• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gliserolisis Enzimatis Minyak Inti Sawit Menggunakan Katalis Enzim Lipase Dari Candida Rugosa Serta Variasi Pelarut Etanol, 1-Propanol, 2-Propanol, N-Heptana Dan Isooktana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gliserolisis Enzimatis Minyak Inti Sawit Menggunakan Katalis Enzim Lipase Dari Candida Rugosa Serta Variasi Pelarut Etanol, 1-Propanol, 2-Propanol, N-Heptana Dan Isooktana"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Inti Sawit

Kelapa sawit didasarkan atas bukti-bukti fosil, sejarah, dan linguistik yang ada, diyakini berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya ini, kelapa sawit (yang pada saat yang lalu dibiarkan tumbuh liar di hutan-hutan) sejak awal telah dikenal sebagai tanaman pangan yang penting. Oleh penduduk setempat kelapa sawit telah diproses secara amat sederhana menjadi minyak dan tuak sawit.

Gambar 2.1. Tanaman Kelapa Sawit

(2)

sawit dan minyak inti sawit yang bermunculan kemudian, adalah dua produk yang dibutuhkan untuk bahan mentah/baku tersebut (Satyawibawa, 1993).

Minyak inti sawit (Palm Kernel Oil) adalah minyak yang diperoleh secara ekstraksi pelarut dari inti kelapa sawit (Trisakti, 1996). Asam laurat merupakan komposisi asam lemak paling besar di dalam minyak inti sawit, oleh karena itu minyak inti sawit dapat digolongkan ke dalam minyak asam laurat. Minyak inti sawit yang baik berkadar asam lemak bebas yang rendah dan berwarna kuning terang serta mudah dipucatkan (Ketaren, 1986).

Gambar 2.2 Tandan Buah Kelapa Sawit

(3)

Kandungan asam lemak dalam kedua jenis minyak tersebut secara dapat dilihat pada Tabel 1 :

Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit (%) Minyak Inti Sawit (%)

Asam kaprilat - 3 – 4

Asam laurat - 46 – 52

Asam miristat 1,1 – 2,5 14 – 17

Asam palmitat 40 – 46 6,5 – 9

Asam stearat 3,6 – 4,7 1 – 2,5

Asam oleat 39 – 45 13- 19

Asam linoleat 7 – 11 0,5 – 2

Tabel 2.1. Komposisi Minyak Kelapa Sawit dan Minyak Inti Kelapa Sawit

Minyak inti sawit memiliki kemiripan sifat dan komposisi asam lemak dengan minyak kelapa, sehingga dalam penggunaannya dapat bersifat sebagai bahan subtitusi. PKO dan minyak kelapa sering digunakan oleh industri oleokimia sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk surfaktan dan emulsifier. Kandungan asam laurat yang cukup tinggi pada minyak sawit menjadi salah satu kelebihan karena karena asam lemak ini memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh.

(4)

2.2. Monogliserida dan Digliserida

Monogliserida adalah monoester asam lemak dari gliserol. Monogliserida merupakan lemak yang terdiri dari suatu kepala lipofilik dan ekor hidrofilik, yang memberikan sifat detergen. Sifat inilah yang dapat mengurangi tegangan antar muka dari sistem minyak-air, sehingga monogliserida dapat digunakan sebagai zat pengemulsi dan penstabil dalam industri makanan (Birkhahn et al, 1997).

Monogliserida dan digliserida adalah emulsifier anionik w/o yang umum digunakan dalam makanan, kosmetik dan farmasi (kristensen et al, 2005). Sifat dari bahan pengemulsi ini adalah mudah larut dengan bentuk yang bervariasi yakni cair, plastis, maupun padat, bergantung pada proses dan bahan baku yang digunakan. Selain itu mono- dan digliserida digunakan sebagai bahan intermediet dalam industri kimia seperti detergen dan alkalin resin (Pantzaris, 1995). Seringkali campuran monogliserida dan digliserida digunakan dalam aplikasi-aplikasi tersebut, dikarenakan keduanya lebih ekonomis dan memberikan performa yang sesuai (Fregolente, 2008). Penggunaannya dalam bahan-bahan yang dipanggang, industri permen, es krim, margarin, selai kacang, whipped cream, suatu emulsifier dengan konsentrasi monogliserida yang tinggi yang disebut monogliserida terdistilasi sangat penting peranannya. Monogliserida terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah gliserol monolaurat atau monolaurin adalah senyawa multifungsi yang memiliki sifat antimikroba . Keistimewaan dari monolaurin adalah dapat menghambat sel vegetatif

Bacillus cereus (Cotton et al, 1997). Monolaurin dapat menghambat aktivitas Listeria monocytogenes, B. stearothermophilus dan B. cublitis (Kabara, 1983).

