atau analisis regresi).
Dua alasan yang mendasari digunakannya SEM adalah (1) SEM mempunyai
kemampuan untuk mengestimasi hubungan antar variabel yang bersifat multiple
dependen dan independen). (2) SEM mempunyai kemampuan untuk menggambarkan
pola hubungan antara konstruk laten dan variabel manifes atau variabel indikator.
Menurut Wijanto (2008), dari segi metodologi, SEM memainkan berbagai peran,
dianataranya, sebagai sistem persamaan simultan, analisis kausal linier, analisis lintasan
(path analysis), analysis of covariance structure, dan model persamaan struktural. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang membedakan SEM dengan regresi biasa
maupun teknik multivariat yang lain, karena SEM membutuhkan lebih dari sekedar
perangkat statistik yang didasarkan atas regresi biasa dan analisis varian. SEM terdiri
dari 2 bagian yaitu model variabel laten dan model pengukuran. Kedua model SEM ini
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan regresi biasa. Regresi biasa, umumnya,
menspesifikasikan hubungan kausal antara variable-variabel teramati (observed
variable), sedangkan pada model variabel laten SEM, hubungan kausal terjadi diantara
variable-variabel tidak teramati (unobserved variables) atau variable-variabel laten.
Wijanto (2008) menunjukan bahwa penggunaan variable-variabel laten pada
regresi berganda menimbulkan kesalahan-kesalahan pengukuran (measurements errors)
yang berpengaruh pada estimasi parameter dari sudut biased-unbiased dan besar
kecilnya variance. Masalah kesalahan pengukuran ini diatasi oleh SEM melalui
persamaan-persamaan yang ada pada model pengukuran. Parameter-parameter dari
persamaan pada model pengukuran SEM merupakan “muatan faktor” atau factor
loadings dari variabel laten terhadap indicator-indikator atau variable-variabel termati yang terkait. Dengan demikian, kedua model SEM tersebut selain memberikan informasi
tentang hubungan kausal simultan di antara variable-variabelnya juga memberikan
lebih mendorong penggunaan SEM dibandingkan regresi berganda karena 5 alasan
sebagai berikut:
1. SEM memeriksa hubungan di antara variabel-variabel sebagai sebuah unit, tidak
seperti pada regresi berganda yang pendekatannya sedikit demi sedikit
(piecemeal).
2. Asumsi pengukuran yang andal dan sempurna pada regresi berganda tidak dapat
dipertahankan, dan pengukuran dengan kesalahan dapat ditangani dengan mudah
oleh SEM.
3. Modification Index yang dihasilkan SEM menyediakan lebih banyak isyarat tentang arah penelitian dan pemodelan yang perlu ditindaklanjuti dibandingkan
pada regresi.
4. Interaksi juga dapat ditangani dalam SEM.
5. Kemampuan SEM dalam menangani non recursive path.
2.1.4.1. Penerapan SEM dalam Metode QMPMS
Tiga langkah utama metode QMPMS dalam penyusunan sistem pengukuran
kinerja dapat dianalisis menggunakan metode structural equation modeling. Dengan
penggunaan SEM pada langkah-langkah dalam QMPMS maka tidak perlu digunakan
lagi cognitive map, tree diagram, cause and effect diagram, dan analytical hierarchy
process sebagai alat bantu. Prosedur pengujian SEM yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Tahap ini untuk mengidentifikasi seluruh faktor yang mempengaruhi kinerja
dan hubungannya, apakah berpengaruh langsung (direct effect), tidak
langsung (indirect effect), atau self-interaction effect. Tujuan dari
pengembangan model struktural untuk menguji validitas dan realibilitas pola
hubungan antar variabel dari sebuah konsep atau teori yang
direpresentasikan dengan sebuah model sehubungan dengan masalah yang
akan diteliti.
