PEMIMPIN DILIHAT DARI SAMPEL GENDER PADA MASYARAKAT NGADIREJO, GUNUNG BROMO
Disusun untuk memenuhi tugas akhir Mata Kuliah Psikologi Lintas Budaya yang dibimbing oleh
Bu Tutut Chusniah
Oleh: Tri Yuni Susanti
306112402664
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
ABSTRAK
Susanti, Tri Yuni. 2013. Pemimpin Dilihat Dari Gender Pada Masyarakat Ngadirejo, Gunung Bromo. Tugas, Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang. Pembimbing Bu Tutut Chusniah.
Kata Kunci: Pemimpin, Gender Pemimpin Perempuan, Gender Pemimpin Laki-laki
Isu gender semakin ramai dibicarakan, dimana terdapat perbedaan proporsi antara perempuan dan laki-laki dalam meniti karir di desa Ngadirejo. Dalam hal ini aspek yang paling berpengaruh adalah adat dan budaya yang masih kental di desa tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan gender dilihat dari segi kepemimpinan pada masyarakat Ngadirejo, Gunung Bromo.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif komparatif, populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Ngadirejo, Gunung Bromo yang berjumlah sekitar 200 Kepala Keluarga. Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik proporsional random sampling sebanyak 5 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan
wawancara terhadap ke-lima orang tersebut.
Hasil penelitian adalah (1) secara umum hukum adat masih berlaku kental pada masyarakat Ngadirejo yang menyebabkan kaum perempuan tidak pernah menempati posisi penting dalam masyarakat (2) kondisi lingkungan yang cukup ekstrem membuat perempuan dirasa tidak memungkinkan untuk menjadi salah satu pemangku adat (3) pendidikan yang kurang menyebabkan perempuan di desa Ngadirejo tidak berani melakukan emansipasi.
DAFTAR ISI
ABSTRAK...2
DAFTAR ISI...3
BAB I PENDAHULUAN...4
BAB II KAJIAN PUSTAKA...6
BAB III METODE PENELITIAN...12
BAB IV HASIL...14
BAB V PEMBAHASAN...15
BAB VI PENUTUP...16
LAPORAN VERBATIM...17
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu gender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan, gender sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin” dimana diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Secara biologis perempuan berbeda dengan laki-laki, tetapi dari segi hak dan kewajiban sebagai manusia adalah sama. Keberadaan perempuan bukan sekedar pelengkap bagi laki-laki, melainkan mitra sejajar dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat domestik seperti rumah tangga maupun publik. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah perempuan merupakan bagian integral dari masyarakat namun demikian, kenyataan yang terjadi di masyarakat seringkali tidak sesuai dengan pernyataan tersebut, dimana masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian para ahli yang menelusuri kemajuan kaum perempuan melalui lembaga-lembaga Skandinavia yang telah mencermati keterwakilan perempuan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa, sementara kaum perempuan tetap kelompok minoritas, terdapat dua bentuk umum bagi posisi mereka sebagai wakil. Pertama, terdapat pola yang tetap, yaitu semakin ke atas seseorang melihat hierarki pengambilan keputusan, semakin berkurang jumlah wakil perempuannya. Kedua, pembagian pekerjaan secara fungsional antara wakil-wakil perempuan dan wakil-wakil laki-laki ada dalam banyak sistem (dalam Maftuchah, 2008).
