• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH A. Deskripsi Lokasi Penelitian - Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami Di Provinsi Aceh Dalam Perspektif Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH A. Deskripsi Lokasi Penelitian - Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami Di Provinsi Aceh Dalam Perspektif Hukum"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA

TSUNAMI DI PROVINSI ACEH

A. Deskripsi

Lokasi Penelitian

Provinsi Aceh terletak antara 01o 58' 37,2" - 06o 04' 33,6" Lintang Utara dan 94o 57' 57,6" - 98o

Luas Provinsi Aceh 5.677.081 Ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 Ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 Ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 Ha.

17' 13,2" Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat menuju ke Provinsi lain hanyalah dengan Provinsi Sumatera Utara.

89

89

Luas wilayah pada 10 (sepuluh) kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang terkena dampak tsunami adalah 2.250.993,6 Ha. Total luas bidang tanah yang mengalami kerusakan/ terkena dampak tsunami adalah 68.966,60 Ha atau 3.06% dari luas keseluruhan wilayah Provinsi Aceh. Kerusakan bidang tanah sebagai akibat dari bencana ini, tersebar di 10

(2)

(sepuluh) kabupaten/kota. Di bawah ini dijelaskan ke 10 (sepuluh) kabupaten/kota di Provinsi Aceh di mana luas wilayahnya rusak terkena bencana tsunami.

Tabel II.1. Kerusakan Bidang Tanah Sebagai Akibat dari Bencana Tsunami No. Wilayah

Total 2.250.993,90 68.966,60 3,06

Sumber: Data Badan Pertanahan Nasional, Penjelasan Pemerintah Berkenaan dengan Agenda Rapat yang Disampaikan Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Badan Pertanahan Nasional, tanggal 7 Maret 2005, hal. 2.

Kota Banda Aceh luas wilayahnya 6.135,9 Ha dan luas wilayah terkena tsunami 3.857,7 Ha dengan kata lain 62,87% luas wilayah Kota Banda Aceh rusak akibat tsunami. Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar luas wilayahnya 268.612 Ha dan luas wilayah terkena tsunami 7.150 Ha dengan kata lain 2,66% luas wilayah Kabupaten Aceh Besar rusak akibat tsunami.

Penelitian ini menetapkan gampong-gampong (desa-desa) di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sebagai lokasi penelitian karena mengalami dampak terparah akibat gempa dan tsunami serta termasuk daerah prioritas pada tahun pertama pelaksanaan rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh.

(3)

Kota Banda Aceh terletak antara 05 16' 15" - 05 36' 16" Lintang Utara dan 95 16' 15" - 95 22' 35" Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61, 36 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh besar; sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Krueng Barona Jaya dan Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar; sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar.90

Kota Banda Aceh merupakan ibukotanya Provinsi Aceh, mempunyai 9 kecamatan, 17 mukim dan 90 gampong.91 Kota Banda Aceh merupakan daerah terpadat jumlah penduduknya yang rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 4.251 jiwa.92

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Pembangunan dan Pendapatan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Aceh tahun 2013, jumlah penduduk Kota Banda Aceh: tahun 2008 sebanyak 217.918 jiwa, tahun 2009

90

pada tanggal 21 Juni 2014, pukul 11.39 WIB.

91

Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Aceh dalam Angka 2013, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh bekerjasama dengan BAPPEDA Aceh, 2013), hal. 17. Mukim adalah persekutuan atau federasi dari beberapa gampong di Aceh. Saat ini satu mukim paling kurang terdiri dari tiga gampong. Mukim dipimpin oleh imuem mukim. Gampong adalah kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh yang berada di bawah mukim. Sebuah gampong terdiri dari beberapa jurong, tumpok atau ujong. Lihat Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), hal. xxi dan xviii.

92

(4)

sebanyak 212.241 jiwa, tahun 2010 sebanyak 223.446 jiwa, tahun 2011 sebanyak 228.562 jiwa dan tahun 2012 sebanyak 238.784 jiwa.

Ketika terjadinya musibah gempa bumi 9,1 Skala Richter dan gelombang tsunami di Provinsi Aceh tanggal 26 Desember 2004, area Kota Banda Aceh yang terkena tsunami ± 3.800 ha dari 6.135 ha (63%), dalam tempo 30 menit, penduduk yang hilang dan meninggal ± 200.000 orang. Kantor Pertanahan Banda Aceh rusak parah tidak dapat digunakan dan dokumen yang rusak/musnah/tidak lengkap mencapai ± 80%.93 Kota Banda Aceh hancur bagaikan kota mati, kegiatan warga dan pemerintahan lumpuh.94

2. Kabupaten Aceh Besar Kabupaten Aceh Besar95

93

Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, “Laporan RALAS”, Presentase, (2014). terletak pada garis 5,2º - 5,8º Lintang Utara dan 95,0º - 95,8º Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Sabang dan Kota Banda Aceh, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.

94

Anonimus, Gambaran Umum Administrasi Pertanahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Tsunami, hal. 1.

95

Pada waktu Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh atau Kerajaan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar ditambah dengan beberapa kenegerian/daerah yang telah menjadi bagian dari Kabupaten Pidie. Selain itu, juga termasuk Pulau Weh (sekarang telah menjadi Pemerintah Kota Sabang), sebagian wilayah Pemerintah Kota Banda Aceh, dan beberapa kenegerian/daerah dari wilayah Kabupaten Aceh Barat. Aceh Besar dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk. Penyebutan Aceh Rayeuk sebagai Aceh yang sebenarnya karena daerah inilah yang pada mulanya menjadi inti Kerajaan Aceh dan juga karena di situlah terletak ibukota kerajaan yang bernama Bandar Aceh atau Bandar Aceh Darussalam. Untuk nama Aceh Rayeuk ada juga yang menamakan dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe (Aceh Tiga Sagi).

(5)

Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah 2.974,12 Km2, sebagian besar wilayahnya berada di daratan dan sebagian kecil berada di kepulauan. Sekitar 10% desa di Kabupaten Aceh Besar merupakan desa pesisir. Kabupaten Aceh Besar terdiri dari 23 kecamatan, 68 mukim dan 604 gampong. Wilayah kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Seulimeum yang meliputi lebih dari 16% dari luas wilayah Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan kecamatan yang mempunyai wilayah paling kecil yaitu Kecamatan Krueng Barona Jaya yang luasnya hanya 0,3% dari luas Kabupaten Aceh Besar. Jarak antara pusat-pusat kecamatan dengan pusat kabupaten sangat bervariasi. Kecamatan Lhoong merupakan daerah yang paling jauh, yaitu berjarak 106 km dengan pusat ibukota kabupaten (ibukota terletak di Kecamatan Kota Jantho).96

Berdasarkan data BPS bekerjasama dengan BAPPEDA Provinsi Aceh tahun 2013, jumlah penduduk Kabupaten Aceh Besar: tahun 2008 sebanyak 310.107 jiwa, tahun 2009 sebanyak 312.762 jiwa, tahun 2010 sebanyak 351.418 jiwa, tahun 2011 sebanyak 359464 jiwa dan tahun 2012 sebanyak 371.412 jiwa. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar 268.612 Ha, daerah yang terkena bencana tsunami seluas 695 Ha dan daerah yang tidak terkena bencana tsunami 267.917 Ha.97

B. Dampak Bencana Tsunami di Provinsi Aceh

96

Badan Pusat Statistik, Aceh Besar in Figures, Aceh Besar dalam Angka 2013, (Jantho: BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar dengan BPS Kabupaten Aceh Besar, 2013), hal. 3.

