• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PERENCAAN DAN PERANCANGAN REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK TUGAS AKHIR - Konsep Perencaan Dan Perancangan Revitalisasi Kawasan Alun-Alun Ponorogo Sebagai Ruang Publik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP PERENCAAN DAN PERANCANGAN REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK TUGAS AKHIR - Konsep Perencaan Dan Perancangan Revitalisasi Kawasan Alun-Alun Ponorogo Sebagai Ruang Publik"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KONSEP PERENCAAN DAN PERANCANGAN

REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO

SEBAGAI RUANG PUBLIK

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur

Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh : AHMAD FARIS ANSORI

I0205027

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVESITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO

SEBAGAI RUANG PUBLIK

Disusun Oleh : AHMAD FARIS ANSORI

I 0205027

Menyetujui,

Surakarta, 1 Agustus 2012

Mengesahkan, Pembimbing I

Ir. Suparno, MT NIP. 1955 0516 198601 1 001

Pembimbing II

Ir. Hari Yuliarso, MT NIP. 1959 0725 199802 1 001

Ketua Jurusan Arsitektur

Fakultas Teknik

Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT NIP. 1962 0610 199103 1 001

Ketua Program Studi Arsitektur

Fakultas Teknik

(3)

commit to user

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh....

Om Swastiastu....Om Shanti Shanti Shanti, Om...

Namo Buddhaya...

Shalom Aleichem b’Shem Ha Mashiach....

Puji syukur kepada Allah swt. atas waktu untuk kita semua, kesempatan untuk

bernafas, kesempatan mengingat keluarga dan mengingat-Nya. Sehingga semua proses

dalam penyelesaian Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir ini pun berjalan

dengan baik.

Sebuah proses menuju akhir memang tidak mudah, tetapi juga tidak sulit,

relative. Maka berkat bantuan dari berbagai pihak, penyusunan pun selesai pada

waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Sebelas Maret.

2. Kahar Sunoko, ST, MT selaku Ketua Prodi Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Sebelas Maret.

3. Ir. Suparno, MT, selaku Dosen Pembimbing I Tugas Akhir.

4. Ir. Hari Yuliarso, MT , selaku Dosen Pembimbing II Tugas Akhir.

5. Ir. FX. Soewandi, selaku Pembimbing Akademik.

6. Teman-teman Jurusan Arsitektur UNS, teman-teman kantin, teman-teman KFA,

terima kasih atas prosesnya.

(4)

commit to user

Terima kasih untuk semuanya...

Untuk keluarga, untuk kawan, untuk dosen...

(5)

commit to user

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

UCAPAN TERIMA KASIH iv

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1. LATAR BELAKANG 2

I.1.1. Umum – Perkembangan paradigma dan konsekuensi

pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik. 2

I.1.2. Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah

apresiasi. 4

I.2. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN 5

I.3. TUJUAN DAN SASARAN 6

I.4. LINGKUP DAN BATASAN 6

I.5. METODOLOGI 7

I.5.1. Metode Penelusuran Masalah 7

I.5.2. Metode Pencarian Data dan Informasi 7

I.5.3. Metode Perumusan Konsep Desain 7

I.5.4. Metode Desain 8

I.6. SISTEMATIKA PENULISAN 8

BAB II TINJAUAN 9

II.1. REVITALISASI 9

II.2. AWAL PERADABAN NUSANTARA 11

(6)

commit to user

II.3.1. Jagad dan Kota 14

II.3.2. Halun-Halun 28

II.3.3. Marga dan Ratan 38

II.3.4. Pasar atau Peken 43

II.3.5. Mesjid dan Pusat Kekuasaan 44

II.3.6. Pawisman atau Pamohan 46

II.3.7. Dari Kuta Negara ke Kota Modern 49

II.4. ALUN-ALUN SECARA FUNGSIONAL MASA

PRAKOLONIAL 54

II.5. RUANG PUBLIK 62

II.5.1. Peranan Ruang Publik 62

II.5.2. Permasalahan Ruang Publik Kota 65

II.5.3. Ruang Publik sebagai Elemen Perancangan Kota 70

II.5.4. Paradigma Baru Perancangan Kota di Indonesia 73

II.5.5. Tipologi Ruang Publik 76

II.5.6. Kriteria Desain Tak Terukur (unmeasureable design criterias) 83

II.6. PANGGUNG PERTUNJUKAN 84

II.6.1. Jenis-jenis Panggung 85

II.6.2. Pengetahuan Tata Pentas 93

II.6.3. Macam-macam Panggung 95

II.6.3.1.Panggung Prosenium atau Panggung Pigura 95

II.6.3.2.Panggung Portable 97

II.6.3.3.Panggung Arena 97

(7)

commit to user

II.6.3.5.Panggung Kereta 100

II.6.3.6.Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas 100

II.7. KONDISI KABUPATEN PONOROGO 102

II.7.1. Potensi Kawasan Alun-alun Ponorogo 108

II.7.2. Masalah Kawasan Alun-alun Ponorogo 109

II.8. PRESEDEN 110

II.8.1. Alun-alun Wonosobo 110

II.8.2. Alun-alun Jogjakarta 111

II.9. KESIMPULAN 112

BAB III REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO

SEBAGAI RUANG PUBLIK 113

BAB IV ANALISA REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN

PONOROGO 119

IV.1. ANALISA KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO 122

IV.2. ANALISA KARAKTERISTIK BANGUNAN 125

IV.3. ANALISA PERUANGAN 126

IV.3.1. Analisa Kebutuhan Ruang Panggung Utama 126

IV.3.2. Analisa Kebutuhan Ruang Pasar 127

IV.3.3. Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama 128

IV.3.4. Analisa Pengelompokan Ruang Pasar 130

IV.3.5. Analisa Persyaratan Ruang 130

IV.3.6. Analisa Besaran Ruang 132

IV.3.7. Analisa Pengolahan Tapak 133

(8)

commit to user

IV.3.7.2. Analisa View 135

IV.3.7.3. Analisa Pencapaian 137

IV.3.7.4. Analisa Kebisingan 138

IV.3.7.5. Analisa Zoning 139

IV.3.7.6. Analisa Pencahayaan 140

IV.3.7.7. Analisa Penghawaan 140

BAB V KONSEP REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO

SEBAGAI RUANG PUBLIK 141

V.1. Konsep Bangunan Revitalisasi Kawasan Alun-alun Ponorogo 141

V.2. Konsep Peruangan 143

V.2.1. Konsep Pesyaratan Ruang 143

V.2.2. Konsep Besaran Ruang 144

V.3. Konsep Site Terpilih 145

V.4. Konsep Dalam Bangunan 146

V.5. Konsep Struktur Bangunan 146

V.6. Konsep Utilitas Bangunan 148

DAFTAR PUSTAKA xii

(9)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal 3

Gambar 1.2 Panggung Pertunjukan di Alun-alun Ponorogo 5

Gambar 2.1 Struktur Pusat Negara Demak 17

Gambar 2.2 Kompleks Masjid Demak 1602-1606 20

Gambar 2.3 Kompleks Masjid Demak 1602-1606 20

Gambar 2.4 Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599.

