• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memori Kultural Konflik dan Media (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memori Kultural Konflik dan Media (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Memori Kultural, Konflik, dan Media

Studi Kasus:

Pertikaian Indonesia dan Malaysia atas Ikla E ig atic Malaysia Gilang Desti Parahita

Juni, 2013

Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL

Universitas Gadjah Mada parahita.gilang@gmail.com

Abstract THIS essay proposes that:

1) intercultural communication that is exclusively based on cultural memory – which is asymetrical— can lead to intercultural conflict. In the context of 2009 Indonesian-Malaysian dispute, the conflict substance is the cultural memories that are experienced by Indonesian and Malaysian are different.

2) The intercultural conflict might be aroused by mainstream media that uses the past conflict –stored in cultural memory— in framing international news. On the other hand, the new media media is involved in intercultural conflict by its capability in mediating conflict, being a conflict tool, preserving conflict, and becoming the material of conflict memory itself.

Keywords: memori budaya, pertikaian antar budaya, Internet

KONFLIK antar budaya adalah inkompabilitas nilai-nilai, harapan-harapan, proses-proses,

atau hasil-hasil yang diyakini atau dilakukan oleh dua pihak dari dua budaya yang berbeda

atas isu-isu substantif atau relasional (Ting-Toomey, 1994). Definisi tersebut menunjukkan

tiga ciri dari konflik antarbudaya seperti yang dipaparkan Stella Ting-Toomey dan Leeva

Chung (2012):

1) Melibatkan persepsi antar budaya yang terlihat melalui kacamata etnosentrisme dan

stereotip;

2) Persepsi etnosentris menambah bias dan prasangka pada proses konflik;

3) Proses atribusi kepada konflik diperumit dengan gaya konflik secara verbal dan

non-verbal yang dilatari oleh perbedaan latar belakang budaya.

Pada makalah ini penulis mengajukan dua dugaan terhadap konflik antar budaya

(2)

yang terlibat berkomunikasi bertolak dari memori kultural yang berbeda atau asimetris. Hal

ini dapat dijelaskan oleh fenomena konflik people to people antara Indonesia dan Malaysia yang sesungguhnya adalah dua negara dengan akar leluhur dan kebudayaan yang sama

namun berkembang menjadi dua negara yang berbeda dan mengembangkan memori

kultural yang berbeda. Dugaan ini berada pada level substansi dari konflik antar budaya.

Dugaan berikutnya berada pada level cara berkomunikasi. Berbagai teori konflik

antar budaya menjelaskan penyebab konflik tersebut melalui perspektif yang berbeda, salah

satunya adalah teori kesalahpahaman budaya yang berasumsi bahwa konflik disebabkan

oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang

berbeda (Widiastuti, 2011; Ting-Toomey, 1994). Cara berkomunikasi di sini diterjemahkan

penulis sebagai strategi komunikasi yang tidak hanya mencakup kanal komunikasi yang

digunakan (tatap muka, atau termediasi oleh media atau simbol) melainkan juga gaya

berkomunikasi (linear, kontinum, kontekstual).

Pada level cara berkomunikasi ini, penulis mengajukan dugaan bahwa Internet

berpeluang menjadi media yang meredam atau meningkatkan eskalasi konflik manakala

Internet digunakan oleh para netizen Indonesia dan Malaysia untuk mempresentasikan,

menyimpan, dan mengarsipkan persamaan atau perbedaan memori kultural kedua belah

pihak.

Untuk membuktikan dugaan-dugaan tersebut, penulis akan menggunakan dua

strategi. Pertama, memaparkan keyakinan-keyakinan teoritik yang bertolak dari teori-teori

media, memori kultural, dan konflik.