97

(6)

1. Gambaran dan Dampak Bencana

Gempa bumi98

98

Secara garis besar gempa bumi dibagi menjadi dua, yaitu gempa bumi tektonik dan gempa bumi vulkanik. Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang disebabkan oleh pergeseran lapisan batuan di dalam bumi. Gempa jenis ini bersifat regional (luas) dan dapat menimbulkan akibat mengerikan bila guncangannya terjadi dalam skala besar. Sejumlah peristiwa dahsyat yang tercatat sejarah akibat gempa tektonik, misalnya terjadi di Jepang pada tahun 1933 yang mengakibatkan 366.262 rumah warga di Tokyo hancur dan memakan korban 59.065 jiwa. Di Yokohama 11.615 rumah hancur, 23.440 orang meninggal, 3.183 orang hilang, dan 42.053 orang luka-luka. Tahun 1920 di Cina terjadi juga gempa tektonik yang menelan korban 200.000 jiwa. Di Indonesia, gempa tektonik cukup besar terjadi tahun 1926 di Padang Panjang lalu di Jawa pada zaman pendudukan Jepang. Gempa yang disebut terakhir menelan korban dalam kisaran 4.000 orang. Sedangkan gempa bumi jenis kedua adalah gempa vulkanik, gempa jenis ini tidak sedahsyat gempa tektonik karena bersifat lokal. Artinya, getaran dari perut bumi hanya dirasakan oleh daerah yang dekat dengan wilayah gunung api. Radius getarannya pun tergantung pada besar kecilnya letusan gunung api. Lihat Faizal Adriansyah, Aceh Laboratorium Bencana, (Banda Aceh: Acehpoint, 2012), hal. 6-7 dan 9. Bencana gempa bumi di Aceh yang diikuti dengan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 termasuk kepada jenis gempa tektonik.

(7)

daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang, dan setelah tragedi itu 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000 an orang mendadak menjadi tunakarya.99

Skala bencana yang terjadi dapat dilihat dari besarnya jumlah korban manusia dan kerusakan yang ditimbulkannya. Sebanyak 16 (enam belas) kabupaten/kota mengalami kerusakan. Dari seluruh kabupaten/kota yang terkena bencana tsunami, kabupaten/kota yang mengalami kerusakan terparah adalah Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Besar. Desa yang terkena tsunami sebanyak 654 desa (11,4%) dan persentase keluarga miskin terkena tsunami sebesar 15,16% (63.977 KK).

100

Menurut Himpunan Laporan Satlak I, II, dan III jumlah korban di 15 kabupaten di Provinsi Aceh101 mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta hilang 93.638 orang (dari jumlah ini sebagian meninggal/ berada di pengungsian/di luar Aceh). Jumlah pengungsi sampai dengan tanggal 21 Maret 2005 adalah sebanyak 514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota.102 Secara keseluruhan, tragedi bencana gempa dan tsunami di Aceh memiliki dampak kerugian lebih dari 97% dari PDRB Provinsi Aceh.103

99

BRR, Perumahan-Membentang Atap Berpilar Asa-Seri Buku BRR-Buku 7, (Jakarta: Penerbit BRR Bekerjasama dengan Multi Donor Fund dan UNDP, 2009), hal. viii.

Di bawah ini dapat dijelaskan lokasi tempat pengungsian dan jumlah para pengungsi.

100

Data UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005.

101

Data Bakornas PBP, 21 Maret 2005, pukul 17.00 WIB.

102

Himpunan Laporan Satlak I, II, dan III.

103

(8)

Gambar II.1. Jumlah Pengungsi per 21 Maret 2005 Tabel II.2. Jumlah Pengungsi per Kabupaten/Kota

No. Kab/Kota

Jumlah Pengungsi Rumah/Tenda

Darurat

Barak/Huntara Total

1. Banda Aceh 48.360 1.561 49.921

2. Aceh Besar 91.157 6.328 97.485

3. Sabang 3.712 - 3.712

4. Pidie 74.404 11.456 85.860

5. Bireuen 46.768 3.035 49.860

6. Aceh Utara 26.662 450 27.112

7. Lhokseumawe 952 1.542 2.494

8. Aceh Timur 13.182 527 13.709

9. Langsa 6.156 - 6.156

10. Aceh Tamiang 3.224 2.205 3.224

11. Aceh Jaya 38.217 2.205 40.422

12. Aceh Barat 70.804 1.885 72.689

13. Nagan Raya 16.560 480 17.040

14. Aceh Barat Daya 3.480 - 3.480

15. Aceh Selatan 16.148 - 16.148

16. Aceh Singkil - 105 105

(9)

No. Kab/Kota

Jumlah Pengungsi Rumah/Tenda

Darurat

Barak/Huntara Total

18. Bener Meriah 648 - 648

19. Aceh Tengah 5.288 - 5.288

20. Gayo Lues 234 - 234

21. Aceh Tenggara 611 - 611

Total 484.576 29.574 514.150

Sumber: Laporan Satlak I Lhokseumawe tanggal 18 Maret 2005.

Tabel di atas menunjukkan, jumlah pengungsi terbanyak berada di Kabupaten Aceh Besar yaitu 97.485 orang sedangkan di Kota Banda Aceh jumlah pengungsi sebanyak 49.921 orang.

Berdasarkan hasil penelitian, lokasi-lokasi pengungsian tersebut pada umumnya jauh dari lokasi tsunami dan lokasi asal pengungsi. Hal ini mempengaruhi pelaksanaan pendaftaran tanah berbasis masyarakat melalui kegiatan RALAS. Pelaksana RALAS dan masyarakat yang tinggal di lokasi bencana sebagai lokasi kegiatan RALAS sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti keberadaan subyek hak atas tanah (masih hidup atau tidak).104

Hal tersebut senada dengan pernyataan warga masyarakat yang berada pada lokasi pengungsian, merasa kurang nyaman berada di lokasi pengungsian karena jauhnya lokasi pengungsian dengan gampong tempat asalnya.105

104

Hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, Hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB.

105

(10)

Hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang dilakukan oleh Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) dan World Bank, menyatakan ada beberapa sektor yang mengalami kerusakan dan kerugian yang antara lain sebagai berikut:106

1. sektor sosial, termasuk perumahan, pendidikan, kesehatan, agama dan budaya, kerusakan 13,657 dan kerugian 532 dengan total 16,186.

2. sektor infrastruktur, termasuk transportasi, komunikasi, energi, air dan sanitasi bendungan, kerusakan 5,915 dan kerugian 2,239 dengan total 8,154. 3. sektor produksi, termasuk agribisnis, perikanan, industri dan perdagangan,

kerusakan 3,273 dan kerugian 7,721 dengan total 8,154.

4. lintas sektor, termasuk lingkungan, pemerintahan, bank dan keuangan, kerusakan 2,346 dan kerugian 3,718 dengan total 6,064.

Selain keempat sektor di atas yang mengalami kerusakan dan kerugian akibat dampak yang ditimbulkan oleh gempa bumi dan tsunami, terdapat juga beberapa aspek yang mengalami hal yang sama yaitu; aspek sosial dan kemasyarakatan, aspek ekonomi, infrastruktur, dan pemerintahan.

Kerusakan pada aspek sosial dan kemasyarakatan mempengaruhi proses pendaftaran tanah berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui kegiatan RALAS, dikarenakan fasilitas layanan kesehatan rusak seperti rumah sakit maupun alat-alat kesehatan, masyarakat yang menderita luka maupun trauma kurang maksimal dilayani, sehingga berdampak terhadap keaktifan masyarakat dalam proses pendaftaran tanah. Rusaknya rumah-rumah ibadah seperti meunasah juga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, karena biasanya masyarakat Aceh selalu menggunakan fasilitas meunasah sebagai tempat bermusyawarah, termasuk

106

(11)

tempat berkumpulnya masyarakat dalam rangka membicarakan kesepakatan warga dan musyawarah terkait dengan pelaksanaan pendaftaran tanah.107

Aspek ekonomi meliputi sektor perindustrian, perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah (UKM), pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan dan ketenagakerjaan. Dampak yang ditimbulkan dari kerusakan aspek ekonomi di bidang pertanahan adalah rendahnya nilai ekonomi tanah di lokasi bencana, hal ini disebabkan karena bukti kepemilikan tanah yang dimiliki masyarakat banyak yang musnah atau hilang begitu juga dengan batas-batas tanah yang hancur karena bencana sehingga tidak dapat diketahui lagi dengan jelas fisik tanahnya.

108

Berdasarkan hasil wawancara dengan Fahrul Razi, mengatakan bahwa tanah di lokasi tsunami sulit untuk mencari pembelinya karena tidak ada bukti/alas hak dan kekhawatiran aspek keamanan dan kenyamanannya.

