• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Metode Dan Metodologi Menurut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengertian Metode Dan Metodologi Menurut"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

Pengertian Metode Dan Metodologi Menurut Para Ahli

-

Metode

berasal dari

kata "

methodos

" yang terdiri dari kata "

metha

" yaitu melewati, menempuh atau

melalui dan kata "

hodos

" yang berarti cara atau jalan. Metode artinya cara atau

jalan yang akan dilalui atau ditempuh. Sedangkan menurut istilah metode ialah

cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah

tujuan.

Metodologi

secara bahasa berasal dari bahasa yunani yaitu "

methodos

"

dan "

logos

". Kata "

logos

" berarti ilmu atau bersifat yang ilmiah. Jadi metodologi

adalah ilmu atau cara yang digunakan untuk memperoleh suatu kebenaran

dengan menggunakan penelusuran dengan urutan atau tatacara tertentu sesuai

dengan apa yang akan dikaji atau diteliti secara ilmiah. Ada dua hal penting

dalam metode yaitu cara dalam melakukan sesuatu dan sebuah rencana dalam

pelaksanaannya. Adapun fungsinya sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan.

Kita akan fokuskan pembahasan kali ini secara tuntas mengenai pengertian dan

definisi metode menurut para ahli. Adapun pengertiannya antara lain :

1.

Menurut KBBI

, metode adalah cara kerja yang mempunyai sistem dalam

memudahkan pelaksanaan dari suatu kegiatan untuk mencapai sebuah tujuan

tertentu.

2.

Drs.Agus M

. Hardjana mengemukakan metode ialah cara yang telah

dipikirkan secara matang yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah

tertentu demi tercapainya sebuah tujuan.

3.

Titus

, mengatakan bahwa metode ialah serangkaian cara dan

langkah-langkah yang tertib untuk menegaskan suatu bidang keilmuan.

(2)

5.

Rothwell dan Kazanas

. Menurut mereka metode merupakan cara, proses

atau pendekatan untuk menyampaikan sebuah informasi.

6.

Hebert Bisno

menjelaskan, metode ialah suatu teknik yang

digeneralisasikan dengan baik dan benar agar bisa diterima ataupun digunakan

dalam satu disiplin ilmu ataupun bidang disiplin dan praktek.

7.

Macquarie

. Metode merupakan suatu cara dalam melakukan sesuatu

terutama suatu hal yang berkaitan dengan rencana tertentu.

8.

Rosdy Ruslan

mengemukakan metode sebagai kegiatan ilmiah yang

berhubungan dengan cara kerja dalam memahami suatu subjek maupun objek

penelitian dalam upaya menemukan suatu jawaban secara ilmiah dan

keabsahannya dari sesuatu yang diteliti.

9.

Wiradi

. Metode merupakan seperangkat langkah dari apa yang harus

dikerjakan secara tersusun dan sistematis.

10.

Ostle

. Menurutnya metode ialah suatu pengajaran terhadap sesuatu

dalam memperoleh sesuatu yang interelasi.

11.

Departemen Sosial RI

menjelaskan bahwa metode merupakan suatu

cara teratur yang digunakan dalam menjalankan suatu pekerjaan untuk

mencapai hasil yang diinginkan.

12.

Max Siporin

, metode ialah suatu orientasi kegiatan yang mengarah pada

persyaratan tujuan dan tugas yang nyata.

13.

Pasaribu Simanjuntak

menjelaskan bahwa metode merupakan suatu

cara sistematik yang digunakan demi tercapainya sebuah tujuan.

14.

Hamid Darmadi

mengemukakan metode sebagai jalan atau cara yang

harus dilewati dalam mencapai sebuah tujuan.

15.

Heri Rahyubi.

Menurutnya metode merupakan suatu model cara yang

bisa dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar demi tercapainya suatu proses

pembelajaran yang baik.

(3)

Metodologi dan metode, hanya beda tipis sepertinya. Ketika

dicari perbedaannya, pasti mudah, karena dari kata saja

sudah berbeda. Namun masih banyak yang

mencampuradukkan keduanya. Di buku-buku penelitian,

keduanya masih sering digunakan secara asal. Lalu apa sih

sebenarnya perbedaan metodologi dan metode penelitian?

Pernah membaca buku-buku penelitian? Buat yang sedang skripsi

atau mengerjakan tesis, pasti sudah menjadi santapan sehari-hari.

Paling tidak, pasti sudah pernah menyaksikan buku-buku penelitian

di toko buku. Betul?

