commit to user
KONSEP PERENCAAN DAN PERANCANGAN
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK
TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh : AHMAD FARIS ANSORI
I0205027
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVESITAS SEBELAS MARET
commit to user
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK
Disusun Oleh : AHMAD FARIS ANSORI
I 0205027
Menyetujui,
Surakarta, 1 Agustus 2012
Mengesahkan, Pembimbing I
Ir. Suparno, MT NIP. 1955 0516 198601 1 001
Pembimbing II
Ir. Hari Yuliarso, MT NIP. 1959 0725 199802 1 001
Ketua Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik
Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT NIP. 1962 0610 199103 1 001
Ketua Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik
commit to user
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh....
Om Swastiastu....Om Shanti Shanti Shanti, Om...
Namo Buddhaya...
Shalom Aleichem b’Shem Ha Mashiach....
Puji syukur kepada Allah swt. atas waktu untuk kita semua, kesempatan untuk
bernafas, kesempatan mengingat keluarga dan mengingat-Nya. Sehingga semua proses
dalam penyelesaian Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir ini pun berjalan
dengan baik.
Sebuah proses menuju akhir memang tidak mudah, tetapi juga tidak sulit,
relative. Maka berkat bantuan dari berbagai pihak, penyusunan pun selesai pada
waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret.
2. Kahar Sunoko, ST, MT selaku Ketua Prodi Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret.
3. Ir. Suparno, MT, selaku Dosen Pembimbing I Tugas Akhir.
4. Ir. Hari Yuliarso, MT , selaku Dosen Pembimbing II Tugas Akhir.
5. Ir. FX. Soewandi, selaku Pembimbing Akademik.
6. Teman-teman Jurusan Arsitektur UNS, teman-teman kantin, teman-teman KFA,
terima kasih atas prosesnya.
commit to user
Terima kasih untuk semuanya...
Untuk keluarga, untuk kawan, untuk dosen...
commit to user
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
UCAPAN TERIMA KASIH iv
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. LATAR BELAKANG 2
I.1.1. Umum – Perkembangan paradigma dan konsekuensi
pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik. 2
I.1.2. Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah
apresiasi. 4
I.2. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN 5
I.3. TUJUAN DAN SASARAN 6
I.4. LINGKUP DAN BATASAN 6
I.5. METODOLOGI 7
I.5.1. Metode Penelusuran Masalah 7
I.5.2. Metode Pencarian Data dan Informasi 7
I.5.3. Metode Perumusan Konsep Desain 7
I.5.4. Metode Desain 8
I.6. SISTEMATIKA PENULISAN 8
BAB II TINJAUAN 9
II.1. REVITALISASI 9
II.2. AWAL PERADABAN NUSANTARA 11
commit to user
II.3.1. Jagad dan Kota 14
II.3.2. Halun-Halun 28
II.3.3. Marga dan Ratan 38
II.3.4. Pasar atau Peken 43
II.3.5. Mesjid dan Pusat Kekuasaan 44
II.3.6. Pawisman atau Pamohan 46
II.3.7. Dari Kuta Negara ke Kota Modern 49
II.4. ALUN-ALUN SECARA FUNGSIONAL MASA
PRAKOLONIAL 54
II.5. RUANG PUBLIK 62
II.5.1. Peranan Ruang Publik 62
II.5.2. Permasalahan Ruang Publik Kota 65
II.5.3. Ruang Publik sebagai Elemen Perancangan Kota 70
II.5.4. Paradigma Baru Perancangan Kota di Indonesia 73
II.5.5. Tipologi Ruang Publik 76
II.5.6. Kriteria Desain Tak Terukur (unmeasureable design criterias) 83
II.6. PANGGUNG PERTUNJUKAN 84
II.6.1. Jenis-jenis Panggung 85
II.6.2. Pengetahuan Tata Pentas 93
II.6.3. Macam-macam Panggung 95
II.6.3.1.Panggung Prosenium atau Panggung Pigura 95
II.6.3.2.Panggung Portable 97
II.6.3.3.Panggung Arena 97
commit to user
II.6.3.5.Panggung Kereta 100
II.6.3.6.Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas 100
II.7. KONDISI KABUPATEN PONOROGO 102
II.7.1. Potensi Kawasan Alun-alun Ponorogo 108
II.7.2. Masalah Kawasan Alun-alun Ponorogo 109
II.8. PRESEDEN 110
II.8.1. Alun-alun Wonosobo 110
II.8.2. Alun-alun Jogjakarta 111
II.9. KESIMPULAN 112
BAB III REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK 113
BAB IV ANALISA REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN
PONOROGO 119
IV.1. ANALISA KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO 122
IV.2. ANALISA KARAKTERISTIK BANGUNAN 125
IV.3. ANALISA PERUANGAN 126
IV.3.1. Analisa Kebutuhan Ruang Panggung Utama 126
IV.3.2. Analisa Kebutuhan Ruang Pasar 127
IV.3.3. Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama 128
IV.3.4. Analisa Pengelompokan Ruang Pasar 130
IV.3.5. Analisa Persyaratan Ruang 130
IV.3.6. Analisa Besaran Ruang 132
IV.3.7. Analisa Pengolahan Tapak 133
commit to user
IV.3.7.2. Analisa View 135
IV.3.7.3. Analisa Pencapaian 137
IV.3.7.4. Analisa Kebisingan 138
IV.3.7.5. Analisa Zoning 139
IV.3.7.6. Analisa Pencahayaan 140
IV.3.7.7. Analisa Penghawaan 140
BAB V KONSEP REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK 141
V.1. Konsep Bangunan Revitalisasi Kawasan Alun-alun Ponorogo 141
V.2. Konsep Peruangan 143
V.2.1. Konsep Pesyaratan Ruang 143
V.2.2. Konsep Besaran Ruang 144
V.3. Konsep Site Terpilih 145
V.4. Konsep Dalam Bangunan 146
V.5. Konsep Struktur Bangunan 146
V.6. Konsep Utilitas Bangunan 148
DAFTAR PUSTAKA xii
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal 3
Gambar 1.2 Panggung Pertunjukan di Alun-alun Ponorogo 5
Gambar 2.1 Struktur Pusat Negara Demak 17
Gambar 2.2 Kompleks Masjid Demak 1602-1606 20
Gambar 2.3 Kompleks Masjid Demak 1602-1606 20
Gambar 2.4 Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599.