109

Pernyataan tersebut sama dengan pernyataan Safrida warga gampong Baet Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar.110

Aspek infrastruktur meliputi bidang perumahan, perhubungan, energi, pos dan telematika, air minum dan sanitasi serta sumber daya air. Akibat rusaknya aspek infrastruktur terutama sarana dan prasarana transportasi, berdampak terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui

107

Hasil wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keucik Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, tanggal 16 Juni 2014, pukul 15.00 WIB.

108

Hasil wawancara dengan Irwansyah, Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh, tanggal 17 Juni 2014, pukul 15.00 WIB.

109

Hasil wawancara dengan Fahrul Razi, warga masyarakat Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, tanggal 16 Juni 2014, pukul 17.00 WIB.

110

(12)

kegiatan RALAS, dikarena sulitnya Tim Ajudikasi turun ke lokasi bencana untuk melaksanakan proses pendaftaran tanah.111 Infrastruktur pertanahan seperti gedung Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh mengalami kerusakan berat sedangkan gedung Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh hancur total, termasuk rusak/hilangnya dokumen pertanahan mengakibatkan pelayanan terhadap pertanahan terhambat.112

Moda transportasi yang dimiliki oleh BPN seperti: mobil dinas, sepeda motor dinas hilang/hancur terkena tsunami sehingga perlu pengadaan yang memerlukan biaya besar dan waktu yang lama.113

Aspek pemerintahan antara lain meliputi aparatur, sarana prasarana pemerintahan, batas administrasi. Kerusakan yang dialami oleh BPN di Provinsi Aceh pada aspek pemerintahan, antara lain: meninggalnya pejabat/staf BPN sebanyak 40 orang, 6 (enam) kantor hancur atau rusak parah termasuk perlengkapan survei, peralatan, komputer, buku tanah, dokumen-dokumen pertanahan serta terhambat/terhentinya pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Kondisi tersebut mempengaruhi terhadap pelaksanaan rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh.

114

2. Upaya Penanggulangan Dampak Bencana

111

Hasil wawaancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (mantan Project Manager Ralas tahun 2008) tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 Wib.

112

Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013, pukul 11.00 WIB.

113

Ibid.

114

(13)

Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui pelaksanaan tanggap darurat dan pemulihan kondisi masyarakat dan wilayah Aceh. Upaya penanggulangan dampak bencana tersebut dilakukan secara sistematis, menyeluruh, efisien dalam penggunaan sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada kelompok korban. Upaya penanggulangan dan pemulihan tersebut dilakukan dengan pendekatan secara utuh dan terpadu melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi yang harus berjalan secara bersamaan dalam pelaksanaan penanggulangan dampak bencana, lihat gambar di bawah ini:115

Gambar II.2. Tahapan Penanggulangan Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Sumber: Republik

115

(14)

Indonesia, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, Buku Utama, (Jakarta: Maret 2005), hal. 2-13.

Penelitian ini terfokus pada tahapan rekonstruksi yaitu berkaitan dengan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Namun demikian secara umum diuraikan juga penanggulangan dampak bencana pada tahap tanggap darurat116 dan rehabilitasi,117

Tahap tanggap darurat bertujuan menyelamatkan masyarakat yang masih hidup, mampu bertahan dan segera terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling minimal. Sasaran utama dari tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan. Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula penyelesaian tempat penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan pembagian logistik yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana yang masih hidup. Saat bencana baru saja terjadi, tahap tanggap darurat ditetapkan selama 6 bulan setelah bencana, namun demikian, setelah ditetapkannya Inpres No. 1 Tahun 2005, tahap tanggap darurat ini kemudian diperpendek menjadi 3 bulan dan berakhir pada tanggal 26 Maret 2005.

karena kedua tahapan ini akan mempengaruhi tahapan rekonstruksi pertanahan.

116

Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Pasal 1 angka 10 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

117

(15)

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang diketuai oleh Wakil Presiden telah mengkoordinasikan upaya-upaya kedaruratan pada tahap tanggap darurat yang mencakup:118

1. secepatnya menolong korban yang masih hidup; 2. secepatnya mengubur jenazah-jenazah korban;

3. secepatnya memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), pada tahap tanggap darurat, telah melaksanakan kegiatan pertanahan dalam program pemulihan pasca bencana di Provinsi Aceh secara integral dan holistik dengan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut:

1. kegiatan penyelamatan personil;

2. kegiatan penyelamatan dokumen (administrasi umum dan pertanahan); 3. kegiatan penyelamatan sarana dan prasarana;

4. kegiatan pembukaan pelayanan pertanahan terbatas (di posko); 5. kegiatan perawatan dan migrasi data/dokumen pertanahan (di posko); 6. kegiatan pembukaan kembali kantor dan pelayanan pertanahan optimal.119

Tahap rehabilitasi120

118

Republik Indonesia, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, (Maret 2005), hal. 2-11.

bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap

119

(16)

tanggap darurat, seperti rehabilitasi mesjid, rumah sakit, infrastruktur sosial dasar serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui penyelesaian hak atas tanah, dan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008), pada tahap ini, BPN telah melaksanakan beberapa langkah kegiatan pertanahan sebagai berikut:121

1. kegiatan penyiapan personil,

2. kegiatan penyiapan sarana dan prasarana,

3. kegiatan penyediaan peralatan teknis dan teknologi, 4. kegiatan penyiapan data yuridis dan data fisik,

5. kegiatan perawatan dan penyelamatan dokumen pertanahan.

C. Rekonstruksi Pertanahan122

120

Rehabilitasi meliputi perbaikan dan pemulihan:

a. prasarana dan sarana umum serta pelayanan publik;

b. prasarana dan sarana perekonomian yang mencakup perbankan, keuangan serta dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah;

c. prasarana dan sarana kesehatan dan psiko-sosial;

d. prasarana dan sarana kehidupan keagamaan serta adat istiadat; e. prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan;

f. hak-hak atas tanah dan bangunan;

g. prasarana tempat tinggal sementara yang memadai dan manusiawi, dan

h. prasarana dan sarana yang terkait langsung dengan normalisasi kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Lihat Pasal 4 Perpu No. 2 Tahun 2005.

121

Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008) di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013 Pukul 14.00 WIB.

122

(17)

Rekonstruksi123

Rekonstruksi pertanahan dilaksanakan untuk mengembalikan setiap jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum bencana alam tsunami di Provinsi Aceh. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah kepada masyarakat di lokasi tsunami.

pasca tsunami bertujuan membangun kembali kawasan kota, desa dan aglomerasi kawasan dengan melibatkan semua masyarakat korban bencana, para pakar, perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha.

Obyek rekonstruksi pertanahan tersebut meliputi tanah yang berada di lokasi bencana tsunami dan lokasi yang terkena dampak baik terhadap pemilik tanah yang berdomisili di lokasi bencana atau di luar lokasi bencana. Rekonstruksi pertanahan dilakukan melalui kegiatan pendaftaran tanah berbasis masyarakat.

Berdasarkan wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, bahwa BPN melakukan rekonstruksi pemilikan dan penguasaan tanah masyarakat terkena bencana guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat melalui

123

Pelaksanaan rekonstruksi meliputi: a. penataan ruang;

b. penataan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam; c. pembangunan prasarana dan sarana perumahan serta pemukiman; d. pembangunan prasarana dan sarana umum serta pelayanan publik;

e. pembangunan prasarana dan sarana perekonomian yang mencakup perbankan, keuangan serta dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah;

f. pembangunan prasarana dan sarana kehidupan keagamaan dan adat istiadat; g. pembangunan prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan;

h. penciptaan tenaga kerja yang menunjang kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan

i. pembangunan prasarana dan sarana yang terkait langsung dengan normalisasi kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, dan

(18)

kegiatan RALAS. Dalam kegiatan RALAS masyarakat dilibatkan dan masyarakat mempunyai peranan penting terhadap kegiatan rekonstruksi pertanahan. Obyek kegiatan RALAS meliputi tanah yang berada dilokasi bencana tsunami termasuk bidang-bidang tanah yang telah dilakukan penataan melalui kegiatan konsolidasi tanah.124

a. Maksud dan Tujuan RALAS

RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System) merupakan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Pengertian rekonstruksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 1996 diuraikan sebagai:125

Pengertian sistem adalah “Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas” atau “susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya” atau “metode”.

“Pengembalian sebagai semula” atau “penyusunan (penggambaran) kembali”.