Pada cover buku penelitian, kita sering menyaksikan tulisan

“Metodologi Penelitian Kualitatif”, “Metode Analisis Data

Kuantitatif”, “Metode Survey”, “Metodologi Sampling Kuantitatif”,

“Metode Kualitatif Sosial” dan sejenisnya. Mana diantara judul

bukku tersebut yang tepat dan yang belum benar? Sebelum

menjawab pertanyaan tersebut, kita lanjutkan dulu

pembahasannya.

Di rudicahyo.com, aku belom pernah membahas tentang penelitian.

Padahal aku mengajar Penelitian Kualitatif. Karena itu, aku akan

membuat beberapa posting yang membahas tentang penelitian,

terutama penelitian kualitatif. Nah, kita awali dari pembahasan

yang ringan. Tapi tetap penting loh hehehe.

(4)

Metodologi jelas terdiri dari dua kata, method dan logos, yang

artinya ilmu tentang metode. Berbeda dengan metode yang hanya

terdiri dari satu kata, method, yang artinye metode atau cara.

Methodology didefinisian sebagai “a set of system of method,

principles and rules of regulating a given discipline”

(

dictionary.com/methodology

). Sedangkan method artinya: “a

procedure, technique, or way of doing somethings, especially in

accordance with a definite plan” (

dictionary.com/method

).

Metodologi lebih bersifat general. Metodologi adalah sistem

panduan untuk memecahkan persoalan, dengan komponen

(5)

Metodologi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Metodologi berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan ""logos, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. logos artinya ilmu.

Metodologi adalah ilmu-ilmu/cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji.

Ilmu terdiri atas empat prinsip: 1. keteraturan (orde)

2. sebab-musabab (determinisme)

3. kesederhanaan (parsimoni)

4. pengalaman yang dapat diamati (empirisme)

Dengan prinsip-prinsip yang demikian maka ada banyak jalan untuk menemukan kebenaran. Metodologi adalah tata cara yang menentukan proses penelusuran apa yang akan digunakan. Metodologi penelitian adalah tata cara yang lebih terperinci mengenai tahap-tahap melakukan sebuah penelitian.

Artikel bertopik ilmu pengetahuan ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Kategori:

(6)

Tuesday, April 30, 2013

PENGERTIAN METODE DAN METODOLOGI PENELITIAN

PENGERTIAN METODE

Metode (method), secara harfiah berarti cara. Selain itu metode atau metodik berasal dari bahasa Greeka, metha, (melalui atau melewati), dan hodos (jalan atau cara), jadi metode bisa berarti jalan atau cara yang harus di lalui untuk mencapai tujuan tertentu.

Secara umum atau luas metode atau metodik berarti ilmu tentang jalan yang dilalui untuk mengajar kepada anak didik supaya dapat tercapai tujuan belajar dan mengajar. Prof. Dr.Winarno Surachmad (1961), mengatakan bahwa metode mengajar adalah cara-cara pelaksanaan dari pada murid-murid di sekolah.Pasaribu dan simanjutak (1982), mengatakan bahwa metode adalah cara sistematik yang digunakan untuk mencapai tujuan.

Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Kemudian ada satu istilah lain yang erat kaitannya dengan dua istilah ini, yakni tekhnik yaitu cara yang spesifik dalam memecahkan masalah tertentu yang ditemukan dalam melaksanakan prosedur.

(7)

PENGERTIAN METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu. Metodologi juga merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara atau metode. Penelitian merupak an suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. Hakekat penelitian dapat dipahami dengan mempelajari berbagai aspek yang mendorong penelitian untuk melakukan penelitian. Setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda, di antaranya dipengaruhi oleh tujuan dan profesi masing-masing. Motivasi dan tujuan penelitian secara umum pada dasarnya adalah sama, yaitu bahwa penelitian merupakan refleksi dari keinginan manusia yang selalu berusaha untuk mengetahui sesuatu. Keinginan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan merupakan kebutuhan dasar manusia yang umumnya menjadi motivasi untuk melakukan penelitian.

Adapun tujuan Penelitian adalah penemuan, pembuktian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

1. Penemuan. Data yang diperoleh dari penelitian merupakan data-data yang baru yang belum pernah diketahui.

2. Pembuktian. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk membuktikan adanya keraguan terhadap informasi atau pengetahuan tertentu.

3. Pengembangan. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan yang telah ada.

Kegunaan penelitian dapat dipergunakan untuk memahami masalah, memecahkan masalah, dan mengantisipasi masalah.

1. Memahami masalah. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk memperjelas suatu masalah atau informasi yang tidak diketahui dan selanjutnya diketahui.

2. Memecahkan masalah. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk meminimalkan atau menghilangkan masalah.

3. Mengantisipasi masalah. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk mengupayakan agar masalah tersebut tidak terjadi.

(8)

Jenis Data dalam Penelitian

Langkah Dalam Metode Ilmiah

Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode ilmiah harus mengikuti langkah-langkah tertentu. Marilah lebih dahulu ditinjau langkah-langkah yang diambil oleh beberapa ahli dalam mereka melaksanakan penelitian.

Schluter (1926) memberikan 15 langkah dalam melaksanakan penelitian dengan metode ilmiah. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan bidang, topik atau judul penelitian.

(9)

3. Membangun sebuah bibliografi.

4. Memformulasikan dan mendefinisikan masalah.

5. Membeda-bedakan dan membuat out-line dari unsur-unsur permasalahan.

6. Mengklasifikasikan unsur-unsur dalam masalah menurut hu-bungannya dengan data atau bukti, baik langsung ataupun tidak langsung.

7. Menentukan data atau bukti mana yang dikehendaki sesuai dengan pokok-pokok dasar dalam masalah.

8. Menentukan apakah data atau bukti yang dipertukan tersedia atau tidak.

9. Menguji untuk diketahui apakah masalah dapat dipecahkan atau tidak.

10. Mengumpulkan data dan keterangan yang diperlukan.

11. Mengatur data secara sistematis untuk dianalisa.

12. Menganalisa data dan bukti yang diperoleh untuk membuat interpretasi.

13. Mengatur data untuk persentase dan penampilan.

14. Menggunakan citasi, referensi dan footnote (catatan kaki).

15. Menulis laporan penelitian.

SUMBER

http://ribhy.ini-aja.com/just/bahasa-indonesia-just/metodologi-penelitian/

http://www.google.com/imgres?imgurl=http://mathematica.aurino.com/wp-content/uploads/2010/04/041710_1819_RUANGLINGKU1.png&imgrefurl=http://mathematica.aurino.co m/%3Fp

%3D570&usg=__SPzne32hh7P47QIXmu4Fb8u7AaM=&h=343&w=580&sz=8&hl=en&start=9&sig2=RhbW _s7zbre5LGrrDqclpA&zoom=1&tbnid=TH9rRut5OrX39M:&tbnh=79&tbnw=134&ei=EfF_UeOJN8mKrQek 1IGQDw&prev=/search%3Fq%3Dproses%2Bpenelitian%26um%3D1%26hl%3Den%26tbm

%3Disch&um=1&itbs=1&sa=X&ved=0CDwQrQMwCA

(10)

Posted by Rina ws at 10:10 AM Email This BlogThis!

HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM

Oleh : Muhammad Aiz,SH,MH

Pertemuan II

Pengantar Islamic Studies (Kajian Islam)

(11)

Islam sebagai ajaran menjadi topik yang menarik dikaji, baik oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun sarjana-sarjana barat, mulai tradisi orientalis sampai dengan Islamolog (ahli pengkaji keislaman).

Pendekatan yang dikaji di sini merupakan pendekatan yang telah digunakan oleh para orientalis sebagai outsider (pengkaji dari luar penganut Islam) dan insider(pengkaji dari kalangan muslim sendiri). Pada tahap awal, kajian keislaman dikalangan

intelektual muslim lebih mengutamakan pola transmisi, sementara kajian keislaman orientalis lebih mengedepankan kajian kritis atas ajaran, masyarakat, dan institusi yang ada di dunia Islam.

Kajian keislaman lebih merupakan usaha kritis terhadap teks, sejarah, doktrin, pemikiran dan institusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu yang secara popular di kalangan akademik dianggap ilmiah. Menurut Jacques Waardenburg dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies dikatakan bahwa Studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan

masyarakat muslim. Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif pemeluk Islam pada umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif. Dalam hal ini, Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk komunitas dan budaya, dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan. Dengan demikian, Islamic Studies menjadi kajian kritis dan menggunakan analisis yang bebas

sebagaimana berlaku dalam tradisi ilmiah tanpa beban teologis atas ajaran dan fenomena keagamaan yang dikajinya.

Sayyed Hossen Nasr mengatakan dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies: Essays on Law and Society, the Sciences, and Philosophy and Sufism :

Islam bukan hanya sekedar sebuah agama dalam pengertian yang biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial politik, pandangan keduniaan, dan pandangan hidup, yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan spiritual manusia. Islam lebih jauh lagi merupakan sebuah tradisi yang walaupun esensinya bersifat tunggal, meliputi berbagai pengertian dan derajat pelaksanaan.”

(12)

Sejarah Tradisi Kajian Islam

Pendidikan Islam pada zaman permulaan Islam dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir). Madrasah Mekkah dipelopori oleh Muadz bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud; madrasah Damaskus dipelopori oleh Ubadah dan Abu Darda; sedangkan madrasah Fistat dipelopori oleh Abdullah bin Amr bin ‘Ash.

Tradisi kajian keislaman ala barat berakar pada sejarah yang sangat panjang, paling tidak sejauh hubungan Kristen dengan Islam. Tidak bisa dielakan bahwa sebab utama dari pertumbuhan kajian keislaman itu adalah alasan teologis untuk

menunjukan dan mempertahankan keabsahan ajaran Kristen, dibanding dengan Islam. Islamic studies (kajian Islam) mulai berkembang pada abad ke-19 sebagai bagian dari kajian masalah ketimuran. Berdasarkan perkembangan kajian keislaman ala barat dapat diidentifikasikan ke dalam 3 tahap : (1) tahap teologis, (2) tahap politis, (3) tahap scientific).

Kemunculan kajian keislaman dalam tradisi barat dimulai dari kalangan gereja. Kajian keislaman oleh St.John memperlihatkan sikap teologisnya sebagai seorang Kristen yang menganggap Islam sebagai ajaran murtad (Christian heresy),seperti tertulis dalam karyanya yang berjudul The Fount of Knowledge.

Tokoh Kristen lainnya yang mendalami kajian keislaman adalah Peter the

Venerable dan Robert of Ketton yang menerjemahkan teks-teks al-Qur’an, hadis, sejarah nabi dan manuskrip arab lainnya. Tokoh penting lainnya adalahSt.Thomas Aquinas yang mengklasifikasikan dalam ajaran kafir (unbelief).

Memasuki abad ke 12 telah terjadi sedikit perubahan dalam memperkenalkan kajian keislaman yang tidak lagi didominasi pandangan teologis namun pandangan atau dimensi lain. Pada abad ke-13 karya-karya pemikir Islam seperti filsuf Ibnu Sina telah banyak diterjemahkan dan menjadi rujukan dunia barat. Begitu pula pada abad berikutnya komentar-komentarIbnu Rusyd tentang pemikiran Aristoteles telah dijadikan rujukan kaum orientalis, bahka Ibnu Rusyd mendapat julukan “The

(13)

Ruang Lingkup Kajian Islam

Pembahasan kajian keislaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya, sehingga terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya. Secara material, ruang lingkup kajian keislaman dalam tradisi barat meliputi

pembahasan mengenai ajaran, doktrin, pemikiran,teks, sejarah dan institusi keislaman. Pada awalnya ketertarikan sarjana barat terhadap pemikiran Islam lebih karena

kebutuhan akan penguasaan daerah koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah negara-negara yang banyak didiami warga muslim, sehingga mau tidak mau mereka harus memahami tentang budaya local. Contoh kasus dapat dilihat pada perang Aceh, dimana Snouck Hurgronje telah mempelajari Islam terlebih dahulu sebelum diterjunkan di lokasi dengan asumsi ia telah memahami budaya dan peradaban masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam. Islam dipelajari oleh Hurgronje dari sisi landasan normatif maupun praktik bagi para pemeluknya, kemudian dibuatlah rekomendasi kepada para penguasa colonial untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.

Setelah mengalami keterpurukan, dunia Islam mulai bangkit melalui para pembaru yang telah tercerahkan. Dari kelompok ini munculah gagasan agar umat Islam mengejar ketertinggalannya dari dunia barat. Muhammad Abduh(1849-1905) pemikir dari Mesir, menghembuskan ide-ide pembaharuan di dunia Islam.

Pemikiran Abduh diilhami oleh pemikiran gurunya, Jamaludin al-Afghani (1838-1897) seorang pemikir di bidang politik. Namun dalam skala global sebenarnya pemikiran para pembaharu Mesir diawali oleh pemikir besar sebelumnya, yaitu Rifa’ah al-Thathawi (1801-1873).

Pusat Studi Islam Masa Kejayaan Islam Klasik

N

o Kota Lembaga Pendiri

1 Baghdad, Irak

1. Bait al Hikmah

2.Madrasah Nizhamiah

1. Al Amin (Bani Abbas)

(14)

2 Kairo, Mesir Universitas al-Azhar Fathimiyah (Syiah)

3 Cordova, Spanyol Universitas Cordova

Abd al-Rahman III (Bani Umayah)

Sumber :

Metodologi Studi Islam, Dr.Jamali Sahrodi, Pustaka Setia, Bandung 2008.

(15)

HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM

Oleh : Muhammad Aiz,SH,MH

Pertemuan III

(16)

Islam sebagai sebuah agama telah memberikan peran yang cukup signifikan, tidak hanya apa yang diajarkan Islam ke seluruh manusia tetapi juga terhadap proses kehidupan dari manusia itu sendiri. Kelompok manusia yang kerap disebut

masyarakat, menurut pendapat Emile Durkheim, seorang sosiolog dari Perancis dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :

1. Masyarakat mekanis (pra industri);

2. Masyrakat organis (modern).

Pada masyarakat mekanis, semua peran atau fungsi manusia diturunkan dari satu generasi kepada generasi lainnya dengan mengusahakan agar tidak terjadi perubahan yang drastis. Namun pada masyarakat organis, para manusianya tidak lagi hanya meneruskan sesuatu (perintah, larangan, hukum dan lain-lain) dari generasi

sebelumnya tanpa adanya tinjauan kritis. Pada masyarakat ini sikap inovatif menjadi suatu “hambatan” tersendiri bagi pemahaman agama yang

menurut Durkheim cenderung kepada sesuatu yang statis dan sulit untuk berubah.

Pembagian 2 kategori di atas, setidaknya mewakili pemahaman sempit dan kerdil dari para ilmuwan barat yang justru memandang Islam sebagai suatu agama yang lebih menghendaki adanya “status quo”. Mungkin pemahaman kerdil inilah yang menjadi salah satu alasan dari ungkapan Ernest Renan, 1862 :

“Islam merupakan pengingkaran total terhadap Eropa….. Islam merupakan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, penindasan terhadap civil society; Islam adalah bentuk kesederhanaan spirit bangsa Semit (Yahudi) yang mengerikan, membatasi pemikiran manusia, menutupnya terhadap ide-ide yang sulit, sentiment yang beradab, dan

penelitian rasional, untuk membuatnya tetap menghadapi sebuah tautology yang abadi : Tuhan adalah Tuhan”.

Hal senada diungkapkan pula oleh Lord Cromer dalam Modern Egypt :

(17)

dan tidak bisa diubah, sehingga tidak ada elastisitas terhadap sistem sosial. Islam mengizinkan perbudakan dan secara umum cenderung tidak toleran dengan agama lain. Islam tidak merangsang pengembangan kekuatan berfikir rasional. Dengan demikian kaum muslim tidak memiliki harapan untuk mengatur diri atau

memperbaharui mereka sendiri”.

Dua pendapat di atas sesungguhnya adalah sebuah “kenyataan” yang senantiasa diangkat oleh para masyarakat yang anti terhadap Islam. Sebagai muslim, wajib hukumnya bagi kita semua untuk dapat mematahkan anggapan tersebut, tentunya dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional maupun akademik.

Dalam konteks pembahasan peran atau fungsi, maka prinsip teori fungsional

menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi atau berperan akan lenyap dengan sendirinya. Dengan kata lain, setiap agama memiliki fungsi. Konsekuensinya, setiap yang tidak berfungsi atau berperan akan hilang atau sirna. Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.

Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan Tuhan dan larangan untuk melakukan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan meskipun keduanya sangat berbeda.

Dalam Surat al Ikhlas disebutkan tentang persoalan ketauhidan :

ö@è% uqèd ª!$# î‰ymr& ÇÊÈ ª!$# ߉yJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ô ‰s9qムÇÌÈ öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7‰ymr& ÇÍÈ

1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

(18)

3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Sedangkan berkaitan dengan persoalan larangan untuk syirik dapat ditemukan dalam surat Luqman ayat 13 :

øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ

13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,

Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Perintah mengesakan Tuhan mengandung arti bahwa manusia hanya boleh tunduk kepada Tuhan.Dan oleh karenanya manusia dijadikan khalifah di bumi dan seluruh alam ditundukan oleh Allah SWT untuk manusia sebagaimana tercantum dalam surat Ibrahim dan al Nahl sebagai berikut :

ª!$# “Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur tAt“Rr&ur šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr’sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%ø—Í‘ öNä3©9 ( t¤‚y™ur ãNä3s9 šù=àÿø9$# y“́ôftGÏ9 ’Îû ́óst7ø9$# ¾ÍńøBr’Î/ ( t¤‚y™ur ãNä3s9 t»yg÷RF{$# ÇÌËÈ t¤

‚y™ur ãNä3s9 }§ôJ¤±9$# tyJs)ø9$#ur Èû÷üt7ͬ!#yŠ ( t¤‚y™ur ãNä3s9 Ÿ@ø‹©9$# u‘$pk¨]9$#ur ÇÌÌÈ

(19)

33. dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.

t¤‚y™ur ãNà6s9 Ÿ@ø‹©9$# u‘$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàf‘Z9$#ur 7Nºt¤‚|¡ãB ÿ¾ÍńøBr’Î/ 3 cÎ) ’Îû šÏ9ºsŒž ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqè=É)÷ètƒ ÇÊËÈ

12. dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan

bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya).

Firman Allah SWT di atas menunjukan bahwa bumi, langit, laut, serta segala yang ada di bumi, langit serta laut telah ditundukan oleh Allah SWt untuk kepentingan manusia. Dengan demikian apabila manusia tunduk kepada alam, maka sesungguhnya manusia telah menyalahi fungsinya, yakni menyembah atau hanya tunduk kepada Allah SWT.

Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram tunduk kepada alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam; dan dari hukum alam ini ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan. Sebaliknya syirik berarti tunduk kepada alam sehingga akan berakibat lahirnya kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.

Jadi terdapat hubungan timbal balik antara tauhid dengan dorongan pengembangan ilmu pengetahuan dan juga adanya hubungan timbal balik antara syirik dengan

(20)

Menurut Nurcholis Majid ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaanNya sebagai manifestasi tau penyingkapan tabir akan rahasia Nya. Untuk kepentingan analisis, tanda-tanda atau rahasia Tuhan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :

1. Jagad raya. Untuk dapat menyingkap rahasia Allah SWT melalui tanda ini maka manusia harus menggunakan perangkat berupa ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi atau falak.

2. Manusia. Untuk dapat menyingkap rahasia melalui tanda ini maka manusia nya itu sendiri harus menguasai ilmu yang berkenaan dengan fisik, seperti ilmu biologi, dan kedokteran, serta psikis seperti ilmu psikologi.

3. Wahyu. Untuk menyingkap tabir rahasia melalui tanda ini, maka manusia

memunculkan ilmu-ilmu keagamaan seperti ‘ulum al Qur’an, ‘ulum al Hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam dan tasawuf.

Paradigma ini sekaligus merupakan jawaban terhadap anggapan dari para ilmuwan barat yang cenderung berasumsi bahwa Islam akan sulit diterima pada masyarakat modern (organis). Justru sesungguhnya Islam sangat berhubungan dengan segala aspek perubahan, dalam hal ini perkembangan ilmu pengetahuan. Beberapa contoh konkrit yang dapat dijadikan rujukan bahwa Islam, yang diwakili oleh para pemeluknya (muslim) telah lama bergaul erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

(21)

1. Ilmu matematika, yang dipelopori oleh al Khawarizmi dengan karyanya ilmu hitung dan aljabar. Nama al Khawarizmi di transfer dalam bahasa latin menjadi algorisme atau algoritme. Selain itu ada juga Umar al Khayam dan al Thusi yang pertama kali menciptakan serta memperkenalkan angka 0 sejak tahun 873 M dan baru

dipergunakan oleh dunia barat pada tahun 1202 M.

2. Astronomi, yang dipelopori oleh Umar al Khayam dan al Farazi. Kalender buatan Umar al Khayam diyakini lebih tepat dibanding dengan kalender buatan Gregorius.

3. Kimia, yang dipelopori oleh Jabir bin Hayyan dan zakaria al Razi yang sering disebut bangsa eropa dengan nama Gaber dan Rhazes.

4. Optik, yang dipelopori oleh Ibnu Haitsam yang mematahkan teori yang dikemukakan oleh Euklid dan Ptolomeus.

(22)

Sumber :

Metodologi Studi Islam, Dr.Jamali Sahrodi, Pustaka Setia, Bandung 2008.

Metodologi Studi Islam, Drs.Atang AH, MA dan DR.Jaih Mubarok, Rosda, Bandung 2000.

HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM

(23)

Pertemuan IV

ISLAM DAN KEBUDAYAAN

Perspektif sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa agama (Islam) merupakan bagian dari kebudayaan, khususnya kebudayaan Arab, sampai saat ini belum bisa dijawab secara proporsional oleh sebagian kaum terpelajar muslim

termasuk mahasiswa. Pandangan yang memposisikan kebudayaan sebagai rujukan dari agama (Islam) tentunya merupakan pandangan yang merendahkan keagungan dari agama (Islam) itu sendiri. Hal ini disebabkan karena kebudayaan pada akhirnya yang menentukan jalan atau aturan (hukum / syariat) dari agama (Islam). Oleh karenanya pemahaman yang komprehensif berkaitan dengan agama (Islam) dan kebudayaan harus dipahami secara utuh oleh setiap kaum terpelajar muslim yang pada akhirnya dapat menjelaskan posisi kedua persoalan tersebut.

Kebudayaan

Apakah agama (Islam) itu sebuah kebudayaan ?

(24)

kebudayaan.Pengertian kebudayaan di sini memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah menurut :

1. Pasurdi Suparlan : Kebudayaan adalah serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dimiliki manusia, dan yang digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakannya.

2. Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi : Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

3. Effat Sharqawi : Kebudayaan adalah apa yang kita rindukan (ideal) yang terefleksi dalam seni sastra, religi, dan moral, sedangkan peradaban adalah apa yang kita pergunakan (real) yang terefleksi dalam politik , ekonomi dan teknologi.

Dari dua pengertian awal tentang kebudayaan tersebut akan kita telaah lebih jauh pengertian kebudayaan yang telah diungkapkan oleh Selo Soemardjan dan

Soelaiman Soemardi. Kata “karya” mengandung pengertian perbuatan manusia dalam arti kebudayaan kebendaan yang diperlukan manusia untuk menguasai alam

sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Kata “rasa” meliputi jiwa manusia untuk mewujudkan segala kaidah dan nilai sosial yang diperlukan untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Agama, ideology,

kebatinan, dan kesenian yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya. Kata “cipta” mengandung arti kemampuan mental, dan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang hasilnya antara lain seperti filsafat dan ilmu pengetahuan.

Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa manusia memiliki 2 sisi kehidupan : sisi material dan sisi spiritual. Sisi material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atau yang berwujud materi. Sisi spiritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, dan karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan.

(25)

dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Adapun budaya sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinate (bagian) dari agama dan tidak pernah sebaliknya.

Harun Nasution berpendapat bahwa agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama adalah ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul-Nya. Ajaran dasar ini dimanifestasikan dalam bentuk kitab-kitab suci dan hadits mutawatir yang bersifat absolute, kekal dan tidak berubah. Kelompok kedua adalah penjelasan-penjelasan dari ajaran-ajaran dasar tersebut, baik mengenai arti maupun tata cara pelaksanaanya yang merupakan hasil pemikiran ahli agama dan tidak bersifat absolute serta dapat berubah.

Islam dan kebudayaan Pra Islam

Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa tatanan masyarakat Arab pra Islam cenderung merendahkan martabat perempuan, seperti status istri yang dapat diwariskan dan tidak adanya hak untuk memperoleh harta pusaka. Islam dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al Qur’an mengakomodir hukum yang

berkembang pada masyarakat Arab tersebut serta memberikan penawaran atau solusi cerdas atas persoalan yang merugikan masyarakat Arab itu sendiri. Dengan demikian pemahaman yang menyebutkan bahwa Islam merupakan budaya Timur Tengah (Arab) tidaklah tepat, karena justru Islam memberikan perubahan-perubahan nyata dari budaya Arab itu sendiri.

Relasi antara Islam dan kebudayaan *

(26)

tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kam menjadi susah “. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan

mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.

Ajaran-ajaran Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat

mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.

Arti dan Hakekat Kebudayaan

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.

Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan, kematian )

Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel.

(27)

meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).

Hubungan Islam dan Budaya

Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?

Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya

merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, sepertiPater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem

pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.

Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan

(28)

sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.

Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan

manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “

Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas,

merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.

Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal,

kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.

(29)

norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.

Sikap Islam terhadap Kebudayaan

Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan

membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.

Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.

Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :

Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.

Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia,

mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak

(30)

Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baasodalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.

Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi

Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut,

menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.

Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak

penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang

(31)

Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat

kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.

Dalam hal ini al KamalIbnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang

mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “

Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam

* Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Al Azhar, Fak. Studi Islam. Sumber :

Metodologi Studi Islam, Drs.Atang AH, MA dan DR.Jaih Mubarok, Rosda, Bandung 2000.

(32)
(33)

HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM

Oleh : Muhammad Aiz,SH,MH

Pertemuan V

ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Pendahuluan

(34)

tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat[1].

Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertamaagama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini

kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama.(2).

Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan

menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).

Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan

wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan

kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal (3).

(35)

Epistemologi Pribumisasi Islam

Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar

bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk

menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan (4).

Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil

bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.

Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi

keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut (5).

(36)

jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq yang mulia (6).

‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal.Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.

Dalam konteks inilah, ‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology) (7), yang

mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian. Otentisitas Islam Pribumi

Cuma permasalahanya apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan

internalisasi Islam pribumi sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai sebagai

pengejawantahan dari praktek bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.

(37)

mempunyai kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk

memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.

Demikianlah, akhirnya Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun pada akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun Kuntowijoyo[8] menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antara keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yang dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar,

melainkan semata-mata karena faktor kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi

memimbulkan kegoncangan sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya. Klaim-klaim yang dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanyanew paradigm masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan

mempunyai pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai

kapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam pandangan Mark R. Woodward [9] tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek keagamaan lainnya.

(38)

Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman(11) mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi ( 12). Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi keagamaan.

Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang

berbeda dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk

mengabsahkan kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu, sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam “ortodok”.(13).

Kemunculan literatur hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan

simbolisasi dalam evolusi tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan

menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk

menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad). Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.

(39)

untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku keagamaan dan sosial.

Karakter syari’at bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentral al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan “dari beban yang menyusahkan”.(15) Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa (javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa bentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong berkembangnya sufisme.

Penjelasan panjang tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikan di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis, padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat dengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan keabsahannya.

Dakwah dan Tradisi Lokal

Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.

(40)

apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi

Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.(16) Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).

Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.

Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat

(41)

Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek

esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.(17).

Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang lainnya.

Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa

Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,(18) sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami

perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.

(42)

Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari

perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik). (19).

Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.

Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupuntahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.

Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high

tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.

CATATAN AKHIR

1 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001, hal. 196

2 Ibid., hal. 195

(43)

4 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001), hal. 111

5 Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”,

dalamTashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003, hal

6 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 235

7 Khamami Zada dkk., Islam Pribumi … hal. 12 8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam … hal. 232-233

9 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS, 1999) hal. 90

10 Ibid., hl. 91

11 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 54 12 Lihat Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 43-64

13 Mark R. Woodward, Islam Jawa … hal. 91 14 Goldziher, Introduction to Islamic … hal. 45 15 Ibid., hal 55

16 Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002

17 Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002

18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam… hal 45

19 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid … hal. 110-111

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001)

Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002

(44)

Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)

Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003

Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalamTashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991) Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,(Yogyakarta : LKIS, 1999)

Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002

Sumber : “http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/14/islam-dan-kebudayaan- lokal/

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER GASAL

TAHUN AKADEMIK 2008-2009

METODOLOGI STUDI ISLAM

1. Jelaskan pendapat Emile Durkheim tentang masyarakat mekanis (pra industri) dan masyarakat mekanis (industri) dikaitkan dengan Islam !

2. Jelaskan hubungan Islam dengan kebudayaan !

3. Jelaskan tentang metode penelitian agama dan metode penelitian keagamaan ! 4. Jelaskan macam-macam mu’jizat serta berikan contohnya !

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER GASAL

(45)

METODOLOGI STUDI ISLAM

Jelaskan pendapat Emile Durkheim tentang masyarakat mekanis (pra industri) dan masyarakat mekanis (industri) dikaitkan dengan Islam !

Jelaskan hubungan Islam dengan kebudayaan !

Jelaskan tentang metode penelitian agama dan metode penelitian keagamaan !

Jelaskan macam-macam mu’jizat serta berikan contohnya !

HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM

Oleh : Muhammad Aiz,SH,MH

Pertemuan VI Penelitian Keagamaan

HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM

Oleh : Muhammad Aiz,SH,MH

Pertemuan VII Al Qur’an sebagai sumber agama islam

(46)
(47)

HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM

Oleh : Muhammad Aiz,SH,MH

Pertemuan IX

HADITS SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM

Hadits (bahasa arab: ثيدحلا) secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari NabiMuhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAWyang dijadikan ketetapan

ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur’an. Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri” (Hadits riwayat Bukhari)

SANAD

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga peranan luas permukaan akar dan jumlah unsur hara yang tersedia dalam media perakaran akan saling mengisi yang menghasilkan pertumbuhan tinggi bibit,

Analisis dampak lalu lintas (Andalalin) adalah kajian yang menilai efek – efek yang ditimbulkan akibat pengembangan tata guna lahan terhadap

Para pengunjung peziarah makam Ali Mas’ud ini juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dari golongan tingkat atas sampai yang ke tingkat bawah tanpa mengurangi

• Peserta didik secara berkelompok dibimbing oleh guru untuk menggabungkan contoh gerakan-gerakan yang sudah diperagakan dipertemuan sebelumnya menjadi satu

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian tersebut adalah: (1) Pengujian statistik

Taylor kebudayaan didefinisikan sebagai kompleksitas yang meliputi kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan) dan segala bentuk kehidupan yang diperoleh dari

Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari 3 bagian yang meliputi pembuatan pati talas, pembuatan gel lidah buaya kemudian dilanjutkan dengan pembuatan.. edible film

Bartlett`s test of Sphericity, merupakan uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel – variabel tidak berkorelasi