Kedua, menggunakan contoh konflik antara netizen Indonesia dan Malaysia yang

terjadi di Youtube Dotcom, situs pengunggah gambar bergerak, khususnya pertikaian

netizen kedua negara tersebut atas video berita tentang dipakainya Tari Pendet pada iklan

E ig ati Malaysia . Konflik yang dimaksud di sini tidak dalam arti kontak fisik melainkan

pertikaian verbal dan simbolik di antara kedua belah pihak. Pertikaian itu dipilih karena

melibatkan orang-orang yang berasal dari dua negara dan isu yang dipertikaikan (seni

(3)

Memori kultural, Komunikasi, dan Konflik

Penulis mengajukan dugaan bahwa komunikasi antarbudaya yang terjebak pada

penggalian memori kultural masing-masing kelompok budaya akan menyebabkan konflik

antarbudaya. Dugaan tersebut berangkat dari dua premis yaitu:

1) Setiap kelompok budaya mengkonstruksi memori kulturalnya masing-masing.

Akar pemikiran memori kultural adalah memori kolektif. Istilah memori

kultural yang digunakan di sini berakar dari istilah yang digunakan oleh Maurice

Halbwach yaitu memori kolektif. Berikut ini adalah basis-basis pemikiran Halbwach

(1950) (dalam Neiger, et.al, 2011) tentang memori kolektif:

a. Memori kolektif dikonstruksi secara sosio-politik.

Memori kolektif tidaklah berarti menghadirkan fakta-fakta otentik masa lalu secara

bersama, melainkan salah satu versi masa lalu yang diseleksi untuk diingat oleh

kelompok tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dan membentuk persepsi diri

kelompok tersebut. Memori didefinisikan dan dinegosiasikan dalam lingkungan

kekuatan dan agenda politik tertentu.

b. Konstruksi memori kolektif berlangsung terus menerus dan dalam proses multidireksional.

Proses membentuk memori kolektif tidaklah linear maupun dalam urutan logis

melainkan dinamis dan kontingen (banyak kemungkinan). Peristiwa dan keyakinan

hari ini membimbing pembacaan kita atas masa lalu dan pada saat yang sama skema

dan kerangka referensi yang dipelajari dari masa lalu membantu memahami hari ini.

c. Memori kolektif bersifat fungsional.

Suatu kelompok menggunakan memori kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu misalnya membangun kebersamaan, menentukan mana kawan mana 'the

other', bahkan mengenang masa lalu untuk menunjukkan pelajaran moral dari suatu kegagalan.

d. Memori kolektif harus dikonkretkan.

Memori kolektif adalah konsep teoretis yang banyak membahas ide-ide abstrak

namun untuk membuatnya fungsional konsep tersebut harus dikonkretkan dan

(4)

(commemorative rituals), monumen-monumen, museum-museum sejarah, Internet, dan banyak lagi.

e. Memori kolektif adalah narasional atau dikisahkan.

Memori haruslah terstruktur dalam pola budaya yang familiar. Pada banyak kasus,

memori kultural mewujud pada narasi yang terkenal, dimulai dari permulaan kisah,

perkembangan peristiwa, dan akhir cerita, juga ada tokoh protagonis dan antagonis.

Lebih dari itu, perujukan ke masa lalu juga melahirkan pelajaran-pelajaran moral

yang membimbing dan menunjukkan jalan bagi komunitas yang sekarang.

Terlihat dari basis-basis pemikiran Halbwach bahwa memori kolektif berada

di tingkat intersubjektif, politis, dan dikomunikasikan secara simbolik dengan

menggunakan artefak-artefak (dikonkretkan) atau disampaikan secara verbal

(dinarasikan). Pemikiran Maurice Halbwach tersebut dikembangkan oleh Jan Assman

(2008) dan Astrid Erll (2008). Alih-alih mengganti istilah memori kultural

Halbwachian dengan istilah lain, Assman (2008:110) membagi cara mengingat (ways of remembering) pada memori kultural ke dalam dua dimensi, yaitu memori komunikatif dan memori kultural. Memori komunikatif adalah sesuatu yang dihayati

oleh sejumlah orang dan membentuk sejumlah orang menjadi suatu kolektivitas

budaya atau identitas (Assman, ibid); sedangkan memori kultural adalah segala bentuk tradisi, transmisi, dan transferensi yang memungkinkan suatu memori

berpindah pada intragenerasi maupun intergenerasi (Assman, ibid).