2. Pengembangan diagram jalur pola hubungan sebab akibat antar variabel
laten eksogen dan variabel laten endogen
Langkah satu adalah visualisasi pola hubungan tersebut dalam diagram
sehingga lebih mudah untuk dilakukan pengujian. Karena goodness of fit test
akan dikenakan terhadap model tersebut untuk menguji kesesuaiannya
dengan realita maka sebaiknya disiapkan beberapa alternatif model pola
hubungan.
3. Pengembangan model persamaan struktural dan model pengukuran
Setalah proses identifikasi maka dilakukan penyusunan faktor-faktor secara
hirarki menggunakan diagram pohon dan diagram sebab akibat. Untuk
menunjukkan tingkatan (level) dari setiap faktor (variabel) dan
hubungannya.
Apabila diagram jalur pola hubungan antara variabel laten eksogen dan
endogen telah jelas dan koefisien hubungan masing-masing variabel
diidentifikasi maka model persamaan struktural dan model persamaan
perumusan hipotesis yang ditindaklanjuti dengan pengumpulan data dengan
menggunakan instrumen yang mengacu kepada variabel manifes dari
masing-masing variabel laten. Untuk pengujian hipotesis dalam teknik SEM
perhitungan skor butir-butir yang valid dan reliabel dilakukan dengan
menggunakan metode confirmatory factor analysis (CFA).
4. Menyusun matriks input dan estimasi model
Tahap terakhir dalam perancangan model pengukuran kinerja ini adalah
dengan mengukur pengaruh dari faktor-faktor terhadap kinerja dengan
menggunakan perbandingan matriks dalam prosedur SEM. Ada dua tipe
matriks yang perlu dibuat. Matriks pertama adalah matriks korelasi yaitu
matriks yang elemen-elemennya adalah hasil perhitungan koefisien korelasi
antar variabel laten. Berdasarkan variabel laten akan diketahui variabel laten
eksogen mana yang lebih kuat pengaruhnya terhadap variabel laten endogen
tertentu. Disamping itu, dengan diketahuinya koefisien korelasi antar
variabel laten dalam diagram jalur maka dapat pula diketahui jalur-jalur
mana yang mempunyai pengaruh yang lebih dominan.
Matriks kedua ialah matriks kovarians yaitu matriks yang
ele-men-elemennya adalah hasil perhitungan kovarians antar variabel yang dapat
diobservasi langsung yaitu antar variabel manifes X dan variabel manifes Y.
Koefisien kovarians mengukur hubungan antar dua variabel laten dalam
struktur.
5. Melakukan evaluasi kesesuaian model
Evaluasi kesesuaian model dapat dibagi atas dua bagian yaitu pertama
menguji kesesuaian model secara keseluruhan (overall model fit test) dan
kedua menguji secara individual signifikansi hasil estimasi parameter model.
Pengujian model keseluruhan berkaitan dengan masalah generalisasi yaitu
mengevaluasi sejauh mana hasil esitimasi parameter model dapat
diberlakukan terhadap populasi. Pengujian signifikansi berkaitan dengan
pengujian hipotesis penelitian yang diajukan.
Evaluasi kesesuaian model pada dasarnya adalah evaluasi tentang kesesuaian
pola hubungan antar variabel laten terhadap data empiris. Tujuan yang ingin
dicapai dari pengujian kesesuaian model pengukuran ialah untuk mengetahui
apakah model pengukuran sesuai (fit) dengan data.
Untuk menguji kesesuaian model digunakan ukuran goodness of fit test
(GFT) melalui uji statistik chi kuadrat X2 test) pada .
( )( ∑ ) ...(2.2.)
6. Interpretasi dan modifikasi model
Fokus dari interpretasi hasil analisis adalah penjelasan tentang arti dan hasil
dari hasil pengujian kesesuaian model baik jika hasil pengujian fit ataupun
tidak fit dengan data empiris. Interpretasi juga diberikan terhadap hasil
pengujian signifikansi masing-masing koefisien bobot (load) dikaitkan
interpretasi diberikan terhadap masing-masing efek baik, efek langsung,
tidak langsung maupun efek total.