Kaum perempuan cenderung menspesialisasikan diri dalam bidang-bidang kebijakan yang “lembek” dan kurang prestisius seperti kesehatan, masalah-masalah budaya, pendidikan dan kesejahteraan sosial, sementara laki-laki mendominasi bidang-bidang manajemen ekonomi, masalah luar negeri yang secara tradisional lebih prestisius (Karnoven & Selle 1995, Beregqvist dkk, 1999). Selain itu terdapat wacana dan
sedangkan perepuan lebih sensitif dan emosional, karena tugas pemimpin itu demikian beratnya dan karena akal atau pengetahuan perempuan rendah serta fisik yang lemah sehingga dimungkinkan perempuan tidak akan mampu memikul tanggung jawab baik sebagai pejabat eksekutif (kepala negara, khalifah), pejabat legislatif (parlemen,
menteri), maupun pejabat yudikatif (hakim, qodhi dan lain-lain). Perempuan hanya dapat berperan dalam tugas-tugas domestik, sedangkan tugas sosial dan politik hanya
merupakan bagian dari tanggung jawab kaum laki-laki (dalam Maftuchah, 2008).
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul “Pemimpin dilihat dari Sampel Gender pada
Masyarakat Ngadirejo, Gunung Bromo”. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah:
1. Bagaimana pemimpin dengan sampel gender perempuan? 2. Bagaimana pemimpin dengan sampel gender laki-laki? 3. Bagimana kepemimpinan dilihat dari gender?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pemimpin
Secara etimologi pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalam terdapat dua pihak yaitu yang dipimpi (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambahkan awalan “pe” menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibaan kemonikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Apabila dilengkapi dengan awalan “ke” menjadi “kepemimpinan” (leadership) berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awak struktur dan pusat proses kelompok.
Modern Dictionary Of Sociology (1996) pemimpin (leader) adalah seseorang yang menempati peranan sentral atau posisi dominan dan pengaruh dalam kelompok (a person who occupies a central role or position of dominance and influence in a group)
C.N. Cooley dalam The Man Nature and the Social Order pemimpin itu selalu merupakan titik pusat dari suatu kecenderungan, dan sebaliknya, semua gerakan sosial, kalau diamat-amati secara cermat, akan ditemukan didalamnya
kecenderungan-kecenderungan yang mempunyai titik pusat.
Menurut J.I Brown dalam Psychology and the Social Order. Pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kealompok, tetapi dapat dipandang sebagai suatu posisi yang memiliki potensi yang tinggi di bidangnya.
Dan menurut Fairchild (1960) dalam Dictionary of Sociology and Related Sciences. Pemimpin dapat dibedakan dalam 2 arti:
a. Pemimpin dalam arti luas, seorang yang memimpin dengan cara mengambil inisiatif tingkah laku masyarakat secara mengarahkan, mengorganisir atau mengawasi usaha-usaha orang lain baik atas dasar prestasi, kekuasaan atau kedudukan.
b. Pemimpin arti sempit, seseorang yang memimpin dengan alat-alat yang meyakinkan, sehingga para pengikut menerimanya dengan suka rela.
Dari beberapa pandangan di atasaa dalam memaknai konsep pemimpin, maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan/atau sekelompok orang lain untuk bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditentukan.
B. Gender
Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki (Echols dan Shadily, 1983). Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women anda men). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa (Fakih, 2003). Makna kata ini sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Sifat ini bukan sifat bawaan akan tetapi sifat yang terbentuk karena pengaruh proses sosial dan kultural. Lanjut Fakih (2003), perbedaan gender yang telah lama ada berlangsung terus menerus, turun temurun dari generasi ke generasi seolah telah menjadi sifat dan ketentuan Allah SWT. Karena perempuan cenderung menganggap bahwa perbedaan tersebut adalah hal yang kodrati, maka mereka sering merasa kalah dari laki-laki. Di dunia kepemimpinan, meskipun perempuan memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki, akan tetapi mereka enggan tampil di depan, belum bisa menerima kelompoknya sendiri menjadi
pemimpinnya, lebih suka rutinitas dan cenderung menghindari tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Di mata kaum laki-laki, mereka masih sering dipertanyakan dan diragukan kepemimpinannya.