Terdapat di kompleks makam Ratu Kalinyamat 21
Gambar 2.5 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun
kira-kira abad ke-12 merupakan puncak hasil seni
bangunan batu bata di Indonesia 22
Gambar2.6 Denah kompleks makam Kota Gede 23
Gambar 2.7 Kompleks makam-masjid Kota Gede 25
Gambar 2.8 Pusat kota Yogyakarta 31
Gambar 2.9 Denah Kompleks Keraton Yogyakarta 31
Gambar 2.10 Keraton Yogyakarta 32
Gambar 2.11 Pusat Kota Surakarta 33
Gambar 2.12 Keraton Surakarta 34
Gambar 2.13 Tatanan Keraton Surakarta berdasarkan Kosmologi 54
Gambar 2.14 Rekonstruksi Kraton Majapahit oleh Maclaine Port
berdasakan Kitab Negarakertagama (1924) 56
Gambar 2.15 Keadaan Kraton Surakarta sekarang dengan
commit to user
Gambar 2.16 Sketsa Topografi Kraton Yogyakarta dan
lingkungannya ketika serangan Inggris (1812) 59
Gambar 2.17 Pagar kayu yang membatasi Alun-alun Kraton
Yogyakarta, yang merupakan bukti bahwa Alun-alun
dulunya masih merupakan bagian dari Kraton 60
Gambar 2.18 Denah panggung teater kecil 85
Gambar 2.19 Berbagai macam model panggung 86
Gambar 2.20 Panggung proscenium 87
Gambar 2.21 Panggung thrust 89
Gambar 2.22 Bagian-bagian panggung I 90
Gambar 2.23 Bagian panggung II 91
Gambar 2.24 Denah Panggung Proscenium 96
Gambar 2.25 Panggung Portable 97
Gambar 2.26 Denah Panggung Tapal Kuda 98
Gambar 2.27 Denah Panggung Arena bentuk U 98
Gambar 2.28 Denah Panggung Arena bujur sangkar 99
Gambar 2.29 Denah Panggung Arena bentuk lingkaran 99
Gambar 2.30 Denah Panggung Terbuka 100
Gambar 2.31 Peta Wilayah Kabupaten Ponorogo 103
Gambar 2.32 Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo 104
Gambar 2.33 Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ponorogo 107
Gambar 2.34 Kepadatan Penduduk Kabupaten Ponorogo 108
Gambar 2.35 Situasi Alun-alun Wonosobo 110
commit to user
Gambar 2.37 Kawasan Alun-alun Kabupaten Ponorogo 112
Gambar 3.1 Alun-alun Ponorogo sebelum Panggung Pertunjukan 116
Gambar 3.2 Alun-alun Ponorogo sesudah Panggung Pertunjukan 117
Gambar 4.1 Kondisi panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo
pada saat menjelang Syawal 119
Gambar 4.2 Kondisi panggung pertunjukan pada waktu
Grebeg Suro 2011 120
Gambar 4.3 Alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal 121
Gambar 4.4 Kondisi sirkulasi lalu lintas Alun-alun Ponorogo
sekarang 122
Gambar 4.5 Pasar Alun-alun Ponorogo 123
Gambar 5.1 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang di bangun
kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak hasil
seni bangunan batu bata di Indonesia 141
commit to user
ABSTRAKSI
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
SEBAGAI RUANG PUBLIK
Setiap kota memiliki keragaman bentuk sosial,budaya,dan ekonomi. Ponorogo
yang merupakan salah satu kota yang masih menganut kota jawa kuno, dimana di
dalamnya sebuah pusat kota terdapat sebuah Alun-alun. Kondisi Alun-alun pun
sekarang bergeser pemaknaannya dari awal penciptaanya. Kegiatan perekonomian pun
seperti merajai kondisi Alun-alun sekarang.
Perevitalisasian yang bersifat penggabungan antara pemaknaan Alun-alun pada
masa Keraton dengan kebutuhan ruang publik masyarakat modern sekarang.
Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara
dialektis. Tentang tata letak pusat kota Jawa, pengaruh agama Hindu Budha dalam
mendesain sebuah pusat kota.
REVITALIZATION OF ALUN-ALUN PONOROGO AREA AS A PUBLIC
SPACE
Every town has a variety of forms of social, cultural, and economic. Ponorogo
which is one city that still adhered to the ancient Javanese city, from where there is a
center of a town square. Square condition was now shifted from the initial meaning of
thought. Economic activity was dominated conditions such as the square now.
Revitalization which is a merger between the meaning of the square in the
Palace with the needs of the public sphere of modern society today. Modernization is
not an alternative to the tradition, but the two are dialectically related. About the layout
of the center of Java, the influence of Hinduism Buddhism in designing a city center.
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
Pengenalan tentang kebudayaan nusantara sangat penting sekali, seiring
dengan memudarnya kebudayaan itu sendiri, seolah-olah ditelan oleh modernisasi.
Pengenalan kebudayaan pun harus mempunyai solusi untuk mengembalikannya,
pengenalan yang bersifat plural dan dapat di akses oleh masyarakat secara luas
dan mudah. Sebuah modernisasi bukanlah sebuah aral yang menghambat
perkembangan seni, lalu bagaimana kita dapat berjalan seiring dengan
modernisasi dan kemajuan teknologi. Sebuah wadah yang mengapresiasi
kebutuhan akan ruang berseni yang dapat di akses oleh masyarakat luas.
Hampir setiap kota memiliki ciri khas sendiri-sendiri,kita setuju dengan
hal itu. Sama hal-nya dengan kota Ponorogo –kota asal mula kesenian reog-
mempunyai kebudayaan, kebiasaan, perilaku masyarakat yang sangat khas. Setiap
malam bulan purnama pada setiap bulannya, selalu di adakan sebuah pagelaran
seni pertunjukan di alun-alun kota. Bisa berupa seni tari reog, wayang kulit, tari
kontemporer. Adanya panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam
menyajian sebuah karya seni pertunjukan. Kota ponorogo pun juga memiliki
sebuah panggung pertunjukan yang sangat strategis yang dapat diakses oleh
semua warga masyarakatnya, dipusat kota, alun-alun kota ponorogo.
Tetapi panggung tersebut mempunyai nilai fungsional yang kurang
maksimal. Tidak adanya zona servis yang dapat menunjang semua kegiatan seni
commit to user
memaksimalkan potensi seni pertunjukan di wilayah ponorogo dan pada akhirnya
dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki sosial ekonomi masyarakat
ponorogo.
I.1 LATAR BELAKANG
I.1.1 Umum – Perkembangan paradigma dan konsekuensi
pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik.
Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang
keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas.
Ciri-ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit
dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama.
Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai
ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan.
Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka
umum dengan paham berhak melakukan apa saja.
Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini
barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat
diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai
sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu
struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan
apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah
suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis.
Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya,
commit to user
sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada
keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang
baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan
yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu
pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang
untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat
diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata
terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin
untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional
sebagai dasar konsensus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar
dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan
pengembangan yang memadai untuk menghadapi tantangan – tantangan
dewasa ini.
Banyak alun-alun yang
tidak lagi bisa disebut alun-alun
dalam makna tradisional.
Alun-alun sekarang adalah ruang
terbuka umum, namun tidak
seharusnya kehilangan makna
filosifis yang terkandung di
dalamnya agar alun-alun masih
menunjukkan ikatan budaya
dengan masyarakat dalam
bentuk yang sesuai dengan
Gambar 1.1
Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal
commit to user
perkembangan jaman. Alun-alun, sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi
sebagian anggota masyarakat adalah tempat mencari nafkah. PKL sudah
ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai pedagang keliling
sedangkan sekarang lebih banyak membangun tenda semi permanen.
Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran
alun-alun sebagai ruang terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian,
bahkan seharusnya diperkuat peran dan fungsinya. Selain berfungsi
sebagai taman untuk menghirup udara segar, rekreasi bersama keluarga,
olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana pendidikan.
Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya,
memiliki nilai kesejarahan dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga
bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa dijual sebagai objek
pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat
penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak
bisa “bercerita” tentang sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu
alun-alun dalam skala Keraton maupun dalam skala Kabupaten. Menjadi objek
maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang terkandung
sebagai warisan kekayaan budaya nasional.
I.1.2 Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah apresiasi.
Panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam
pengembangan apresiasi seni, juga sebagai media pengenalan kepada
masyarakat. Seharusnya panggung tersebut memberikan kontribusi kepada
commit to user menjaga kebudayaan nusantara.
Panggung pertunjukan yang ada
di alun-alun Ponorogo sekarang
ini tidak mempunyai zona servis
sendiri. Hal ini menyangkut
kenyamanan bangunan tersebut
ketika di gunakan usernya.
Ketika bangunan panggung
pertunjukan ini dapat
dimaksimalkan secara fungsional
diharapkan perekonomian
masyarakat sekitar juga meningkat
karena adanya wisatawan dalam kota maupun luar kota.
I.2 PERMASALAHAN DAN PERSOALAN
Permasalahannya, bagaimanakah merevitalisasi kawasan di alun-alun
Ponorogo yang lebih baik secara fungsional dan dapat memberikan kontribusi
dalam pengembangan potensi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan
budaya. Persoalan dipaparkan sebagai berikut.
- Bagaimanakah desain yang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan
fungsi bangunan.
- Bagaimana tatanan baru yang tetap dapat menjadi wadah kegiatan sosial,
budaya, dan ekonomi.
Gambar 1.2
commit to user
- Bagaimanakah desain yang sebisa mungkin dapat mengembalikan fungsi
alun-alun.