(5)

biasa digunakan dalam makanan. Digliserida menunjukkan pengaruh yang menguntungkan secara luas mengenai kemampuannya untuk mengurangi berat badan (Meng, 2006).

Dewasa ini, monogliserida diproduksi dengan sintesis kimia menggunakan gliserol, lemak, dan suatu katalis alkali yang dicampur dan dipanaskan pada suhu hampir 250˚C. Ca(OH)2 digunakan sebagai katalis dalam produksi monogliserida untuk

industri makanan (Sonntag, 1982). Produksi ini menghasilkan yield 40-60% monogliserida; sisanya adalah campuran digliserida dan trigliserida (Krog, 1990). Karena digliserida tidak cukup baik digunakan sebagai emulsifier (Henry, 1995) destilasi vakum harus digunakan untuk memperoleh jumlah monogliserida yang tinggi, biasanya 95% (Krog, 1990). Namun proses tersebut membutuhkan penggunaan energi yang sangat tinggi untuk sintesis kimia dan dan destilasi untuk memperoleh produk. Temperatur yang tinggi juga mengubah warna dan rasa dari produk. Oleh karena itu penggunaan sintesis enzimatis menggunakan lipase lebih diminati, yang membutuhkan temperatur yang rendah dan menghasilkan produk yang lebih baik (Berger, 1992).

2.3. Modifikasi Lemak dan Minyak yang Dikatalisis Enzim Lipase

(6)

Dalam aplikasi enzim lipase untuk modifikasi lemak dan minyak enzim lipase yang bersifat tidak spesifik menghasilkan posisi sebaran yang sama yang dinilai kurang efisien dari segi biaya dan peralatan untuk aplikasi ini. Spesifitas posisi 1 dan 3 dari trigliserida disebabkan oleh ketidakmampuan dari enzim lipase untuk berikatan pada posisi 2 dikarenakan halangan sterik mencengah jalan masuk dari asam lemak pada posisi sn-2 terhadap sisi aktif enzim. Posisi dan spesifitas asam lemak dari enzim lipase yang berbeda telah digunakan reaksi yang dikatalisis enzim lipase yakni meliputi transesterifikasi, asidolisis, gliserolisis, dan esterifikasi untuk mengembangkan kualitas lemak dan minyak.

• Transesterifikasi

Transesterifikasi yang dikatalisis oleh enzim lipase didefinisikan sebagai pergantian dari gugus asil antara dua ester yang adalah trigliserida, walaupun juga dapat berbentuk etil ester atau metil ester.

• Asidolisis

Asidolisis didefinisikan sebagai transfer suatu gugus asil antara asam dan ester, dan biasanya menggabungkan asam lemak menjadi trigliserida

• Gliserolisis

Gliserolisis adalah suatu reaksi antara trigliserida dan gliserol, sedangkan esterifikasi adalah reaksi antara gliserol dan asam lemak bebas

2.4. Gliserolisis

(7)

dengan waktu yang relatif singkat perlu adanya bantuan katalis. Reaksi dapat dijalankan dengan adanya katalis asam maupun basa. Reaksi dengan katalis basa biasanya lebih cepat (Kimmel, 2004).

