• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Kitosan Terhadap Komponen Darah , Kadar Hemoglobin, Sgpt dan Sgot pada Tikus (Rattus norvegicus L) yang Dipapar Plumbum Asetat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Kitosan Terhadap Komponen Darah , Kadar Hemoglobin, Sgpt dan Sgot pada Tikus (Rattus norvegicus L) yang Dipapar Plumbum Asetat"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Logam Plumbum (Pb)

Plumbum adalah suat

Pb dan Plumbum.

Plumbum (Pb) adalah logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi (MSDS, 2005). Keberadaan plumbum berasal dari hasil aktivitas manusia, yang jumlahnya 300 kali lebih banyak dibandingkan Pb alami yang terdapat pada kerak bumi. Pb terkonsentrasi dalam deposit bijih logam. Unsur Pb digunakan dalam bidang industri modern sebagai bahan pembuatan pipa air yang tahan korosi, bahan pembuat cat, baterai, dan campuran bahan bakar bensin tetraetil (Purwoningsih, 2008).

Plumbum merupakan logam yang mendapat perhatian khusus karena sifatnya yan

melalui konsumsi makanan, minuman, udara, air, serta debu yang tercemar Pb. Pb sebagai salah satu komponen polutan udara mempunyai efek toksis yang luas pada manusia dan hewan dengan mengganggu fungsi saluran ginjal yang kronis bahkan menyebabkan gagal ginjal, gangguan pada saluran pencernaan, sistem saraf pada remaja, menurunkan fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa, dan meningkatkan spermatozoa abnormal dan aborsi spontan (Astuti, 2002).

(2)

dan kadar Pb kira-kira 90% partikel di udara diabsorpsi melalui saluran napas (Syarif et al., 2007).

2.2 Keracunan Plumbum

Keracunan yang ditimbulkan oleh logam Pb dapat terjadi karena masuknya logam tersebut kedalam tubuh. Proses masuknya Pb ke dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur, yaitu melalui makanan dan minuman, udara dan perembesan atau penetrasi pada selaput atau lapisan kulit. Gejala keracunan Pb yang bersifat akut telah banyak diketahui, biasanya karena faktor ketidak sengajaan atau kecelakaan, misalnya karena terminum atau termakan. Adapun gejalanya berupa iritasi lokal pada saluran pencernaan. Gejala keracunan berupa bau logam di mulut, tenggorokan terasa kering, haus, rasa sakit dan terbakar di lambung, nausea, kolik serta muntah, Kadang-kadang disertai diare,tinja yang berdarah dan berwarna hitam (Bartik, 1981).

Sebagian Pb yang terhirup akan masuk kedalam pembuluh darah paru-paru. Tingkat penyerapan itu sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel senyawa Pb

yang ada dan volume udara yang mampu dihirup pada saat bernapas. Makin kecil ukuran partikel debu dan semakin besarnya volume udara yang dihirup akan semakin besar pula konsentrasi Pb yang diserap tubuh. Plumbum yang masuk ke paru-paru melalui proses pernapasan akan terserap dan berikatan dengan darah di paru-paru, kemudian diedarkan ke seluruh jaringan dan organ tubuh. Lebih dari 90% Pb yang terserap oleh darah akan berikatan dengan sel-sel darah merah (Astuti, 2002).

(3)

janin dan selanjutnya setelah bayi lahir Pb akan dikeluarkan bersama ASI (Air Susu Ibu). Meskipun jumlah Pb yang diserap tubuh hanya sedikit ternyata Pb ini sangat berbahaya. Hal ini disebabkan senyawa-senyawa Pb dapat memberikan efek racun terhadap berbagai macam fungsi organ tubuh (Syarif et al., 2007)..

Daya racun Pb dalam tubuh diantaranya disebabkan oleh penghambatan enzim oleh ion-ion Pb2+. Enzim yang diduga dihambat adalah yang diperlukan untuk pembentukan haemoglobin. Penghambatan tersebut disebabkan terbentuknya ikatan yang kuat (ikatan kovalen) antara Pb2+ dengan sulfur yang terdapat di dalam asam-asam amino (misalnya sistein) dari enzim tersebut (Astuti, 2002).