Terdapat di kompleks makam Ratu Kalinyamat 21

Gambar 2.5 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun

kira-kira abad ke-12 merupakan puncak hasil seni

bangunan batu bata di Indonesia 22

Gambar2.6 Denah kompleks makam Kota Gede 23

Gambar 2.7 Kompleks makam-masjid Kota Gede 25

Gambar 2.8 Pusat kota Yogyakarta 31

Gambar 2.9 Denah Kompleks Keraton Yogyakarta 31

Gambar 2.10 Keraton Yogyakarta 32

Gambar 2.11 Pusat Kota Surakarta 33

Gambar 2.12 Keraton Surakarta 34

Gambar 2.13 Tatanan Keraton Surakarta berdasarkan Kosmologi 54

Gambar 2.14 Rekonstruksi Kraton Majapahit oleh Maclaine Port

berdasakan Kitab Negarakertagama (1924) 56

Gambar 2.15 Keadaan Kraton Surakarta sekarang dengan

(10)

commit to user

Gambar 2.16 Sketsa Topografi Kraton Yogyakarta dan

lingkungannya ketika serangan Inggris (1812) 59

Gambar 2.17 Pagar kayu yang membatasi Alun-alun Kraton

Yogyakarta, yang merupakan bukti bahwa Alun-alun

dulunya masih merupakan bagian dari Kraton 60

Gambar 2.18 Denah panggung teater kecil 85

Gambar 2.19 Berbagai macam model panggung 86

Gambar 2.20 Panggung proscenium 87

Gambar 2.21 Panggung thrust 89

Gambar 2.22 Bagian-bagian panggung I 90

Gambar 2.23 Bagian panggung II 91

Gambar 2.24 Denah Panggung Proscenium 96

Gambar 2.25 Panggung Portable 97

Gambar 2.26 Denah Panggung Tapal Kuda 98

Gambar 2.27 Denah Panggung Arena bentuk U 98

Gambar 2.28 Denah Panggung Arena bujur sangkar 99

Gambar 2.29 Denah Panggung Arena bentuk lingkaran 99

Gambar 2.30 Denah Panggung Terbuka 100

Gambar 2.31 Peta Wilayah Kabupaten Ponorogo 103

Gambar 2.32 Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo 104

Gambar 2.33 Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ponorogo 107

Gambar 2.34 Kepadatan Penduduk Kabupaten Ponorogo 108

Gambar 2.35 Situasi Alun-alun Wonosobo 110

(11)

commit to user

Gambar 2.37 Kawasan Alun-alun Kabupaten Ponorogo 112

Gambar 3.1 Alun-alun Ponorogo sebelum Panggung Pertunjukan 116

Gambar 3.2 Alun-alun Ponorogo sesudah Panggung Pertunjukan 117

Gambar 4.1 Kondisi panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo

pada saat menjelang Syawal 119

Gambar 4.2 Kondisi panggung pertunjukan pada waktu

Grebeg Suro 2011 120

Gambar 4.3 Alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal 121

Gambar 4.4 Kondisi sirkulasi lalu lintas Alun-alun Ponorogo

sekarang 122

Gambar 4.5 Pasar Alun-alun Ponorogo 123

Gambar 5.1 Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang di bangun

kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak hasil

seni bangunan batu bata di Indonesia 141

(12)

commit to user

ABSTRAKSI

REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO

SEBAGAI RUANG PUBLIK

Setiap kota memiliki keragaman bentuk sosial,budaya,dan ekonomi. Ponorogo

yang merupakan salah satu kota yang masih menganut kota jawa kuno, dimana di

dalamnya sebuah pusat kota terdapat sebuah Alun-alun. Kondisi Alun-alun pun

sekarang bergeser pemaknaannya dari awal penciptaanya. Kegiatan perekonomian pun

seperti merajai kondisi Alun-alun sekarang.

Perevitalisasian yang bersifat penggabungan antara pemaknaan Alun-alun pada

masa Keraton dengan kebutuhan ruang publik masyarakat modern sekarang.

Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara

dialektis. Tentang tata letak pusat kota Jawa, pengaruh agama Hindu Budha dalam

mendesain sebuah pusat kota.

REVITALIZATION OF ALUN-ALUN PONOROGO AREA AS A PUBLIC

SPACE

Every town has a variety of forms of social, cultural, and economic. Ponorogo

which is one city that still adhered to the ancient Javanese city, from where there is a

center of a town square. Square condition was now shifted from the initial meaning of

thought. Economic activity was dominated conditions such as the square now.

Revitalization which is a merger between the meaning of the square in the

Palace with the needs of the public sphere of modern society today. Modernization is

not an alternative to the tradition, but the two are dialectically related. About the layout

of the center of Java, the influence of Hinduism Buddhism in designing a city center.

(13)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

Pengenalan tentang kebudayaan nusantara sangat penting sekali, seiring

dengan memudarnya kebudayaan itu sendiri, seolah-olah ditelan oleh modernisasi.

Pengenalan kebudayaan pun harus mempunyai solusi untuk mengembalikannya,

pengenalan yang bersifat plural dan dapat di akses oleh masyarakat secara luas

dan mudah. Sebuah modernisasi bukanlah sebuah aral yang menghambat

perkembangan seni, lalu bagaimana kita dapat berjalan seiring dengan

modernisasi dan kemajuan teknologi. Sebuah wadah yang mengapresiasi

kebutuhan akan ruang berseni yang dapat di akses oleh masyarakat luas.

Hampir setiap kota memiliki ciri khas sendiri-sendiri,kita setuju dengan

hal itu. Sama hal-nya dengan kota Ponorogo –kota asal mula kesenian reog-

mempunyai kebudayaan, kebiasaan, perilaku masyarakat yang sangat khas. Setiap

malam bulan purnama pada setiap bulannya, selalu di adakan sebuah pagelaran

seni pertunjukan di alun-alun kota. Bisa berupa seni tari reog, wayang kulit, tari

kontemporer. Adanya panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam

menyajian sebuah karya seni pertunjukan. Kota ponorogo pun juga memiliki

sebuah panggung pertunjukan yang sangat strategis yang dapat diakses oleh

semua warga masyarakatnya, dipusat kota, alun-alun kota ponorogo.

Tetapi panggung tersebut mempunyai nilai fungsional yang kurang

maksimal. Tidak adanya zona servis yang dapat menunjang semua kegiatan seni

(14)

commit to user

memaksimalkan potensi seni pertunjukan di wilayah ponorogo dan pada akhirnya

dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki sosial ekonomi masyarakat

ponorogo.

I.1 LATAR BELAKANG

I.1.1 Umum Perkembangan paradigma dan konsekuensi

pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik.

Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang

keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas.

Ciri-ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit

dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama.

Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai

ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan.

Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka

umum dengan paham berhak melakukan apa saja.

Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini

barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat

diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai

sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu

struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan

apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah

suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis.

Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya,

(15)

commit to user

sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada

keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang

baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan

yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu

pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang

untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat

diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata

terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin

untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional

sebagai dasar konsensus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar

dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan

pengembangan yang memadai untuk menghadapi tantangan – tantangan

dewasa ini.

Banyak alun-alun yang

tidak lagi bisa disebut alun-alun

dalam makna tradisional.

Alun-alun sekarang adalah ruang

terbuka umum, namun tidak

seharusnya kehilangan makna

filosifis yang terkandung di

dalamnya agar alun-alun masih

menunjukkan ikatan budaya

dengan masyarakat dalam

bentuk yang sesuai dengan

Gambar 1.1

Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal

(16)

commit to user

perkembangan jaman. Alun-alun, sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi

sebagian anggota masyarakat adalah tempat mencari nafkah. PKL sudah

ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai pedagang keliling

sedangkan sekarang lebih banyak membangun tenda semi permanen.

Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran

alun-alun sebagai ruang terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian,

bahkan seharusnya diperkuat peran dan fungsinya. Selain berfungsi

sebagai taman untuk menghirup udara segar, rekreasi bersama keluarga,

olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana pendidikan.

Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya,

memiliki nilai kesejarahan dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga

bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa dijual sebagai objek

pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat

penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak

bisa “bercerita” tentang sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu

alun-alun dalam skala Keraton maupun dalam skala Kabupaten. Menjadi objek

maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang terkandung

sebagai warisan kekayaan budaya nasional.

I.1.2 Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah apresiasi.

Panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam

pengembangan apresiasi seni, juga sebagai media pengenalan kepada

masyarakat. Seharusnya panggung tersebut memberikan kontribusi kepada

(17)

commit to user menjaga kebudayaan nusantara.

Panggung pertunjukan yang ada

di alun-alun Ponorogo sekarang

ini tidak mempunyai zona servis

sendiri. Hal ini menyangkut

kenyamanan bangunan tersebut

ketika di gunakan usernya.

Ketika bangunan panggung

pertunjukan ini dapat

dimaksimalkan secara fungsional

diharapkan perekonomian

masyarakat sekitar juga meningkat

karena adanya wisatawan dalam kota maupun luar kota.

I.2 PERMASALAHAN DAN PERSOALAN

Permasalahannya, bagaimanakah merevitalisasi kawasan di alun-alun

Ponorogo yang lebih baik secara fungsional dan dapat memberikan kontribusi

dalam pengembangan potensi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan

budaya. Persoalan dipaparkan sebagai berikut.

- Bagaimanakah desain yang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan

fungsi bangunan.

- Bagaimana tatanan baru yang tetap dapat menjadi wadah kegiatan sosial,

budaya, dan ekonomi.