Proses gliserolisis kimiawi dengan menggunakan metode batch atau proses kontinu. Temperatur tinggi (berkisar antara 220-250˚C) dan katalis alkali anorganik digunakan untuk mempercepat reaksi. Prosedur proses kontinu menghasilkan monogliserida dengan kualitas lebih baik daripada dengan menggunakan metode batch karena proses kontinu menggunakan pemanasan dan waktu reaksi yang singkat. Keterbatasan dalam proses kimia meliputi bentuk warna produk yang gelap dan rasa seperti terbakar. Yield

monogliserida yang dihasilkan melalui gliserolisi kimiawi adalah 40-60% dan membutuhkan proses destilasi molekuler yang mahal. Proses gliserolisis kimiawi tidak relevan terhadap aplikasi untuk biologi dan nutrisi (Yamane, 1999).

Selain menggunakan katalis kimia, reaksi gliserolisis bisa juga dilakukan dengan katalis enzim. Enzim yang sering dipakai adalah enzim lipase. Temperatur yang digunakan reaksi gliserolisis dengan katalis enzim sekitar 30˚C. Hal ini disebabkan katalis enzim tidak bisa bekerja atau akan mati pada suhu yang tinggi. Oleh karena temperatur yang digunakan rendah, reaksi gliserolisis dengan katalis enzim sebagai katalis adalah mahalnya harga enzim (Kaewthong et al, 2005).

Gliserolisis secara kimia menghasilkan yield 25-35% (McNeill, 1991). Yield

(8)

tabung kristalisasi yang didinginkan, dan campuran reaksi mengalir di antara kedua tabung. Pada akhir reaksi di dapat yield mencapai 95-98% (Berger et al, 1992).

Monogiserida yang dihasikan melalui gliserolisis secara bioteknoogi yang telah dilakukan adalah pemanfaatan lipase terjebak lipase immobil pada pembentukan monogliserida dari minyak zaitun. Pada reaksi enzimatis ini, pembentukan monogliserida dilakukan dengan menggunakan fase padat penjebak mikroba agar dapat dipisahkan kembali dari campurannya dengan hasil reaksi untuk digunakan kembali sehingga menurunkan biaya produksi. Bahan penopang padat yang berfungsi sebagai adsorben yang berpori adalah CaCO3, CaSO4.2H2O, Ca2P2O7, dan celite.

Mikroba yang digunakan adalah Pseudomonas sp KWI-56 lipase (PSL),

Chromobacterium Viscosum lipase (CPL) dan Pseudomonas pseudoalkali lipase

(PPL). Reaksi gliserolisis minyak zaitun secara enzimatis di atas dapat menghasilkan 90% monogliserida dengan lama reaksi 72 jam (Rosu dkk, 1997).

(9)

Gambar 2.3. Reaksi Gliserolisis

2.5. Trigliserida

Trigliserida merupakan ester antara gliserol dengan asam lemak. Trigliserida ini secara alami terdapat hewan dan minyak nabati. Lemak hewan sebenarnya bukan terminologi yang tepat karena ada juga trigliserida dari hewan yang dikategorikan sebagai minyak misalnya minyak ratif yang berasal dari jenis burung unta dan kaswari, di samping itu trigliserida yang berasal dari ikan juga adalah kategori minyak seperti minyak ikan.

(10)

Trigliserida antara gliserol dengan asam lemak biasanya berkisar dari C4-C24 baik yang jenuh maupun yang tidak jenuh. Asam lemak jenuh diantaranya butirat (C4), kaprilat (C8), kaprat (C10), laurat (C12), palmitat (C16), stearat (C180) dan arakhidat (C20); sedangkan asam lemak tak jenuh di antara oleat (C18:1), linoleat (C18:2), linolenat (C18:3) dan sebagainya (Meyer, 1973).

Gambar 2.4. Struktur Trigliserida

Trigliserida yang tersusun dari asam lemak tidak jenuh akan berrwujud cair dan mempunyai titik cair yang rendah, umumnya trigliserida ini terdapat pada minyak nabati. Trigliserida yang tersusun dari asam lemak jenuh akan berwujud padat dan mempunyai titik didih cair yang lebih tinggi, umumnya trigliserida ini terdapat pada minyak hewani. Gliserida dalam minyak dan lemak bukan merupakan gliserida sederhana (tiga gugus hidroksinya berikatan dengan tiga asam dari jenis yang sama pada gliserol, tetapi merupakan gliserida campuran (Christie, 1982).

2.6. Gliserol

(11)

terdekomposisi). Dapat bercampur sempurna dengan air dan alkohol, sedikit larut dalam eter, tidak larut dalam koroform (Austin, 1985).