126

Pengertian administrasi dapat diuraikan sebagai berikut:

127

“Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi” atau “usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan” atau

124

Hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, di Banda Aceh, hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB.

125

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 829.

126

Ibid, hal. 950.

127

(19)

“kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan” atau “kegiatan kantor dan tata usaha”.

Sebagai perbandingan dikutip pendapat Dann Sugandha, dalam bukunya Kepemimpinan dalam Administrasi mengartikan “Administrasi adalah organisasi dan manajemen dari semua sumbernya agar secara berdaya guna dan berhasil guna dapat dicapai tujuan yang telah ditentukan.128

Selanjutnya dibandingkan dengan pendapat John M. Pfeifener dalam bukunya Public Administration yang mengatakan “Administration may be defined as the

organization and direction of human and material resources to achieve desired

end”.129

Administrasi pertanahan termasuk dalam bidang Administrasi Negara (Public Administration). Administrasi Negara adalah sebagai keseluruhan kegiatan yang

dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dan suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara.

130

Dalam fungsinya, administrasi negara mempunyai tugas utama yakni:131

1. menentukan tujuan menyeluruh yang hendak dicapai (organization goal); 2. menentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut seluruh organisasi

(general and over all policies).

128

Dann Sugandha, Kepemimpinan dalam Administrasi, dalam Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan: Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek, Cetakan I, Edisi Revisi, (Bandung: Mandar Maju, 2013), hal. 1.

129

Rusmadi Murad, Op.Cit.

130

Sondang Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, MCMLXXVV), hal.8.

131

(20)

Rochmat Soemitro132

Pertanahan yang dimaksud di sini merupakan suatu kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah dalam mengatur hubungan hukum antara tanah dengan orang sebagaimana yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan dijabarkan dalam UUPA, membedakan pengertian administrasi dalam arti luas sebagai terjemahan “administration” yaitu “Bestuur van de staat, de provincien, de waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. In de U.S. verstaat men

order ‘the administration’ het gehele staatsbestuur, de president daaronder

begrepen” (…. Pemerintah suatu negara, provinsi, subak, kota-kota dan

maskape-maskape besar. Di Amerika Serikat dengan kata “the administration” dimaksudkan keseluruhan pemerintahan, termasuk presiden) dan dalam arti sempit dalam pengertian “tata usaha” yaitu “Elke stelselmatige, schrifelijke vastlegging en ordening van gegevens, samengesteld met het doel een overzicht vandeze gegevens te

verkrijgen in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamelinggen

van aantekeningen kan men als administratie qualificeren” (Setiap penyusunan

keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud untuk mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan yang lain. Tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi). Selanjutnya Rochmat Soemitro, bahwa dalam kegiatan “administrasi” telah termasuk kegiatan “tata usaha” dengan kata lain “tata usaha” sebagai bagian dari kegiatan “administrasi”.

132 Rochmat Soemitro dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap

(21)

sehingga menurut Rusmadi Murad administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.133

Berdasarkan kajian RALAS merupakan kerangka kebijakan untuk merekonstruksi hak atas tanah di Provinsi Aceh atau sebagai suatu usaha pengembalian sebagaimana keadaan semula semua unsur-unsur (perangkat) organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan di Provinsi Aceh pasca terjadi gempa bumi dan tsunami.

Adapun yang menjadi tujuan RALAS adalah:134

1. memulihkan dan melindungi terhadap hak atas tanah masyarakat di daerah tsunami;

2. membangun kembali (merekonstruksi) sistem administrasi pertanahan; 3. meningkatkan jaminan kepastian hak atas tanah;

4. meningkatkan efisiensi dan transparansi serta kualitas pelayanan pertanahan; 5. memperbaiki kapasitas kelembagaan untuk melaksanakan fungsi manajemen

pertanahan secara efisien sesuai dengan Agenda Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Sasaran spesifiknya adalah untuk:

1. memulihkan dan memproteksi pemilikan tanah masyarakat di sekitar wilayah bencana; dan

2. membangun kembali sistem administrasi pertanahan.

133

Rusmadi Murad, Op.Cit, hal. 2-3.

134

(22)

Pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah itu penting untuk dilakukan segera, oleh karena itu pemulihan dan proteksi itu menempatkan pondasi yang solid bagi pekerjaan rekonstruksi, perencanaan spasial, kompensasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Selain itu, pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah juga penting untuk membangun keadilan sosial dan menjamin stabilitas sosial jangka panjang.135

BPN melakukan pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah di Provinsi Aceh pasca bencana tsunami termasuk di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sehingga masyarakat, pemilik tanah atau ahli waris korban bencana mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanahnya.

b. Komponen dan Lokasi Kegiatan RALAS

RALAS melaksanakan rekonstruksi pertanahan terhadap 3 (tiga) komponen kegiatan. Ketiga komponen kegiatan RALAS adalah;

Pertama penerbitan sertipikat hak-hak atas tanah, yang meliputi kegiatan:

rekonstruksi data-data pertanahan, ajudikasi berbasis masyarakat dan kepedulian serta partisipasi masyarakat, pengukuran dan pemetaan, pendaftaran serta penerbitan sertipikat hak atas tanah, dan kebijakan dan isu-isu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan.

Kedua, merekonstruksi kelembagaan BPN di Aceh, yang meliputi kegiatan:

rekonstruksi fasilitas dan pengadaan peralatan dan furniture, pelatihan dan

135

(23)

pengembangan kapasitas, dan komputerisasi dan pengembangan sistem cadangan (back up system).

Ketiga, manajemen proyek, meliputi: dukungan terhadap manajemen proyek,

pemantauan dan evaluasi serta mekanisme penanganan pengaduan, dan bantuan teknis terhadap pelaksanaan kegiatan.

RALAS menetapkan 3 (tiga) kriteria lokasi prioritas. Ketiga kriteria prioritas lokasi RALAS tersebut, yaitu: wilayah yang akan menjadi prioritas utama pembangunan kembali infrastruktur/perumahan, wilayah yang terkena langsung tsunami dan lokasi terpilih di sekitar lokasi yang terkena langsung tsunami.

Berdasarkan asil penelitian, pendaftaran tanah melalui kegiatan ajudikasi RALAS dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahun anggaran, yaitu:

Lokasi kegiatan RALAS tahun 2005 adalah 2 (dua) kabupaten/kota yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, dengan total target sebanyak 50.000 bidang tanah, terdiri dari 30.000 bidang tanah di Kota Banda Aceh dan 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar.

(24)

bidang tanah di Kota Lhokseumawe, 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Utara, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Jaya, 25.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat, dan 5.000 bidang tanah di Kabupaten Nagan Raya.

Lokasi kegiatan RALAS tahun 2008 adalah 13 (tiga belas) kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Singkil dan Kabupaten Simeulue. Target pensertipikatan tanah di ketiga belas lokasi tersebut sebanyak 110.000 bidang tanah, terdiri dari 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Pidie, 15.000 bidang tanah di Kabupaten Bireuen, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Utara, 5.000 bidang tanah di Kota Lhokseumawe, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Timur, 15.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Jaya, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Nagan Raya, 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Selatan, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat Daya, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Singkil dan 5.000 bidang tanah di Kabupaten Simeulue.

(25)

c. Konsolidasi Tanah

Konsolidasi tanah adalah suatu metode pembangunan yang merupakan salah satu kebijaksanaan pengaturan penguasaan tanah, penyesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata Guna Tanah/Tata Ruang dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan serta kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya alam.136

Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah menyatakan bahwa:

“Konsolidasi Tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dengan mewujudkan suatu tatanan penguasaan serta penggunaan tanah yang tertib dan teratur”.

Partisipasi aktif masyarakat berwujud kesepakatan para pemegang hak atas tanah dan/atau penggarap tanah negara yang menjadi objek konsolidasi tanah, yang menjadi Peserta Konsolidasi Tanah (PKT) untuk melepaskan hak atas tanah dan penguasaan fisik atas tanah-tanah yang bersangkutan, yang sebagian ditata kembali menjadi satuan-satuan baru yang akan dikembalikan kepada mereka dan sebagian lain merupakan sumbangan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas-fasilitas lain serta pembiayaan pelaksanaan konsolidasi.137

Pemberian hak atas satuan-satuan tanah baru tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pemberian

keringanan-136

Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA - UUPR-UUPLH, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 309.

