BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan publik memang persoalan yang tidak akan ada hentinya
menyita perhatian publik selama masih manusia yang menghuni bumi ini.
Hipotesis seperti ini secara kualitatif dengan mudah dapat dibuktikan dengan
keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, setiap
manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa
pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia (Sinambela,
2006:3). Hal ini dapat kita ambil contoh dalam fenomena kelahiran manusia,
dimana ketika seorang bayi pertama kali menghirup udara dunia, ia akan
menangis karena situasi yang berbeda antara berada dalam kandungan dengan
berada dalam genggaman tangan. Namun, setelah si bayi mendapat layanan dari
orangtua atau bidan, misalnya pelukan hangat, si bayi akan berhenti menangis.
Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Budiman Rusli dalam Lijan Poltak
Sinambela (2006:3) bahwa selama hidupnya, manusia selalu membutuhkan
pelayanan. Pelayanan ini menurutnya sesuai dengan life cycle theory of leadership (LCTL) bahwa pada awal kehidupan manusia (bayi) pelayanan secara fisik sangat
tinggi, tetapi seiring dengan usia manusia pelayanan yang dibutuhkan akan
semakin menurun.
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan oleh pihak
pemberi kepada pihak yang diberikan layanan sesuai dengan permintaan. Dalam
Agung Kurniawan (2005:4) pelayanan publik diartikan sebagai pemberian
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang
telah ditetapkan. Publik menurut Kepmenpan No. 63/KEP/M/PAN/7/2003,
diartikan sebagai segala kegiatan palayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
palayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan
pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setia warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Untuk menjamin pelayanan publik mementingkan peningkatan pelayanan
yang pro rakyat, Mertins Jr dalam jurnal Demokrasi (2010:62) membagi empat
hal yang harus dijadikan pedoman, yaitu: pertama, equality, yaitu perlakukan yang sama atas pelayanan yang diberikan. Kedua, equity, yaitu selain perlakuan
yang sama juga harus adil. Ketiga, Loyalty. yaitu kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan, dan rekan kerja. Keempat, responsibility,
yaitu setiap aparat pemerintah harus menerima tanggung jawab atas apapun yang
ia kerjakan dan harus menghindarkan diri dari sindorman “saya sekedar
melaksanakan perintah dari atasan”.
Isu diskriminasi dalam mengakses pelayanan publik di Indonesia hingga
saat ini masih menjadi topik bahasan yang harus dibahas secara serius. Sebagai
negara yang mengaku negara demokrasi, perlakuan yang sama terhadap semua
warga negara adalah mutlak. Sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia adalah
negara memiliki hak dan derajat yang sama atas perlakuan termasuk dalam
mengakses pelayanan publik. Karena perlakuan yang sama terhadap warga negara
tanpa memandang suku, ras, agama atau perbedaan apa pun sesuai dengan
nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai-nilai demokrasi yang pokok adalah kebebasan, persamaan,
dan musyawarah (Abdurrahman Wahid, 1993:89). Namun sayang, yang terjadi
saat ini adalah pluralitas menjadi ruang dimana diskriminasi bertumbuh subur.
Sebagaimana kita tahu, bahwa negara Indonesia merupakan negara yang
sangat kaya akan keberagaman, salah satunya soal agama dan keyakinan. Di
Indonesia, meski kita mengaku sebagai negara beragama, tetapi membicarakan
agama adalah sesuatu yang “sensitif” dalam pembicaraan terbuka. Hal ini
dikarenakan kebijakan negara yang telah membagi agama ke dalam dua bagian
besar, yaitu agama resmi/diakui dan agama tidak diakui/resmi. Agama resmi yang
dimaksud berdasarkan UU No. 1/Pn.Ps.1965 adalah Islam, Kristen, Katolik,
Budha, Hindu dan Kong Hu Cu. Sedangkan agama tidak resmi adalah
agama-agama lokal yang terdapat di pelosok-pelosok nusantara, seperti Towani Tolotang,
Aluk To Dolo, Ammatoa, Wettu Telu, Parmalim, dan lain-lain.
Pembagian agama akibat kebijakan negara ini telah menyebabkan banyak
kerugian, pertama tidak adanya penghargaan pada kemajemukan dan kedua tidak
adanya niat melestarikan agama lokal sebagai agama asli nusantara. Selain itu,
pembagian ini berimplikasi nyata pada penganut agama lokal, dimana mereka
sering diposisikan sebagai agama yang tertindas, sesat, termarjinalkan, dan
terhakimi. Ini mengakibatkan mereka tidak mendapat ruang gerak berekspresi
sebagaimana agama resmi yang selalu mendapat kemudahan dalam berbagai hal.
sebagai sasaran ‘pencerahan’ melalui dakwah atau khotbah dan gerakan-gerakan
penyadaran lainnya. Maka pertanyaannya, apakah sebenarnya tujuan dari pasal
29 ayat (2) UUD 1945 itu sejalan dengan pembagian agama, menjadi resmi dan
tidak resmi? Atau sebenarnya itu hanya penfsiran yang keliru bahwa sebenarnya
tidak ada predikat resmi dan tidak resmi sehingga siapa pun bebas menganut
agama dan kepercayaan apa pun asal patuh pada konstitusi? Jadi, selama ini
agama lokal diafiliasikan ke dalam salah satu agama resmi sebagai induk karena
negara hanya mengakui keberadaan agama-agama tertentu (Ibnu Qoyim,
2004:28), yaitu agama-agama resmi tadi. Bagaimanapun afiliasi ini dimaksudkan
untuk memudahkan pengontrolan yang cenderung menyederhanakan persoalan
yang dihadapi.