Gender menurut Handayani dan Sugiarti (2002: 6) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan
Heddy (dalam Handayani dan Sugiarti, 2002) menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini:
a. Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu
Gender berasal dari istilah asing gender yang maknanya tidak diketahui orang secara baik, maka sangat wajar jika istilah gender menimbulkan kecurigaan tertentu pada sebagian orang yang pernah mendengar istilah tersebut. Sering, orang berpandangan bahwa gender disamakan dengan seks sehingga menimbulkan pengertian yang keliru. Gender ini biasanya dikaitkan dengna pembagian atas dasar jenis kelamin, atau klasifikasi berdasarkan jenis kelamin.
b. Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya
Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan yang jelas. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Hal ini diakibatkan konstruksi sosial budaya yang membedakan peran atas dasar jenis kelamin. c. Gender sebagai suatu kesadaran sosial
Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial. Pembedaan seksual di masyarakat merupakan konstruk sosial. Dari sini, masyarakat mulai menyadari bahwa pembedaan tersebut adalah produk sejarah dan kontak masyarakat dengan komunitasnya. Manusia
kemudian menyadari bahwa ada banyak hal yang perlu diubah agar hidup ini menjadi lebih baik, harmonis, dan berkeadilan.
d. Gender sebagai persoalan sosial budaya
Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, di mata jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya. Untuk menghapus ketidakadilan gender tersebut, tidak akan berarti tanpa membongkar akar permasalahan yang ada, yaitu perbedaan atas dasar seks.
e. Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis
juga ideologis. Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuan dalam mempelajari gender sebuah fenomena budaya. f. Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan
Penelitian yang dilakukan dengan perspektif gender akan menonjolkan aspek
kesetaraan dan kadang-kadang menjadi bias perempuan, karena kenyataan menuntut demikian.
C. Gender Pemimpin
Gender terdiri dari dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan jadi gender
pemimpin adalah seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki wewenang dan hak untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai suatu tujuan di suatu lembaga atau organisasi.
Hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang pemimpin perempuan dan laki-laki dari berbagai peneliti di dalam dan di luar negeri yang dijadikan acuan dan dasar pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Hasil penelitian dari sekelompok perempuan yang tergabung dalam The Asian Pacific American Women’s Leadership Institute (APAWLI) menyatakan bahwa cara-cara penting perempuan dalam memimpin adalah: cara-cara inklusif, kolaborasi, membangun konsensus, yang didasarkan pada prinsip-prinsip, hubungan dan
pelayanan etis. Dimensi-dimensi dari cara memimpin tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pengontrolan diri: pengontrolan diri merupakan dimensi aktual untuk semua
pemimpin dalam berbagai sektor. Terhadap kecenderungan dipolitisir maupun mempolitisir orang lain, pengontrolan diri adalah rambu yang arif. Melalui pengontrolan diri terbuka horizon untuk membaca situasi dengan bebas atau tidak terikat pada kepentingan temporer diri sendiri. Pengontrolan diri akan membuat pemimpin mempertimbangkan semua misi terhadap hasil yang instan.
2. Visi: daya yang dimiliki karena kompleksitas pengalaman dan perkembangan budi seseorang. Menciptakan inovasi baru untuk memperlihatkan berperannya dimensi-dimensi yang dianggap dan dilakukan perempuan sebagai bagian dari kepemimpinannya.
3. Belas kasih: belas kasih (compassionate) diperlukan dalam setiap kepemimpinan, khususnya untuk yang takut melakukan tidakan nyata. Hal ini diperlukan
4. Empati: empati adalah pengembangan dari sensitifitas, yakni untuk mengambil beban orang yang dipimpin dan dalam suasana itu memikirkan jalan keluar dengan tidak menjadikan kesulitan orang yang dipimpin sebagai alasan menjadikannya obyek atau orang yang terikat dalam ketergantungan dengan pemimpin.
5. Kemampuan komunikasi: kemampuan ini dipelajari dari pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman berkomunikasi dari kebanyakan orang yang bukan memimpin tidak berarti lebih rendah kualitasnya dengan kelompok dominan ini. Variasi bentuk komunikasi dapat bermanfaat untuk dipilih dalam konteks yang khusus.