137

(26)

keringanan tertentu bagi para Peserta Konsolidasi Tanah mengenai kewajiban-kewajiban finansialnya.138

Prinsip konsolidasi tanah adalah sebagai berikut:139 1. kegiatan konsolidasi tanah membiayai dirinya sendiri;

2. adanya “land polling” yang juga merupakan ciri khas konsolidasi tanah; 3. hak atas tanah sebelum dan sesudah konsolidasi tidak berubah menjadi

lebih tinggi atau lebih rendah;

4. konsolidasi tanah melibatkan peran serta secara aktif para pemilik tanah; 5. tanah yang diberikan kembali kepada pemilik mempunyai nilai lebih tinggi

daripada sebelum konsolidasi tanah.

Konsolidasi tanah meliputi kegiatan penataan kembali bidang-bidang tanah termasuk haknya dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah secara langsung. Pengaturan bentuk-bentuk tanah yang semula terpecah-pecah dan tidak teratur menjadi bidang tanah yang teratur, baik bentuk maupun tata letaknya, dilakukan dengan cara:

1. penggeseran letak; 2. penggabungan; 3. pemecahan; 4. penukaran; 5. penaatan letak; 6. penghapusan letak.

Lokasi konsolidasi tanah kemudian dilengkapi dengan prasarana dan fasilitas yang diperlukan, seperti jalan, jalur hijau sehingga menghasilkan pemanfaatan tanah

138

Pasal 8 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.

139

(27)

yang optimal dan memenuhi berbagai persyaratan, agar menunjang kecepatan pembangunan dan pengembangan kota sesuai dengan rencara tata ruang.

Bagi pemilik tanah, langsung menikmati nilai tambah atas tanahnya dan mendapatkan jaminan kepastian hukum hak atas tanahnya. Walaupun luas tanah yang diberikan kembali kepada pemilik tanah lebih kecil daripada sebelum konsolidasi, namun nilainya menjadi lebih tinggi karena di wilayah letak tanah tersebut sudah tersedia fasilitas jalan dengan kavling yang teratur.

Konsolidasi tanah pada pokoknya bertujuan menyediakan tanah untuk kepentingan pembangunan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta memberikan pemanfaatan tanah yang optimal.140

Secara sadar rakyat diajak ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan dalam rangka merealisasikan trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Tanah tersedia untuk prasarana jalan dan fasilitas umum tanpa ganti rugi. Lingkungan tertata secara baik sesuai dengan rencana tata ruang. Sasaran konsolidasi

140

(28)

tanah adalah terwujudnya penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur sesuai kemampuan dan fungsinya dalam rangka tata tertib pertanahan.

Konsolidasi tanah sebagai suatu modal pembangunan yang merupakan kegiatan terpadu (lintas sektoral) yang berkaitan dengan penataan/pengaturan kembali kepemilikan, penguasaan tanah dan kebijakan pengadaan tanah untuk prasarana dan fasilitas umum lainnya dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat/para pemilik tanah.

Konsolidasi tanah pada hakikatnya meliputi aspek-aspek antara lain:

1. aspek pengaturan penguasaan atas tanah, tidak saja menata dan menerbitkan bentuk fisik bidang-bidang tanah, tetapi juga hubungan hukum antara pemilik dan tanahnya;

2. aspek penyerasian pengguna tanah dengan rencana tata guna tanah/tata ruang;

3. aspek penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan dan fasilitas umum lainnya yang diperlukan;

4. aspek peningkatan kualitas lingkungan hidup atau konservasi sumber daya alam.

(29)

dan terutama kesediaan mereka menyerahkan sebagian dari tanahnya untuk keperluan pembangunan prasarana umum.

Kepemilikan tanah yang semula tidak teratur bentuknya setelah dikonsolidasi akan menjadi teratur, baik letak dan bentuknya, sesuai dengan tata ruang yang bersangkutan. Tiap persil mendapat/menghadap ke jalan, tempatnya bergeser sesedikit mungkin dari tempat asalnya, serta sudah dikurangi dengan peran serta masing-masing pemilik.

Konsolidasi tanah sesuai Peraturan BPN Nomor 4 Tahun 1991 dapat dilihat dalam tahapan sebagai berikut:

a. pemilikan/penguasaan tanah di lokasi yang dikonsolidasi dilakukan inventarisasi dan identifikasi;

b. masing-masing dihitung dan diukur luasnya;

c. pemilik/penggarap hak atas tanah tersebut membuat pernyataan pelepasan hak dengan syarat bahwa tanahnya dilepaskan kepada negara untuk kemudian diterbitkan haknya atas nama masing-masing pemilik setelah dikurangi sumbangan peran serta;

(30)

e. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Kepala BPN melalui Kepala Kantor Wilayah BPN yang memohonkan penegasan tanah tersebut menjadi tanah negara sebagai objek konsolidasi yang akan dibagikan dalam rangka pelaksanaan konsolidasi tanah; f. atas dasar usulan tersebut, Kepala BPN menerbitkan surat keputusan

tentang penegasan tanah negara yang menjadi objek konsolidasi, yang selanjutnya dibagikan kembali (redistribusi) kepada para pemilik;

g. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi yang bersangkutan dapat meredistribusikan kepada masing-masing pemilik sesuai usulan dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

h. Surat Keputusan redistribusi di atas dijadikan sebagai dasar untuk menerbitkan sertipikatnya oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991, konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85% dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85% dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi, menyatakan persetujuannya.

(31)

seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi juga berlaku pada konsolidasi tanah di lokasi tsunami, karena pasca tsunami tidak ada aturan khusus yang dibuat dalam rangka konsolidasi tanah.

Berdasarkan kajian proses yang terpenting dari pelaksanaan konsolidasi tanah berkaitan dengan pendaftaran tanah di lokasi tsunami adalah kegiatan konsolidasi tanah menghasilkan dasar kepemilikan baru yaitu berupa Surat Keputusan redistribusi. Surat Keputusan redistribusi ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menerbitkan sertipikat hak atas tanah. Sebagaimana diketahui bahwa bencana tsunami mengakibatkan dokumen pertanahan yang berada pada masyarakat, Kantor Pertanahan dan pada pihak-pihak terkait seperti PPAT/ PPATS dan Kantor Desa atau Kecamatan banyak yang musnah, hancur dan hilang, namun dengan telah dilakukannya konsolidasi tanah akan memudahkan pihak RALAS dalam melakukan pendaftaran tanah di lokasi konsolidasi tanah karena telah tersedianya bukti-bukti kepemilikan baru. Namun disayangkan konsolidasi tanah di lokasi tsunami tidak dilakukan secara maksimal dan berdasarkan hasil penelitian kegiatan konsolidasi tanah di lokasi tsunami pada masa rekonstruksi pertanahan hanya terdapat di gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (mantan Project Manager RALAS tahun 2006):141

“Di lokasi tsunami konsolidasi tanah hanya dilakukan di gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Anggaran APBK Kota Banda Aceh. Konsolidasi tanah di Desa Lambung tersebut awalnya telah dilakukan pengukuran tanah

141

(32)

oleh Tim Ajudikasi RALAS dan belum seluruhnya diterbitkan sertipikat hak atas tanah karena masih terkendala dengan penentuan subyek dan dokumen yang diperlukan. Setelah dilakukan konsolidasi tanah BPN melakukan sertipikasi namun bukan dalam masa rekonstruksi pertanahan”.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh:142

“Pendaftaran tanah pada lokasi konsolidasi tanah di Desa Lambung lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan pendaftaran tanah pada bidang-bidang tanah lain di lokasi tsunami. Hal ini dikarenakan pada lokasi konsolidasi tanah telah tersedia dasar kepemilikan baru (alas hak baru) dalam bentuk Surat Keputusan tentang redistribusi tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, berbeda halnya dengan bidang-bidang tanah di lokasi tsunami yang belum dilakukan konsolidasi tanah”.