Gambar 1.2

(18)

commit to user

- Bagaimanakah desain yang sebisa mungkin dapat mengembalikan fungsi

alun-alun.

I.3 TUJUAN DAN SASARAN

Tujuannya, revitalisasi kawasan Alun-alun di Ponorogo, sehingga dapat

memberikan input baru kepada masyarakat tentang kebudayaan nusantara.

Sasaran dipaparkan sebagai berikut.

- Tata massa bangunan.

- Bentuk panggung pertunjukan.

- Sistem struktur dan konstruksi bangunan.

- Material bangunan.

- Tata kawasan dan landscaping.

- Sistem sirkulasi bangunan dan kawasan.

- Sistem utilitas penunjang fungsi

I.4 LINGKUP DAN BATASAN

Lingkup pembahasan adalah cakupan disiplin ilmu arsitektur antara lain

tema spesifik mengenai ruang publik, aspek redesain panggung pertunjukan

sebagai produk fisik, aspek lingkungan alun-alun, serta lokasi (site) spesifik

area alun-alun Ponorogo. Batasannya dapat dijelaskan sebagai berikut.

- Pembahasan tema ruang publik untuk masyarakat Ponorogo

- Aspek mengenai lingkungan alun-alun dibatasi pada isu-isu yang

bersangkutan, keluar dari ketentuan-ketentuan formal mengenai

(19)

commit to user

- Aspek lokasi berkaitan dengan fisik panggung pertunjukan dan esksisting

sebagai objek perencanaan.

I.5 METODOLOGI

I.5.1 Metode Penelusuran Masalah

- Observasi, menyusun adanya permasalahan-permasalahan yang timbul

di sekitar panggung pertunjukan dan alun-alun Ponorogo.

- Studi literatur, menemukan keterkaitan antara fenomena yang terjadi

dengan acuan ilmu.

I.5.2 Metode Pencarian Data dan Informasi

- Survey lanjutan, melanjutkan pengamatan pada lokasi dan aspek-aspek

yang berhubungan dan dibutuhkan dalam pertimbangan kebijakan

desain nantinya.

- Studi literatur, mengumpulkan referensi ilmu untuk mengolah

informasi dan data yang diperoleh.

I.5.3 Metode Perumusan Konsep Desain

Perumusan konsep perancanaan dan perancangan (desain) yaitu

melalui metoda induktif (berdasar data empirik) dan metode deduktif

(berdasar referensi yang membantu mengarahkan pembahasan). Cara yang

digunakan yaitu analisis deskriptif, yaitu analisis dengan cara

membandingkan/membahas data dan informasi dengan referensi yang

(20)

commit to user I.5.4 Metode Desain

- Mentransformasikan konsep yang diskriptif (verbal) ke dalam bentuk

gambar (visual).

- Sketsa ide.

- Studi tiga dimensi.

- Realisasi gambar ide menjadi suatu wujud rancangan (desain).

I.6 SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I Sebagai Pendahuluan untuk memberikan gambaran

tentang keseluruhan substansi penulisan ini.

BAB II Pemahaman Referensi, di sini sebagai acuan ilmu atau

pengetahuan umum yang dipilih dan dibutuhkan berkaitan

dengan pembahasan. Disertai tinjauan Ponorogo dengan

segala potensi yang ada di dalamnya.

BAB III Merupakan Gagasan, sebuah lingkungan alun-alun yang

akan direncanakan.

BAB IV Analisa merupakan penyelesaian persoalan desain untuk

menghasilkan konsep desain.

BAB V Merupakan output, memaparkan desain dan hasil rumusan

(21)

commit to user

BAB II

TINJAUAN TEORI

II.1. REVITALISASI

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau

bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami

kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses

revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan

aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan

potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat)

(Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi

pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan

peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk

melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat.Dalam kamus

besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan

menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.

Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital.

Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk

kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa

berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan

kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah

(22)

commit to user

adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu

sekali.

Revitalisasi termasuk di dalamnya adalah konservasi-preservasi1

merupakan bagian dari upaya perancangan kota untuk mempertahankan warisan

fisik budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan estetika-arsitektural.

Atau tepatnya merupakan upaya pelestarian lingkungan binaan agar tetap pada

kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan.Tergantung

dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini biasanya

disertai pula dengan upaya restorasi, rehabilitasi dan/atau rekonstruksi.Jadi,

revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian

kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami

kemunduran/degradasi. Selain itu, revitalisasi adalah kegiatan memodifikasi suatu

lingkungan atau benda cagar-budaya untuk pemakaian baru. Revitalisasi fisik

diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik)

kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan

dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk

kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives).

Hal ini mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan

akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng

terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.

Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi

sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek

sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi

1

(23)

commit to user

lingkungan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada

penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan

ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan

revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud

bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan

adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya

masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat luas. Ada beberapa aspek

lain yang penting dan sangat berperan dalam revitalisasi, yaitu penggunaan peran

teknologi informasi, khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak pihak untuk

menunjang kegiatan revitalisasi. Selain itu revitalisasi juga dapat ditinjau dari

aspek keunikan lokasi dan tempat bersejarah. atau revitalisasi dalam rangka untuk

mengubah citra suatu kawasan.

Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi

harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk

kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang kota

merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan

binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.

II.2.AWAL PERADABAN NUSANTARA2

Permukiman kota di nusantara tidak serta merta muncul begitu saja, proses

yang cukup panjang, mulai dari peradaban Hindu-Budha hingga sekarang. Negara

sebagai suatu bentuk kekuasaan politis ekonomis di Indonesia baru dikenal,

setidak-tidaknya, sejak abad ke-4. Bukti dari pengaruh ini diperoleh dari Prasasti

2

(24)

commit to user

Kutai3 pada pertengahan abad ke-20. Meskipun pada Prasasti Kutai tersebut tidak

disebut adanya sebuah negara, dapat diduga bahwa kerajaan Kutai dibawah

Mulawarman telah mengembangkan sebuah negara. Dengan negara ini organisasi

sosial politik dan ekonomi permukiman dikelola oleh suatu sistem kekuasaan atas

beberapa desa. Lingga4 menandai suatu keyakinan bahwa kekuatan kosmik

dihadirkan diatas bumi untuk menciptakan kesatuan aturan bumi dan kosmik raya

atas masyarakat manusia.

Pada dasarnya simbolisme lingga sebagai penghubung bumi dan langit ini

tidak lebih dari monumentalitas kekuasaan. Kekuatan spiritual yang dipakai dalam

pengukuhan lingga tidak bisa dilihat terpisah dari upaya untuk mempersatukan

apa yang telah dicapai secara sekuler. Dengan ritualisasi, lingga akan tidak dilihat

orang sebagai sekadar batu tegak, tetapi suatu benda yang telah diisi oleh makna

mistis. Mitologi akan mendukung kehadiran dan monumentalitas lingga tersebut

agar penghormatan atasnya terpelihara. Mitologi berkaitan erat dengan fungsi

suatu sejarah. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi terbukti bahwa sejarah tidak

luput dari pemaknaan perubahan kekuasaan baik polotik, sosial, maupun ekonomi.

3 Batu monumen lingga merupakan unsur penting dalam peradaban Hindu. Lingga didirikan untuk menandai tempat permukiman di mana kekuasaan dikukuhkan secara ritual menurut kepercayaan Hindu. Secara simbolik, lingga adalah representasi kekuatan Isvara. Daerah lingga biasanya didirikan/ditanami suatu prasasti yang memberikan keterangan waktu dan jumlah harta yang dipersembahkan oleh sang penguasa kepada para biarawan. Persembahan ini membuktikan kepada khalayak ramai bahwa kemampuan materi suatu wangsa telah sah dan mendapatkan restu serta dukungan spiritual. Dengan demikian wangsa yang bersangkutan memiliki legitimasi untuk memerintah daerah-daerah yang berada dibawah pengaruhnya. Lingga memiliki kesamaan dengan menhir.

4

(25)

commit to user

Dalam kepercayaaan Hindu yang berkembang di Jawa dan Bali, lingga

berhubungan erat dengan Dewa Siwa. Dewa yang dipercaya sebagai penguasa

dunia dalam segala bentuk manifestasinya. Siwa menguasai nasib dan jalan

kehidupan manusia di atas bumi ini. Dengan keyakinan demikian, lingga bukan

hanya lambang dari awal adanya kehidupan bertempat tinggal, tetapi juga awal

dari penyerahan diri dari ketidakpastian kepada sumber kekuatan kosmik raya.