6. Fondasi spiritual: spiritualitas adalah daya yang untuk memaknai berbagai proses dalam kehidupan dengan sudut pandang etis dan kreatif bahkan etiologis sehingga muncul berbagai kemampuan termasuk kemampuan bertahan (survive) maupun menjadi agen perubahan.
7. Keterbukaan menerima resiko: keterbukaan menerima resiko ini bagian komitmen untuk menerima diri sebagaimana adanya (termasuk yang dapat melakukan kekeliruan maupun kesalahan) dan menerima kecenderungan tantangan yang berubah menjadi ancaman. Pemimpin yang terbuka menerima resiko adalah yang konsisten terhadap komitmen maupun integritas dirinya. b. Hasil penelitian Judi Rosener “Ways Women Lead”, yang dikutip Matusak (1998),
terungkap bahwa:
“Laki-laki pada umumnya menguraikan diri mereka dalam cara-cara yang berkarakter kepemimpinan transaksional. Mereka melihat pekerjaan mereka sebagai rangkaian transaksi dengan para bawahan dimana penghargaan ditukar untuk jasa. Mereka lebih mungkin dibanding perempuan-perempuan untuk mengunakan tenaga yang datang dari posisi organisasi dan kewenangan formal. Perempuan pada umumnya berkarakter kepemimpinan transformasional. Mereka menggunakan tenaga dan informasi, mendorong berpartisipasi, sebagian orang menganggap dirinya berharga dan dapat menarik tentang kerja mereka. Setiap orang bekerja dengan mendorong mereka untuk berkonstribusi dalam pekerjaan dengan mementingkan perasaan yang kuat” (dalam Kreitner, 2005)
Sedangkan pemimpin laki-laki lebih cenderung ke arah kepemimpinan tendency. Dengan cara ini mereka lebih terarah untuk tetap terjaga dan berkelakuan secara asertif. Jika keadaan ini terjadi, maka mereka lebih banyak menggunakan otoritas dari segi tradisional dengan kecenderungan memberi arahan dan nasehat yang lebih banyak. Kajian yang dijalankan oleh Sharpe (2000) mendapati bahwa
perempuan selalu lebih mementingkan hubungan interpersonal, komunikasi, motivasi pekerja, berorientasi tugas, dan bersikap lebih demokratis dibandingkan dengan laki-laki yang lebih mementingkan aspek perancangan strategik dan analisa.
d. Penelitian yang dilakukan oleh Krotz (dalam Rozy, 2009), dalam penelitian ini memperoleh hasil bahwa kepemimpinan perempuan diyakini lebih efektif dibanding kepemimpinan laki-laki. Karena perempuan memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengna laki-laki, keunggulan tersebut diantaranya adalah: 1. Perempuan lebih cepat memotivasi kelompok dan bawahannya. 2. Perempuan lebih terbuka dan lebih dapat menerima masukan 3. Perempuan lebih cepat tanggap terhadap bawahannya.
4. Perempuan lebih memiliki toleransi, sehingga lebih mudah mengantisipasi adanya perbedaan.
5. Perempuan lebih cepat mengidentifikasi masalah dan akurat dalam penyelesaiannya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam usaha meneliti pemimpin dilihat dari gender pada masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rancangan penelitian deskriptif dan komparatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian (Suryabrata, 2002). Sedangkan penelitian komparatif adalah penelitian yang akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, ide-ide, kritik, kelompok. Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan pandangan orang, grup, atau negara, terhadap kasus, orang, peristiwa ataupun ide-ide (Arikunto, 2006)
Rancangan penelitian deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan bentuk kepemimpinan masyarakat. Penelitian komparatif digunakan untuk mengatahui ada tidaknya perbedaan terhadap pemimpin laki-laki dan pemimpin perempuan.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Pada suatu penelitian perlu ditetapkan sejumlah populasi sebagai objek penelitian yang akan menjadi sumber data. (Sugiyono, 2007) menyatakan bahwa populasi yaitu keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala nilai test/peristiwa-peristiwa sebagai sumber daya yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian.