Gliserol mengandung tiga gugus hidroksi yang terdiri dari dua gugus alkohol primer dan satu gugus akohol sekunder. Atom karbon yang terdapat dalam giserol dapat ditunjukan sebagai atam karbon α, β, dan γ.

CH2OH.CHOH.CH2OH α β γ

Gambar 2.5. Struktur Gliserol

Gliserol juga merupakan produk sampingan dari produksi biodiesel melalui transesterifikasi, membentuk gliserol mentah yang berwarna gelap dan kental seperti sirup. Reaksi pembentukan gliserol melalui transesterifikasi sebagai berikut .

Gambar 2.6. Pembentukan Gliserol Melalui Reaksi Transesterifikasi 2.7. Pelarut

(12)

2-propanol (ter-butanol), 2-metil 2-butanol (ter-pentanol), atau campuran beberapa pelarut akan berguna untuk reaksi interesterifikasi. Tabel II menunjukkan kandungan monogliserida setelah reaksi gliserolisis dalam berbagai pelarut :

Pelarut Kandungan Monogliserida

Tidak menggunakan pelarut 0.0 ± 0.00

Kloroform 0.0 ± 0.00

n-Heptan 1.1 ± 0.02

n-Heksan 1.4 ± 0.03

Iso-oktan 1.5 ± 0.17

Asetonitril 2.0 ± 0.07

Toluen 2.9 ± 0.20

2-Butanon 5.4 ± 0.10

Aseton 11.5 ± 0.73

Isopropanol 18.0 ± 0.31

Etanol 21.0 ± 0.18

3-Pentanon 29.4 ± 0.26

Tert-pentanol 64.9 ± 1.12

Tert-Butanol 83.6 ± 0.14

(13)

Sumber : Dramstrup et al (2005)

Pelarut tunggal yang dapat mengikat minyak dan gliserol dalam sistem homogen sebenarnya sangat sulit didapatkan, terutama mengenai dampak pelarut tersebut bagi aplikasi makanan. Pelarut hidrokarbon umumnya tidak mungkin digunakan untuk tujuan ini, di samping bersifat toksin pelarut hidrokarbon juga jarang dipakai dalam proses ini, dan efeknya terhadap aktivitas katalitik enzim.

Sementara itu, beberapa alkohol yang memiliki lebih dari lima atom karbon dapat digunakan karena terdiri dari gugus –OH yang bersifat polar dan rantai karbon yang bersifat nonpolar. Pelarut tersebut memberikan kemungkinan untuk dapat mengikat minyak dan gliserol dalam satu sistem. Alkohol sebenarnya bersifat kompetitif terhadap gliserol, khususnya alkohol primer. Penggunaan alkohol tersier walau bagaimanapun adalah pertimbangan utama karena struktur alkohol tersier memiliki

hydrant sterik yang kuat untuk aktivitas enzim. Asumsi ini juga telah dikemukakan oleh studi terdahulu dengan penggunaan alkohol tert-butanol (Rendon et al, 2001).

2.8. Enzim

(14)

Enzim merupakan suatu protein yaitu suatu senyawa yang tersusun dari rangkaian asam amino yang terikat satu sama lain dengan ikatan peptida. Karena merupakan suatau protein, maka sifat yang dimiliki oleh suatu protein tentunya dimiliki oleh enzim juga. Enzim dapat didenaturasi dan dipresipitasi dengan garam, pelarut, dan reagen lain. Enzim merupakan senyawa protein yang dapat mengkatalisis seluruh reaksi kimia dalam sistem biologis. Semua enzim murni yang telah diamati sampai saat ini adalah protein. Aktivitas katalitiknya bergantung kepada integritas strukturnya sebagai protein. Enzim dapat mempercepat reaksi biologis, dari reaksi yang sederhana, sampai ke reaksi yang sangat rumit. Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi sehingga mempercepat proses reaksi. Percepatan reaksi terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi. Enzim mengikat molekul substrat membentuk kompleks enzim substrat yang bersifat sementara dan lalu terurai membentuk enzim bebas dan produknya (Lehninger, 1995).

E + S ES E + P

E = enzim S = substrat P= Produk

(15)

Enzim mempunyai kekhususan aktivitas, yaitu peranannya sebagai katalis hanya terhadap satu reaksi atau beberapa reaksi yang sejenis saja. Jadi dapat melibatkan beberapa jenis substrat (Winarno, 1986). Sifat spesifik (spesifisitas enzim) didefinisikan sebagai kemampuan suatu enzim untuk mendiskriminasikan substratnya berdasarkan perbedaan afinitas substrat-substrat untuk mencapai sisi aktif enzim (August, 2000). Sifat spesifinitas ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan reaksi atau jenis produk yang diharapkan. Sifat ini sangat menguntungkan karena tidak akan dijumpai reaksi-reaksi samping, sehingga lebih ramah lingkungan. Berdasarkan biosintesisnya, enzim dibedakan menjadi enzim konstitutif dan enzim induktif. Enzim konstitutif adalah enzim yang selalu tersedia di dalam sel mikroba dalam jumlah yang relatif konstan, sedangkan enzim induktif adalah enzim yang ada dalam jumlah sel yang tidak tetap, tergantung pada adanya induser. Enzim induktif ini jumlahnya akan bertambah sampai beberapa ribu kali bahkan lebih apabila dalam medium mengandung substrat yang menginduksi terutama bila substrat penginduksi merupakan satu-satunya sumber karbon (Lidya dan Djenar, 2000).

Berdasarkan tempat bekerjanya, enzim dapat dibedakan dalam 2 golongan, yaitu endoenzim dan eksoenzim. Endoenzim disebut juga enzim intraseluler, dihasilkan di dalam sel yaitu pada bagian membran sitoplasma dan melakukan metabolisme di dalam sel. Eksoenzim (enzim ekstraseluler) merupakan enzim yang dihasilkan sel kemudian dikeluarkan melalui dinding sel sehingga terdapat bebas dalam media yang mengelilingi sel dan bereaksi memecah bahan organik tanpa tergantung pada sel yang melepaskannya (Soedigdo, 1988).

1. Kemampuan katalitik

(16)

2. Spesifitas

Enzim bersifat sangat spesifik, baik jenis reaksi maupun substratnya 3. Kemampuan untuk diatur (regulasi)

Enzim tidak ikut bereaksi dengan substrata tau produknya . Aktifitas dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan organismeitu sendiri. Beberapa enzim disintesis dalam bentuk tidak aktif, dan akan diaktifkan dalam kondisi dan waktu yang sesuai, precursor yang tidak aktif disebut zymogen.

Interaksi enzim-substrat merupakan interaksi yang lemah, khususnya ketika atom terlibat lebih dari satu amstrong dari yang lainnya. Sehingga kesuksesan pengikatan enzim dengan substrat memerlukan kedua molekul untuk berdekatan dengan permukaan yang bersentuhan lebar. Hal ini memerlukan konfigurasi yang saling berkomplemen antara substrat dengan enzim, dan hal ini menjelaskan spesifitas kebanyakan enzim yang diberikan dalam mengkatalisis hanya satu macam reaksi kimia (Saryono, 2011).

2.8.1. Enzim Lipase

Lipase merupakan salah satu enzim yang telah diaplikasikan pada proses proses industri baik industri pangan maupun non pangan. Lipase dikenal sebagai lipolytic enzyme dan didefinisikan sebagai long chain fatty acid ester hydrolase atau sebagai

(17)

esterifikasi dan transesterifikasi (Pandey, 1999). Lipase memisahkan lemak (glycerol esters) di- atau monogliserida asam lemak. (Crueger et al, 1984).

Gambar 2.7. Struktur Enzim Lipase

2.8.2. Spesifisitas dan Klasifikasi Enzim Lipase

Spesifitas enzim didefinisikan sebagai ekspresi kemampuan suatu enzim untuk membedakan substrat-substratnya berdasarkan pada perbedaan afinitas substrat dalam berasosiasi dengan sisi aktif enzim untuk membentuk komplek enzim substrat dan akhirnya menghasilkan produk. Sifat spesifisitas dari enzim tersebut sangat bermanfaat untuk menghasilkan produk yang diinginkan serta dapat digunakan secara optimal untuk tujuan reaksi.