I.3 TUJUAN DAN SASARAN
Tujuannya, revitalisasi kawasan Alun-alun di Ponorogo, sehingga dapat
memberikan input baru kepada masyarakat tentang kebudayaan nusantara.
Sasaran dipaparkan sebagai berikut.
- Tata massa bangunan.
- Bentuk panggung pertunjukan.
- Sistem struktur dan konstruksi bangunan.
- Material bangunan.
- Tata kawasan dan landscaping.
- Sistem sirkulasi bangunan dan kawasan.
- Sistem utilitas penunjang fungsi
I.4 LINGKUP DAN BATASAN
Lingkup pembahasan adalah cakupan disiplin ilmu arsitektur antara lain
tema spesifik mengenai ruang publik, aspek redesain panggung pertunjukan
sebagai produk fisik, aspek lingkungan alun-alun, serta lokasi (site) spesifik
area alun-alun Ponorogo. Batasannya dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Pembahasan tema ruang publik untuk masyarakat Ponorogo
- Aspek mengenai lingkungan alun-alun dibatasi pada isu-isu yang
bersangkutan, keluar dari ketentuan-ketentuan formal mengenai
commit to user
- Aspek lokasi berkaitan dengan fisik panggung pertunjukan dan esksisting
sebagai objek perencanaan.
I.5 METODOLOGI
I.5.1 Metode Penelusuran Masalah
- Observasi, menyusun adanya permasalahan-permasalahan yang timbul
di sekitar panggung pertunjukan dan alun-alun Ponorogo.
- Studi literatur, menemukan keterkaitan antara fenomena yang terjadi
dengan acuan ilmu.
I.5.2 Metode Pencarian Data dan Informasi
- Survey lanjutan, melanjutkan pengamatan pada lokasi dan aspek-aspek
yang berhubungan dan dibutuhkan dalam pertimbangan kebijakan
desain nantinya.
- Studi literatur, mengumpulkan referensi ilmu untuk mengolah
informasi dan data yang diperoleh.
I.5.3 Metode Perumusan Konsep Desain
Perumusan konsep perancanaan dan perancangan (desain) yaitu
melalui metoda induktif (berdasar data empirik) dan metode deduktif
(berdasar referensi yang membantu mengarahkan pembahasan). Cara yang
digunakan yaitu analisis deskriptif, yaitu analisis dengan cara
membandingkan/membahas data dan informasi dengan referensi yang
commit to user I.5.4 Metode Desain
- Mentransformasikan konsep yang diskriptif (verbal) ke dalam bentuk
gambar (visual).
- Sketsa ide.
- Studi tiga dimensi.
- Realisasi gambar ide menjadi suatu wujud rancangan (desain).
I.6 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I Sebagai Pendahuluan untuk memberikan gambaran
tentang keseluruhan substansi penulisan ini.
BAB II Pemahaman Referensi, di sini sebagai acuan ilmu atau
pengetahuan umum yang dipilih dan dibutuhkan berkaitan
dengan pembahasan. Disertai tinjauan Ponorogo dengan
segala potensi yang ada di dalamnya.
BAB III Merupakan Gagasan, sebuah lingkungan alun-alun yang
akan direncanakan.
BAB IV Analisa merupakan penyelesaian persoalan desain untuk
menghasilkan konsep desain.
BAB V Merupakan output, memaparkan desain dan hasil rumusan
commit to user
BAB II
TINJAUAN TEORI
II.1. REVITALISASI
Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau
bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami
kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses
revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan
aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan
potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat)
(Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi
pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan
peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk
melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat.Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital.
Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk
kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa
berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan
kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah
commit to user
adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu
sekali.
Revitalisasi termasuk di dalamnya adalah konservasi-preservasi1
merupakan bagian dari upaya perancangan kota untuk mempertahankan warisan
fisik budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan estetika-arsitektural.
Atau tepatnya merupakan upaya pelestarian lingkungan binaan agar tetap pada
kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan.Tergantung
dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini biasanya
disertai pula dengan upaya restorasi, rehabilitasi dan/atau rekonstruksi.Jadi,
revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian
kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami
kemunduran/degradasi. Selain itu, revitalisasi adalah kegiatan memodifikasi suatu
lingkungan atau benda cagar-budaya untuk pemakaian baru. Revitalisasi fisik
diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik)
kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan
dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk
kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives).
Hal ini mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan
akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng
terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.
Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi
sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek
sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi
1
commit to user
lingkungan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada
penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan
ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan
revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud
bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan
adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya
masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat luas. Ada beberapa aspek
lain yang penting dan sangat berperan dalam revitalisasi, yaitu penggunaan peran
teknologi informasi, khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak pihak untuk
menunjang kegiatan revitalisasi. Selain itu revitalisasi juga dapat ditinjau dari
aspek keunikan lokasi dan tempat bersejarah. atau revitalisasi dalam rangka untuk
mengubah citra suatu kawasan.
Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi
harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk
kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang kota
merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan
binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.
II.2.AWAL PERADABAN NUSANTARA2
Permukiman kota di nusantara tidak serta merta muncul begitu saja, proses
yang cukup panjang, mulai dari peradaban Hindu-Budha hingga sekarang. Negara
sebagai suatu bentuk kekuasaan politis ekonomis di Indonesia baru dikenal,
setidak-tidaknya, sejak abad ke-4. Bukti dari pengaruh ini diperoleh dari Prasasti
2
commit to user
Kutai3 pada pertengahan abad ke-20. Meskipun pada Prasasti Kutai tersebut tidak
disebut adanya sebuah negara, dapat diduga bahwa kerajaan Kutai dibawah
Mulawarman telah mengembangkan sebuah negara. Dengan negara ini organisasi
sosial politik dan ekonomi permukiman dikelola oleh suatu sistem kekuasaan atas
beberapa desa. Lingga4 menandai suatu keyakinan bahwa kekuatan kosmik
dihadirkan diatas bumi untuk menciptakan kesatuan aturan bumi dan kosmik raya
atas masyarakat manusia.
Pada dasarnya simbolisme lingga sebagai penghubung bumi dan langit ini
tidak lebih dari monumentalitas kekuasaan. Kekuatan spiritual yang dipakai dalam
pengukuhan lingga tidak bisa dilihat terpisah dari upaya untuk mempersatukan
apa yang telah dicapai secara sekuler. Dengan ritualisasi, lingga akan tidak dilihat
orang sebagai sekadar batu tegak, tetapi suatu benda yang telah diisi oleh makna
mistis. Mitologi akan mendukung kehadiran dan monumentalitas lingga tersebut
agar penghormatan atasnya terpelihara. Mitologi berkaitan erat dengan fungsi
suatu sejarah. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi terbukti bahwa sejarah tidak
luput dari pemaknaan perubahan kekuasaan baik polotik, sosial, maupun ekonomi.
3 Batu monumen lingga merupakan unsur penting dalam peradaban Hindu. Lingga didirikan untuk menandai tempat permukiman di mana kekuasaan dikukuhkan secara ritual menurut kepercayaan Hindu. Secara simbolik, lingga adalah representasi kekuatan Isvara. Daerah lingga biasanya didirikan/ditanami suatu prasasti yang memberikan keterangan waktu dan jumlah harta yang dipersembahkan oleh sang penguasa kepada para biarawan. Persembahan ini membuktikan kepada khalayak ramai bahwa kemampuan materi suatu wangsa telah sah dan mendapatkan restu serta dukungan spiritual. Dengan demikian wangsa yang bersangkutan memiliki legitimasi untuk memerintah daerah-daerah yang berada dibawah pengaruhnya. Lingga memiliki kesamaan dengan menhir.
4
commit to user
Dalam kepercayaaan Hindu yang berkembang di Jawa dan Bali, lingga
berhubungan erat dengan Dewa Siwa. Dewa yang dipercaya sebagai penguasa
dunia dalam segala bentuk manifestasinya. Siwa menguasai nasib dan jalan
kehidupan manusia di atas bumi ini. Dengan keyakinan demikian, lingga bukan
hanya lambang dari awal adanya kehidupan bertempat tinggal, tetapi juga awal
dari penyerahan diri dari ketidakpastian kepada sumber kekuatan kosmik raya.
Pendirian lingga membutuhkan pengorbanan dan upacara. Semua ini mungkin
dibuat untuk memberikan makna adanya keinginan mempertautkan kekuasaan
dengan bumi dan lingkungan dengan cara membuka alam. Kebutuhan manusia
akan adanya tengaran pada lanskap atau lingkungan fisiknya tampaknya berakar
dari hakikat eksistensialnya. Ada semacam ketakutan pada manusia yang
berkelompok mendiami suatu kawasan tanpa memiliki suatu tengaran tempatnya.
Tengaran menandakan bahwa suatu daerah dapat dikatakan sebagai tempat
tinggalnya. Tinggal di suatu daerah membutuhkan suatu sistem tanda, entah
berupa tugu atau pelataran. Mungkin lingga tidak lebih dan kurang dari satu
sistem tanda manusia intik memberikan tanda teritorial yang sudah dikuasai untuk
tempat tinggal. Pendirian tugu monumen yang lazim dalam peradaban Hindu di
Indonesia tak tampak lagi setelah peradaban Islam mulai mengembangkan
pengaruhnya di Indonesia. Sebenarnya pendirian monumen semacam lingga ini
tidaklah hilang begitu saja. Beberapa kasus memperlihatkan lingga sebagai bentuk
yang monumental yang terwujud dalam bentuk candi. Selama ini, hanya
candi-candi yang memberikan indikasi bahwa pembangunannya didukung oleh
commit to user
bahwa kompleks candi menjadi petunjuk bahwa masyarakat pendirinya sudah
bermukim, terkonsentrasi menetap, dalam pengertian urban.
Ketika dalam lingkungan candi memiliki suatu masyarakat yang
terkonsentrasi menetap –bermukim- dan mempunyai sistem sosial politik
ekonomi, tidak menutup kemungkinan adanya sebuah pusat pemerintahan. Dalam
hal ini, sebuah keraton memiliki perannya. Keraton sebagai pusat kekuasaan
selayaknya merupakan pusat di mana perkembangan permukiman urban bermula.
Keraton sebagai pusat kekuasaan sudah pasti memiliki tempat yang memberikan
tengaran orientasi dan membentuk wilayah yang terorganisir pencapaiaannya.
Untuk mendukung dua kondisi ini, pusat perlu didukung oleh lapangan terbuka
dan pasar.
II.3.PERMUKIMAN KOTA JAWA5
II.3.1. Jagad dan Kota
Konsep jagad Jawa erat kaitannya dengan konsep kekuasaan yang pada
prakteknya konstan dan mengalir di alam maupun di masyarakat manusia. Dalam
konsep ini, jagad merupakan kesatuan dan keteraturan hidup yang tidak
didasarkan pada perbedaan yang tajam atas kategori organik dan anorganik.
Jagad terjadi dan mengambil ruang serta waktu tertentu yang bisa
berulang. Pusat sebuah jagad atau rat (istilah Jawa asli) merupakan konsep yang
berdasarkan peristiwa di mana kekuatan-kekuatan kosmik dipercaya hadir dalam
dunia nyata. Peristiwa ini hanya terjadi melalui satu figur kepemimpinan yang
mampu merangkum spiritual dan sekuler sekaligus. Konsep kepemimpinan yang
5
commit to user
dikembangkan kebudayaan Jawa dalam permukiman urbannya tidak memisahkan
kekuasaan sekuler dari spiritual, justru menghendaki integrasi6 keseluruhan
kekuatan sosial yang ada dalamsatu figur. Karena konsep pusat urban Jawa tidak
pada pembendaan atau objektifikasi, bisa dipahami bila struktur fisiknya tidak
otoriter dan teratur geometris seperti halnya kota Alberti dan Scamozi7.
Sumber keberadaan jagad adalah satu dan karena itu kekuasaan pun
memiliki sifat homogen, sehingga kemanunggalan menjadi sentral dalam
pemikiran Jawa tentang jagadnya. Karena konsep kemanunggalan inilah
hubungan antara sesama manusia dan lingkungan alam maupun binaannya
cenderung mencari konsensus, bukan konflik yang dialektik8.
Jika jagad terjadi di lingkungan binaan, struktur apakah yang memberi
batas padanya? Bagaimana sebenarnya orang Jawa mendefinisikan jagad itu jika
tidak dikenal batas-batas yang jelas? Batas dimaksud berkaitan dengan
struktur-struktur yang membangun pengertian tentang apa dan bagaimana jagad itu. Dalam
Serat Centhini9 V pupuh 4 dapat dibaca perumpamaan jagad yaitu sebagai
kelir-nya pementasan wayang. Kelir dalam pengertian ini erat kaitannya dengan
6Integrasi berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi social dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Hal ini terkait dengan asimilasi dan akulturasi.
7
Leon Battista Alberti (14 Februari 1404 – 20 April 1472), Arsitek Vincenzo Scamozzi (2 September 1548 – 7 Agustus 1616), Arsitek
8
Dialektik merupakan seni berpikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, antithesis, dan sintesis.
9
commit to user
pementasan itu sendiri, ada adegan, peran, tempat, dan waktu. Kelir sendiri hanya
dimengerti bila ada lampu (blencong) yang memberi bayangan pada
wayang-wayang yang berperan. Jika sang dalang itu tak ubahnya sebagai yang empunya
dan menguasai hidup ini, jagad dalam pengertian Jawa itu sebenarnya bukan
dalam kekuasaan manusia. Kejadian-kejadian ketika jagad memperlihatkan diri
sebagai fenomena bermukim oleh orang Jawa hanya dipandang sebagai mampir
untuk minum. Dalam Serat Centhini sendiri dibedakan pengertian jagad dan
dunya. Dunya dikaitkan dengan pengertian yang fana dan menawarkan
kenikmatan sensual, yang tidak memiliki kedalaman dan makna kehidupan masa
depan. Sementara jagad bicara mengenai wisma masa depan manusia yang
memberikan pengetahuan sejati dan kebersatuan antara Sang Pencipta dan yang
diciptakan. Bermukim di atas bumi ini menurut konsepsi Jawa tidak lebih dari
kesementaraan untuk membekali diri dengan air kehidupan yang bisa membawa
langkah seseorang menuju kemanunggalan dengan Penciptanya.
Dengan konsep bermukim sekadar 'mampir minum' ini, orang Jawa
banyak melihat hidup dalam pengertian suatu kerangka maju atau mundur dalam
masalah materialistik. Struktur-struktur fisik permukiman oleh orang Jawa tidak
dilihat sebagai bangunan permanen, tetapi sebagai pondok sementara. Jika konsep
kesementaraan ini yang dianut, bermukim secara Jawa tidak banyak meluangkan
commit to user
Bagaimanakah karya rancang-bangun dan struktur fisik dari sebuah
negara atau kuta itu sebenarnya? Kota tua Jawa yang hingga kini masih
dapatdilihat strukturnya adalah Demak, Kudus, dan Kota Gede. Bagian
kotaDemak yang masih banyak meninggalkan petunjuk gagasan kota
negara,nampak pada
daerah yang kini
disebut Kauman,
Pecinan, dan Siti
Hinggil.(Gambar 2-1).
Meskipun
dalem Sultan Demak,
Raden Patah
(1500-1518), sudah tidak
nampak, namun
lokasinya masih dapat
diketahui. Dalem ini pasti terletak di daerah yang dikenal sebagai Siti Hinggil,
sebelah selatan alun-alun. Struktur pusat negara Demak .merupakan indikasi
penting konsep pusat kota di Jawa setelah Majapahit pudar kekuasaannya di Jawa
Timur. Demak berkembang bukan dari surplus pertanian, tetapi dari turnbuhnya
jasa perdagangan di pantai utara Jawa sebelum Portugis menguasai Selat Malaka
tahun 1513-1516. Dengan jasa perdagangan inilah, kompleks mesjid Demak yang
menandai masuknya Islam dalam sistem kekuasaan Jawa itu didirikan.
Struktur pusat Demak kemungkinan merujuk pada ibukota Majapahit
dengan skala lebih kecil. Di dalam struktur ini halun-halun menjadi struktur ruang Gambar 2-1Struktur pusat negara Demak (Sumber : buku Seni
commit to user
pengikat bagi Dalem/keraton maupun mesjid yang bersangkutan. Elemen-elemen
yang menarik warisan rancang bangun peradaban Hindu nampak pada kompleks
Mesjid Demak. Sekalipun orang masih berharap untuk mendapat data arkeologi
pada daerah Siti Hinggil (siti: permukaan tanah/bumi, hinggil: tinggi atau
ketinggian), namun bisa dilihat bahwa keraton sebagai tempat tinggal tidak
dibangun dalam struktur sepermanen dinding-dinding mesjid. Atau, kuta atau
tembok keliling keraton telah diratakan dengan tanah untuk perumahan penduduk
setelah kekuasaan sultan pudar dan bergeser ke Pajang dan Kota Gede sejak 1518
Kudus merupakan salah satu kota penting yang melanjutkan sinkretisme10
antara peradaban Hindu dan Islam ke dalam bangunan kompleks mesjid dan
makam. Sunan Kudus dalam sejarah dikenal sebagai salah satu Wali Sanga yang
sangat berpengaruh pada kerajaan-kerajaan Jepara, Demak, dan Pajang sekitar
awal abad ke-16. Sebagaimana Mesjid Demak, Mesjid Kudus merupakan bagian
yang dibangun tidak berdiri sendiri. Mesjid Kudus merupakan pendukung
kompleks makam Sunan Kudus. Kompleks Kudus ini meliputi wilayah lebih dari
5000 meter persegi. Seperti halnya kompleks Mesjid Demak, di makam-mesjid
Sunan Kudus orang akan menjumpai perpaduan elemen-elemen pura Hindu dan
kegiatan Islam. Bagian utama Mesjid Kudus lebih kecil dari Mesjid Demak.
Mesjid di Kudus ini nampak istimewa karena memiliki struktur bentar dan
paduraksa yang menerus menembus ruang utama mesjid. Struktur
gerbang-gerbang ini sekaligus memberi arah Kiblat yang kuat. Jika hal ini dibuat secara
commit to user
sengaja, struktur utama mesjid (mungkin aslinya) tidak perlu berdinding. Sumbu
Kiblat yang dibentuk oleh gerbang-gerbang memberikan konotasi sinkretisme
Hindu Islam pada tingkat tata ruang. Sementara penggunaan menara kul-kul dan
bedug memberi konotasi sinkretisme pada tingkat rancang bangun
representatifnya.
Struktur ruang makam-mesjid Kudus tidak memiliki hierarki11 yang
sederhana. Kompleks ini dibangun dengan dinding keliling bata merah, seperti
juga di Demak. Rancangan profil dinding ini mirip dengan dinding kompleks
candi-candi di Jawa Timur, Candi Penataran dan Candi Tikus. Setiap pintu masuk
yang melalui dinding-dinding tersebut hampir selalu ditandai oleh bangunan
bentar atau paduraksa. Tata ruang yang berlapis-Iapis dan membentuk segi empat
oleh dinding batu bata menunjukkan prosesi yang jelas memperlihatkan
terhormatnya derajat wilayah makam. Di Kudus, terdapat tidak kurang dari tujuh
lapis gerbang dan halaman berdinding. Di Demak, dapat dijumpai pula tatanan
ruang berlapis-Iapis, namun tidak serumit makam Sunan Kudus. Yang menarik di
Demak adalah kejelasan struktur ruang yang dibentuk oleh tembok keliling segi
empat dengan empat gerbang penjuru angin (Gambar 2-2). Struktur yang jelas ini
menyebabkan mesjid nampak lebih menonjol monumentalitasnya.
11
commit to user Sarean dikompleks mesjid
ini nampak sebagai struktur
pendukung yang memiliki jalur
prosesi sendiri. Yang membuat
tata ruang berlapis-lapis adalah
sarean utama yang dibangun
dengan struktur cungkup. Struktur
ini diyakini memberi perlindungan
bagi makam sebagai mana atap
melindungi tempat tidur. Orang
Jawa melihat kuburan sebagai
tempat yang disucikan dari
kegiatan harian.
Berziarah ke makam setara
dengan menghadap pada yang bersangkutan dengan penuh hormat dan dengan
menyucikan badan dari kotoran. Untuk mengawasi tertibnya ritual ini didirikanlah
paseban, di mana petugas jaga makam melaksanakan tugasnya. Pada umumnya,
paseban sudah dapat dilihat sejak masuk kompleks makam. Untuk melengkapi
ritual ziarah, pemandian dibangun. Di beberapa makam dikenakan tradisi
menggunakan pakaian tradisional Jawa tanpa alas kaki. Ritual semacam ini
merupakan bagian dari prosesi ziarah. Ritual ini pula yang menjadi dasar tata
ruang kompleks makam.
commit to user Lapisan ruang-ruang
yang perlu dilalui dari
prosesi ziarah ini dibuat
sedemikian rupa sehingga
memiliki kemiripan dengan
prosesi menuju tempat
tinggal raja yang
bersangkutan. Secara tata
ruang sarean dan dalem
alias kalenggahan sultan
selintas tidak berbeda. Dasar
dari struktur ruang yang
dikembangkan pada makam-makam Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat, hingga
Panembahan Senapati menunjukkan gejala yang sama yaitu sinkretisme antara
konsep candi Hindu, penghormatan leluhur asli Jawa dengan fasilitas dan ritual
Islam. Elemen-elemen pribumi nampak pada rancang bangun makam berumpak
yang mengingatkan pada punden berundak. Elemen-elemen Hindu diungkapkan
pada gubahan atap mesjid maupun struktur ruang berdinding dengan paduraksa
dan bentar. Semua terpadu untuk memberi tempat dimana kesucian badan
disyaratkan dalam mengikuti proses ritual di dalamnya.
Gambar 2-4Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599. Terdapat di kompleks makam Ratu
Kalinyamat.
commit to user
Teknik konstruksi
dinding terakota dan
rancang bangun kompleks
makam-mesjid Demak ini
dapat ditelusuri asal
usulnya dari
bangunan-bangunan peradaban
Majapahit, Candi Brahu,
Candi Tinggi (lihat
Gambar2-5), dan sisa-sisa Keraton Trowulan. Konstruksi batu bata yang saling
terkait tanpa bahan lain (tanpa semen pc, misalnya), selain hasil reaksi antara
gesekan bata-bata, merupakan kekhasan warisan Majapahit. Warisan seperti ini
masih dipraktekkan pada bangunan-bangunan tradisional Bali: puri, pura, dan
patirtan. Di dalam tradisi bangunan di Kota Gede, hubungan antar batu bata
tersebut dilekat oleh putih telur.
Gubahan bentuk dinding pada kompleks makam-mesjid Demak berupa
segi empat yang membentuk suatu enclosure12. Konsep segi empat ini mungkin
diturunkan dari konsep puri. Dengan konsep Sanskerta ini, wilayah terbina atau
terbangun telah menjadi suatu kategori dalem. Artinya, tempat yang dikelilingi
tembok batu bata itu sudah menjadi milik seseorang dalam mengungkapkan pusat
kekuasaan.
Dari tatanan fisik bangunannya, kompleks mesjid dan makam nampak
tidak dalam kaitan prosesi langsung, namun saling mendukung. Makam
12
Enclosure merupakan struktur yang terdiri dari suatu daerah yang telah ditutup untuk beberapa tujuan tertentu.
Gambar 2-5Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak
commit to user
ditempatkan sebagai bagian dalam dengan mesjid sebagai latar depannya. Dengan
begitu, nampak keluhuran kepercayaan asli memberi prioritas pada mesjid untuk
langsung menghadap ke alun-alun.
Kompleks makam dan mesjid ini mungkin bukan bermula di Demak dan
Kudus, kemudian mencapai kesempurnaan di Kota Gede (lihat Gambar2-6).
Setelah Kota Gede, makam-mesjid tidak lagi dibangun di pusat kota kerajaan.
Meskipun di Mesjid Agung Yogyakarta masih terdapat makam, namun bukanlah
tempat pemakaman keluarga Keraton Yogyakarta, karena Sultan Agung
membangun makam keluarga Kerajaan Mataram di Imogiri.
Kota Gede sebagai pusat peradaban Islam Jawa dibina oleh Ki Gede
Pamanahan sekitar tahun 1577 atas piagam Raja Pajang. Diceritakan oleh de
Graaf (1954/1987:52-54) bahwa hutan Mentaok mula-mula dibuka dan
commit to user
ini ditanami pohon buah-buahan. Ki Gede Pamanahan mendirikan mesjid sekitar
tahun 1587. Kemudian dilengkapi dengan serambi oleh Panembahan Senapati,
putra Ki Gede Pamanahan. Senapati membina apa yang sudah dirintis ayahnya ini
dengan membangun dinding luar, kitha bata putih, antara 1592-1593.
Apa yang dikenal sebagai kitha banon petak ini dibangun setelah Senapati
bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan yang berpengaruh besar ini menganjurkan
Senapati untuk membangun dalem-nya, dengan itu ia bisa berkuasa sebagai Raja
Mataram. Namun, tembok berbata putih masih belum sempurna bila tidak
dilindungi oleh pagar keliling yang lebih luas. Senapati memerintahkan rakyatnya
untuk membakar bata merah setiap musim kemarau dan mulai membangun kitha
jaba. Dengan pembangunan ini maka terbinalah apa yang disebut kitha jaba dan
kitha dalem. Dilaporkan oleh de Haan yang pemah mengunjungi Kota Gede tahun
1623 (de Graaf, 1987:116) bahwa jarak antara Jaba dan Dalem adalah
sepenembakan peluru (tidak lebih dari 2000 meter).
Situs Kota Gede memberikan informasi bahwa kitha dalem atau beteng
jera yang dibangun Senapati dengan banon putih masih nampak
sisa-sisanya.Beteng Jero ini melingkari kompleks keraton-singosaren (sekarang
namadesa) yang melingkupi kompleks makam-mesjid yang dibangun Ki Gede
Pamanahan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sementara itu, sepanjang beteng
atau kuta ini terdapat parit-parit. Dikabarkan bahwa Senapati biasa menggunakan
perahu kecil atau kanu untuk menuju keratonnya dari bagian selatan. Beteng jaba
kota Mataram Islam ini dibangun meliputi kawasan 5 km memanjang dari
Grojogan ke Ngipik, serta lebih dari 5 km dari Ngipik ke Wioro dan dengan jarak
commit to user
areal yang ada di bawah perlindungan beteng jaba atau kuta jaba meliputi wilayah
seluas 25 hingga 30 km persegi.Luas ini belum apa-apa dibandingkan dengan
Trowulan yang meliputi kawasan lebih dari 10 x 10 km persegi. Benteng luar
dibedakan dengan benteng dalam karena konstruksi dan bahan bangunannya. Pada
dinding kota bagian luar, Senapati tidak membangun dengan batu putih dengan
tebal lebih dari 30 cm dan tinggi lebih dari 2 meter, melainkan dengan dinding
batu bata setebal 60-70 cm dengan tinggi 2 hingga 3 meter. (lihat Gambar 2-6 dan
Gambar2-7).
commit to user
Dari apa yang dapat dilihat di Kota Gede ini dapat dibicarakan beberapa
aspek:
· Inti Kota Gede dimengerti sebagai tempat kompleks Sarean (kuburan) Panembahan Senapati itu berada, setelah Raja Mataram
Islam ini meninggal. Keraton Kota Gede sendiri tidak nampak
seperti pemakaman keluarga raja-raja. Kawasan di mana kuta yang
dibangun oleh Senapati masih dikenal sebagai permukiman
dalem/keraton. Mungkin struktur fisik keraton secara
perlahan-lahan hancur. Beberapa bagian pentingnya sejak 1618 dibawa
pindah ke Pleret, Kartasura kemudian ke Surakarta danYogyakarta.
Bisa diduga, bahwa di kompleks ini keraton Mataram Islam
pertama itu berdiri. Mesjid, makam, dan keraton merupakan
struktur-struktur utama dari apa yang disebut pusat Jagad-nya
Mataram Islam.Struktur fisik ini dikelilingi oleh dinding keliling
atau pager bhumi sehingga disebut kuta bukan pradesa.
· Pendirian benteng yang mengelilingi pusat kekuasaan· Mataram,
yang disebut pager bhumi itu, mengingatkan orang pada tradisi
karya rancang bangun Hindu. Dinding kelilingnya memberi nuansa
pengaruh karya rancang-bangun Hindu pada tata ruang Kota Gede.
Pengaruh ini dapat dilihat lebih jelas pada bentuk gapura serta
dinding yang dibangun dengan batu bata. Tempat pusat alias nabha
dalam pengertian negara-nya Kuta Gede ini jelas tidak menganut
aturan tata ruang sumbu yang menerus. Kompleks makam-mesjid
commit to user
Tempat di mana permukiman dan pasar berada masih merujuk ke
kawasan sekitar nama alun-alun ini. Sekarang, lokasi daerah yang
namanya alun-alun Kota Gede itu terisi oleh permukiman yang
padat.
· Di sekitar tempat pusat atau alun-alun inilah permukiman berkembang tanpa mengikuti jalur-jalur yang aksial geometris atau
berupa sumbu-sumbu yang terencana. Jalur pencapaian yang ada
pada prinsipnya bebas dan dibentuk oleh dinding pagar halaman.
Regol atau pintu masuk ke masing-masing rumah dicapai melalui
jalur sirkulasi yang meliuk-liuk ini.
· Permukiman Kota Gede terdiri dari beberapa kelompok yang tidak didasarkan oleh pola geometris sistematis, tetapi merupakan
compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu
compound dibangun dengan pembatas dinding keliling dari batu
bata terbuka atau diplester, dan terdiri atas 6 hingga 10 rumah. Di
kawasan yang disebut Jagalan, Purbayan, dan Basen dapat dilihat
struktur permukiman yang tunggal tidak berupa compound, seperti
di Singosaren dan Mutihan. Umumnya rumah tinggal dilengkapi
oleh pendapa yang dibangun di depan sebagai tempat tamu atau
kerja. Permukiman di Kota Gede ini dalam beberapa hal memiliki
commit to user II.3.2. Halun-Halun13
Dalam kenyataan fisiknya, yang disebut kuta atau negara itu selalu ada
halun-halunnya, yang kemudian disebut alun-alun. Mengapa bentuk dari ruang
terbuka ini segi empat atau hampir bujur sangkar? Di Yogyakarta dapat
ditemukan bentuk denah alun-alun yang jajaran genjang. Zoetmulder(1935)
menyebut adanya Mancapat yang sering dianut oleh orang Jawa sebagai pusat
orientasi spasial. Arah empat ini dipegang oleh orang Jawa dalam hubungannya
dengan empat unsur pembentuk keberadaan bhuwana: air, bumi, udara, dan api.
Dasar pembentuk kehidupan ini kemudian diturunkan sebagai dasar kategorisasi
untuk hal-hal lain, misalnya tata ruang pada kawasan alun-alun.
Hingga kini masih belum diketahui dengan pasti asal-usul alun-alun ini.
Jawa dikenal sebagai suatu budaya yang mengembangkan pemikiran tempat
bermukim lebih pada memberi atau mengenali sifat-sifatnya. Kata halun-halun
mungkin diasosiasikan dengan suatu tempat yang memiliki sifat telaga dengan
riak yang tenang. Sifat ini diperlukan oleh konsep kekuasaan Jawa sebagai
integrator segala keragaman peran, aspirasi, dan tradisi. Dengan kemampuan
integrasi dan toleransi yang tinggi, kemungkinan besar konsep halun-halun ini
merepresentasikan orang Jawa. Dapat diperkirakan bahwa lapangan terbuka ini
sudah ada sebelum masa Borobudur dan Prambanan dibangun, meskipun pada
relief-relief candi tersebut tak dilukiskan secara gamblang.
Hinduisme dan Buddhisme memberikan kontribusi perkembangan
alun-alun itu, sebab upacara-upacara kenegaraan Hindu pada khususnya membutuhkan
ruang terbuka untuk prosesi-prosesi ritual: penobatan Ratu, perkawinan agung,
13
commit to user
dan penyambutan-penyambutan tamu mancanegara. Catatan-catatan Portugis dan
Belanda sekitar abad ke-17 banyak merekam adu macan di alun. Jadi
alun-alun bukan sekedar tempat upacara tetapi juga tempat hiburan negara. Apakah
lapangan ini gagasan asli? Jika lapangan itu tidak pernah dikenal dalam tata urban
Jawa Hindu dan Buddha, tak akan ada konsep alun-alun itu.
Kata halun-halun sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kuno (Kawi) bukan
Sanskerta. Jadi, bisa diduga bahwa lapangan terbuka itu orisinal Jawa.
Yang menarik untuk diketahui adalah kenyataan bahwa di Tanah Sunda
(Jawa Barat) dikenal alun-alun dengan konsep yang sarna dengan di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Mungkin terdapat campur tangan Belanda dalam memberikan
status administrasi kabupaten, karesidenan, kawedanan, pada daerah-daerah
tertentu yang berada dalam pengawasan administrasi Pemerintah Kolonial.
Dugaan ini semakin kuat oleh adanya bangunan penjara yang selalu ditempatkan
di utara berhadapan dengan Kabupaten yang berada di selatan.
Dalam kitab Negarakertagama tertulis dengan jelas bahwa keberadaan
alun-alun sudah dimulai sejak abad ke-14 peradaban Majapahit. Namun alun-alun
yang dimaksud hendaknya tidak dikacaukan dengan Lapangan Bubat. Lapangan
ini lebih dekat dengan pengertian suatu waterfront Majapahit terhadap Kali
Brantas.
Negarakertagama menyebut adanya bhawana (yang bisa diduga
gudang-gudang) dan mapanta (diduga hunian pedagang). Indikasi yang diberikan dari
inskripsi mengenai negara pada zaman Majapahit tidak cukup untuk membuat
rekonstruksi fisik, tanpa bantuan data-data galian arkeologi. Hingga saat ini
commit to user
Meskipun demikian, Stutterheim (1948) dengan cermat telah membuat suatu
dugaan rekonstruksi dari kota Majapahit di Trowulan. Hasil rekonstruksi ini
memperlihatkan bahwa struktur kota Majapahit memiliki bentuk yang tersusun
oleh beberapa jalan dengan arah-arah sesuai dengan mata angin. Dapat ditafsirkan
bahwa struktur simpul kota Majapahit serupa dengan Perempatan Agung-nya
Hindu Bali. Dan sumbu-sumbu mata angin-lah yang mengorganisir tata ruang dan
bangunan secara keseluruhan.
Sekalipun jalan-jalan nampak tidak direncanakan dengan pegangan pada
satu sumbu aksial yang dominan, tetapi orang akan melihat posisi sentral dari
istana dan alun-alun. Dari hasil rekonstruksi yang dibuat Stutterheim, istana
Majapahit merupakan suatu struktur yang tidak sederhana dalam hierarki
ruang-ruangnya. Struktur di dalamnya dibentuk oleh bangunan-bangunan yang dibatasi
oleh dinding penyengker yang pasagi. Struktur ini menunjukkan bahwa karya
rancang-bangun Hindu berpengaruh besar terhadap tata ruang Jawa Majapahit, di
mana ruang hidup atau tempat peribadatan dibentuk oleh struktur yang memberi
kepastian orientasi. Struktur bangunan yang didirikan di dalam tembok pasagi
yang mengelilinginya dalam Bahasa Jawa Kuno disebut bangsal atau binangsal.
Jika alun-alun itu memiliki dasar keberadaan sebagai tempat ritual-ritual
dan kegiatan sosial kenegaraan, ia akan dianggap sebagai bagian dari pusat
kekuasaan bersama keraton dan candi utama. Pasar tidak akan berada di sekitar
alun-alun sebab berhubungan dengan kehidupan sekuler dan sehari-hari. Fakta ini
tidak dilihat pada kasus Kota Gede, di sini pasar (Sargede) berada di atas lahan
commit to user
spiritual terjadi di tempat yang sama: alun-alun. Di Jawa dikenal apa yang disebut
hari pasar, yang memungkinkan tumpang tindihnya kegiatan sekuler dan spiritual.
Dalam denah kota
Majapahit hasil rekonstruksi
Stutterheim (1948) dan tulisan
Madaine Pont (1924) didapat
keterangan bahwa alun-alun
Majapahit bersama keratonnya
terletak sentral. Di tengah
alun-alun terdapat bangunan atau
monumen, mungkin tempat Sang
Ratu dan para menterinya duduk
untuk menghadiri
upacara-upacara. Di sekitar alun-alun ini
dibangun candi Buddha. Yang
menarik adalah fakta bahwa
pura-pura Hindu-nya dibangun di
pinggiran luar kuta-negara di
Trowulan.
Pada pusat-pusat kota
Yogyakarta (lihat Gambar 2-8)
dan Surakarta (lihat Gambar2-10)
terdapat dua alun-alun, utara dan
selatan. Alun-alun
Gambar 2-8Pusat kota Yogyakarta
(Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
Gambar 2-9Denah Kompleks Keraton Yogyakarta (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di
commit to user
Gambar 2-10Keraton Yogyakarta
(Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
utaramerupakan tempat resmi yang berhubungan dengan raja. Sementara
alun-alunselatan untuk putra mahkota sebagai persiapan untuk
melakukanupacara-upacara kenegaraan.
Situasi di alun-alun biasanya mudah diamatidari panggung
Sanggabhuwana. Menara pandang ini tidak nampak di Keraton Yogyakarta, tetapi
dominan di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada situs Trowulan menara pandang
ini dapat ditemukan sisa-sisanya. Dengan menara pandang yang tingginya lebih
dari 12 meter ini, Sang Raja dapat mengamati lebih saksama situasi di alun-alun
maupun pasar.
Hingga saat ini, yang
disebut alun-alun di Jawa masih
dianggap lapangan formal yang
erat kaitannya dengan upacara
kenegaraan. Lapangan Monas
atau hampir semua alun-alun di
Jawa tidak menampung kegiatan
komersial. Bisa dikatakan ada
kesan bahwa alun-alun
mempunyai makna spiritual.
Betulkah konsep ini berakar dari
peradaban Jawa Hindu-Buddha?
Atau ini semua rekaan Sang
Penguasa Kolonial untuk
commit to user
bupati yang diawasinya supaya tidak dekat dengan rakyatnya?
Perubahan konsep alun-alun dapat ditemukan pada kasus kota Bandung.
Semula alun-alun Bandung merupakan pendukung perkembangan kota kembang
dipimpin oleh Bupati Wiranata Kusumah (1846-1874) di bawah instruksi
Gubernur Jendral van Hoevell, penerus Daendels. Alun-alun Bandung ini
dibangun beserta mesjid dan kabupatennya atas permintaan Pemerintah
Hindia-Belanda. Dengan demikian, alun-alun Bandung bukan dibangun atas dasar
aspirasi pribumi. Pemerintah Hindia-Belanda bermaksud untuk mempermudah
kontrol pada kekuasaan lokal jika pusat pemerintahannya berada di sepanjang
Grote Postweg.
