• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEOR

II.3. PERMUKIMAN KOTA JAWA

II.3.3. Marga dan Ratan

Apa yang disebut marga sebenarnya telah menjadi identik dengan jalan. Tetapi apa yang dimaksud dalam konsep asalnya, marga berkaitan dengan penyebab adanya jagad sehari-hari. Ini untuk membedakan dengan halun-halun.

Marga mengindikasikan adanya lantaran atau laku sehingga sesuatu terjadi. Dunia sehari-hari orang Jawa terjadi oleh adanya marga, yang mengantarkan dunia umum menampakkan dirinya. Dalam perkembangan berikutnya, marga sebagai jalan tenggelam oleh konsep lain ratan yang merujuk pada dunia publik.

Rat adalah Bahasa Jawa Kuno untuk konsep 'dunia umum'. Nama Raja Amangku Rat sebenarnya tidak lain dari pengukuhan sang penguasa atas dunia, bahwa ialah yang memangku kehidupan di dalamnya. Konsep Rat ini diduga tenggelam setelah pengaruh Hindu-Buddha dengan bahasa Sansekertanya menjadi bahasa resmi keraton sejak pemerintahan Dinasti Sanjaya dan Syailendra.

Raja-raja Jawa setelah Sultan Agung Hanyakrakusuma kemudian menggunakan kata Rat kembali, mungkin untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan konsep kuno mereka akan dunia.

Apa yang disebut Rat kemudian Ratan itu bukanlah jalan atau permukaan yang rata, tetapi suatu konsep yang mampu merangkum dunia publik, negara,

15

commit to user

rakyat, dan semua kejadian di atas bumi pada suatu kaum atau kejadian-kejadian yang erat kaitannya dengan kesadaran.

Rat adalah kata antonim dari tanrat yang artinya tak sadarkan diri. Jadi konsep dunia yang asli dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno itu tidak abstrak seperti apa yang diungkapkan oleh pengertian bhuwana. Jalan di luar pawisman di mana kehidupan bermasyarakat terjadi itulah ratan.

Sementara, marga memberi indikasi penyebab atau lantaran terjadinya rat

itu. Jadi, marga adalah sarana untuk memungkinkan adanya atau eksistensinya dunia sehari-hari. Jika persepsi masyarakat Jawa terhadap jalan umum itu adalah tempat dunia di luar rumahnya, sarana ini sebenarnya bukan sebagai tempat lalu- lalang dengan kecepatan tinggi. Di dalam modernitas kehidupan urban abad ke-20 ini, apa yang disebut jalan identik dengan jalur sirkulasi kendaraan bermotor. Yang menarik pada jaringan jalan pada Kuta Trowulan Majapahit adalah terlukisnya jaringan jalan utama yang membentuk dua avenue yang saling berpotongan (Stutterheim:1948).

Jika hasil rekonstruksi kota Majapahit karya Stutterheim benar, maka apa yang disebut marga pada kuta-negara Majapahit itu tidak lebih dan tidak kurang sebagai ruang terbuka kota yang memberikan pedoman pembangunan. Pada

marga-marga kecil ruang umum kota itu diciptakan, sementara pada marga utama lebih memberikan konotasi orientasi dan mobilitas transportasi untuk bala tentara.

Dasar lain dari pembangunan marga utama tidak bisa dilepaskan dari kemungkinan adanya prosesi ritual atau upacara yang memerlukan ruang gerak linier untuk parade di muka Wanguntur atau balairung di muka keraton. Seberapa

commit to user

seringkah upacara kenegaraan yang identik dengan 'grand festival' itu terjadi di Majapahit?

Apakah jalan merupakan unsur utama pembentuk struktur kota-kota Jawa? Yang pasti diketahui adalah, bahwa ruang umum terbuka tidak menjadi bagian pembentuk struktur dan citra kota. Alun-alun sendiri merupakan ruang terbuka yang lepas. Ia tidak dibentuk secara meruang oleh struktur atau bangunan sekitarnya sehingga membentuk suatu enclosure yang terencana. Tetapi, dinding- dinding penyengker yang terlihat di Kota Gede membentuk lorong-lorong untuk sirkulasi pejalan kaki yang dikenal sebagai padamarga. Bahkan pada bangunan- bangunan yang menghadap ratan terlihat struktur lorong yang memiliki skala manusia.