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa populasi adalah komunitas individu yang dijadikan sebagai objek atau sasaran penelitian guna memperoleh keterangan mengenai karakteristik tertentu sebagaimana tujuan
penelitiannya. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Ngadirejo yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Masyarakat Ngadirejo
Sampel merupakan sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2006). Penelitian ini tidak dikenakan kepada seluruh populasi tetapi hanya sejumlah anggota populasi.
Pengambilan sampel dalam penelitian harus representatif yaitu dapat
menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya (Arikunto, 2006). Sampel terdiri lima orang, yaitu laki-laki sebanyak 3 orang dan perempuan sebanyak 2 orang. C. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data yang diperlukan dan relevan serta akan memberikan gambaran dari aspek yang diteliti (Arikunto, 2006). Adapun pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mencari informasi dan melakukan survey lapangan di desa Ngadirejo
2. Membuat surat permohonan ijin penelitian di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
3. Menyerahkan surat penelitian kepadan pemimpin dan bagian kesekretariatan desa Ngadirejo
4. Penentuan tanggal dan hari pengambilan data untuk menentukan tanggal dan hari pengambilan data, peneliti bekerja sama dengan Kepala Desa Ngadirejo
BAB IV HASIL
A. Analisis Deskriptif
Penelitian ini dilakukan di desa Ngadirejo, Gunung Bromo, penelitian dilaksanakan pada tanggal 18-19 Mei 2013. Berikut hasil yang dapat diuraikan berdasarkan dari penelitian yang telah dilaksanakan dengan pengumpulan data menggunakan wawancara.
1. Deskripsi Pemimpin dengan Sampel Gender Perempuan
Dalam penelitian ini subjek yang digunakan untuk sampel adalah masyarakat Ngadirejo dengan gender perempuan berjumlah 2 orang. Dari hasil wawancara menyebutkan bahwa perempuan di desa tersebut tidak pernah ada yang mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Mereka menyebutkan bahwa perempuan tugasnya hanya berladang, memasak, dan merawat anak. Mereka menganggap bahwa posisi Kepala Desa tanggung jawabnya besar sehingga mereka tidak berani mencalonkan diri. Ditambah lagi lingkunganb yang cukup ekstrim membuat perempuan berpendapat mereka tidak bisa menjadi kawur adat karena jarak antara rumah yang cukup
berjauhan dan medan yang menanjak. Bagi mereka pekerjaan itu hanya cocok untuk laki-laki karena kondisi fisik laki-laki yang lebih kuat daripada perempuan.
2. Deskripsi Pemimpin dengan Sampel Gender Laki-laki
Dalam penelitian ini subjek yang digunakan untuk sampel adalah masyarakat Ngadirejo dengan gender laki-laki berjumlah 3 orang. Dari hasil wawancara
BAB V PEMBAHASAN
A. Deskripsi Pemimpin dengan Sampel Gender Perempuan
Dari hasil penelitian terhadap masyarakat Ngadirejo dengan sampel gender perempuan sebanyak 2 orang memiliki pendapat bahwa mereka tidak pantas
menempati kedudukan yang penting di desa. Bagi mereka tugas mereka hanya berada di rumah memasak dan merawat anak. Mereka tidak pernah keluar jauh dari desa tanpa adanya pihak laki-laki dari keluarga. Mereka tidak memiliki kepercayaan diri untuk menempati kedudukan yang penting di desa karena adanya hukum adat, pendidikan mereka yang kurang dan lingkungan yang ekstrim.
B. Deskripsi Pemimpin dengan Sampel Gender Laki-laki
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Secara umum kedudukan yang penting di desa Ngadirejo dipegang oleh gender laki-laki.