Pendirian lingga membutuhkan pengorbanan dan upacara. Semua ini mungkin

dibuat untuk memberikan makna adanya keinginan mempertautkan kekuasaan

dengan bumi dan lingkungan dengan cara membuka alam. Kebutuhan manusia

akan adanya tengaran pada lanskap atau lingkungan fisiknya tampaknya berakar

dari hakikat eksistensialnya. Ada semacam ketakutan pada manusia yang

berkelompok mendiami suatu kawasan tanpa memiliki suatu tengaran tempatnya.

Tengaran menandakan bahwa suatu daerah dapat dikatakan sebagai tempat

tinggalnya. Tinggal di suatu daerah membutuhkan suatu sistem tanda, entah

berupa tugu atau pelataran. Mungkin lingga tidak lebih dan kurang dari satu

sistem tanda manusia intik memberikan tanda teritorial yang sudah dikuasai untuk

tempat tinggal. Pendirian tugu monumen yang lazim dalam peradaban Hindu di

Indonesia tak tampak lagi setelah peradaban Islam mulai mengembangkan

pengaruhnya di Indonesia. Sebenarnya pendirian monumen semacam lingga ini

tidaklah hilang begitu saja. Beberapa kasus memperlihatkan lingga sebagai bentuk

yang monumental yang terwujud dalam bentuk candi. Selama ini, hanya

candi-candi yang memberikan indikasi bahwa pembangunannya didukung oleh

(26)

commit to user

bahwa kompleks candi menjadi petunjuk bahwa masyarakat pendirinya sudah

bermukim, terkonsentrasi menetap, dalam pengertian urban.

Ketika dalam lingkungan candi memiliki suatu masyarakat yang

terkonsentrasi menetap –bermukim- dan mempunyai sistem sosial politik

ekonomi, tidak menutup kemungkinan adanya sebuah pusat pemerintahan. Dalam

hal ini, sebuah keraton memiliki perannya. Keraton sebagai pusat kekuasaan

selayaknya merupakan pusat di mana perkembangan permukiman urban bermula.

Keraton sebagai pusat kekuasaan sudah pasti memiliki tempat yang memberikan

tengaran orientasi dan membentuk wilayah yang terorganisir pencapaiaannya.

Untuk mendukung dua kondisi ini, pusat perlu didukung oleh lapangan terbuka

dan pasar.

II.3.PERMUKIMAN KOTA JAWA5

II.3.1. Jagad dan Kota

Konsep jagad Jawa erat kaitannya dengan konsep kekuasaan yang pada

prakteknya konstan dan mengalir di alam maupun di masyarakat manusia. Dalam

konsep ini, jagad merupakan kesatuan dan keteraturan hidup yang tidak

didasarkan pada perbedaan yang tajam atas kategori organik dan anorganik.

Jagad terjadi dan mengambil ruang serta waktu tertentu yang bisa

berulang. Pusat sebuah jagad atau rat (istilah Jawa asli) merupakan konsep yang

berdasarkan peristiwa di mana kekuatan-kekuatan kosmik dipercaya hadir dalam

dunia nyata. Peristiwa ini hanya terjadi melalui satu figur kepemimpinan yang

mampu merangkum spiritual dan sekuler sekaligus. Konsep kepemimpinan yang

5

(27)

commit to user

dikembangkan kebudayaan Jawa dalam permukiman urbannya tidak memisahkan

kekuasaan sekuler dari spiritual, justru menghendaki integrasi6 keseluruhan

kekuatan sosial yang ada dalamsatu figur. Karena konsep pusat urban Jawa tidak

pada pembendaan atau objektifikasi, bisa dipahami bila struktur fisiknya tidak

otoriter dan teratur geometris seperti halnya kota Alberti dan Scamozi7.

Sumber keberadaan jagad adalah satu dan karena itu kekuasaan pun

memiliki sifat homogen, sehingga kemanunggalan menjadi sentral dalam

pemikiran Jawa tentang jagadnya. Karena konsep kemanunggalan inilah

hubungan antara sesama manusia dan lingkungan alam maupun binaannya

cenderung mencari konsensus, bukan konflik yang dialektik8.

Jika jagad terjadi di lingkungan binaan, struktur apakah yang memberi

batas padanya? Bagaimana sebenarnya orang Jawa mendefinisikan jagad itu jika

tidak dikenal batas-batas yang jelas? Batas dimaksud berkaitan dengan

struktur-struktur yang membangun pengertian tentang apa dan bagaimana jagad itu. Dalam

Serat Centhini9 V pupuh 4 dapat dibaca perumpamaan jagad yaitu sebagai

kelir-nya pementasan wayang. Kelir dalam pengertian ini erat kaitannya dengan

6Integrasi berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi social dimaknai sebagai proses

penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Hal ini terkait dengan asimilasi dan akulturasi.

7

Leon Battista Alberti (14 Februari 1404 – 20 April 1472), Arsitek Vincenzo Scamozzi (2 September 1548 – 7 Agustus 1616), Arsitek

8

Dialektik merupakan seni berpikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, antithesis, dan sintesis.

9

(28)

commit to user

pementasan itu sendiri, ada adegan, peran, tempat, dan waktu. Kelir sendiri hanya

dimengerti bila ada lampu (blencong) yang memberi bayangan pada

wayang-wayang yang berperan. Jika sang dalang itu tak ubahnya sebagai yang empunya

dan menguasai hidup ini, jagad dalam pengertian Jawa itu sebenarnya bukan

dalam kekuasaan manusia. Kejadian-kejadian ketika jagad memperlihatkan diri

sebagai fenomena bermukim oleh orang Jawa hanya dipandang sebagai mampir

untuk minum. Dalam Serat Centhini sendiri dibedakan pengertian jagad dan

dunya. Dunya dikaitkan dengan pengertian yang fana dan menawarkan

kenikmatan sensual, yang tidak memiliki kedalaman dan makna kehidupan masa

depan. Sementara jagad bicara mengenai wisma masa depan manusia yang

memberikan pengetahuan sejati dan kebersatuan antara Sang Pencipta dan yang

diciptakan. Bermukim di atas bumi ini menurut konsepsi Jawa tidak lebih dari

kesementaraan untuk membekali diri dengan air kehidupan yang bisa membawa

langkah seseorang menuju kemanunggalan dengan Penciptanya.

Dengan konsep bermukim sekadar 'mampir minum' ini, orang Jawa

banyak melihat hidup dalam pengertian suatu kerangka maju atau mundur dalam

masalah materialistik. Struktur-struktur fisik permukiman oleh orang Jawa tidak

dilihat sebagai bangunan permanen, tetapi sebagai pondok sementara. Jika konsep

kesementaraan ini yang dianut, bermukim secara Jawa tidak banyak meluangkan

(29)

commit to user

Bagaimanakah karya rancang-bangun dan struktur fisik dari sebuah

negara atau kuta itu sebenarnya? Kota tua Jawa yang hingga kini masih

dapatdilihat strukturnya adalah Demak, Kudus, dan Kota Gede. Bagian

kotaDemak yang masih banyak meninggalkan petunjuk gagasan kota

negara,nampak pada

daerah yang kini

disebut Kauman,

Pecinan, dan Siti

Hinggil.(Gambar 2-1).

Meskipun

dalem Sultan Demak,

Raden Patah

(1500-1518), sudah tidak

nampak, namun

lokasinya masih dapat

diketahui. Dalem ini pasti terletak di daerah yang dikenal sebagai Siti Hinggil,

sebelah selatan alun-alun. Struktur pusat negara Demak .merupakan indikasi

penting konsep pusat kota di Jawa setelah Majapahit pudar kekuasaannya di Jawa

Timur. Demak berkembang bukan dari surplus pertanian, tetapi dari turnbuhnya

jasa perdagangan di pantai utara Jawa sebelum Portugis menguasai Selat Malaka

tahun 1513-1516. Dengan jasa perdagangan inilah, kompleks mesjid Demak yang

menandai masuknya Islam dalam sistem kekuasaan Jawa itu didirikan.