Sementara itu, Astrid Erll (2008:3-8) menggagas untuk menggunakan istilah

memori kultural daripada memori kultural karena ia menyadari bahwa memori tidak

hanya merujuk pada artefak, melainkan pada tingkatan pengingatan (individual dan

kolektif), dan cara mengingat itu sendiri, misalnya: perang dapat diingat sebagai

perlawanan atau pendudukan. Memori kultural ditegaskan oleh Erll (2008:110)

bertolak dari teori-teori antropologis dan semiotik sehingga menurutnya memori

kultural mencakup aspek sosial (orang atau sekelompok orang), material (artefak

dan media) dan mental (cara mengingat) dari suatu memori sehingga istilah tersebut

mampu menunjukkan keeratan hubungan antara memori dengan konteks

(5)

Pendapat Maurice Halbwach, Jan Assman dan Astrid Erll tersebut

menunjukkan konsistensi tentang apa yang disebut dengan memori kultural atau

kultural yaitu bahwa memori kultural dikonstruksi oleh suatu masyarakat secara sosiopolitik yaitu melalui praktek komunikasi, kebijakan politik, maupun penciptaan material dengan berbagai tujuan sosial dan politik, misalnya untuk menciptakan garis batas in-group dan out-group maupun identitas suatu kelompok.

2. Memori kultural digunakan dalam komunikasi antar budaya.

Memori kultural digunakan dalam komunikasi karena beberapa faktor.

Pertama, memori telah disadari sebagai salah satu elemen keberhasilan dalam komunikasi. Hal itu ditunjukkan oleh berbagai teori komunikasi. Pada Teori Aksi

Berbasis Tujuan, memori jangka panjang –dalam sense psikologis— menjadi dasar untuk mengambil sikap dan tindakan (Griffin, 2012:103). Selain itu, memori dengan

jelas menjadi elemen yang penting pada tradisi retorika bahkan menjadi salah satu

cabang studi retorika sebab pembicara yang baik menurut Aristoteles adalah

pembicara yang mampu menggugah gagasan-gagasan dan frasa-frasa yang

tersimpan dalam pikiran (memori) audiens (Griffin, 2012:296).

Kedua, memori hadir melalui bahasa. Bahasa sebagai sarana komunikasi merupakan residu dari masa lalu. Hal itu didasarkan pada Olick dan Robins (1998)

yang menyitir Assman (2002) bahwa residu dari masa lalu nampak pada bahasa dan

komunikasi, termasuk di sini kemampuan untuk mengkomunikasikan memori.

Dengan kata lain, komunikasi merupakan cara untuk mendapatkan kembali (retrieve) memori dan bahasa atau media komunikasi lainnya (film, musik, foto, media cetak,

bita, Internet, dsb.) menjadi cara untuk mendapatkan kembali (retrieval) maupun penyimpanan (storing) dan pengarsipan (archiving) memori.

Ketiga, khususnya untuk komunikasi antarbudaya, memori digunakan untuk menarik garis batas pemisah di antara dua grup: this is my group, you are the other.

Assman (2008:109) menegaskan memori memungkinkan bagi kita untuk hidup pada

suatu kelompok dan komunitas, dan hidup pada suatu kelompok dan komunitas

memungkinkan kita untuk menciptakan sebuah memori. Artinya, memori

dikonstruksi oleh suatu kelompok untuk mendefinisikan kolektivitas kelompok itu

(6)

dengan suatu pengelompokan orang (ke sebuah komunitas hingga bangsa-negara)

karena bagaimana kita mendapatkan identitas personal dan sosial dilakukan salah

satunya dengan mengkostruksi masa lalu di berbagai lingkungan sosial. Singkatnya,

pemanggilan (recalling) ke memori kultural dilakukan untuk mempertegas batas-batas kelompok budaya pada proses komunikasi.

Pada bagian ini penulis telah menunjukkan dua premis yaitu:

1) Setiap kelompok budaya mengkonstruksi memori kulturalnya masing-masing.