Sebagai pembanding dapat dilihat contoh negara yang melaksanakan konsolidasi tanah untuk menangani bencana tsunami dan gempa di negaranya yaitu Jepang. Penanganan bencana tsunami dan gempa di Jepang menggunakan Konsep konsolidasi tanah yang disebut Land Readjustment atau kukaku seiri. Land Readjustment (LR) didesain untuk menciptakan areal perkotaan yang nyaman,

dilengkapi dengan berbagai perlengkapan perkotaan, dengan cara pertukaran dan penggabungan persil (exchange and merger of land), dan perubahan bentuk bidang tanah (shape of lots).143

142

Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008) di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013 Pukul 14.00 WIB.

Hakikat Land Readjustment sebagai kebijakan partisipatif ditandai oleh adanya peran serta masyarakat melalui sumbangan tanah (lot

contribution/land sharing/land reduction) dari peserta Land Readjustment untuk

prasarana jalan dan infrastruktur lainnya serta untuk biaya pelaksanaan Land

143

(33)

Readjustment (cost equivalent land - CEL).144 Sebagai negara yang rawan bencana tsunami itu, Jepang tampaknya telah meyakini betapa konsep konsolidasi tanah mampu menata kembali wilayah perkotaan yang sudah terlanjur berkembang tidak teratur atau yang rusak akibat bencana alam. Meskipun pada awalnya konsep Land

Readjustment diintroduksi dari Jerman,145 fakta menunjukkan bahwa instrumen

penataan wilayah perkotaan partisipatif itu berkembang pesat di Jepang. Sampai 31 Maret 2000, pelaksanaan Land Readjustment di Jepang sudah mencapai lebih dari 11.200 proyek Land Readjustment, yang meliputi areal 380.000 Ha146 (atau lebih kurang 30% dari areal agregat aglomerasi perkotaan).147 Japan International Cooperation Agency (JICA) juga menyatakan bahwa 90% dari kawasan yang sudah

direncanakan pembangunannya melalui proyek peremajaan kota, ditata melalui Land Readjustment. Karena kontribusi Land Readjustment sangat berarti bagi

pengembangan areal perkotaan yang sistematis, maka di Jepang Land Readjustment disebut “Mother of City Planning”.148

144

Peter Nakamura, dalam Luciano Minerbi, dkk, Land Readjustment: The Japanese System, (Boston: Penerbit A Lincoln Institute of Land Policy Book, 1986), hal. 43.

145

Hirohide Konani, “Urban Development in Japan and International Technical”, Makalah pada 7th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development ‘Bali 93, 1993, hal. 2, menandaskan: “Land readjustment was first introduced from Germany in the late 19th century”.

146

Tetsuzo Iwasaki, “The Implementing System of the Land Readjustment Project”, Makalah pada The 10th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development, Denpasar-Bali, 7-9 November 2000, hal. 3, menunjukkan bahwa 11.000 Ha dari luas seluruh areal kota yang terkonsolidasi di Jepang itu berada di Kota Osaka. Di kota ini 50% dari luas wilayah kotanya terbangun dengan pola Land Readjustment (LR).

147

Hideo Madsuda, “Emerging Issues for Japanese Urban Development and Prospective Role of Land Readjustment Project”, Makalah pada The 10th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development, di Denpasar, Bali, Indonesia, tanggal 7-9 November 2000, hal. 1, 3.

148

(34)

Momentum perkembangan pengaturan Land Readjustment, dapat dikelompokkan dalam lima tahapan penting:149

Pertama, tahun 1899 yakni saat pertama kali

150

Kedua, tahun 1919 yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Perencanaan

Kota (Planning City Act). Tahap ini disebut juga sebagai awal institusionalisasi Land Jepang melakukan konsolidasi tanah berdasarkan Agricultural Land Conservation Act of 1899 dan Arable Land Consolidation Law (1899). Konsolidasi tanah yang dilakukan oleh para pemilik tanah

(land owner) yang mendapat persetujuan minimal dari duapertiga para pemilik tanah di seluruh areal yang direncanakan, ditujukan untuk meningkatkan penggunaan tanah sawah (arable land). Dengan demikian, pada tahap ini pelaksanaan konsolidasi tanah belum ada hubungannya dengan ketentuan perencanaan kota. Arable Land Consolidation Law (1899) ini kemudian direvisi pada tahun 1909 dengan maksud

bahwa pelaksanaan konsolidasi tanah tidak lagi hanya ditunjukkan untuk meningkatkan penggunaan tanah sawah (arable land), tetapi juga penggunaan seluruh tanah-tanah pertanian. Menurut revisi Arable Land Consolidation Law ini, badan pelaksana konsolidasi tanah tidak terbatas pada pemilik tanah (land owner), tetapi juga koperasi pertanian sawah yang anggotanya separuh dari para pemilik tanah di lokasi yang direncanakan.

149

William Doebele, Land Readjusment, (USA: D.C. Heat and Company, 1982), hal. 18; lihat juga Luciano Minerbi, dkk, Land Readjustment: The Japanese System A Reconnaisssance and A Digest, (Boston-USA: Penerbit Oelgeschlager, Gunn & Hain, 1986), hal. 17-30; dan Takayuki Kishii, “Land Readjustment Projects Implementation by Cooperatives in Japan”, Makalah pada 7th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development ‘Bali 93’, 1993, hal. 5.

150

(35)

Readjustment (the beginning of the institutionalization of land readjustment).

Undang-undang yang juga disebut the basic law of Japanese city planning ini, antara lain151

Ketiga, tahap yang ditandai oleh The Great Kanto Earthquake, September

1923. Agar Land Readjustment dapat dilakukan secara masif sebagai upaya untuk merehabilitasi kota, terutama Tokyo dan Yokohama, yang rusak karena gempa bumi yang amat hebat pada waktu itu, maka ditetapkanlah Special Planning Act 1923. Konsolidasi tanah yang khusus dilakukan untuk merehabilitasi kota itu dilaksanakan oleh Imperial Capital Rehabilitation Agency. Selain badan tersebut, undang-undang di atas menyebutkan bahwa yang dapat menjadi badan pelaksana konsolidasi tanah lainnya adalah badan-badan administrasi (administrative agencies), badan-badan publik lokal (local public bodies), koperasi konsolidasi tanah (land readjustment cooperative). Akan tetapi, pada tahap ini tidak ada pelaksanaan konsolidasi tanah

yang dilakukan oleh koperasi. Special Planning Act 1923 terbukti efektif sebagai bertujuan untuk meningkatkan penggunaan tanah sebagai tapak bangunan (building lots). Tegasnya, Pasal 12 dari UU tersebut menyatakan bahwa konsolidasi tanah dilaksanakan “in order to develop and improve facilities for public use and to increase the utility of sites….”. Selanjutnya, Pasal 13 dan 16 menyatakan bahwa

konsolidasi tanah harus dilaksanakan sebagai sebuah proyek perencanaan kota. Badan pelaksana konsolidasi tanah pada tahap ini meliputi para pemilik tanah secara individual atau kelompok, koperasi, dan badan publik lokal.

151

(36)

landasan pelaksanaan konsolidasi tanah dalam skala besar, karena sejak tahun 1923-1930, lebih kurang telah 2.000 Ha areal yang direhabilitasi dan dibangun.

Keempat, tahap restorasi Pasca Perang Dunia II. Pada masa ini konsolidasi tanah diarahkan untuk memperbaiki kota-kota yang rusak karena bom pada waktu terjadi Perang Dunia II, yang sekaligus merupakan realisasi dari perencanaan kota secara khusus pada waktu itu. Badan Pelaksana konsolidasi tanah adalah badan-badan administratif (seperti War Damage Rehabilitation Agency) dan koperasi konsolidasi tanah. Ketentuan hukum yang menjadi landasan konsolidasi tanah pada tahap ini pada dasarnya sama dengan sebelumnya yakni Undang-Undang Perencanaan Kota (City Planning Act) sebagai ketentuan dasar perencanaan kota di Jepang.