2.3. Pengaruh Plumbum pada Sistem Perdaran Darah

Kira-kira 90% plumbum yang masuk ke dalam sirkulasi darah menuju ke eritrosit, ada juga yang ke albumin darah, α-globulin dan protein lain (Bartik, 1981). Plumbum mempengaruhi system peredaran darah dengan berbagai cara, yaitu dengan memperlambat pematangan normal sel darah merah (eritrosit) dalam

sum-sum tulang, hal ini menyebabkan terjadinya anemia serta mempengaruhi kelangsungan hidup sel darah merah. Cara berikutnya adalah dengan menghambat gerkan sel darah. Sel darah merah yang diberi perlakuan dengan plumbum, memperlihatkan peningkatan tekanan osmosis dan kelemahan pergerakan. Selain itu juga menghambat Na-K-ATPase yang meningkatkan kehilangan kalium intraselular yang bermuara pada anemia yang disertai oleh penyusutan waktu hidup sel darah merah (Delmann & Brawn, 1992).

2.4 Darah dan Komponen-Komponennya 2.4.1. Darah

(4)

peristiwa pembakaran atau metabolisme di dalam tubuh (Delmann & Brawn, 1992).

Karakteristik fisik darah meliputi viskositas atau kekentalan darah 4,5-5, temperaturnya sekitar 38oC, pH 7,37 – 7,4, salinitas 0,9%, berat 8 % dari berat badan serta volume 5-6 liter. Darah selama beredar didalam tubuh oleh karena adanya kontraksi dari pompa jantung. Selama darah berada dalam pembuluh darah maka akan tetap encer, tetapi kalau ia keluar dari pembuluhnya akan menjadi beku. Pembekuan ini dapat dicegah dengan jalan mencampurkan kedalam darah tersebut sedikit obat anti pembekuan atau sitras natrikus (Delmann & Brawn, 1992).

2.4.2. Fungsi Darah

Menurut Junquiera (1995), fungsi darah adalah sebagai alat pengangkut, yaitu mengambil oksigen atau zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh, mengangkat karbondioksida dari jaringan

untuk dikeluarkan melalui paru- paru, mengambil zat- zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan dibagikan keseluruh jaringan atau alat tubuh, mengangkat atau mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh dikeluarkan melalui kulit dan ginjal. Kemudian sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun dalam tubuh dengan perantaraan leukosit dan antibodi untuk mempertahankan tubuh terhadap invasi mikroorganisme dan benda asing (leukosit) dan proses homeostatis (trombosit). Dan juga sebagai pengatur regulasi yaitu mempertahankan PH dan konsentrasi elektrolit pada cairan interstitial melalui pertukaranion-ion dan molekul pada cairan interstitial, darah mengatur suhu tubuh melalui transport panas menuju kulit dan paru-paru.

2.4.3 Komposisi Darah

(5)

trombosit. Dimana leukosit terbagi 2 yaitugranulosit: netrofil, eosinofil, dan basofil. Serata agranulosit: limfosit dan monosit (Junqueira et al., 1995).

a. Eritrosit (sel darah merah)

Eritrosit memiliki ciri-ciri, yaitu tidak berinti, mengandung Hb (protein yang mengandung senyawa hemin dan globin yang mempunyai daya ikat terhadap oksigen dan karbondioksida), bentuknya bikonkav, dibuat didalam sumsum merah tulang pipih sedang pada bayi di bentuk di hati. Setelah tua sel darah merah akan dirombak oleh hati dan dijadikan zat warna empedu (billirubin) (Junqueira et al.,

1995). Untuk kisaran normal eritrosit seekor tikus putih dewasa adalah 7,2-9,6 juta/mm3 (Schalm, 1971).

b. Leukosit (sel darah Putih)

Eritrosit memiliki ciri-ciri, yaitu mempunyai inti, setiap 1 mm mengandung 6000-9000 sel darah putih, bergerak bebas secara amoeboid, berfungsi melawan kuman secara fagositosis, dibentuk oleh jaringan reticulum

endothelium disumsum tulang untuk granulosit dan kelenjar limpha untuk agrunulosit. Leukosit meliputi : Granulosit merpakan sel darah putih yang bergranula yang terdiri dari neutrofil merupakan granula merah kebiruan dan bersifat fagosit, basofil merupakan granula biru dan bersifat fagosit serta eosinofil yang bergranula merah dan bersifat fagosit. Sedangkan agranulosit merupakan sel darah putih yang sitoplasmanya tidak bergranula yang terdiri dari monosit dengan cirri-ciri memiliki inti besar, bersifat fagosit dan dapat bergerak cepat serta limphosit yang memiliki inti sebuah, untuk imunitas, tidak dapat bergerak (Delmann & Brawn, 1992 ; Junqueira et al., 1995). Kisaran normal leukosit tikus dewasa, yaitu 4000-10000/mm3 (Anonimus, 1991).