Spesifisitas lipase terhadap substrat dapat dikelompokkan menjadi spesifisitas jenis lipid, spesifisitas posisi, spesifisitas asam lemak, spesifisitas alkohol, dan spesifisitas gabungan (Saktiwansyah, 2001).

1. Spesifisitas Jenis Lipid

(18)

pankreatik yang memiliki tingkat hidrolitik tinggi terhadap triasilgliserol dibandingkan dengan diasilgliserol dan monoasilgliserol. Lipase P. cyclopium

memiliki tingkat hidrolitik yang lebih tinggi terhadap diolein dan monoolein daripada terhadap triolein. Lipase Aspergillus oryzae mampu menghidrolisis monoasilgliserol dan diasilgliserol, tetapi tidak pada triasilgliserol.

2. Spesifisitas Posisi

Spesifisitas posisi merupakan kemampuan lipase untuk membedakan substrat berdasarkan posisi ikatan ester pada triasilgliserol. Perbedaan spesifisitas posisi lipase didasarkan atas kemampuan lipase untuk menghidrolisis ikatan ester pada triasilgliserol pada posisi primer (sn-1 dan atau sn-3) atau posisi sekunder (sn-2). Lipase mikroorganisme yang memiliki spesifikasi posisi pada sn-1(3) adalah lipase

Mucor javanicus, R. javanicus, R. delemar, Penicillium sp., Aspergillus niger dan R. miehei.

3. Spesifisitas Asam Lemak

Spesifisitas asam lemak merupakan kemampuan lipase untuk membedakan substrat berdasarkan panjang rantai dan derajat kejenuhan dari asam lemak.

4. Spesifisitas Alkohol

Spesifisitas alkohol merupakan spesifisitas yang berhubungan dengan reaksi sintesis ester, dimana dalam aktifitas esterifikasinya setiap jenis lipase memiliki perbedaan terhadap jenis alkohol selain terhadap jenis asam lemaknya. Lipase yang berasal dari

A. niger, R. delemar, G. candidum dan P. cyclopium mampu mensintesis berbagai jenis ester dari asam oleat dengan alkohol primer, namun hanya lipase G. candidum

yang mampu mensintesis ester asam oleat dengan alkohol sekunder 5. Spesifisitas gabungan

(19)

lemak berantai sedang pada posisi sn-1. Lipase lingual pada tikus dapat menghidrolisis triasilgliserol dengan asam lemak berantai sedang pada posisi sn-3. Berdasarkan kemampuannya dalam mensintesis ikatan ester, lipase diklasifikasikan ke dalam 3 golongan menurut kekhasannya (Deman, 1997), yaitu:

1. Golongan pertama adalah lipase yang tidak khas. Enzim ini tidak menunjukkan kekhasan dari segi posisi ikatan ester dalam molekul gliserol atau sifat asam lemak. Contoh enzim golongan ini ialah lipase dari Candida cylindracae, Corynebacterium acnes, dan Staphylococcus aureus.

2. Golongan kedua mencakup lipase yang mempunyai kekhasan posisi untuk posisi-1 dan -3 gliserida. Hal ini umum untuk lipase mikroba dan merupakan akibat dari ketidakmampuan ikatan ester posisi-2 untuk memasuki pusat aktif enzim (active center) karena hambatan ruang. Lipase ini diperoleh dari Aspergillus niger, Mucor javanicus, dan Rhizopus arrhizus.

3. Golongan lipase ketiga menunjukkan kekhasan untuk asam lemak tertentu. Contohnya lipase dari Geothricum candidum, yang mempunyai kekhasan menonjol untuk asam lemak rantai panjang yang mengandung ikatan rangkap dua cis pada posisi ke 2.

2.9. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pemisahan KLT dikembangkan oleh Ismailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Tekniknya menggunakan penyokong fase diam berupa lapisan tipis seprti lempeng kaca, aluminium atau pelat inert.

(20)

campuran sepanjang fase diam pada pelat sehingga terbentuk kromatogram. Pemisahan yang terjadi berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kelebihan KLT dibandingkan kromatografi jenis lain adalah :

1. Waktu pemisahan lebih cepat

2. Sensitif, artinya meskipun jumlah cuplikan sedikit masih dapat dideteksi 3. Daya resolusi tinggi, sehingga pemisahan lebih sempurna

Penentuan harga Rf pada KLT sama dengan pada kromatografi kertas. Harga Rf dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif. Untuk tujuan penentuan kadar, bercak komponen dapat dikerok lalu dilarutkan dalam pelarut yang sesuai untuk dianalisa dengan metode lain yang tepat.

Gambar 2.8. Kromatografi Lapis Tipis

Aplikasi KLT sangat luas, termasuk dalam bidang organik dan anorganik. Kebanyakan senyawa yang dapat dipisahkan bersifat hidrofob seperti lipida-lipida dan hidrokarbon di mana sukar bila dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga penting untuk pemeriksaan identitas dan kemurnian senyawa obat, kosmetika, tinta, formulasi pewarna dan bahan pewarna (Yazid, 2005).

(21)

Kromatografi gas adalah proses pemisahan campuran menjadi komponen-komponennya dengan menggunakan gas sebagai fase bergerak yang melewati suatu lapisan serapan (sorben) yang diam. Fase diam yang berupa zat padat yang dikenal dengan kromatografi gas-padat (GSC) dan zat cair sebagai kromatografi gas-cair (GLC). Keduanya hampir sama kecuali dibedakan dalam hal cara kerjanya. Pada GSC pemisahan berdasarkan adsorpsi sedangkan GLC berdasarkan partisi. Dalam pembicaraan kromatografi gas biasanya yang dimaksud adalag GLC.

Kromatografi gas digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap cupikan yang komponen-komponennya dapat menguap pada suhu percobaan. Keuntungan kromatografi gas adalah waktu analisa yang singkat dan ketajaman pemisahan yang tinggi.

(22)

Gambar 2.9. Kromatografi Gas

Untuk tujuan identifikasi dan penetapan kadar dibuat kromatogram komponen zat uji dan larutan baku (standar) lalu keduanya dibandingkan. Salah satu cara pada analisa kualitatif adalah dengan membandingkanwaktu retensi antara kromatogram komponen zat uji dengan larutan baku pembanding. Waktu retensi yang dihasilkan oleh masing-masing senyawa diukur mulai saat disuntikkan atau dimasukkan ke dalam alat sampai terjadinya respon detektor. Waktu retensi karakyteristik untuk tiap komponen dan sebanding dengan jumlah komponen yang dikandung. Bila waktu retensi zat uji dan baku pembanding sama berarti kedua senyawa identik. Pada analisa kuantitatif saah satu caranya dapat dilakukan dengan membandingkan luas area puncak komponen zat uji dengan luas area baku pembanding (Yazid, 2005).

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Bahan-Bahan

- Minyak inti sawit PT. SMART

- Gliserol p.a E’merck

- Kloroform p.a E’merck

- Silika Gel 60 G p.a E’merck

- N-heksan p.a E’merck

Gambar

Tabel 1 : Asam Lemak
Gambar 2.3. Reaksi Gliserolisis
Gambar 2.4. Struktur Trigliserida
Gambar 2.6. Pembentukan Gliserol Melalui Reaksi Transesterifikasi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kecamatan Kota Besi yang diumumkan pada tanggal 17 Juli 2012, Panitia Lelang Kantor. Kementerian Agama Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur TA 2012

(3) Format dan bentuk permohonan rekomendasi teknis untuk perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan

[r]

yang dilaksanakan minggu lalu , dan schedul pelelangan telah menyesuaikan dari schedue pelaksanaan pemenang yang disampaikan dari pelelangan rehab pada waktu

Although Florida’s historic preservation contexts that cover the recent past (Florida Division of Historical Resources 1996) do not rule out archaeological

Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya

90 Zulifiah dan Susilowibowo (2014) mengemukakan bahwa ROA merupakan indikator yang sangat sering digunakan dalam mengukur tingkat profitabilitas. Bank Indonesia

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN SUB SEKTOR PERBANKAN YANG TERDAFTAR PADA BURSA EFEK INDONESIA.. PERIODE 2008