Sekalipun belum terungkap secara terperinci bahwa marga tidak menjadi struktur pertama pembentuk tata ruang kuta adhiraja Majapahit di Trowulan, namun ada karakter khas yang perlu diperhatikan. Karakter ini adalah Catuspatha

yang pada tradisi tata ruang tradisional Bali disebut Caturmuka atau Prapatan Agung atau simpang empat. Pada posisi ini bangunan-bangunan negara yang penting berada. Di Trowulan Majapahit pada simpang empat ini berdiri Kuta adhinarphati (di mana keraton berada), Brahmasthana (pohon beringin yang besar), Peken Agung atau pasar besar, dan Lebuh atau lapangan terbuka yang dibiarkan tak ditempati oleh bangunan dan bukan alun-alun. Simpang empat ini menjadi pedoman orientasi arah-arah yang akan diambil ke dalam atau ke luar

kuta. Sementara pohon-pohon beringin ditanam berjejeran sebagai elemen ruang terbuka umum yang memberikan indikasi kawasan kuta.

commit to user

Jika jaringan marga itu tidak berperan penting dalam memberi bentuk struktur kota Jawa di Majapahit atau Kota Gede, pasti ada unsur fisik lain yang membimbing orang pada pengertian strukturnya. Yang pasti bisa diketahui adalah, bila marga menjadi pembentuk struktur dasar fisik urbannya, maka akan nampak pola geometris yang tegas, sekalipun tidak harus aksial. Di Kota Gede hal ini tidak dijumpai. Marga yang terbangun lebih mudah dimengerti sebagai akibat bukan sebab dari pembangunan yang bertahap bermula di sekitar sentra utama dan sentra-sentra selanjutnya. Sentra utama Kota Gede adalah tempat tinggal Panembahan Senapati, sementara sentra-sentra lainnya tempat tinggal para pangeran atau orang penting dari kerajaan Senapati.

Di kota Yogyakarta orang akan menyaksikan adanya sumbu dari Keraton menembus alun-alun terus melalui Jalan Malioboro ke Tugu dan Gunung Merapi. Apakah ini suatu tata ruang Jawa? Orang patut mencurigai pedoman tata ruang dan bangunan kota menurut sumbu ini pada campur tangan arsitek Barat (Belanda atau Portugis)16. Dalam Bahasa Jawa konsep garis aksial itu sesuatu yang asing. Pembuatan tata ruang dengan bentuk perspektifis ini membutuhkan penggunaan teropong dan alat ukur berpresisi tinggi.

Dari struktur fisiknya, nampak jelas bahwa permukiman yang berkembang di luar kawasan sumbu Tugu-Keraton itu berupa 'kampung' yang tidak berpedoman pada pola marga tetapi pada teritorialitas penyebaran pusat-utama ke pusat-pusat anak buahnya. Marga terbangun, tidak dibangun mendahului

16Keraton Yogya (dibangun 1755) banyak menampakkan pengaruh campuran Hindu Majapahit dengan Barok Italia dan Gothik Spanyol. Terlihat dari Taman Sari (1758) yang dirancang orang Portugis. Sejak Senapati hingga Sultan Agung, juru taman keraton adalah orang Eropa atau Cina (De Graaf, 1987:88-89). Oleh karena itu, bisa jadi Keraton Yogyakarta bukan sepenuhnya rancangan arsitek Jawa, namun di bawah nasihat ahli Belanda atau Eropa.

commit to user

permukiman, merupakan penghubung antarsentra yang ada: Pakualaman, Gondomanan, Suryodiningratan, Prawirotaman, Tirtodipuran, Mangkuyudan, Sosrowijayan, Jogokarsan, Suryatmajan, Pringgokusuman, Bausasran, Purwanggan, dan seterusnya. Nama-nama daerah ini dikenal dan diidentifikasikan pada para pangeran yang dipercaya oleh Sang Ratu untuk mendiaminya.