Struktur pusat Demak kemungkinan merujuk pada ibukota Majapahit

dengan skala lebih kecil. Di dalam struktur ini halun-halun menjadi struktur ruang Gambar 2-1Struktur pusat negara Demak (Sumber : buku Seni

(30)

commit to user

pengikat bagi Dalem/keraton maupun mesjid yang bersangkutan. Elemen-elemen

yang menarik warisan rancang bangun peradaban Hindu nampak pada kompleks

Mesjid Demak. Sekalipun orang masih berharap untuk mendapat data arkeologi

pada daerah Siti Hinggil (siti: permukaan tanah/bumi, hinggil: tinggi atau

ketinggian), namun bisa dilihat bahwa keraton sebagai tempat tinggal tidak

dibangun dalam struktur sepermanen dinding-dinding mesjid. Atau, kuta atau

tembok keliling keraton telah diratakan dengan tanah untuk perumahan penduduk

setelah kekuasaan sultan pudar dan bergeser ke Pajang dan Kota Gede sejak 1518

Kudus merupakan salah satu kota penting yang melanjutkan sinkretisme10

antara peradaban Hindu dan Islam ke dalam bangunan kompleks mesjid dan

makam. Sunan Kudus dalam sejarah dikenal sebagai salah satu Wali Sanga yang

sangat berpengaruh pada kerajaan-kerajaan Jepara, Demak, dan Pajang sekitar

awal abad ke-16. Sebagaimana Mesjid Demak, Mesjid Kudus merupakan bagian

yang dibangun tidak berdiri sendiri. Mesjid Kudus merupakan pendukung

kompleks makam Sunan Kudus. Kompleks Kudus ini meliputi wilayah lebih dari

5000 meter persegi. Seperti halnya kompleks Mesjid Demak, di makam-mesjid

Sunan Kudus orang akan menjumpai perpaduan elemen-elemen pura Hindu dan

kegiatan Islam. Bagian utama Mesjid Kudus lebih kecil dari Mesjid Demak.

Mesjid di Kudus ini nampak istimewa karena memiliki struktur bentar dan

paduraksa yang menerus menembus ruang utama mesjid. Struktur

gerbang-gerbang ini sekaligus memberi arah Kiblat yang kuat. Jika hal ini dibuat secara

(31)

commit to user

sengaja, struktur utama mesjid (mungkin aslinya) tidak perlu berdinding. Sumbu

Kiblat yang dibentuk oleh gerbang-gerbang memberikan konotasi sinkretisme

Hindu Islam pada tingkat tata ruang. Sementara penggunaan menara kul-kul dan

bedug memberi konotasi sinkretisme pada tingkat rancang bangun

representatifnya.

Struktur ruang makam-mesjid Kudus tidak memiliki hierarki11 yang

sederhana. Kompleks ini dibangun dengan dinding keliling bata merah, seperti

juga di Demak. Rancangan profil dinding ini mirip dengan dinding kompleks

candi-candi di Jawa Timur, Candi Penataran dan Candi Tikus. Setiap pintu masuk

yang melalui dinding-dinding tersebut hampir selalu ditandai oleh bangunan

bentar atau paduraksa. Tata ruang yang berlapis-Iapis dan membentuk segi empat

oleh dinding batu bata menunjukkan prosesi yang jelas memperlihatkan

terhormatnya derajat wilayah makam. Di Kudus, terdapat tidak kurang dari tujuh

lapis gerbang dan halaman berdinding. Di Demak, dapat dijumpai pula tatanan

ruang berlapis-Iapis, namun tidak serumit makam Sunan Kudus. Yang menarik di

Demak adalah kejelasan struktur ruang yang dibentuk oleh tembok keliling segi

empat dengan empat gerbang penjuru angin (Gambar 2-2). Struktur yang jelas ini

menyebabkan mesjid nampak lebih menonjol monumentalitasnya.

11

(32)

commit to user Sarean dikompleks mesjid

ini nampak sebagai struktur

pendukung yang memiliki jalur

prosesi sendiri. Yang membuat

tata ruang berlapis-lapis adalah

sarean utama yang dibangun

dengan struktur cungkup. Struktur

ini diyakini memberi perlindungan

bagi makam sebagai mana atap

melindungi tempat tidur. Orang

Jawa melihat kuburan sebagai

tempat yang disucikan dari

kegiatan harian.

Berziarah ke makam setara

dengan menghadap pada yang bersangkutan dengan penuh hormat dan dengan

menyucikan badan dari kotoran. Untuk mengawasi tertibnya ritual ini didirikanlah

paseban, di mana petugas jaga makam melaksanakan tugasnya. Pada umumnya,

paseban sudah dapat dilihat sejak masuk kompleks makam. Untuk melengkapi

ritual ziarah, pemandian dibangun. Di beberapa makam dikenakan tradisi

menggunakan pakaian tradisional Jawa tanpa alas kaki. Ritual semacam ini

merupakan bagian dari prosesi ziarah. Ritual ini pula yang menjadi dasar tata

ruang kompleks makam.

(33)

commit to user Lapisan ruang-ruang

yang perlu dilalui dari

prosesi ziarah ini dibuat

sedemikian rupa sehingga

memiliki kemiripan dengan

prosesi menuju tempat

tinggal raja yang

bersangkutan. Secara tata

ruang sarean dan dalem

alias kalenggahan sultan

selintas tidak berbeda. Dasar

dari struktur ruang yang

dikembangkan pada makam-makam Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat, hingga

Panembahan Senapati menunjukkan gejala yang sama yaitu sinkretisme antara

konsep candi Hindu, penghormatan leluhur asli Jawa dengan fasilitas dan ritual

Islam. Elemen-elemen pribumi nampak pada rancang bangun makam berumpak

yang mengingatkan pada punden berundak. Elemen-elemen Hindu diungkapkan

pada gubahan atap mesjid maupun struktur ruang berdinding dengan paduraksa

dan bentar. Semua terpadu untuk memberi tempat dimana kesucian badan

disyaratkan dalam mengikuti proses ritual di dalamnya.

Gambar 2-4Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599. Terdapat di kompleks makam Ratu

Kalinyamat.

(34)

commit to user

Teknik konstruksi

dinding terakota dan

rancang bangun kompleks

makam-mesjid Demak ini

dapat ditelusuri asal

usulnya dari

bangunan-bangunan peradaban

Majapahit, Candi Brahu,

Candi Tinggi (lihat

Gambar2-5), dan sisa-sisa Keraton Trowulan. Konstruksi batu bata yang saling

terkait tanpa bahan lain (tanpa semen pc, misalnya), selain hasil reaksi antara

gesekan bata-bata, merupakan kekhasan warisan Majapahit. Warisan seperti ini

masih dipraktekkan pada bangunan-bangunan tradisional Bali: puri, pura, dan

patirtan. Di dalam tradisi bangunan di Kota Gede, hubungan antar batu bata

tersebut dilekat oleh putih telur.

Gubahan bentuk dinding pada kompleks makam-mesjid Demak berupa

segi empat yang membentuk suatu enclosure12. Konsep segi empat ini mungkin

diturunkan dari konsep puri. Dengan konsep Sanskerta ini, wilayah terbina atau

terbangun telah menjadi suatu kategori dalem. Artinya, tempat yang dikelilingi

tembok batu bata itu sudah menjadi milik seseorang dalam mengungkapkan pusat

kekuasaan.

Dari tatanan fisik bangunannya, kompleks mesjid dan makam nampak

tidak dalam kaitan prosesi langsung, namun saling mendukung. Makam

12

Enclosure merupakan struktur yang terdiri dari suatu daerah yang telah ditutup untuk beberapa tujuan tertentu.

Gambar 2-5Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak

(35)

commit to user

ditempatkan sebagai bagian dalam dengan mesjid sebagai latar depannya. Dengan

begitu, nampak keluhuran kepercayaan asli memberi prioritas pada mesjid untuk

langsung menghadap ke alun-alun.

Kompleks makam dan mesjid ini mungkin bukan bermula di Demak dan

Kudus, kemudian mencapai kesempurnaan di Kota Gede (lihat Gambar2-6).

Setelah Kota Gede, makam-mesjid tidak lagi dibangun di pusat kota kerajaan.

Meskipun di Mesjid Agung Yogyakarta masih terdapat makam, namun bukanlah

tempat pemakaman keluarga Keraton Yogyakarta, karena Sultan Agung

membangun makam keluarga Kerajaan Mataram di Imogiri.