Namun, berafiliasi tidak terus memberi kenyamanan bagi mereka yang
diafiliasikan, karena itu berarti memasung hak berekspresi mereka. Agama-agama
lokal di Indonesia terus menuntut agar mendapat kesetaraan dengan agama yang
diakui negara. Setelah berjuang sekian tahun, lahirnya UU No 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, memberikan sedikit kelegaan bagi penganut
agama lokal atau penganut kepercayaan. Jika sebelumnya mereka digabungkan1
1
Dikatakan digabungkan karena bukan karena keinginan mereka. Lihat Hasse J. Penaklukan Negara atas Agama Lokal. Kasus Towani Tolotang di Sulawesi Selatan. Jurnal Al-Ulum. Vol. 12,
kepada salah satu agama dalam hal mengisi kolom agama di KTP, UU No 23
Tahun 2006 membolehkan mereka mengosongkan kolom agama di KTP. Pasal 64
ayat (2) undang-undang tersebut berbunyi keterangan tentang agama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
kependudukan.
Parmalim merupakan satu dari sekian banyak agama lokal yang
dikelompokkan oleh Republik Indonesia sebagai aliran kepercayaan (dalam
bahasa sehari-hari agama tidak resmi) kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
nomor Inventarisasi: 1.136/F3.N.1.1/1980. Parmalim sebenarnya adalah suatu
identitas pribadi sementara kelembagaannya disebut dengan Ugamo Malim
(http://parmalim.com). Parmalim tumbuh dan berkembang di Provinsi Sumatera
Utara dan terutama dianut oleh Suku Batak Toba. Parmalim menyembah Tuhan
Debata Mulajadi Nabolon sebagai Tuhan pencipta manusia, langit, bumi, dan
segala isinya. Sejak dahulu kala, terdapat beberapa kelompok Parmalim, dan
semuanya berpusat di Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba yang
disebut sebagai Bale Pasogit Partonggoan.
Parmalim yang saat ini dipimpin oleh Raja Marnangkok Naipospos
memiliki jemaat mencapai 5324 jiwa termasuk yang bukan orang Batak. Mereka
tersebar di 40 cabang di Indonesia (Daftar Rekapitulasi Ruas Parmalim Huta
Tinggi, 2011), salah satunya di Kota Medan. Di Medan, Parsantian (cabang dari Bale Partonggoan) terdapat di Jl. Air Bersih Ujung Medan Denai sebagai rumah
ibadah. Saat ini, jumlah penganut Ugamo Malim di Kota Medan terdapat 83
kepala keluarga dan 373 jiwa (Daftar Rekapitulasi Ruas Parmalim Punguan Medan, 2011).
Sebagai salah satu aliran kepercayaan, maka Parmalim merupakan salah
satu objek undang-undang no 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
dari segi waktu, aturan tentang pengosongan kolom agama di KTP telah ada
selama kurang lebih 9 (sembilan tahun), yaitu sejak 2006. Maka dari itu, jika
melihat waktu yang sudah cukup lama itu, seharusnya isu pengosongan kolom
agama di KTP bukan lagi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Seharusnya
itu bukan lagi isu yang layak masuk dalam pembicaraan public, apalagi
dipolitisasi. Oleh karena itu, pasti ada masalah kenapa masih saja menjadi
masalah meski telah sebegitu lama aturan pengosongan kolom agama ada, tetapi
tetap masih dipersoalkan.
Dari latar belakang di atas, penulis tetarik meneliti bagaimana
undang-undang no 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengcover
kebutuhan pelayanan Parmalim di Kota Medan, khususnya dalam kasus
pengosongan kolom agama di KTP. Implementasi UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan di Kota Medan diatur dalam Peraturan Daerah No 1
Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Sedangkan
pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Walikota Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Administrai Kependudukan. Selain, itu, pengosongan kolom
agama di KTP oleh penganut kepercayaan “Parmalim” di Kota Medan tidak
menyelesaikan persoalan, malah mereka semakin kesulitan dalam mengakses
1.2Fokus Masalah
Berangkat dari kasus di atas, untuk menjamin kelancaran penelitian dan
mendapatkan hasil penelitian yang mendalam, maka penelitian ini dibatasi pada
implementasi kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik terhadap agama
lokal Parmalim di Kota Medan. Kasus yang akan diangkat oleh peneliti adalah
pelayanan terhadap agama lokal “Parmalim” dengan kasus pengosongan kolom
agama di KTP berdasarkan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan di Kota Medan Pasal 64 ayat (2).
1.3Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang dan fokus masalah, maka rencana penelitian
ini menjadi menarik dan tergolong baru. Secara logika, dapat dirumuskan
pertanyaan permasalahan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana proses
implementasi UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terkait
dengan pengosongan kolom agama KTP bagi “Parmalim” di Kota Medan sesuai
dengan pasal 64 ayat (2)?”
1.4Tujuan
Adapaun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan implementasi
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terkait dengan
pengosongan kolom agama KTP bagi “Parmalim” di Kota Medan sesuai dengan
1.5Manfaat
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberi manfaat:
1. Secara teoritis dan akademis menambah khasanah ilmu tentang kajian
pelayanan publik pada penganut agama lokal
2. Secara praktis membantu penganut agama Parmalim untuk mengetahui
dan memenuhi hak-haknya sebagai warga negara dan bagi pemerintah
diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan