• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PANDANGAN A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PANDANGAN A"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN

Muhammad Zaky Sya’bani (15720013) Magister Pendidikan Bahasa Arab

Abstrak

Hemeneutika dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu tafsir yang tidak hanya menggarap urusan bagaimana proses memahami dan menafsirkan yang benar itu, tetapi lebih jauh hermeneutika juga menggarap asumsi-asumsi dasar dan kondisi serta kedudukan manusia dan segala faktor yang terlibat dalam proses penafsiran yang dimaksud (aspek ontologis dan aksiologis). Sedangkan untuk memahami kandungan al Quran kaum muslimin telah mempunyai ilmu tersendiri yang sudah mapan yaitu ilmu tafsir. Ilmu ini telah digunakan sebagai pembedah al Quran sejak masa awal Islam sampai sekarang. Hasil kajian pada masalah ini, menunjukkan bahwa penggunaan hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran haruslah hati-hati bahkan sebagian tokoh dengan tegas menolak hermeneutika al-Qur’an. Selain itu pula ilmu ini sebaiknya ditempatkan sebagai komplemen, bukannya sublemen dari ilmu tafsir.

Kata Kunci : Hermeneutika dan Tafsir

Pendahuluan

(2)

Dalam memahami kandungan al Quran kaum muslimin telah mempunyai ilmu tersendiri yang sudah mapan yaitu ilmu tafsir. Ilmu ini telah digunakan sebagai pembedah al Quran sejak masa awal Islam sampai sekarang. Dewasa ini muncul ilmu yang belum dikenal sebelumnya yaitu hermeneutika sebagai alat bantu untuk memahami al Quran. Penggunaan ilmu ini dalam blantika dunia tafsir adalah hal baru, sehingga menimbulkan polemik. Sebagian mendukung dan sebagian lagi menolaknya. Adanya perbedaan sikap dalam memandang ilmu ini disebabkan karena perbedaan persepsi mereka terhadap implementasinya.

Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya. Tulisan ini akan memaparkan sekitar polemik pada masalah tersebut.

Pembahasan

Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “Hermeneuo” yang berarti menafsirkan. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah satu dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia1. Hermeneutika secara ringkas biasa diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti2

Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, variabel pemahaman manusia itu sedikitnya melibatkan tiga unsur, yaitu author (pengarang), unsur teks dan unsur

reader (pembaca). Masing-masing unsur dalam proses pemahaman memiliki peran dan fungsinya sendiri, sehingga mengunggulkan peran salah satu unsur atau mengabaikan peran salah satu unsur lainnya hanya akan membawa kepada “kesewenang-wenangan dalam memahami”. Apabila variabel-variabel ini dimasukan ke dalam ranah pemahaman keagamaan, khususnya Islam, situasinya

1 Dalam Islam, nama Hermes sering diidentikkan dengan Nabi Idris, yang dikenal sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan dan mengetahui tulisan, teknologi, astrologi, dan lain-lain. Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, Cet I 2005. Hlm. 4

(3)

agak rumit dan kompleks. Bagi umat Islam, variabel teks berarti nash sya’i, variabel author berarti Allah dan variabel reader berarti umat Islam sendiri.3

Istilah Hermeneutika untuk pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles. Dia pernah menulis sebuah buku berjudul Peri Hermeneias yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan nama De Interpretatione yang dalam bahasa Inggrisnya berjudul On the Interpretation. Sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris, salah seorang filosof Islam al Faraby (w.339/950) telah menterjemahkan dan memberi komentar karya Aristoteles tersebut ke dalam bahasa Arab dengan judul fil ‘Ibarah.

Konsep hermeneutika yang digunakan Aristoteles masih sangat sederhana, tidak sama dengan konsep yang digunakan sekarang ini. Hermeneias yang dia kemukakan sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran dan membahas tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (isim), kata kerja (fi’il), kalimat (jumlah), ungkapan ( ta’bir) dan lain-lain yang terkait dengan bahasa. Ketika Aristoteles membicarakan hermenias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Topik yang dibahas oleh Aristoteles adalah mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu.

Dalam perkembangan berikutnya pengertian Hermeneutika beralih dari makna leksikal kepada makna istilah. Perkembangan ke arah ini dimulai oleh para teolog Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka. Mereka menggunakan ini bertujuan untuk mencari kebenaran dari kitab suci mereka yang sangat beragam. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiyah Bible itu bisa dianggap kalam Tuhan. Kitab Bible yang ada pada mereka sangat beragam antara karya yang satu dengan lainnya. Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan kalam Tuhan. Oleh karena itu para teolog Kristen memerlukan Hermeneutika. Ketika perkembangan Hermeneutika dalam tradisi Barat masih pada tahap ini maka ia

(4)

diposisikan sebagai bagian dari ilmu filologi. Oleh karenanya historiografi merupakan klien Hermeneutika yang paling setia.4

Memasuki abad ke 20, kajian hermeneutika semakin berkembang. F.D.E. Schleiermacher, filsuf yang kelak digelari Bapak Hermeneutika Modern, memperluas cangkupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan. Faktanya, sekarang berbagai disiplin ilmu menyadari arti pentingnya dan hermeneutika di zaman ini telah masuk ke bidang-bidang semisal agama (kitab suci), sastra, sejarah, hukum, dan filsafat

Hingga akhir abad ke 20, paling tidak hermeneutika dapat dipilah dalam tiga kategori; sebagai filasafat, sebagai kritik, dan sebagai teori. Sebagai filsafat, hermeneutika tumbuh menjadi satu aliran pemikiran yang menempati lahan-lahan strategis dalam diskursus filsafat. Ini diperkenalkan oleh Heidegger dalam istilah hermeneutika eksistensialis-ontologis. Sebagai kritik, hermenetika memberi reaksi keras terhadap berbagai asumsi idealis yang menolak pertimbagan ekstralinguistik sebagai faktor penentu konteks pikiran dan aksi. Ini dimotori oleh Habermas. Sebagai teori, hermeneutika berfokus pada problem di sekitar teori interpretasi; bagaimana menghasilkan interpretasi dan standarisasinya. Asumsinya adalah sebagai pembaca orang tidak punya akses pada pembuat teks karena perbedaan ruang dan waktu, sehingga diperlukan hermeneutika. Hasilnya berbagai macam teoripun bermunculan.

Pembagian yang lebih rinci dilakukan oleh Richard E. Palmer. Hermeneutika dibagi menjadi enam kategori; sebagai teori penafsiran kitab suci , sebagai metode fiologi, sebagai pemahaman linguistik, sebagai fondasi ilmu pengetahuan kemanusiaan, sebagai fonomena das sien dan pemahaman eksistensial dan sebagai sistem penafsiran.

(5)

Pertama, hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci. Di sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh agamawan. Pelopornya adalah J.C. Dannhauer. Di sini, bentuk hermeneutika bisa bermacam-macam dan bisa memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling bertolak belakang. Schleiermacher selanjutnya muncul dengan hermeneutika modern, yang berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi secara metodologis.

Kedua, hermeneutika sebagai metode filologi. Hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajia teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Kumculannya dipicu oleh semangat rasionalisme perpecahan. Tokohnya adalah Johan August Ernesti. Dalam perkembanganya ia diklaim sebagai corak sekuler oleh kalangan gereja, sebab menyuguhkan metode kritik sejarah dalam mencermati persoalan teologi. Meski demikian, metode pengkajian Injil tidak bisa melepaskan diri dari metode riset filologi.

Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Dari kapasitasnya sebagai metode filologi, hermeneutika melangkah menjadi sebuah ilmu linguistik. Hermeneutika difungsikan untuk memahami berdasarkan teori-teori linguistik. Di sini hermeneutika menjadi landasan bagi segala interpretasi teks, kerena memaparkan segala kondisi yang pasti ada dalam setiap interpretasi. Prosedur yang dijalankan adalah berusaha menyusup lebih jauh dibalik sebuah teks.

Keempat, hermeneutika sebagai fondasi ilmu kemanusiaan. Di sini hermeneutika difungsikan sebagai landasan metodologis bagi humaniora. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey, filsuf sejarah. Dilthey berusaha menggiring hermeneutika sebagai landasan epistemologi bagi humaniora, tidak hanya sebagai ilmu penafsiran teks.

(6)

adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia. Gadamer memandang hermeneutik sebagai usaha untuk mempertanggungjawabkan pemahaman sebagai proses ontologis manusia.

Keenam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Di sini hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol, yaitu dengan membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya dalah Paul Ricouer.5

Hermenetika dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul les methodes d’Exegese, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehension, ‘Ilm Usul al-Fiqh(1965), sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi Usul al-Fiqh dan Tafsir al-Qur’an. Oleh Hasan Hanafi, penggunaan hermeneutik pada awalnya hanya merupakan eksperimentasi metodologi yang melepaskan diri dari positivisme dalam teoritisasi hukum Islam dan Usul al-Fiqh. Satu hal yang menunjol dari hermeneutik Hasan Hanafi dan pemikirannya secara umum adalah muatan ideologinya yang sarat dengan maksud-maksud praktis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan mainstream umat Islam yang masih terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.6 Nasr Hamid Abu Zayd mempersoalkan hilangnya prosedur ilmiah dalam pemikiran hermeneutik Hasan Hanafi, sebab dalam menafsirkan tradisi pemikiran Islam, ia dianggap memberi porsi besar bagi penafsiran dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai satu entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks wacananya sendiri.

Demikian juga tulisan Nasaruddin Baidan yang berjudul “Tinjauan Kritis Terhadap Konsep Hermeneutik” mengatakan bahwa kritik antara ketiga unsur pokok yang menjadi pilar utama dalam hermeneutik (text, author, dan audience),

5 Sibawaihi. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta, Jalasutra, 2007. Hlm. 8-10

(7)

tidak berbeda dengan ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab Ibn Taymiyyah pun telah mengatakan bahwa dalam setiap proses penafsiran harus diperhatikan tiga hal, (1) siapa yang mengatakan, (2) kepada siapa diturunkan, (3) ditujukan kepada siapa.

Menurut beliau, dalam teori hermeneutik terkesan bahwa seorang hermeneut dapat menafsirkan semua teks tanpa terkecuali selama dia dapat menguasai ketiga unsur utama tersebut secara baik, bahkan digambarkan pengunguasaannya terhadap ketiga unsur itu, termasuk terhadap diri si pengarang teks (author), jauh melebihi pengetahuan pengarang mengenai dirinya sendiri.

Konsep serupa itu bukanlah sesuatu yang aneh. Karena para tokoh hermeneutik seperti Schleiermacher, Dilthey, Gademer dan lain-lain memandang agama sebagai kumpulan interpretasi. Oleh karenanya studi ilmiah terhadapnya mengambil bentuk interpretasi dari interpretasi. Dalam kondisi demikian, sangat logis bila secara konseptual hermeneutik mengisyaratkan bahwa tidak ada suatu teks yang tak dapat ditafsirkan oleh hermeneut. Di sinilah bedanya dengan ilmu tafsir, dimana diajarkan bahwa tidak semua teks (ayat) al-Qur’an dapat dipahami maknanya dengan jelas.

Akhirnya apa yang ditawarkan oleh hermeneutik dalam menafsirkan teks, linguistik, sejarah, agama dan disiplin ilmu yang lainnya adalah suatu kreasi, karya dan bikinan manusia.7 Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan hermeneutika dalam kajian al-Qur’an menjadi kontroversial dikalangan umat muslim. Disini penulis akan memaparkan sedikit mengapa sebagian dari kalangan muslim menerima dan menolak hermeneutik dalam mengkaji al-Qur’an.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan bagi kalangan muslim yang menolak hermeneutika sebagai salah satu teori dan metode penafsiran dalam al-Qur’an, diantaranya adalah:

Berangkat dari sejarah hermeneutika yang berasal dari penafsiran terhadap mitos Yunani, maka hermeneutika dianggap sebagai sebuah desakan rasionalisasi terhadap sebuah mitos yang kemudian hal ini menemukan relevansinya dalam

(8)

kitab bible yang dianggap sudah tidak otentik bagi kalangan muslim, karena ditulis oleh manusia sehingga jurang perbedaan dan pertentangan yang cukup tajam di dalam teks dapat didamaikan dengan hermeneutik. Bagi penolak hermeneutik hal ini tentu saja berbeda dengan al-Qur’an yang tidak mengalami permasalahan dari segi sejarah karena diyakini sebagai wahyu Tuhan/kalam ilahi

dan bukan perkataan Muhammad.

Hermeneutika dalam hal ini adalah teori interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi. Sedang konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt. Konsekuensinya, konsep Hermeneutika tidak dapat diterapkan atas al-Quran.

Tafsir al-Quran yang diterima oleh jumhur selalu bertolak dari arti kosakata bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah berbahasa Arab. Tafsir bir-ra’yi dan

al’is’aripun disyaratkan untuk tidak menafikan dan menyimpang jauh dari arti kata yang sebenarnya. Takwil yang dilakukan para ulama pun harus dengan alasan yang menyebabkan sebuah kata tidak dapat diartikan dengan makna aslinya. Dengan nash sebagai titik tolak, al-Quran terhindar dari penafsiran-penafsiran yang liar. Sedang dalam hermeneutika, interpretasi sebuah teks dapat saja berbeda menimbang unsur yang terlibat dalam penafsiran jauh lebih banyak. Perbedaan tempat, waktu dapat menyebabkan perbedaan arti. Belum lagi perbedaan pengetahuan antara penafsir satu dengan lainnya mengenai sisi sejarah teks, psikologis sang pengarang dan sejauh mana kedua faktor tersebut mempengaruhi pemikiran pengarang dalam teks. Sekian faktor tersebut menjadikan hermeneutika lebih bernilai relatif.

(9)

Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir. Sementara itu bible dianggap bermasalah dengan persoalan otentisitas, sehingga penggunaan hermeneutika dari tradisi Yunani dianggap untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Tetapi kemudian ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. Puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno.8

Keempat hal diatas yang menyebabkan sebagian kalangan muslim menolak hermeneutika secara mentah-mentah untuk diterapkan dalam metode tafsir al-Qur’an. Ada ketakutan akan hilangnya kesakralan al-Qur’an jika al-Qur’an ditafsirkan secara hermeneutis. Sehingga mereka lebih suka menyukai metode-metode tafsir yang telah dilakukan dan dirumuskan oleh para ulama terdahulu, tanpa bersusah payah membuat metode baru. Disini metode tafsir al-Qur’an yang sudah ada dianggap sudah final dan tidak perlu dikembangkan. Istilah hermeneutik sendiri juga dipermasalahkan karena memang tidak ada dalam kamus arab atau Islam terutama bagi kalangan muslim yang anti barat, sehingga apapun yang berbau barat akan ditolak secara mentah-mentah.

Lebih jelas (Adian Husaini:2007) dalam bukunya “hermeneutika dan tafsir al-Qur’an” mengatakan ada tiga dampak hermeneutika al-Qur’an;

1. Relativisme Tafsir

Paham relativisme tafsir ini sangat berbahaya, sebab (1) menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga berusaha memandang kerelativan kebenaran Islam, (2) menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang sudah teruji selama ratusan tahun. Padahal, metode hermeneutika Al-Qur’an hingga kini masih upaya coba-coba beberapa ilmuan kontemporer yang belum membuahkan pemikiran Islam yang utuh dan komprehensif. (3) menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang

(10)

selalu berubah mengikuti zaman. Bagi mereka tidak ada yang tetap dalam Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah dinyatakan final dan tetap akan senantiasa bisa diubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.

2. Curiga dan Mencerca Ulama Islam

Para pendukung metode ini juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang membabi buta terhadap para ulama Islam yang termuka, seperti Imam Syafi’i yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang tidak dikehendaki oleh para pendukung hemeneutika. Jika dicermati berbagai tulisan para pendukung hermeneutika ini, biasanya mereka bersikap sangat kritik terhadap para ulama Islam, tetapi mereka menjiplak begitu saja berbagai teori hermeneutika atau pemikiran dari para orientalis dan cendikiawan barat dengan tanpa sikap kritis sedikitpun.

3. Dekonstrusi Konsep Wahyu

Sebagai pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan dengan mempersoalkan dan menggugat otentisitas Al-Qur’an sebagai kitab yang lafadz dan maknanya dari Allah. Dalam artikelnya di

republika (24 juni 2005) tentang hermeneutika sebegaimana disebutkan sebelumnya, Zainal Abidin mengakui, bahwa dalam tradisi hermeneutika, ada kesamaan pola hubungan segitiga antara teks, si pembuat teks, dan si pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami teks (baik itu teks kitab suci maupun umum) dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada dibalik teks.9

(11)

dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Hal-hal inilah yang menjadikan ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial), termasuk Hermeneutika tidak netral.

Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip pendapat salah seorang pakar Hermeneutika Werner G.Jeanrond. Ada tiga milleu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya Hermeneutika sebagai suatu metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama milleu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milleu masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab suci mereka dan berupaya untuk mencari model yang cocok untuk interpretasi. Ketiga masyarakat Eropa di zaman Enlightenment yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa Hermeneutika keluar dari konteks keagamaan.10

Kesimpulan

Dari berbagai ulasan di atas maka penulis dapat menyimpukan bahwa hermeneutika yang berasal dari Barat dari bahasa Yunani “Hermeneuo” yang berarti menafsirkan. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah satu dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia. Hermeneutika secara ringkas biasa diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti

Sedangkan Al Quran adalah kitab suci yang merupakan firman Allah SWT. Padanya terdapat petunjuk dan hidayah bagi seluruh umat manusia. Al Quran baik dari segi bahasa maupun isinya mengandung mukjzat. Seluruhnya hak dan setiap muslim harus menerimanya dengan tanpa keraguan. Jika kita menerima hermeneutika sebagai instrumen untuk menefairkan al Quran, maka keyakinan tersebut akan runtuh. Sebagai contoh, jika kita menerima teori Critical Hermeneutika-nya Habermas kita dituntut untuk bersikap kritis dan curiga pada setiap teks dan penafsiran. Sikap ini jelas-jelas tidak bisa diterapkan untuk

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Data yang diukur adalah Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration (MBC) dari ekstrak etanol batang kayu manis pada koloni

Menurut Hawes & Jesney (Padavick, 2009), keterlibatan orang tua diartikan sebagai partisipasi orang tua terhadap pendidikan dan pengalaman siswanya. Berdasarkan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran creative problem solving dan model pembelajaran project based learning ini efektif

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKj IP) dibuat dalam rangka perwujudan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pokok dan fungsi serta pengelolaan sumber daya dan

SRT akan mencakup enam fungsi kerja sebagai berikut: (i) penyebaran informasi terkait program yang ada, dan terutama pada program jaminan sosial yang baru saja diluncurkan,

From any plain forward secure digital signature scheme (e.g. [12,1,16,8,7,14]) we can easily construct a credential bundle scheme in which the bundle is a collection of signatures

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Putri (2018) mengenai analisis sistem informasi akuntansi penjualan tunai, disimpulkan bahwa sistem informasi akuntansi