c. Trombosit

(6)

biru-keabu-abuan pucat yang berisi granula merah-ungu yang tersebar merata. Trombosit memiliki peran dalam sistem hemostasis, suatu mekanisme faali tubuh untuk melindungi diri terhadap kemungkinan perdarahan atau kehilangan darah. Fungsi utama trombosit adalah melindungi pembuluh darah terhadap kerusakan endotel akibat trauma-trauma kecil yang terjadi sehari-hari dan mengawali penyembuhan luka pada dinding pembuluh darah. Mereka membentuk sumbatan dengan jalan adhesi (perlekatan trombosit pada jaringan sub-endotel pada pembuluh darah yang luka) dan agregasi (perlekatan antar sel trombosit) (Delmann & Brawn, 1992 ; Junqueira et al.,1995).

Orang-orang dengan kelainan trombosit, baik kualitatif maupun kuantitatif, sering mengalami perdarahan-perdarahan kecil di kulit dan permukaan mukosa yang disebut ptechiae, dan tidak dapat mengehentikan perdarahan akibat luka yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Agar dapat berfungsi dengan baik, trombosit harus memadai dalam kuantitas (jumlah) dan kualitasnya. Pembentukan sumbat hemostatik akan berlangsung dengan normal jika jumlah trombosit memadai dan kemampuan trombosit untuk beradhesi dan beragregasi

juga bagus (Delmann & Brawn, 1992).

2.5 Hemoglobin

Hemoglobin adal

seluruh tubuh, pada

Molekul hemoglobin terdiri dari molekul organik dengan satu atom besi (Supariasa, 2002).

(7)

sitoplasma 2 molekul aminolevulenat dikatalisis oleh enzim delta-aminolevulenic acid dehydratase membentuk 2 molekul air dan 1 molekul porfobilinogen.

Dalam sitoplasma 4 unit porfobilinogen mengalami kondensasi membentuk polimer siklik yaitu uroporfobilinogen. Ada 2 isomer uroporfobilinogen, yaitu isomer tipe I dan isomer tipe III. Heme berasal dari isomer tipe III. Uroporfobilinogen III diubah menjadi koproporfirinogen III. Reaksi ini dikatalisis oleh uroporfobilinogen dekarboksilase. Kemudian koproporfirinogen III memasuki mitokondria, selanjutnya diubah menjadi protoporfirinogen. Dari 15 kemungkinan isomer hanya satu yang dibentuk, yaitu protoporfirinogen IX. Protoporfirinogen IX dioksidasi oleh protoporfirinogen oksidase menghasilkan protoporfirin IX. Oksidasi ini menghasilkan ikatan rangkap terkonjugasi yang merupakan ciri porfirin. Tahap akhir pembentukan heme adalah pemasukan ion ferro ke dalam protoporfirin yang dikatalisis oleh enzim ferrokatalase (Murray et al., 2003). Untuk kadar hemoglobin normal seekor tikus dewasa adalah 15-16 g/100 mm3 (Widjayakusuma dan Sikar, 1986).

2.6 Interaksi Plumbum Dengan Hemoglobin

Interaksi logam-logam berat pada oksihemoglobin dinyatakan sebagai sumber pembentukan radikal bebas superoksid (O2) pada eritrosit. Penelitian secara invitro menunjukkan bahwa plumbum secara bermakna memperbesar autooksidasi hemoglobin pada lisosom. Anemia merupakan tanda lanjut dan paling sering terjadi pada orang dewasa, biasanya ringan dan selalu hipokrom. Hal ini menunjukkan salah penggunaan Fe dalam sum-sum tulang sehingga Fe darah meningkat. Hal ini mengakibatkan pengurangan inkorporasi Fe kedalam eritrosit dan penimbunan Fe yang berlabihan dalam mithokondria precursor eritrosit. Anemia yang terjadi digolongkan sebagai anemia sideroblastik (Astuti, 2002).