Permukiman rakyat yang menjadi pengikut atau kawula dari pangeran itu mengikuti prinsip tata ruang yang disebut di Yogya magersari. Artinya permukiman mengelilingi ghrya Sang Pangeran tertentu itu dalam rangka membangun pagar yang indah. Sari sendiri berarti inti. Jadi, apa yang dimaksud dengan tata ruang magersari adalah membangun tempat bermukim mengelilingi sebuah pusat kekuasaan yang mewakili kekuasaan keraton di tanah itu. Beberapa kawasan tidak memiliki pola ini, misalnya: Tukangan, Godean, Mergangsan, Jagalan, dan seterusnya. Kelompok permukiman yang berkembang di sini ada yang berkaitan dengan profesi tertentu ada pula yang sekedar nama, artinya tidak mengikuti tata ruang magersari.

Dengan dasar tata ruang yang membentuk 'compound' permukiman yang berinti pada tempat tinggal Sang Penguasa ini, maka tidak mengherankan bila jalan-jalan tradisonal itu tidak perlu lurus-lurus, bukan hanya karena moda transportasi yang dipakai berkecepatan di bawah 30 km per jam,tetapi juga titik tolak pembangunannya yang bukan didasarkan atas perencanaan dan desain arsitektural. Dalam tata kehidupan negara, marga pun memiliki fungsi yang penting dalam menghidupkan aktivitas ekonomi. Aktivitas semacam ini bisa diduga tempatnya tak akan jauh dari tepian jalan.

commit to user II.3.4. Pasar atau Peken17

Pasar secara harfiah berarti berkumpul untuk tukar menukar barang atau jual beli sekali dalam 5 hari Jawa. Pasar diduga dari kata Sanskerta

Pancawara.Pasar dalam konsep urban Jawa adalah kejadian yang berulang secara ritmik dimana transaksi sendiri tidak sentral. Yang sentral dalam kegiatan pasaran adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Berkumpul dalam arti saling ketemu muka dan berjual beli pada hari pasaran menjadi semacam panggilan sosial periodik. Kata lain dari pasar adalah peken yang kata kerjanya

mapeken artinya berkumpul.

Peken adalah tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara. Berbeda dengan berkumpul karena ada 'gawe' atau upacara atau 'slametan', kegiatan pasar atau peken tidak dititipi oleh ritual dan simbol-simbol. Ini menjadi petunjuk, bahwa hari pasar bukanlah peristiwa dimana manifestasi kekuasaan itu mengalami proses transformasi. Pada pertemuan ritual atau 'slametan', orang Jawa percaya adanya transformasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi stabilitas Jagad Jawa. Jika pasar dipandang sebagai kejadian periodik yang tidak bersangkut-paut dengan konsep kekuasaan secara langsung,letak pasar secara urban Jawa tidak akan di alun-alun. Pasar akanmenjadi kejadian di luar alun-alun dan masuk ke dalam kegiatan margayang menyebabkan kehidupan dunya bisa berlangsung.

Pasar atau peken di kehidupan urban Majapahit terletak di simpang empat yang menjadi titik orientasi sebelum masuk ke kuta-negara. Dari titik inilah dapat diketahui daerah-daerah yang ada dalam kawasan urbannya. Peken Agung

17

commit to user

memiliki arti tersendiri bagi Majapahit, karena di tempat inilah pertempuran besar terjadi. Mungkin inilah tempat pertempuran antara Pajajaran dan Majapahit akibat kesalahan fatal Maha Patih Gajahmada di alun-alun Bubat. Peken Agung disebut dalam sejarah Majapahit bukan sekadar pasar tetapi tempat yang mengingatkan pada kepahitan sejarah.

Dokumen terkait