4.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi didedikasikan untuk: (1) menguasai, memanfaatkan,
mendiseminasikan, mentransformasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni (ipteks), (2) mempelajari, mengklarifikasikan dan melestarikan
budaya, serta (3) meningkatkan mutu kehidupan masyarakat. Oleh karena itu perguruan
tinggi sebagai lembaga melaksanakan fungsi tridarma Perguruan Tinggi, yaitu
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengelola ipteks.
Untuk menopang dedikasi dan fungsi tersebut, perguruan tinggi harus mampu mengatur
diri sendiri dalam upaya meningkatkan dan menjamin mutu secara terus menerus, baik
masukan, proses maupun keluaran berbagai program dan layanan yang diberikan kepada
masyarakat. (Badan Akreditasi Nasional (BAN), 2011)
Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas publik, perguruan tinggi harus secara
aktif membangun sistem penjaminan mutu internal. Untuk membuktikan bahwa sistem
penjaminan mutu internal telah dilaksanakan dengan baik dan benar, perguruan tinggi
harus diakreditasi oleh lembaga penjaminan mutu eksternal. Dengan sistem penjaminan
mutu yang baik dan benar, perguruan tinggi akan mampu meningkatkan mutu,
menegakkan otonomi, dan mengembangkan diri sebagai institusi akademik dan
kekuatan moral masyarakat secara berkelanjutan.
Perguruan Tinggi yang ideal (das sollen) harus memenuhi kriteria antara lain,
memiliki sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan yang memadai, organisasi berjalan
secara efektif dan dinamis, serta selalu memperhatikan dan meningkatkan kualitas
kinerjanya. Sementara itu fenomena atau gambaran empirik universitas swasta di daerah
(das sein) memperlihatkan; tingkat pendidikan dan kepakaran pimpinan relatif rendah, posisi jabatan kunci masih ada yang dirangkap oleh dosen/pejabat PTN/PNS lainnya,
organisasi belum berjalan dinamis dan efektif (adanya kendala hubungan yayasan
dengan universitas), kualitas lulusan rendah, sarana kampus dan fasilitas akademik
lainnya relatif terbatas, kepercayaan stakeholders kecil bahkan belum tampak, peringkat
akreditasi BAN PT sebagian besar masih berkisar pada peringkat C.
2.2.1. Kompetensi Dosen
Dosen merupakan komponen yang penting dalam keberhasilan proses belajar
mengajar di perguruan tinggi, semakin baik peran dosen akan semakin baik hasil belajar
mahasiswanya. Menurut Dyah Kusumastuti (2001), dosen merupakan komponen vital,
penggerak utama dari sistem pendidikan dan pengajaran yang pada akhirnya akan
mempengaruhi produktivitas perguruan tinggi. Dosen sebagai salah satu penjamin mutu
dalam proses pendidikan merupakan tenaga kependidikan yang profesional dituntut
mempunyai kompetensi sehingga dapat mewujudkan standar kinerja yang bermutu,
selanjutnya diharapkan bermuara pada peningkatan mutu kinerja organisasi perguruan
tinggi dan berdampak pada mutu pendidikan atau lulusan.
Menurut Saud (2009), seorang profesional yang kompeten itu harus dapat
menunjukkan karakteristik utamanya, antara lain:
2. menguasai perangkat pengetahuan (teori dan konsep, prinsip dan kaidah,
hipotesis dan generalisasi, data dan informasi, dan sebagainya) tentang seluk
beluk apa yang menjadi bidang tugas pekerjaannya.
3. menguasai perangkat keterampilan (strategi dan taktik, metode dan teknik,
prosedur dan mekanisme, sarana dan instrumen, dan sebagainya) tentang cara
bagaimana dan dengan apa harus melakukan tugas pekerjaannya.
4. memahami perangkat persyaratan ambang (basic standards) tentang ketentuan
kelayakan normatif minimal kondisi dari proses yang dapat ditoleransikan dari
kriteria keberhasilan yang dapat diterima dari apa yang dilakukannya.