2. Secara umum gender perempuan tidak berani membantah hukum adat dan memiliki persepsi yang salah terhadap diri mereka sendiri.
B. Saran
1. Hendaknya masyarakat mulai membuka pikiran terhadap kemajuan jaman terhadap emansipasi wanita,
2. Hendaknya masyarakat menjalankan wajib belajar 9 tahun,
LAPORAN VERBATIM Nama iter :Tri Yuni Susanti
Nama itee : KB
Tanggal : 18 Mei 2013
Informasi mengenai itee : KB laki-laki berusia 40 tahun, anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya sudah berkeluarga semua. KB memiliki dua orang anak perempuan. Istri KB tidak bekerja hanya membantu di rumah dan di ladang. KB merupakan lulusan salah satu universitas swasta di Malang.
Hasil wawancara : KB berpendapat bahwa perempuan mungkin bisa memiliki kedudukan yang penting di desa apabila perempuan mampu dan mau menempuh pendidikan yang tinggi. Sebenarnya perempuan di desa memiliki kemampuan tetapi sayang dari orang tua mereka kaum perempuan diharuskan untuk membantu di dapur dan di ladang karena kodrat mereka memang akan seperti itu.
Nama iter :Tri Yuni Susanti
Nama itee : UT
Tanggal : 18-19 Mei 2013
informasi mengenai itee: UT perempuan berusia 21 tahun belum menikah, memiliki satu saudara laki-laki.
Hasil wawancara: UT berpendapat bahwa kedudukan yang penting di desa mempunyai tanggung jawab yang besar sehingga dia tidak berani untuk mengajukan diri menempati kedudukan tersebut. Baginya kodratnya adalah berada di dapur dan membantu mengurus anak. Terkadang kalau perlu membantu suami mencari nafkah.
Nama iter :Tri Yuni Susanti
Nama itee : MN
Tanggal : 18-19 Mei 2013
Informasi mengenai itee: MN perempuan berusia 32 tahun, sudah menikah dan memiliki satu anak laki-laki berusia 21 tahun.
Nama iter :Tri Yuni Susanti
Nama itee : SY
Tanggal : 19 Mei 2013
Informasi mengenai itee: SY laki-laki berusia 35 tahun memiliki 2 orang anak perempuan dan laki-laki yang masih sekolah di bangku SD.
Hasil wawancara: SY berpendapat bahwa kaum saya lebih pantas menduduki kedudukan penting di masyarakat karena mereka mempunyai pengetahuan yang lebih baik daripada perempuan. Mereka juga mempunyai kekuatan fisik yang bisa menaklukkan kekuatan alam.
Nama iter :Tri Yuni Susanti
Nama itee : TP
Tanggal : 18 Mei 2013
Informasi mengenai itee: TP laki-laki berusia 34 tahun memiliki satu orang anak laki-laki. Hasil wawancara: TP berpendapat bahwa tugas perempuan itu di dapur dan mengurus anak. Jadi tidak perlu mereka repot-repot menempati kedudukan penting di desa. Biar saja
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Satu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta.
Fakih, Mansour, dkk. 2003. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan. Yogyakarta: Insist Press.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press.
Karnoven, L & Selle, P. (eds) 1995. Women In Nordic Politics: Closing the Gap. Hants: Dartmouth.
Maftuchah, Farichatul. 2008. Reposisi Perempuan Dalam Kepemimpinan. Jurnal Studi Gender Dan Anak, (online) vol. 3, no. 2, Jul-Des 2008, 227-238
http://yiyangstain.files.wordpress.com/2009/01/05-farichatul-posisi-perempuan-dalam-kepemimpinan.pdf, diakses 20 Mei 2013
Muhammad, Husein. 2004. Islam Agama Rumah Perempuan: Pembelaan Kyai Pesantren. Yogyakarta: LKIS.
Schermerhorn, John R., Jr. 1999. Management. New York: John Wiley & Sons, Inc. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.