2) Memori kultural digunakan dalam komunikasi antar budaya.

Kedua premis tersebut menunjukkan perbedaan memori kultural yang digunakan dalam

berkomunikasi antar budaya namun konflik antarbudaya belum tentu terjadi. Oleh karena

itu, premis lain yang ditambahkan oleh penulis adalah:

3) Kelompok budaya yang berkomunikasi dengan memilih memori kultural tertentu

yang bernada negatif atas kelompok lain akan berkonflik dengan kelompok budaya

lain.

Komunikasi bukanlah resolusi konflik. Komunikasi hanyalah alat untuk menyelesaikan konflik. Resolusi konflik yang sesungguhnya terletak pada substansi

konflik dan keinginan untuk menyelesaikan konflik dengan cara memoderasi

ketidaksepakatan antara pihak-pihak yang terlibat (Krauss dan Morsella, 2006). Bisa

jadi, komunikasi justru digunakan untuk mempertajam konflik karena dengan begitu

musuh bersama (common foe) tercipta sehingga semakin memperkental identitas kelompok dari pihak-pihak yang bermusuhan (Krauss dan Morsella, 2006).

Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat menggunakan memori untuk

mempertajam konflik yang ada dan memperkuat keberpihakannya. Ronald J. Fisher

(2006:181-182) menyatakan bahwa sebagai bagian dari kerangka kognitif dan

persepsi manusia, memori menjadi sumber konflik karena memori menyimpan

stereotip-stereotip yang tidak akurat, serampangan, dan berlaku semena-mena

kepada semua anggota kelompok yang dimaksud. Ia menuturkan sebagai berikut:

Groups in conflict tend to develop negative stereotypes of each other—

(7)

retrieval, by which qualities and behaviors that fit the stereotype are accepted and retained, while those that do not are rejected.

Jadi, menurut Fisher (2006), tidak hanya stereotip itu tersimpan di memori individu

atau kolektif sehingga konflik semakin meruncing, melainkan individu atau kolektif

itu memilih untuk memanggil (retrieve) memori yang mengandung stereotip negatif atas pihak lain untuk memperpanjang konflik, atau pihak tersebut memilih memori

yang mengandung stereotip positif atas pihak lain untuk mengakhiri konflik. Dengan

demikian, kontributor yang paling berpengaruh dalam eskalasi konflik adalah

pilihan-pilihan yang dibuat oleh para pihak yang terlibat, bukan pada pilihan-pilihan-pilihan-pilihan yang

tersedia.

Pada aspek bahwa memori kultural suatu kelompok budaya berpeluang

menjadi referensi bagi suatu kelompok untuk menyerang kelompok budaya lain,

penulis setuju. Namun penulis meragukan bahwa memori kultural tersebut selalu

mengandung dua pilihan yaitu bernada negatif atau positif ke kelompok budaya lain.

Bisa jadi, sosialisasi memori antar generasi yang berlangsung adalah sosialisasi

memori yang selalu bernada negatif ke kelompok budaya lain sehingga pilihan untuk

stereotip positif tidak tersedia. Ketika hal terakhir tersebut yang berlaku, kelompok budaya yang membatasi diri untuk menggali memori kulturalnya untuk berkomunikasi dengan kelompok budaya yang lain akan terus berkonflik dengan

kelo pok udaya ya g e jadi usuh ersa a .

Pada level etik, penulis menyarankan bahwa penyelesaian konflik hanya akan

tercapai apabila ada keinginan dari kelompok-kelompok yang bertikai sehingga

memori kultural apa pun yang membentuk komunitas tersebut terdekonstruksi

menjadi memori kultural yang mengarah ke perdamaian.

Pada subbab ini penulis telah memaparkan bahwa komunikasi antarbudaya yang

terjebak pada penggalian memori kultural masing-masing kelompok budaya akan

menyebabkan konflik antarbudaya apabila memori kultural tersebut tidak menampilkan

stereotip positif atas kelompok budaya lain dan apabila kelompok budaya tersebut tidak

(8)

sosio-politik meski tidak mudah pada era ekologi media yang tersaturasi ini memori kultural

akan terpelihara secara stabil dan terpusat pada wacana-wacana publik.