5. memiliki daya (motivasi) dan citra (aspirasi) unggulan dalam melakukan tugas
pekerjaannya.
6. memiliki kewenangan (otoritas) yang memancar atas penguasaan perangkat
kompetensinya dalam batas tertentu yang didemonstrasikan (observeable) dan
teruji (measureable) sehingga memungkinkan memperoleh pengakuan pihak
berwenang (certifiable).
2.2.2. Learning Ability Mahasiswa
Mahasiswa adalah kelompok pemangku kepentingan internal yang mendapatkan
manfaat, dan sekaligus sebagai pelaku, proses pembentukan nilai tambah dalam
penyelenggaraan kegiatan/program akademik yang bermutu di perguruan tinggi.
Mahasiswa merupakan pembelajar yang membutuhkan pengembangan diri secara
holistik yang mencakup unsur fisik, mental, dan kepribadian sebagai sumber daya
profesionalisme, kemampuan adapatif, kreatif dan inovatif dalam mempersiapkan diri
memasuki dunia profesi dan atau dunia kerja (BAN, 2011). Learning ability mahasiswa
adalah kemauan dan usaha dari mahasiswa untuk mengembangkan diri.
2.2.3. Dukungan Fasilitas
Fasilitas pendidikan adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam
penyelenggaraan proses akademik sebagai alat teknis dalam mencapai maksud, tujuan,
dan sasaran pendidikan yang bersifat mobile (dapat dipindah-pindahkan), antara lain
komputer, peralatan dan perlengkapan pembelajaran di dalam kelas, laboratorium,
kantor, dan lingkungan akademik lainnya.
Pengelolaan fasilitas perguruan tinggi meliputi perencanaan, pengadaan,
penggunaan, pemeliharaan, pemutakhiran, inventarisasi, dan penghapusan aset yang
dilakukan secara baik, sehingga efektif mendukung kegiatan penyelenggaraan akademik
di perguruan tinggi. Kepemilikan dan aksesibilitas fasilitas sangat penting untuk
menjamin mutu penyelenggaraan akademik secara berkelanjutan.
2.2.4. Alumni
Alumni adalah status yang dicapai mahasiswa setelah menyelesaikan proses
pendidikan sesuai dengan persyaratan kelulusan yang ditetapkan oleh perguruan tinggi.
Sebagai salah satu keluaran langsung dari proses pendidikan yang dilakukan oleh
perguruan tinggi, lulusan yang bermutu memiliki ciri penguasaan kompetensi akademik
termasuk hard skills dan soft skills sebagaimana dinyatakan dalam sasaran mutu serta
Dukungan alumni adalah feedback yang diberikan oleh lulusan dalam mengembangkan
perguruan tinggi. Jika feedback baik, maka kinerja perguruan tinggi dikatakan baik.
(BAN, 2011)
2.2.5. Administrasi Akademik
Salah satu bentuk pelayanan sebuah perguruan tinggi adalah pelayanan
administrasi akademik. Administrasi akademik adalah suatu rangkaian kegiatan atau
keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai suatu
tujuan yang telah dirumuskan secara berencana dan sistematis yang diselenggarakan
dalam lingkungan pendidikan formal (Daryanto, 2010). Mahasiswa merupakan
pelanggan atau konsumen bagi institusi pendidikan tinggi. Institusi sudah seharusnya
dapat menjamin kepuasan mahasiswa, tidak hanya dalam proses belajar mengajar, tetapi
mencakup pula dalam pelayanan administrasinya. Pelayanan administrasi akademik
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh kegiatan pendidikan.