Kelima, tahap pemberlakuan Undang-Undang Land Readjustment, yaitu UU

No. 119 Tahun 1954 (Land Readjustment Act 1954), yang diundangkan pada tanggal 29 Mei 1954 dan terakhir diamandemen pada tanggal 31 Maret 1999. Undang-undang ini menentukan bahwa sasaran dari LR adalah “the development and improvement of public facilities and promotion of site utility”. Undang-undang yang terdiri dari 7 bab

dan 148 pasal ini secara komprehensif mengatur pelaksanaan Land Readjustment di Jepang. Di dalam Bab 2 UU konsolidasi tanah ini misalnya, diatur badan-badan pelaksana konsolidasi tanah yang terdiri atas: badan pelaksana individual (individual implementing body); asosiasi konsolidasi tanah (land readjustment association);

(37)

corporation).152

Momentum ketiga dan keempat dari pengaturan konsolidasi tanah di Jepang kiranya pilihan untuk memilih Land Readjustment sebagai solusi penataan kembali wilayah perkotaan dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan yang tepat. Hans Kuppers dan Yosuo Nishiyama mengatakan bahwa pada tahun 1945 Pemerintah mengumumkan “the General Framework for Reconstruction in War-Damaged Areas”, yang menyatakan: ‘rehabilitation would take place both by

purchase of lands by bonds issuance as well as by land readjustment. Ironically, fear

that land prices would fall and cause the value of land bonds to decline eventually

would make land readjustment the major rehabilitation method utilized”.

Selain, mengatur tahapan pelaksanaan secara rinci, Undang-Undang

konsolidasi tanah ini juga mengatur pengawasan dan peraturan-peraturan berkaitan dengan sanksi terhadap penyimpangan pelaksanaan. Pengaturan yang demikian komprehensif itu menjadi faktor yang berarti mendukung keberhasilan pelaksanaan konsolidasi tanah di Jepang.

153

152

UU tentang KT di Jepang ini tidak memuat ketentuan spesifik mengenai pelaksanaan KT oleh koperasi. Menurut Oloan Sitorus, hal itu karena pengertian asosiasi KT pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai “koperasi”. Lihat Hiedo Matsuda, Op.Cit, hal. 3 dan Tetsuzo Iwasaki, Loc.Cit, yang menyamakan pengertian asosiasi KT dengan koperasi KT.

Artinya,

ketika pilihan rehabilitasi kerusakan yang tersedia adalah ‘penerbitan bonds’ atau ‘pelaksanaan Land Readjustment’ maka pilihan masyarakat lebih terarah pada pelaksanaan Land Readjustment, sebab ada kecemasan bahwa harga tanah akan jatuh dan menyebabkan nilai land bonds turun. Dengan demikian, kondisi yang memungkinkan Land Readjustment menjadi pilihan kebijakan penataan kembali

153

(38)

wilayah kota di Jepang adalah kesadaran masyarakat dan penyelenggara pemerintahan terhadap fungsi dan manfaat Land Readjustment. Kesadaran ini pula kiranya kemudian membuat tingginya komitmen penyelenggara untuk mengatur Land Readjustment dalam suatu undang-undang khusus, yakni UU No. 119 Tahun 1954

(Land Readjustment Act 1954), yang diundangkan pada tanggal 29 Mei 1954 dan terakhir diamandemen pada tanggal 31 Maret 1999.

Land Readjustment juga merupakan instrumen kunci pada waktu pemulihan

Kota Kobe, Jepang, yang dilanda gempa bumi pada 17 Januari 1995, dengan korban: 6.400 orang meninggal dunia, 15.000 terluka, 400.000 meninggalkan rumah dan 240.000 membutuhkan rumah.154

154

Laurie A. Jhonson, “Kobe and Northridge Reconstruction A Look at Outcomes of Varying Public and Private Housing Reconstruction Financing Models”, Dipresentasikan pada “EuroConference on Global Change and Catastrophe Risk Management: Eartquake Risks in Europe”, International Institute for Applied System Analysis (HASA), Luxemburg, Austria, 8 Juli 2000, hal. 6.

(39)

mencakup bangunan perumahan yang baru, tetapi tujuan-tujuan pembangunan perluasan kota; kedua varitas itu dapat melalui LR dan komponen-komponen pembangunan perkotaan. Masing-masing distrik mendapat penekanan model pembangunan yang bervariasi sesuai dengan permasalahan kerusakan yang timbul.155

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Jepang telah berhasil melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana termasuk rekonstruksi pertanahan dengan menggunakan pendekatan konsolidasi tanah. Berbeda halnya dengan rekonstruksi pertanahan pasca bencana gempa dan tsunami di Provinsi Aceh. Pemerintah tidak menjadikan kegiatan konsolidasi tanah sebagai prioritas dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Dalam rekonstruksi pertanahan pasca bencana tsunami di Provinsi Aceh konsolidasi tanah hanya dilakukan di Gampong Lambung Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh.

D. Ketersediaan Aturan Hukum Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami di Provinsi Aceh

Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat, dan mempunyai hukum nasionalnya sendiri. Dimaksudkan dengan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang berdasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional156 negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945157

155

Ibid, hal. 6. Lihat juga Oloan Sitorus, et.al, “Konsolidasi Tanah sebagai Restorasi Kerusakan Wilayah Akibat Tsunami Aceh” dalam Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM – STPN, Nomor 2 Tahun 2, Maret 2010, hal. 4 - 7.

atau hukum yang

156

(40)

dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, maka hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Dengan kata lain, hukum nasional merupakan sistem hukum158 yang timbul sebagai hasil usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.159

Membicarakan hukum tentu tidak terlepas dari suatu asas dan sistem, yaitu asas dan sistem hukum yang berlaku dalam tatanan kehidupan bernegara. Demikian pula keterkaitan dengan sistem lain sebagai bagian dari sistem hukum nasional secara keseluruhan.160

Kata asas berasal dari bahasa Arab yaitu jamak dari usus, artinya asl al-bina (dasar bangunan). Dikatakan pula al-hajaru al-asasiyyu (batu pondasi). Kalau

Selanjutnya untuk mengetahui asas-asas hukum dalam hubungannya dengan sistem hukum Indonesia, diuraikan berikut ini.

Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, ini berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dnegan konstitusionalisme, yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Lihat Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 137.

157

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 64.

158

Kata sistem memiliki makna suatu kesatuan yang bersifat kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan dan bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan III, (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1991), hal. 48.

159

Kodiran, “Aspek-aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional”, dalam Artijo Alkostar (ed), Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997), hal. 87; Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal. 240.

160

(41)

dihubungkan dengan sistem berpikir, asas dimaksudkan sebagai landasan berpikir yang sangat mendasar. Dan bila dikaitkan dengan negara, maka asas diartikan sebagai qawanin al-bilad al-asasiyyah (undang-undang dasar negara).161

Asas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, mempunyai arti:162

Menurut Bagir Manan, asas hukum sangat penting, sebab tanpa asas hukum tidak ada sistem hukum. Lebih lanjut ia menyebutkan:

pertama,

dasar, alas, fundamen; kedua, kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat; ketiga, cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau negara.

163

“Asas hukum merupakan subsistem terpenting dari suatu sistem hukum. Asas dan prinsip hukum berada pada tingkat yang lebih di atas daripada sistem kaidah. Bukan hanya karena sifatnya yang lebih universal, melainkan di dalam asas hukum tercermin tata nilai dan pesan kultural yang semestinya diwujudkan oleh kaidah hukum”.

Sejalan dengan pendapat Bagir Manan, Satjipto Rahardjo mengatakan:164 “Asas hukum dapat disebut landasan atau alasan bagi terbentuknya suatu peraturan hukum atau merupakan suatu ratio legis dari suatu peraturan hukum yang memuat nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau pandangan etis yang ingin diwujudkan”.

Asas-asas yang berkaitan dengan kajian penelitian di sini ada 3 (tiga), yaitu: 1) Asas keadilan, 2) Asas kemanfaatan, dan 3) Asas kepastian hukum.

Ad.1. Asas keadilan

Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dan harus diperhatikan dalam pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan. Kata adil selalu dikaitkan

161

Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1928), hal. 10.

162

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal. 60; lihat juga Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 91-92.

163

Bagir Manan, “Peranan Pengadilan Agama dalam Pembinaan Hukum Nasional”, dalam Eddi Rudiana Arief, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 152.