Kota Gede sebagai pusat peradaban Islam Jawa dibina oleh Ki Gede

Pamanahan sekitar tahun 1577 atas piagam Raja Pajang. Diceritakan oleh de

Graaf (1954/1987:52-54) bahwa hutan Mentaok mula-mula dibuka dan

(36)

commit to user

ini ditanami pohon buah-buahan. Ki Gede Pamanahan mendirikan mesjid sekitar

tahun 1587. Kemudian dilengkapi dengan serambi oleh Panembahan Senapati,

putra Ki Gede Pamanahan. Senapati membina apa yang sudah dirintis ayahnya ini

dengan membangun dinding luar, kitha bata putih, antara 1592-1593.

Apa yang dikenal sebagai kitha banon petak ini dibangun setelah Senapati

bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan yang berpengaruh besar ini menganjurkan

Senapati untuk membangun dalem-nya, dengan itu ia bisa berkuasa sebagai Raja

Mataram. Namun, tembok berbata putih masih belum sempurna bila tidak

dilindungi oleh pagar keliling yang lebih luas. Senapati memerintahkan rakyatnya

untuk membakar bata merah setiap musim kemarau dan mulai membangun kitha

jaba. Dengan pembangunan ini maka terbinalah apa yang disebut kitha jaba dan

kitha dalem. Dilaporkan oleh de Haan yang pemah mengunjungi Kota Gede tahun

1623 (de Graaf, 1987:116) bahwa jarak antara Jaba dan Dalem adalah

sepenembakan peluru (tidak lebih dari 2000 meter).

Situs Kota Gede memberikan informasi bahwa kitha dalem atau beteng

jera yang dibangun Senapati dengan banon putih masih nampak

sisa-sisanya.Beteng Jero ini melingkari kompleks keraton-singosaren (sekarang

namadesa) yang melingkupi kompleks makam-mesjid yang dibangun Ki Gede

Pamanahan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sementara itu, sepanjang beteng

atau kuta ini terdapat parit-parit. Dikabarkan bahwa Senapati biasa menggunakan

perahu kecil atau kanu untuk menuju keratonnya dari bagian selatan. Beteng jaba

kota Mataram Islam ini dibangun meliputi kawasan 5 km memanjang dari

Grojogan ke Ngipik, serta lebih dari 5 km dari Ngipik ke Wioro dan dengan jarak

(37)

commit to user

areal yang ada di bawah perlindungan beteng jaba atau kuta jaba meliputi wilayah

seluas 25 hingga 30 km persegi.Luas ini belum apa-apa dibandingkan dengan

Trowulan yang meliputi kawasan lebih dari 10 x 10 km persegi. Benteng luar

dibedakan dengan benteng dalam karena konstruksi dan bahan bangunannya. Pada

dinding kota bagian luar, Senapati tidak membangun dengan batu putih dengan

tebal lebih dari 30 cm dan tinggi lebih dari 2 meter, melainkan dengan dinding

batu bata setebal 60-70 cm dengan tinggi 2 hingga 3 meter. (lihat Gambar 2-6 dan

Gambar2-7).

(38)

commit to user

Dari apa yang dapat dilihat di Kota Gede ini dapat dibicarakan beberapa

aspek:

· Inti Kota Gede dimengerti sebagai tempat kompleks Sarean (kuburan) Panembahan Senapati itu berada, setelah Raja Mataram

Islam ini meninggal. Keraton Kota Gede sendiri tidak nampak

seperti pemakaman keluarga raja-raja. Kawasan di mana kuta yang

dibangun oleh Senapati masih dikenal sebagai permukiman

dalem/keraton. Mungkin struktur fisik keraton secara

perlahan-lahan hancur. Beberapa bagian pentingnya sejak 1618 dibawa

pindah ke Pleret, Kartasura kemudian ke Surakarta danYogyakarta.

Bisa diduga, bahwa di kompleks ini keraton Mataram Islam

pertama itu berdiri. Mesjid, makam, dan keraton merupakan

struktur-struktur utama dari apa yang disebut pusat Jagad-nya

Mataram Islam.Struktur fisik ini dikelilingi oleh dinding keliling

atau pager bhumi sehingga disebut kuta bukan pradesa.

· Pendirian benteng yang mengelilingi pusat kekuasaan· Mataram,

yang disebut pager bhumi itu, mengingatkan orang pada tradisi

karya rancang bangun Hindu. Dinding kelilingnya memberi nuansa

pengaruh karya rancang-bangun Hindu pada tata ruang Kota Gede.

Pengaruh ini dapat dilihat lebih jelas pada bentuk gapura serta

dinding yang dibangun dengan batu bata. Tempat pusat alias nabha

dalam pengertian negara-nya Kuta Gede ini jelas tidak menganut

aturan tata ruang sumbu yang menerus. Kompleks makam-mesjid

(39)

commit to user

Tempat di mana permukiman dan pasar berada masih merujuk ke

kawasan sekitar nama alun-alun ini. Sekarang, lokasi daerah yang

namanya alun-alun Kota Gede itu terisi oleh permukiman yang

padat.

· Di sekitar tempat pusat atau alun-alun inilah permukiman berkembang tanpa mengikuti jalur-jalur yang aksial geometris atau

berupa sumbu-sumbu yang terencana. Jalur pencapaian yang ada

pada prinsipnya bebas dan dibentuk oleh dinding pagar halaman.

Regol atau pintu masuk ke masing-masing rumah dicapai melalui

jalur sirkulasi yang meliuk-liuk ini.

· Permukiman Kota Gede terdiri dari beberapa kelompok yang tidak didasarkan oleh pola geometris sistematis, tetapi merupakan

compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu

compound dibangun dengan pembatas dinding keliling dari batu

bata terbuka atau diplester, dan terdiri atas 6 hingga 10 rumah. Di

kawasan yang disebut Jagalan, Purbayan, dan Basen dapat dilihat

struktur permukiman yang tunggal tidak berupa compound, seperti

di Singosaren dan Mutihan. Umumnya rumah tinggal dilengkapi

oleh pendapa yang dibangun di depan sebagai tempat tamu atau

kerja. Permukiman di Kota Gede ini dalam beberapa hal memiliki

(40)

commit to user II.3.2. Halun-Halun13

Dalam kenyataan fisiknya, yang disebut kuta atau negara itu selalu ada

halun-halunnya, yang kemudian disebut alun-alun. Mengapa bentuk dari ruang

terbuka ini segi empat atau hampir bujur sangkar? Di Yogyakarta dapat

ditemukan bentuk denah alun-alun yang jajaran genjang. Zoetmulder(1935)

menyebut adanya Mancapat yang sering dianut oleh orang Jawa sebagai pusat

orientasi spasial. Arah empat ini dipegang oleh orang Jawa dalam hubungannya

dengan empat unsur pembentuk keberadaan bhuwana: air, bumi, udara, dan api.

Dasar pembentuk kehidupan ini kemudian diturunkan sebagai dasar kategorisasi

untuk hal-hal lain, misalnya tata ruang pada kawasan alun-alun.

Hingga kini masih belum diketahui dengan pasti asal-usul alun-alun ini.

Jawa dikenal sebagai suatu budaya yang mengembangkan pemikiran tempat

bermukim lebih pada memberi atau mengenali sifat-sifatnya. Kata halun-halun

mungkin diasosiasikan dengan suatu tempat yang memiliki sifat telaga dengan

riak yang tenang. Sifat ini diperlukan oleh konsep kekuasaan Jawa sebagai

integrator segala keragaman peran, aspirasi, dan tradisi. Dengan kemampuan

integrasi dan toleransi yang tinggi, kemungkinan besar konsep halun-halun ini

merepresentasikan orang Jawa. Dapat diperkirakan bahwa lapangan terbuka ini

sudah ada sebelum masa Borobudur dan Prambanan dibangun, meskipun pada

relief-relief candi tersebut tak dilukiskan secara gamblang.

Hinduisme dan Buddhisme memberikan kontribusi perkembangan

alun-alun itu, sebab upacara-upacara kenegaraan Hindu pada khususnya membutuhkan

ruang terbuka untuk prosesi-prosesi ritual: penobatan Ratu, perkawinan agung,

13

(41)

commit to user

dan penyambutan-penyambutan tamu mancanegara. Catatan-catatan Portugis dan

Belanda sekitar abad ke-17 banyak merekam adu macan di alun. Jadi

alun-alun bukan sekedar tempat upacara tetapi juga tempat hiburan negara. Apakah

lapangan ini gagasan asli? Jika lapangan itu tidak pernah dikenal dalam tata urban

Jawa Hindu dan Buddha, tak akan ada konsep alun-alun itu.