Pelayanan administrasi akademik sangat penting dalam menunjang kelancaran
studi selama di perguruan tinggi dan setelah lulus. Peran pelayanan administrasi
akademik menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian dari seluruh komponen yang
terlibat dalam pengembangan perguruan tinggi. Proses administrasi akademik
merupakan bagian yang paling banyak bersentuhan dengan mahasiswa, sehingga yang
terpikir pertama kali oleh mahasiswa ketika ditanya bagaimana kualitas pelayanan di
sebuah perguruan tinggi, maka yang dinilainya adalah pelayanan administrasi akademik,
meskipun beberapa aspek sudah terkomputerisasi dan sudah online, namun pelayanan
2.2.6. Promosi
Promosi adalah sejenis komunikasi yang memberi penjelasan dan meyakinkan
calon konsumen mengenai barang dan jasa dengan tujuan untuk memperoleh perhatian,
mendidik, mengingatkan dan meyakinkan calon konsumen (Buchari Alma, 2006).
Promosi merupakan alat komunikasi dan penyampaian pesan yang dilakukan baik oleh
perusahaan maupun perantara dengan tujuan memberikan informasi mengenai produk,
harga dan tempat. Informasi itu bersifat memberitahukan, membujuk, mengingatkan
kembali kepada konsumen, para perantara atau kombinasi keduanya. Jika promosi
berhasil, maka kinerja institusi dikatakan baik.
Dalam promosi juga, terdapat beberapa unsur yang mendukung jalannya sebuah
promosi tersebut yang biasa disebut bauran promosi. Adapun bauran promosi menurut
Plilip Kotler adalah sebagai berikut (Drs. Djaslim Saladin, 2004):
1. Periklanan (Advertising) adalah semua bentuk penyajian nonpersonal, promosi
ide-ide, promosi barang atau jasa yang dilakukan oleh sponsor yang dibayar.
2. Promosi Penjualan (Sales Promotion) adalah variasi insentif jangka pendek untuk
merangsang pembelian atau penjualan suatu produk atau jasa.
3. Hubungan masyarakat dan Publisitas (Public Relation and Publicity) adalah
suatu usaha (variasi) dari rancangan program guna memperbaiki,
mempertahankan, atau melindungi perusahaan atau citra produk.
4. Penjualan Personal (Personal Selling) adalah penyajian lisan dalam suatu
pembicaraan dengan satu atau beberapa pembeli potensial dengan tujuan untuk
5. Pemasaran Langsung (Direct Marketing) Komunikasi secara langsung yang digunakan dari mail, telepon, fax, e-mail, atau internet untuk mendapatkan
tanggapan langsung dari konsumen secara jelas.
2.2.7. Proses Pembelajaran
Pembelajaran (tatap muka atau jarak jauh) adalah pengalaman belajar yang
diperoleh mahasiswa dari kegiatan belajar, seperti perkuliahan, praktikum atau praktek,
magang, pelatihan, diskusi, lokakarya, seminar, dan tugas-tugas pembelajaran lainnya.
Dalam pelaksanaan pembelajaran digunakan berbagai pendekatan, strategi, dan teknik,
yang menantang agar dapat mengkondisikan mahasiswa berpikir kritis, bereksplorasi,
berkreasi, dan bereksperimen dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar.