164

(42)

dengan hukum. Sebab hukum adalah neraca untuk menentukan sikap dan standar kebenaran. Dalam istilah lain disebut suprem atau tertinggi, artinya hukum itu harus diletakkan di atas segala-galanya. Hukum menurut Apeldoorn bertujuan mengatur pergaulan hidup secara damai, ia akan mencapai tujuannya bila menuju peraturan yang adil.165 Pendapat tersebut sejalan dengan Satjipto Rahardjo, yang menyebutkan:166

“Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungannya antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kalau tidak dapat membicarakan hukum hanya sampai kepada wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal. Kita juga perlu melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakatnya”.

Hal yang sama juga dikemukakan Daniel Webster seperti ditulis oleh Roscoe Pound, bahwa “keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di bumi ini”.167

165

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya, 1996), hal. 11.

Sekalipun para pakar hukum menyebutkan bahwa tidak mungkin keadilan sesungguhnya diwujudkan, karena keadilan itu selalu berpihak pada subjektivitas dan abstrak. Maka untuk tegaknya keadilan, ia dilakukan secara bersama-sama dengan asas kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan adalah asas, proses dan sasaran hukum yang signifikan, yang harus ada dalam sebuah aturan, serta bisa diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan.

166

Satjipto Rahardjo, 1980, Op.Cit, hal. 159.

167

(43)

Achmad Ali juga mengatakan keadilan merupakan konsep abstrak dan bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut oleh masing-masing individu dan masyarakat.168 Menurut Friedman, dalam satu pengertian, norma-norma hukum tidak dapat benar-benar ‘netral’. Bahkan tidak mudah mengatakan seperti apa itu ‘norma netral’. Sudah pasti, di setiap sistem, norma-normanya cocok dengan struktur sistem bersangkutan. Bahkan dengan berasumsi terdapat hal-hal seperti eternal rule of justice (aturan keadilan yang abadi) atau eternal morality (moralitas abadi), maka tidak ada sistem hukum yang dapat disusun hanya dari pranata-pranata ini. Apa sebenarnya orang maksudkan ketika mereka mengatakan bahwa norma-norma adalah ‘netral’ atau ‘adil’, tak lebih dan tak kurang adalah netral atau adil dalam suatu konsepsi nilai, atau diukur dengan satu standar tertentu saja. Dengan penjelasannya itu, menurut Achmad Ali, Friedman ingin mengatakan bahwa apa yang adil dan tidak adil, sangat tergantung pada konsep nilai tertentu atau standar tertentu yang sifatnya subjektif, baik subjektif perorangan maupun subjektif kelompok, suku, umat atau bangsa.169 Ad.2. Asas kemanfaatan

Asas kemanfaatan ini dalam filsafat hukum dikenal dengan utilitarianisme. Aliran ini dicetuskan oleh Jeremy Bentham (1748-1832).170

168

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan: Termasuk Interpretasi Undang-Undang, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 223.

Ide dasar utilitarianisme sangat sederhana yaitu: yang benar untuk dilakukan adalah yang menghasilkan

169

Ibid, hal. 232-233.

170

(44)

kebaikan terbesar.171

John Stuart Mill memberikan definisi singkat prinsip utilitarian, yaitu:

Penganut aliran ini menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat, yang terkenal dengan mottonya, bahwa tujuan hukum adalah untuk the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang terbesar, untuk terbanyak orang). Menurutnya, adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Tegasnya menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan mengeliminir hal-hal yang bisa menimbulkan kesengsaraan.

“Kemanfaatan atau prinsip kebahagiaan terbesar menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan; keliru jika cenderung menghasilkan berkurangnya kebahagiaan. Yang dimaksudkan dengan kebahagiaan adalah kesenangan dan tidak adanya rasa sakit…”.172 Ad.3. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu.173

171

Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan: Analisis Kritis terhadap Pemikiran J.S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda, Penerjemah: Yudi Santoso, Cetakan Kelima, (Bandung: Nusa Media, tt), hal. 14.

Asas kepastian hukum juga sangat erat kaitannya dengan asas legalitas. Artinya, untuk menertibkan sesuatu, harus jelas aturannya dan diketahui oleh masyarakat. Bila di dalam hukum itu ada larangan, maka yang dilarang itu sudah jelas. Demikian pula kalau ada sanksi atas larangan tersebut sudah dicantumkan secara tegas.

172

John Stuart Mill, Utilitarianism, (New York: Bobbs-Merrill, 1957), hal. 10.

173

(45)

Ketiga asas tersebut di atas, menurut Gustav Radbruch (1878-1949) identik dengan tiga tujuan hukum dalam tinjauan ranah filsafat hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.174

Kembali kepada konteks sistem hukum yang merupakan seperangkat unsur yang terdiri dari atas sub-sub sistem yang memiliki fungsi dan bekerja dalam rangka mencapai tujuan sistem. Menurut Friedman, setiap sistem hukum mengandung komponen struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Sehingga untuk melihat bekerjanya hukum sebagai suatu sistem dapat dianalisis melalui ketiga komponen tersebut. Berikut penjelasan ketiga komponen sistem hukum tersebut:

Kepastian hukum di sini memiliki empat makna: pertama, bahwa hukum itu positif, artinya ia adalah perundang-undangan;

kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, bukan suatu rumusan tentang

penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti ada kemauan baik, kesopanan dan lainnya; ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas, sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan, dan keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Menurut aliran ini tujuan hukum hanya semata-mata untuk mewujudkan legal certainty (kepastian hukum). Namun kepastian hukum itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan dan asas kemanfaatan.

Pertama, struktur (structure). Friedman, mendefinisikan struktur sebagai

berikut:175

174

Achmad Ali, Op.Cit, hal. 288.

175

(46)

“The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent shape the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds”.

“Struktur adalah kerangka atau sistem bekerjanya, di mana bagian yang tetap bertahan, di mana bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhannya”.

Membicarakan tentang struktur sistem hukum Indonesia, termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dalam konteks penelitian ini, struktur yang dimaksud di sini adalah struktur pelaksana rekonstruksi pertanahan melalui kegiatan RALAS pasca tsunami di Provinsi Aceh (yang akan dibahas pada Bab III).

Kedua, substansi (substance). Menurut Friedman, substansi diartikan:176

“The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave”.

“Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu”.

Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, peraturan perundang-undangan yang dibuat. Jadi substansi merupakan keseluruhan aturan hukum (termasuk asas hukum dan norma hukum), baik yang tertulis (written law) maupun yang tidak tertulis (unwritten law), termasuk putusan pengadilan.

Berdasarkan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Aceh, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan tersebut, antara lain:

176

(47)

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

3.

Undang-Undang 51/Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya;

4.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Pencabutan Hak-hak Atas dan Benda-benda yang ada di atasnya;

5.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

6.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;

7. Undang

Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

8.

Gambar

Tabel II.2. Jumlah Pengungsi per Kabupaten/Kota
Tabel di atas menunjukkan, jumlah pengungsi terbanyak berada di Kabupaten
Gambar II.2. Tahapan Penanggulangan Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi  di Provinsi Aceh dan Nias, Sumatera Utara
Tabel II.3. Kebijakan Pemulihan Aspek Yuridis Bidang Tanah Berdasarkan Variasi Permasalahan yang Dihadapi

Referensi

Dokumen terkait

jantung pada dinding dada.Batas bawahnya adalah garis yang menghubungkan sendi kostosternalis ke-6 dengan apeks jantung... FISIK DIAGNOSTIK JANTUNG DAN

Kemudian terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi menunjukkan bahwa konsep diri merupakan hal yang penting

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis atas pengujian pengaruh motivasi terhadap kepuasan kerja karyawan menunjukkan bahwa nilai critical ratio (CR)

Hubungan antara jarak tempuh dan waktu tempuh adalah berbanding lurus dalam gerak GLB yaitu semakin besar jarak tempuh suatu benda, maka semakin besar pula waktu yang

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang telah mempermudah jalan penulis dalam menyelesaikan skripsi yang

Serdang sampai dengan sekarang ini adalah Kurikulum 2013 Namun terkhusus menyangkut tentang kurikulum yang diterapkan disekolah dalam mata pelajaran Aksara Arab

(A Survey Study on the Second Semester Students of English Education Department in Universitas Muhammadiyah Purwokerto in Academic

Implementasi kebijakan publik adalah upaya penerjemahan kebijakan publik yang telah dirumuskan oleh pemerintah menjadi sebuah program atau kegiatan yang nyata,