2.7 Kitosan

(8)

Kitosan merupakan biopolymer alami turunan dari kitin, homopolymer dari (1-4)-amino-2-deoksi-β-D-glukosa. Kitin merupakan biopolymer alami terbesar kedua yang dapat ditemukan dialam setelah selulosa. Kitosan adalah turunan kitin yang hanya dibedakan oleh gugus radikal CH3. CO- pada struktur polimernya. Kitosan merupakan senyawa kimia yang berasal dari bahan hayati kitin, suatu senyawa organik yang melimpah di alam ini setelah selulosa (Ketty, 1942).

Kitin ini umumnya diperoleh dari kerangka hewan invertebrata dari kelompok Arthopoda sp, Molusca sp, Coelenterata sp, Annelida sp, Nematoda sp,

dan beberapa dari kelompok jamur. Selain dari kerangka hewan invertebrate, juga banyak ditemukan pada bagian insang ikan, trachea, dinding usus dan pada kulit cumi-cumi. Sebagai sumber utamanya ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan hewan yang bercangkang lainnya, terutama asal laut. Sumber ini diutamakan karena bertujuan untuk memberdayakan limbah udang (Ketty, 1942).

Kitosan adalah suatu rantai linear dari D – Glukosamin dan N – Asetil D – Glukosamin yang terangkai pada posisi β (1-4 ).(Adriana et al, 2003). Kitosan adalah suatu kitin N – deasetilasi yaitu biomaterial yang mempunyai sifat biologi yang efektif seperti aktivitas bakteri (Sashiwa, 2003) , biodegradable, biokompatibel, dan tidak beracun (Kaban, 2007).

Kitosan mempunyai sifat polikationik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal. Kitin dan kitosan diakui sebagai biosorbent untuk penghilangan logam berat. Salah satu bahan pengklelat dari crustaceae adalah kitosan, yang diperoleh dari senyawa kitin yang terdapat dikulit (cangkang)nya lalu dengan proses deasetilasi diubah menjadi kitosan (Purwaningsih, 1994).

(9)

Gambar 1.1 Struktur Kitosan

Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa ≈ 6,5) hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Sifat yang basa ini menjadikan kitosan :

a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat digunakan dalam pembuatan gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membrane, pelapis kapsul, serat dan spons. b. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang

dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul, dan membran. c. Dapat digunakan sebagai pengkhelat ion logam berat dimana gelnya

menyediakan sistem produksi terhadap efek destruksi dari ion (Meriaty,

2002)

2.7.2 Sifat – Sifat Fitokimia Kitosan 1. Sifat Fisika

(10)

kitin berkisar 5 – 8% tergantung pada tingkat deasetilasi sedangkan nitrogen pada kitosan kebanyakan dalam bentuk gugus amino. Maka kitosan bereaksi melalui gugus amino dalam pembentukan N – asilasi dan reaksi Schiff yang merupakan reaksi yang penting (Kumar, 2000).

2. Sifat Kimia

Adanya gugus amino dan hidroksil dari kitosan juga menyebabkan kitosan mudah dimodifikasi secara kimia antara lain dalam reaksi pembentukan :

a. N – Asil

Metode yang paling sederhana adalah dengan mereaksikan asam karboksilat dengan kitosan. Pemanasan larutan kitosan dalam asam formiat 100% pada suhu 90o

b. O – Asilasi

C dengan penambahan piridin sedikit demi sedikit untuk menghasilkan N – formilatosan serta N – Asetil dalam asetat 20%. Pereaksi yang paling banyak digunakan untuk N – Asilasi kitosan adalah asil anhidrida, baik dalam kondisi homogen dan heterogen

Gugus amino kitosan lebih reaktif daripada gugus hidroksilnya. Gugus

amino perlu diproteksi selama proses asilasi untuk menghasilkan O – asil Kitosan. Metode proteksi yang dilakukan antara lain melalui pembuatan basa Schiff disusul O – Asetilasi menggunakan larutan untuk mencegah hidrolisis asam dan basa Schiff.Pembuatan O – Asetil Kitosan dapat juga dilakukan dengan melarutkan kitosan terasetilasi dalam asam formiat 90% yang mengandung asetat anhidrida dengan HClO4 dengan asumsi protonasi akan mencegah terjadinya N – Asetilasi. N – dan O – Asetilasi kitosan juga dapat diperoleh bersamaan dengan menggunakan asil klorida. Caranya dengan merefluks kitosan dalam dodekanoil klorida berlebih – piridin – kloroform dan ditambah asam klorida sesudah direfluks 5 jam. Produk yang diperoleh sesudah 9 jam larut dalam kloroform, benzene, dietil eter, dan piridin.

c. Eter Kitosan

(11)

kitosan yang dipeorleh melalui prosedur pertama menghasilkan garam natrium dengan gugus amin bebas dalam bentuk busa ataupun garam hidroklorida dari asam amino dengan gugus karboksimetil dalam bentuk asam. Sensitifitas terhadap penambahan elektrolit meningkat dengan bertambahnya karboksilasimetilasi. (Sugita dkk., 2009).