Kata halun-halun sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kuno (Kawi) bukan

Sanskerta. Jadi, bisa diduga bahwa lapangan terbuka itu orisinal Jawa.

Yang menarik untuk diketahui adalah kenyataan bahwa di Tanah Sunda

(Jawa Barat) dikenal alun-alun dengan konsep yang sarna dengan di Jawa Tengah

dan Jawa Timur. Mungkin terdapat campur tangan Belanda dalam memberikan

status administrasi kabupaten, karesidenan, kawedanan, pada daerah-daerah

tertentu yang berada dalam pengawasan administrasi Pemerintah Kolonial.

Dugaan ini semakin kuat oleh adanya bangunan penjara yang selalu ditempatkan

di utara berhadapan dengan Kabupaten yang berada di selatan.

Dalam kitab Negarakertagama tertulis dengan jelas bahwa keberadaan

alun-alun sudah dimulai sejak abad ke-14 peradaban Majapahit. Namun alun-alun

yang dimaksud hendaknya tidak dikacaukan dengan Lapangan Bubat. Lapangan

ini lebih dekat dengan pengertian suatu waterfront Majapahit terhadap Kali

Brantas.

Negarakertagama menyebut adanya bhawana (yang bisa diduga

gudang-gudang) dan mapanta (diduga hunian pedagang). Indikasi yang diberikan dari

inskripsi mengenai negara pada zaman Majapahit tidak cukup untuk membuat

rekonstruksi fisik, tanpa bantuan data-data galian arkeologi. Hingga saat ini

(42)

commit to user

Meskipun demikian, Stutterheim (1948) dengan cermat telah membuat suatu

dugaan rekonstruksi dari kota Majapahit di Trowulan. Hasil rekonstruksi ini

memperlihatkan bahwa struktur kota Majapahit memiliki bentuk yang tersusun

oleh beberapa jalan dengan arah-arah sesuai dengan mata angin. Dapat ditafsirkan

bahwa struktur simpul kota Majapahit serupa dengan Perempatan Agung-nya

Hindu Bali. Dan sumbu-sumbu mata angin-lah yang mengorganisir tata ruang dan

bangunan secara keseluruhan.

Sekalipun jalan-jalan nampak tidak direncanakan dengan pegangan pada

satu sumbu aksial yang dominan, tetapi orang akan melihat posisi sentral dari

istana dan alun-alun. Dari hasil rekonstruksi yang dibuat Stutterheim, istana

Majapahit merupakan suatu struktur yang tidak sederhana dalam hierarki

ruang-ruangnya. Struktur di dalamnya dibentuk oleh bangunan-bangunan yang dibatasi

oleh dinding penyengker yang pasagi. Struktur ini menunjukkan bahwa karya

rancang-bangun Hindu berpengaruh besar terhadap tata ruang Jawa Majapahit, di

mana ruang hidup atau tempat peribadatan dibentuk oleh struktur yang memberi

kepastian orientasi. Struktur bangunan yang didirikan di dalam tembok pasagi

yang mengelilinginya dalam Bahasa Jawa Kuno disebut bangsal atau binangsal.

Jika alun-alun itu memiliki dasar keberadaan sebagai tempat ritual-ritual

dan kegiatan sosial kenegaraan, ia akan dianggap sebagai bagian dari pusat

kekuasaan bersama keraton dan candi utama. Pasar tidak akan berada di sekitar

alun-alun sebab berhubungan dengan kehidupan sekuler dan sehari-hari. Fakta ini

tidak dilihat pada kasus Kota Gede, di sini pasar (Sargede) berada di atas lahan

(43)

commit to user

spiritual terjadi di tempat yang sama: alun-alun. Di Jawa dikenal apa yang disebut

hari pasar, yang memungkinkan tumpang tindihnya kegiatan sekuler dan spiritual.

Dalam denah kota

Majapahit hasil rekonstruksi

Stutterheim (1948) dan tulisan

Madaine Pont (1924) didapat

keterangan bahwa alun-alun

Majapahit bersama keratonnya

terletak sentral. Di tengah

alun-alun terdapat bangunan atau

monumen, mungkin tempat Sang

Ratu dan para menterinya duduk

untuk menghadiri

upacara-upacara. Di sekitar alun-alun ini

dibangun candi Buddha. Yang

menarik adalah fakta bahwa

pura-pura Hindu-nya dibangun di

pinggiran luar kuta-negara di

Trowulan.

Pada pusat-pusat kota

Yogyakarta (lihat Gambar 2-8)

dan Surakarta (lihat Gambar2-10)

terdapat dua alun-alun, utara dan

selatan. Alun-alun

Gambar 2-8Pusat kota Yogyakarta

(Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)

Gambar 2-9Denah Kompleks Keraton Yogyakarta (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di

(44)

commit to user

Gambar 2-10Keraton Yogyakarta

(Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)

utaramerupakan tempat resmi yang berhubungan dengan raja. Sementara

alun-alunselatan untuk putra mahkota sebagai persiapan untuk

melakukanupacara-upacara kenegaraan.

Situasi di alun-alun biasanya mudah diamatidari panggung

Sanggabhuwana. Menara pandang ini tidak nampak di Keraton Yogyakarta, tetapi

dominan di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada situs Trowulan menara pandang

ini dapat ditemukan sisa-sisanya. Dengan menara pandang yang tingginya lebih

dari 12 meter ini, Sang Raja dapat mengamati lebih saksama situasi di alun-alun

maupun pasar.

Hingga saat ini, yang

disebut alun-alun di Jawa masih

dianggap lapangan formal yang

erat kaitannya dengan upacara

kenegaraan. Lapangan Monas

atau hampir semua alun-alun di

Jawa tidak menampung kegiatan

komersial. Bisa dikatakan ada

kesan bahwa alun-alun

mempunyai makna spiritual.

Betulkah konsep ini berakar dari

peradaban Jawa Hindu-Buddha?

Atau ini semua rekaan Sang

Penguasa Kolonial untuk

(45)

commit to user

bupati yang diawasinya supaya tidak dekat dengan rakyatnya?

Perubahan konsep alun-alun dapat ditemukan pada kasus kota Bandung.

Semula alun-alun Bandung merupakan pendukung perkembangan kota kembang

dipimpin oleh Bupati Wiranata Kusumah (1846-1874) di bawah instruksi

Gubernur Jendral van Hoevell, penerus Daendels. Alun-alun Bandung ini

dibangun beserta mesjid dan kabupatennya atas permintaan Pemerintah

Hindia-Belanda. Dengan demikian, alun-alun Bandung bukan dibangun atas dasar

aspirasi pribumi. Pemerintah Hindia-Belanda bermaksud untuk mempermudah

kontrol pada kekuasaan lokal jika pusat pemerintahannya berada di sepanjang

Grote Postweg.

Belanda sejak VOC abad ke-17 sudah sangat berpengalaman

memanfaatkan konsep maupun kekuasaan lokal. Perubahan konsep alun-alun

sebagai tempat upacara negara menjadi taman umum kota berlangsung di

Bandung sejak 1967. Sekarang alun-alun ini telah menjadi taman kota, bukan

sebagai kekosongan yang hanya digunakan untuk upacara-upacara kenegaraan.

Perubahan makna

alun-alun sebagai tempat terjadinya

dunia dalam konteks ritual

spiritual menjadi taman atau

ruang terbuka umum kota,

adalah konsep urban yang dapat

berkembang dalam kehidupan

bermukim modern. Kebutuhan

masyarakat kota akan upacara

(46)

commit to user

atau ritual-ritual kenegaraan akan didesak oleh kebutuhan pragmatis ekonomis

urban modern. Yang menarik untuk diketahui adalah kenyataan bahwa persepsi

masyarakat terhadap alun-alun seperti maknanya semula tetap terpelihara dengan

adanya kegiatan ritual yang berpusat di mesjid, meskipun hanya sekali-sekali.

Misalnya pada hari Idul Fitri atau Idul Adha.