Media, Berita Internasional dan Memori kultural

Pada bagian ini penulis membangun basis-basis teoritik untuk menunjukkan bahwa:

Pertama, media massa Indonesia memiliki peran pada konflik Indonesia-Malaysia. Ko flik dengan tanda kutip digunakan di sini karena secara formal dan objektif hubungan bilateral

antara Indonesia-Malaysia adalah damai (peace) sehingga peran yang diharapkan dilakukan oleh media adalah memelihara perdamaian1. Pada konteks berita media atas tayangan iklan

E ig ati Malaysia uka lah edia secara khusus melakukan rekonstruksi memori

kultural (karena media tidak menampilkan peristiwa yang sudah lalu sebagai fokus utama

beritanya), melainkan media menggali memori kultural untuk merekonstruksi peristiwa yang

terjadi di masa sekarang dengan merujuk atau didasari oleh memori kultural suatu

kelompok budaya.

Kedua, media baru menjadi ranah bagi warga Indonesia dan Malaysia untuk menampilkan aspirasi dan opini yang berbeda (dissenting) maupun sama dengan media-media arus utama sehingga yang terjadi adalah keberagaman aspirasi pada ranah publik

maya. Pada konteks konflik antar budaya itu, media baru menjadi ruang untuk warga

Indonesia-Malaysia untuk turut serta dalam mengusahakan perdamaian atau memperparah

konflik .

Ketiga, ko flik ya g erla gsu g di ra ah ko u ikasi pu lik i ter al I do esia

maupun Indonesia-Malaysia tercipta dikarenakan wacana-wacana publik di media massa

(Indonesia) dan di dunia maya saling mempengaruhi. Hal itu bermula dari media massa

Indonesia menggunakan memori kultural Indonesia untuk menggali potensi konflik sehingga

meningkatkan sensasionalitas berita. Media baru kemudian menjadi ranah konflik antar

budaya yang sesungguhnya karena keterbukaan media baru bagi seluruh publik global untuk

berdebat.

Poin pertama dan poin kedua bertolak dari pemikiran Eytan Gilboa (2009) bahwa

peran media pada konflik harus mencermati perbedaan karakteristik antara media massa

1

Namun, peran memelihara perdamaian itu tampaknya tidak sedang dilakukan oleh media-media arus utama (elektronik dan cetak) di Indonesia pada kurun waktu 2009 sehingga yang terjadi adalah media-media arus

(9)

dan media baru. Perbedaan karakteristik tersebut menimbulkan peran unik media terhadap

prevensi, pengelolaan, resolusi, dan resolusi konflik meski secara umum fungsi-fungsi media

kurang lebih sama yaitu berita, interpretasi, transmisi budaya, hiburan, dan mobilisasi

(Gilboa, 2009). Gilboa menggambarkan bagaimana media konvensional dan media baru

dapat berperan fungsional dan disfungsional pada tipe konflik, tahapan konflik dan level

konflik ke dalam kerangka analisis sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka analisis peran media pada resolusi konflik menurut (Gilboa, 2009).

Poin ketiga bertolak dari pemikiran Simon Cottle (2006) mengenai ekologi media

kontemporer dan dampaknya pada mediasi konflik (conflict mediatised). Menurut Cottle (2006:49-51), media baru terutama Internet saat ini telah berimplikasi pada terciptanya

ekologi edia ya g tidak ha ya e gako odir top-dow o u i atio seperti pada

ekologi media pra-I ter et elai ka top-dow o u i atio sekaligus horizontal and

dispersed o u i atio sehingga yang selanjutnya terjadi adalah difusi kepentingan dan

identitasdan terciptanya bentuk-bentuk baru pengorganisasian dan ekspresi politik. Hal itu

digambarkan Cottle dengan figur sebagai berikut:

(10)

Gambar 2. Ranah media (ranah publik dan layar publik) (Simon Cottle, 2006).