2.7.3. Modifikasi Kitosan

Kitosan dapat dimodifikasi menjadi berbagai bentuk seperti serpih, hidrogel, membran dan butiran. Perbedaan bentuk kitosan akan mempengaruhi pada luas permukaannya. Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar.

a. Kitosan berbentuk serpihan

Afinitas kitosan bentuk serpihan telah diuji coba terhadap ion Pb+2, Ni+2, dan Cr+2 dan persentase pengikatan adalah 84 – 98, 40 – 92, dan 17 – 46% berturut – turut.

b. Hidrogel kitosan

Pelarutan kitosan dalam asam asetat merupakan cara sederhana untuk membentuk hidrogel kitosan. Hidrogel kitosan yang dibentuk oleh penambahan bahan senyawa penaut silang disebut hidrogel kitosan kovalen atau ionik. Penaut silang yang digunakan merupakan molekul berbobot molekul lebih rendah daripada bobot molekul kedua rantai polimer yang akan ditautkan.

c. Kitosan berbentuk membran

Membran dapat disiapkan dengan menggunakan beberapa metode antara lain pelelehan, pengepresan, track – etching, dan pembalikan fase. Pembalikan fase adalah proses yang mengubah polimer dari bentuk larutan menjadi bentuk padatan secara terkontrol. Asnel (2008) membuat membran gel kitosan – alginat dengan penaut silang glutaraldehida.

d. Kitosan berbentuk butiran

(12)

terbentuk dikumpulkan dan dicuci dengan akuades. Shentu, et al telah membuat kitosan dalam bentuk butiran yang digunakan untuk proses adsorpsi enzim catalase (Sugita dkk., 2009).

Kitosan mempunyai sifat antimikrobia melawan jamur lebih kuat dari kitin. Jika kitosan ditambahkan pada tanah, maka akan menstimulir pertumbuhan mikrobia mikrobia yang dapat mengurai jamur. Selain itu kitosan juga dapat disemprotkan langsung pada tanaman. Sifat kitin dan kitosan dapat mengikat air dan lemak. Karena sifatnya yang dapat bereaksi dengan asam-asam seperti polifenol, maka kitosan sangat cocok untuk menurunkan kadar asam pada buah-buahan, sayuran dan ekstrak kopi. Kitosan mempunyai sifat polikationik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal. Kitin dan kitosan diakui sebagai biosorbent untuk penghilangan logam berat. Salah satu bahan pengklelat dari crustaceae adalah kitosan, yang diperoleh dari senyawa kitin yang terdapat dikulit (cangkang)nya lalu dengan proses deasetilasi diubah menjadi kitosan (Purwaningsih, 1994). Kitosan dipelajari secara luas sebagai pengikat logam, larutan inorganic anionic,bahan pencelup, dan pestisida (Guibal, 2004). Gugusan

amina pada rantai kitosan merupakan tempat penghelat untuk logam transisi dan β-1,4 glikosida bergabung dengan unit glukosamina yang tahan terhadap degradasi kimia dan bilogi (Bhuvana, 2006).

2.8 SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)

Enzim-enzim metabolisme terdapat di dalam hati yang kandungannya tertentu dan tidak berfluktuasi terjadi pada makhluk hidup sehat, tetapi bila terjadi kerusakan sel hati maka enzim seperti SGPT, SGOT akan meningkat konsentrasinya. Sehingga kadar enzim tersebut dapat digunakan sebagai indikator kerusakan hati (Dudeley et al., 1982).

(13)

kadar enzim aminotransferase dalam darah akan meningkat. Dua macam enzim aminotransferase yang paling sering dihubungkan dengan kerusakan sel hati adalah aspartat aminotransferase (AST) yang juga disebut SGOT dan alanin aminotransferase (ALT) yang juga disebut SGPT (Widman, 1989).

Gambar

Gambar 1.1 Struktur Kitosan

Referensi

Dokumen terkait