Sultan Agung merupakan salah seorang raja Jawa yang sangat cerdik

dalam memelihara makna yang dimiliki alun-alun ini. Sekatenan atau upacara

Grebeg merupakan suatu tradisi upacara yang akan mampu membina makna

urban Jawa dari keberadaan alun-alun. Dengan adanya upacara ini, konsep negara

yang terjadi melalui pesta kenegaraan selalu diaktualisasikan. Tradisi-tradisi yang

dimiliki Jawa dari Hindu dan

Islam dapat berpadu dalam satu

upacara sekaligus. Upacara ini

fenomenal bagi budaya

bermukim urban, sebab kaitan

antara fungsi-fungsi dalam

ketatanegaraan Jawa

menampakkan diri sebagai suatu

konsep dunia yang khas, yang

maknanya bukan sekadar festival,

tetapi ada hal-hal yang sakral.

Semua ini menampakkan diri

dalam bentuk puisi kekuasaan

(47)

commit to user

yang penuh simbol. Orang modern yang tidak terbuka untuk belajar, mungkin

akan menganggap peristiwa atau peringatan Sekatenan sekadar pasar malam.

Jika pengertian sentra dari negara itu terjadi di alun-alun lalu bagaimana

kaitan lapangan ini dengan permukimannya? Tatanan permukiman yang ada di

Yogyakarta maupun hasil rekonstruksi Trowulan oleh Stutterheim sendiri tidak

langsung berkaitan dengan pola memusat. Ada indikasi yang dapat ditelusuri

konsep dasarnya, bahwa permukiman negara cenderung pada pola linier yang

menyebar dari alun-alun menurut empat arah utama. Posisi alun-alun sendiri

cenderung sebagai pusat orientasi mata angin.

Meskipun memiliki pusat yang berbentuk ruang terbuka, pengendalian

atau pengawasan penduduk yang besar dalam wilayah negara tidak

mengandalkan perencanaan struktur fisik yang geometris dengan bentuk dasar

tertentu. Dari struktur yang dapat ditangkap dari Kota Gede, Trowulan, maupun

Majapahit, orang cenderung mengatakan, bahwa struktur sosial masyarakat Jawa,

sekalipun hierarkis, tidak memperlihatkan sifat otoriter tegas. Struktur yang

egaliter14 nampak lebih dominan pada kota-kota Jawa ini. Hubungan konsep pusat

dan rakyat nampak lebih cenderung melalui kegiatan ritual upacara-upacara masal

di alun-alun negara. Di sini, ratu dianggap sebagai pusat kekuasaan sekaligus

pusat kegiatan ritual. Posisi ini mendukung struktur fisik permukiman urban lebih

terkonsentrasi pada ruang kegiatan upacara di depan keraton. Hingga saat ini,

belum cukup data yang memuaskan untuk memberikan rekonstruksi kota Jawa

masa Mataram Sanjaya-Syailendra hingga Majapahit.

14

(48)

commit to user

Apakah dengan data yang bisa dilihat di Karang Asem, Bali, dan di

Keraton Yogyakarta dan Surakarta, bisa ditelusuri konsep fisik negara? Ada

petunjuk umum bahwa pengertian ruang yang morfologis tidak dikenal di Jawa.

Hal ini ditunjukkan bukan saja pada fakta saat ini, tetapi data-data catatan Cina

abad ke-7 hingga ke-10 pun tak memberi titik terang. Ruang luar sebagai titik

tolak perencanaan dan perancangan fisik tidak sentral, tetapi ruang urban sebagai

pusat kegiatan ritual punya nilai tersendiri. Di sini, dapat diduga bahwa apa yang

disebut negara itu bisa jadi tak lebih dan tak kurang sebagai 'event' yang merujuk

pada kepentingan upacara.

Makna kekuasaan ritual dan sekuler diulangi dalam kalender beberapa

peristiwa. Konsep kekuasaan yang manunggal ini terus-menerus dibina sebagai

bagian dari tradisi urban dari zaman Mataram Hindu-Buddha hingga sekarang.

Jika dugaan ini benar, persepsi orang Jawa pada khususnya dan Indonesia secara

umum tentang kota bukan merujuk pada fisik. Rujukan mereka pada 'kejadian'

berkumpul dalam memperingati suatu peristiwa yang mempertautkan

kepentingan-kepentingan: sosiokultural, ekonomi, dan spiritual.

Jika persepsi kota merujuk pada bangun atau struktur fisik, sudah tentu ini

semua bertalian dengan organisasi sosial bermukimnya. Tetapi kenyataan

menunjukkan bahwa secara fisik, struktur permukiman urban Jawa hingga kini

cenderung linier. Pencapaian menjadi hal penting dalam tata letak. Ruang luar

yang morfologis tidak nampak dominan dalam tata letak permukiman.

Yang menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah fakta bahwa linieritas ini

menjadi bagian dari kegiatan sosial ekonomi di luar bangunan, sementara kegiatan

(49)

commit to user

sebagai upaya memadukan dua kepentingan ritual yang berpusat pada keraton

atau kabupaten dan mesjid. Sementara itu, yang disebut jalan bukan semata-mata

tempat orang berjalan, tetapi lebih bermakna sebagai pusat interaksi

sosial-ekonomi di luar rumah.

Apakah dua beringin kembar yang ditanam di tengah-tengah alun-alun itu

berkaitan dengan konsep dasar halun-halun? Di Yogyakarta maupun dikota-kota

kabupaten atau kadipaten di zaman Kolonial Belanda, alun-alun selalu lekat

dengan adanya dua beringin kurung pad a sumbu yang ditarik dari kabupaten atau

kadipatennya.

Di Kota Gede, masyarakat setempat secara turun temurun masih

mengingat adanya dua beringin itu di alun-alunnya. Tengaran utama dari

kompleks keraton sekarang adalah tempat di mana Watu Cilang dari Raden

Rangga disemayamkan. Sekitar tempat yang dikeramatkan ini ditanam empat

beringin yang mengitarinya. Beringin sebagai tengaran kitha di Kerajaan Mataram

Kota Gede ditanam oleh Ki Gede Pamanahan atas restu Sunan Kalijaga di muka

kompleks makam-mesjid. Beringin tua itu kemudian diberi nama oleh Sunan

Kalijaga. Sejak kapan sebenarnya beringin mulai digunakan sebagai tengaran

pusat kota? Apakah dengan demikian alun-alun di zaman Majapahit pun punya

beringin kurung pula? Dalam peradaban Hindu-Buddha, beringin dianggap sangat

tepat untuk tempat mendapat inspirasi. Di dalam kitab Negarakertagama, adanya

beringin kurung ini disebut, tetapi posisinya tidak terlalu jelas. Pohon beringin

dalam tradisi Hindu-Buddha dipercaya sebagai tempat yang memberikan

Gambar

Gambar 2-1Struktur pusat negara Demak (Sumber : buku Seni
Gambar 2-5Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang
Gambar 2-8Pusat kota Yogyakarta
Gambar 2-10Keraton Yogyakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “ Penilaian Ekonomi Manfaat Lingkungan Alun – Alun Kota Sebagai Kawasan Wisata Publik Di Kabupaten

Terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan fungsional Alun-alun Batu yaitu kondisi public furniture dan atraksi fisik, vegetasi dan kondisi

Dominasi yang terbangun dalam konteks Taman Alun-alun Bandung, adalah bagaimana Taman Alun- alun Bandung sekadar menjadi tempat di mana leisure masyarakat menemukan

untuk mengetahui bagaimana aktivitas yang ada di alun-alun selatan Yogyakarta saat ini dapat terbentuk, dengan melihat pengaruh dari faktor kebijakannya, kelembagaanya, serta

Perubahan peran dan fungsi alun-alun Kaliwungu sebagai ruang terbuka publik yang paling mendasar terjadi saat dikeluarkan kebijakan mengenai pengalihan fungsi pasar

Pada dasarnya alun-alun memiliki bentuk ruang yang mempengaruhi perilaku pengunjung sebagai pengguna pejalan kaki diarea alun-alun, seperti halnya fungsi alun- alun biasa dijadikan

Dikarenakan sifatnya terbuka untuk umum tanpa batasan apapun sehinggga alun-alun Karanganyar mewadahi berbagai kegiatan aktif seperti berinteraksi, mengasuh anak, acara festival dan

Penelitian ini melakukan analisis sentimen publik terhadap alun-alun sebagai ruang terbuka publik di Kabupaten Sukabumi menggunakan algoritma Naïve Bayes dalam melakukan analisis