Dalam proses pembelajaran, dosen sebagai pengajar akan menggunakan
pedoman dalam kurikulum dalam menjalankan tugasnya. Melalui proses pembelajaran
terjadi penyampaian informasi dan ilmu pengetahuan serta penanaman nilai-nilai
maupun sikap. Pada akhir suatu proses pendidikan, khususnya pendidikan tinggi akan
diperoleh lulusan (out put) yang dapat mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan (Dirjen Dikti, 2001) Di dalam perilaku organisasi, proses belajar itu
didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai
hasil dari pengalaman hidup. Dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan perilaku itu
menunjukkan telah terjadinya proses belajar dan proses belajar itu sendiri adalah
perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses belajar tersebut. Jika
perubahan menjadikan lebih baik, maka kinerja menjadi lebih baik. Sebaliknya bila
4.3. Pengukuran Kinerja Perguruan Tinggi
Salah satu yang dapat dijadikan acuan dalam menilai kinerja perguruan tinggi
adalah dengan melihat sistem pemeringkatan perguruan tinggi nasional dan dunia yang
dilakukan oleh lembaga pemerintah dan lembaga‐lembaga independen. Beberapa teknik
pemeringkatan yang diakui dan telah menjadi acuan diantaranya adalah:
1. Badan Akreditasi Nasional
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dibentuk oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1994 dengan tugas melakukan
akreditasi terhadap perguruan tinggi. Standar akreditasi perguruan tinggi
mencakup standar tentang komitmen perguruan tinggi terhadap kapasitas
institusional (institutional capacity) dan komitmen terhadap efektivitas program
pendidikan (educational effectiveness), yang dikemas dalam tujuh standar
akreditasi, yaitu:
a. Visi, misi, tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaian
b. Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu
c. Mahasiswa dan lulusan
d. Sumber daya manusia
e. Kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik
f. Pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sistem informasi
g. Penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama
2. Thes World University Rangking
Dari sekian banyak sistem pemeringkatan yang ada, salah satu yang terpopuler
adalah THES World University Ranking atau lebih dikenal dengan QS Star
berkembang menjadi sistem pemeringkatan paling komprehensif di dunia. Di
dalam QS Star terdapat 4 kriteria utama yang diperhitungkan, yaitu:
a. Research Quality (60%), meliputi: Academic Peer Review dan Citation Per Faculty
b. Graduate Employability (10%)
c. International Outlook (10%), meliputi: International Students dan
International Faculty
d. Teaching Quality (20%)
3. ARWU (Academic Ranking of World Universities)
Lebih dikenal dengan Shanghai Ranking merupakan sistem pemeringkatan
yang pertama kali diperkenalkan oleh Center for World‐ Class Universities dan
Institute of Higher Education of Shanghai Jiao Tong University di China pada Juni 2003. Dan kemudian secara rutin dilakukan update pemeringkatan setiap
tahunnya. Kriteria‐kriteria yang digunakan dalam ARWU meliputi:
a. Quality of Education (10%) b. Quality of Faculty (40%) c. Research Output (40%) d. Academic performance (10%)
4.4. Review Hasil Penelitian
Penelitian atau research yang berkenaan dengan perancangan sistem pengukuran
kinerja dalam bidang pendidikan sudah dilakukan oleh beberapa ahli. I Made Suardika
(2007) melakukan perancangan sistem pengukuran kinerja di Jurusan Teknik Mesin
Universitas Mataram menggunakan metode Integrated Performance Measurement
Teknik Mesin ditentukan berdasarkan stakeholder requirement melalui empat tahapan
yaitu; identifikasi stakeholder requirement, external monitor, penetapan objectives, dan
identifikasi KPIs.
Hasil perancangan mengidentifikasi 38 KPIs yang dikelompokkan dalam 9
kriteria kinerja Jurusan Teknik Mesin, yaitu 2 KPI kurikulum, 5 KPI mahasiswa, 3 KPI
finansial, 7 KPI sumber daya manusia, 3 KPI administrasi akademik, 7 KPI proses
pembelajaran, 6 KPI alumni, 2 KPI evaluasi dan pengendalian, 3 KPI external party.
Hasil pembobotan menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa prioritas utama dari
sembilan kriteria yang ada adalah kurikulum dengan bobot terbesar yaitu 0,189 dan yang
terendah adalah external party sebesar 0,049.
Penelitian serupa dilakukan oleh Widyaswanti (2010) di Program Studi Teknik
Industri Universitas Trunojoyo, Madura. Metode yang digunakan adalah Performance
Prism. Pengukuran kinerja dengan metode ini tidak hanya didasari oleh strategi proses dan kapabilitas dari universitas tersebut, tetapi juga memperhatikan kepuasan dan
kontribusi stakeholder. Terbukti pada penelitian tersebut penyusunan KPI Program Studi
dimulai dari mengidentifikasi kepuasan dan kontribusi para stakeholder untuk
menentukan indikator kinerja dari kriteria strategi, proses dan kapabilitas Program Studi.
Hasil rancangan menunjukkan bahwa stakeholder Program Studi meliputi:
mahasiswa, dosen/pengajar, manajemen Program Studi, Fakultas dan Universitas, Orang
tua mahasiswa, Pengguna lulusan, dan Pemerintah pendidikan. Sistem pengukuran
kinerja memuat 40 KPI yang meliputi, 5 KPI fasilitas perkuliahan dan praktikum, 14
KPI untuk karakteristik dosen, 15 KPI karakteristik mahasiswa, dan 6 KPI untuk
adalah Persentase rata-rata kehadiran dosen yaitu 0,547 dan terendah adalah jumlah
mahasiswa baru yang diterima sebesar 0,065.
Penelitian lain yang secara khusus mencari indikator kinerja pada bidang
akademik institusi perguruan tinggi dilakukan oleh Sadaf Ashraf (2012). Metode yang
digunakan adalah Balance Scorecard. Sebelum tahap perancangan dilakukan analisis
untuk mengetahui apakah ada pengaruh kriteria kepemimpinan dengan indikator kinerja
di dunia pendidikan, dan apakah ada perbedaan indikator kinerja antara perguruan tinggi
swasta dan negeri. Penelitian berhasil mendefinisikan 17 KPI untuk 4 perspektif, yaitu 4
KPI perspektif internal proses, 6 KPI perspektif finansial, 4 KPI perspektif pelanggan,
dan 3 KPI perspektif pertumbuhan dan pembelajaran.
Penelitian lain dilakukan oleh Sivaraman (2014) di Oman. Penelitian dilakukan
di Sekolah Tinggi Teknik menggunakan metode Balance Scorecard. Fokus penelitian
pada perancangan indikator kinerja dari pernyataan visi dan misi. Penelitian berhasil
mendefinisikan 14 indikator kinerja kunci (KPI), dengan perincian 4 KPI untuk
mengukur kinerja kriteria mahasiswa, 4 KPI kriteria staff, dan 6 KPI kriteria
manajemen. Penelitian juga menjelaskan bahwa pernyataan visi dan misi dapat
membantu organisasi dalam melakukan transformasi untuk memperoleh kinerja yang
lebih baik.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, pada Tabel 2.1. dapat dilihat rangkuman
mengenai berbagai penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kinerja institusi
Tabel 2.1. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
No Peneliti / Tahun Judul Penelitian Variabel (Kriteria)
1 I Made Suartika,
Systems (Studi Kasus : Program
4.5. Resume Hasil-Hasil Penelitian
Setelah membandingkan dengan hasil penelitian terdahulu dan pengukuran
kinerja yang dilakukan oleh lembaga nasional dan internasional, maka peneliti akan
mengadakan penelitian mengenai perancangan model pengukuran kinerja dengan
metode Quantitave Models for Performance Measurement Systems (QMPMS) di
STMIK IBBI Medan. Faktor-faktor yang akan diteliti berkaitan dengan perancangan
model pengukuran kinerja ini terdiri dari 9 (sembilan) variabel laten yaitu kompetensi
dosen, learning ability mahasiswa, dukungan fasilitas, dukungan finansial, administrasi
akademik, dukungan alumni, efektivitas promosi dan lingkungan pembelajaran apakah
mempengaruhi kinerja STMIK IBBI Medan baik secara langsung maupung tidak
langsung. Perancangan model pengukuran kinerja ini dilakukan dari sudut pandang
mahasiswa sebagai pengguna jasa pendidikan.
Proses perbandingan hasil penelitian-penelitian terdahulu perlu dilakukan untuk
membantu peneliti merumuskan state of the art (sintesa penelitian). Sintesa penelitian
berguna untuk mengarahkan peniliti fokus pada permasalahan dan pendalaman
penentuan variabel yang akan diteliti. Dengan adanya sintesa penelitian dapat diketahui
historis variabel-variabel dan hubungan antara variabel pada penelitian-penelitian
terdahulu yang menjadi dasar peneliti merumuskan penelitian. Gambar 2.8. berikut
menggambarkan secara visual mengenai sintesa penelitian (state of the art) dan fokus