Belanda sejak VOC abad ke-17 sudah sangat berpengalaman
memanfaatkan konsep maupun kekuasaan lokal. Perubahan konsep alun-alun
sebagai tempat upacara negara menjadi taman umum kota berlangsung di
Bandung sejak 1967. Sekarang alun-alun ini telah menjadi taman kota, bukan
sebagai kekosongan yang hanya digunakan untuk upacara-upacara kenegaraan.
Perubahan makna
alun-alun sebagai tempat terjadinya
dunia dalam konteks ritual
spiritual menjadi taman atau
ruang terbuka umum kota,
adalah konsep urban yang dapat
berkembang dalam kehidupan
bermukim modern. Kebutuhan
masyarakat kota akan upacara
commit to user
atau ritual-ritual kenegaraan akan didesak oleh kebutuhan pragmatis ekonomis
urban modern. Yang menarik untuk diketahui adalah kenyataan bahwa persepsi
masyarakat terhadap alun-alun seperti maknanya semula tetap terpelihara dengan
adanya kegiatan ritual yang berpusat di mesjid, meskipun hanya sekali-sekali.
Misalnya pada hari Idul Fitri atau Idul Adha.
Sultan Agung merupakan salah seorang raja Jawa yang sangat cerdik
dalam memelihara makna yang dimiliki alun-alun ini. Sekatenan atau upacara
Grebeg merupakan suatu tradisi upacara yang akan mampu membina makna
urban Jawa dari keberadaan alun-alun. Dengan adanya upacara ini, konsep negara
yang terjadi melalui pesta kenegaraan selalu diaktualisasikan. Tradisi-tradisi yang
dimiliki Jawa dari Hindu dan
Islam dapat berpadu dalam satu
upacara sekaligus. Upacara ini
fenomenal bagi budaya
bermukim urban, sebab kaitan
antara fungsi-fungsi dalam
ketatanegaraan Jawa
menampakkan diri sebagai suatu
konsep dunia yang khas, yang
maknanya bukan sekadar festival,
tetapi ada hal-hal yang sakral.
Semua ini menampakkan diri
dalam bentuk puisi kekuasaan
commit to user
yang penuh simbol. Orang modern yang tidak terbuka untuk belajar, mungkin
akan menganggap peristiwa atau peringatan Sekatenan sekadar pasar malam.
Jika pengertian sentra dari negara itu terjadi di alun-alun lalu bagaimana
kaitan lapangan ini dengan permukimannya? Tatanan permukiman yang ada di
Yogyakarta maupun hasil rekonstruksi Trowulan oleh Stutterheim sendiri tidak
langsung berkaitan dengan pola memusat. Ada indikasi yang dapat ditelusuri
konsep dasarnya, bahwa permukiman negara cenderung pada pola linier yang
menyebar dari alun-alun menurut empat arah utama. Posisi alun-alun sendiri
cenderung sebagai pusat orientasi mata angin.
Meskipun memiliki pusat yang berbentuk ruang terbuka, pengendalian
atau pengawasan penduduk yang besar dalam wilayah negara tidak
mengandalkan perencanaan struktur fisik yang geometris dengan bentuk dasar
tertentu. Dari struktur yang dapat ditangkap dari Kota Gede, Trowulan, maupun
Majapahit, orang cenderung mengatakan, bahwa struktur sosial masyarakat Jawa,
sekalipun hierarkis, tidak memperlihatkan sifat otoriter tegas. Struktur yang
egaliter14 nampak lebih dominan pada kota-kota Jawa ini. Hubungan konsep pusat
dan rakyat nampak lebih cenderung melalui kegiatan ritual upacara-upacara masal
di alun-alun negara. Di sini, ratu dianggap sebagai pusat kekuasaan sekaligus
pusat kegiatan ritual. Posisi ini mendukung struktur fisik permukiman urban lebih
terkonsentrasi pada ruang kegiatan upacara di depan keraton. Hingga saat ini,
belum cukup data yang memuaskan untuk memberikan rekonstruksi kota Jawa
masa Mataram Sanjaya-Syailendra hingga Majapahit.
14
commit to user
Apakah dengan data yang bisa dilihat di Karang Asem, Bali, dan di
Keraton Yogyakarta dan Surakarta, bisa ditelusuri konsep fisik negara? Ada
petunjuk umum bahwa pengertian ruang yang morfologis tidak dikenal di Jawa.
Hal ini ditunjukkan bukan saja pada fakta saat ini, tetapi data-data catatan Cina
abad ke-7 hingga ke-10 pun tak memberi titik terang. Ruang luar sebagai titik
tolak perencanaan dan perancangan fisik tidak sentral, tetapi ruang urban sebagai
pusat kegiatan ritual punya nilai tersendiri. Di sini, dapat diduga bahwa apa yang
disebut negara itu bisa jadi tak lebih dan tak kurang sebagai 'event' yang merujuk
pada kepentingan upacara.
Makna kekuasaan ritual dan sekuler diulangi dalam kalender beberapa
peristiwa. Konsep kekuasaan yang manunggal ini terus-menerus dibina sebagai
bagian dari tradisi urban dari zaman Mataram Hindu-Buddha hingga sekarang.
Jika dugaan ini benar, persepsi orang Jawa pada khususnya dan Indonesia secara
umum tentang kota bukan merujuk pada fisik. Rujukan mereka pada 'kejadian'
berkumpul dalam memperingati suatu peristiwa yang mempertautkan
kepentingan-kepentingan: sosiokultural, ekonomi, dan spiritual.
Jika persepsi kota merujuk pada bangun atau struktur fisik, sudah tentu ini
semua bertalian dengan organisasi sosial bermukimnya. Tetapi kenyataan
menunjukkan bahwa secara fisik, struktur permukiman urban Jawa hingga kini
cenderung linier. Pencapaian menjadi hal penting dalam tata letak. Ruang luar
yang morfologis tidak nampak dominan dalam tata letak permukiman.
Yang menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah fakta bahwa linieritas ini
menjadi bagian dari kegiatan sosial ekonomi di luar bangunan, sementara kegiatan
commit to user
sebagai upaya memadukan dua kepentingan ritual yang berpusat pada keraton
atau kabupaten dan mesjid. Sementara itu, yang disebut jalan bukan semata-mata
tempat orang berjalan, tetapi lebih bermakna sebagai pusat interaksi
sosial-ekonomi di luar rumah.
Apakah dua beringin kembar yang ditanam di tengah-tengah alun-alun itu
berkaitan dengan konsep dasar halun-halun? Di Yogyakarta maupun dikota-kota
kabupaten atau kadipaten di zaman Kolonial Belanda, alun-alun selalu lekat
dengan adanya dua beringin kurung pad a sumbu yang ditarik dari kabupaten atau
kadipatennya.
Di Kota Gede, masyarakat setempat secara turun temurun masih
mengingat adanya dua beringin itu di alun-alunnya. Tengaran utama dari
kompleks keraton sekarang adalah tempat di mana Watu Cilang dari Raden
Rangga disemayamkan. Sekitar tempat yang dikeramatkan ini ditanam empat
beringin yang mengitarinya. Beringin sebagai tengaran kitha di Kerajaan Mataram
Kota Gede ditanam oleh Ki Gede Pamanahan atas restu Sunan Kalijaga di muka
kompleks makam-mesjid. Beringin tua itu kemudian diberi nama oleh Sunan
Kalijaga. Sejak kapan sebenarnya beringin mulai digunakan sebagai tengaran
pusat kota? Apakah dengan demikian alun-alun di zaman Majapahit pun punya
beringin kurung pula? Dalam peradaban Hindu-Buddha, beringin dianggap sangat
tepat untuk tempat mendapat inspirasi. Di dalam kitab Negarakertagama, adanya
beringin kurung ini disebut, tetapi posisinya tidak terlalu jelas. Pohon beringin
dalam tradisi Hindu-Buddha dipercaya sebagai tempat yang memberikan