Cottle (2006) menggunakan istilah layar publik (public screens) untuk menyebut ranah komunikatif yang tercipta pada media arus utama seperti yang terlihat pada bagian atas

Gambar 1. Jejaring publik menjadi sumber pemberitaan sekaligus menjadi pihak yang

menandingi (counter) representasi pada media arus utama. Media alternatif, agensi berita diasporis, dan media baru seperti Internet menjadi ranah lainnya untuk menciptakan pesan

tandingan itu.

Pada konteks konflik Indonesia-Malaysia, media massa (baca: media elektronik

Indonesia) menjadi media yang pertama kali membentuk opini publik atas tayangan iklan

E ig ati Malaysia yang kemudian mengarah pada kesalahpahaman antar budaya. Media

arus utama tersebut, mengikuti penjelasan Cottle (2006), me iptaka ko flik a tar budaya melalui framing yang dilakukannya yaitu fra i g kriminalisasi pe e pata salah satu pihak sebagai penjahat/kriminal da ikti isasi (penempatan salah satu pihak sebagai korban). Akar dari framing kriminalisasi dan viktimisasi tersebut adalah penggalian

(11)

Indonesia-Malaysia turut membentuk bagaimana media mengkonstruksi peristiwa yang saat

ini sedang terjadi.

Sebelum membahas studi kasus konflik antar budaya termediasi antara Indonesia

dan Malaysia, pada bab ini penulis akan memaparkan lebih lanjut hubungan memori konflik

suatu kelompok budaya dengan pemberitaan media arus utama pada berita internasional

dan bagaimana media baru menjadi media untuk memberi suara alternatif atas laporan

media arus utama, sekaligus menjadi ranah maya untuk konflik antar budaya.

1) Memori kultural pada berita internasional di media arus utama

Pada esai ini, penulis mengajukan gagasan bahwa memori kultural menjadi

sumber sensasionalitas berita internasional manakala pada memori kultural tersebut

telah menyimpan memori konflik antar budaya yang terjadi di masa lalu. Memori

kultural yang berada pada kerangka mental, material, maupun sosial, digali secara

mental maupun organisasional oleh para jurnalis dan redaksional untuk terlibat

dalam rekonstruksi peristiwa masa kini maupun perstiwa di masa lalu (Neiger, et.al.,

2011). Berdasarkan Teori Framing, sebagai bagian dari masyarakat, para jurnalis dan

redaksi media mengasumsikan, memenuhi, dan mengelola harapan-harapan audiens

ke dalam framing media (Entman, 1993). Ketika produser berita mengasumsikan apa

yang penting bagi audiens mereka dan strategi pengemasan apa yang akan

ditempilkan dalam berita, disadari atau tidak dramatisasi berita mungkin sedang

berlangsung. Ketika ya g pe ti g itu digali pada memori kultural suatu kelompok budaya di mana media itu hidup, bukan tidak mungkin kerangka kolektif yang

berisikan konflik muncul dalam framing media.

Mengapa ingatan kolektif yang berisikan konflik itu muncul di media?

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa didasarkan pada dua teori, yaitu:

a. Teori it bleeds, it leads. Teori tersebut bertolak dari adagium bahwa berita yang baik adalah berita yang menggambarkan sesuatu kejadian atau fenomena yang

buruk, ad ews is a good ews , seperti kejahatan, terorisme, kelaparan,

kematian, kekerasan, dan termasuk di sini adalah konflik (Johnson, 1996).

Berdasarkan teori ini, ketika peristiwa yang terjadi adalah penggunaan tarian

Indonesia pada iklan wisata Malaysia, media mengungkit konflik

(12)

ews . Teori ini berhubungan erat dengan teori sensasionalitas berita. Pada

diskursus sensasionalisme berita, para sarjana berdebat apakah sensasionalitas

berita hadir secara inheren sebagai konsekuensi dari berita yang sejak semula

merangsang emosi (Vettehen 2006), atau sensasionalitas itu adalah hasil dari

fabrikasi media (Millburn and McGrail, 1992; Plasser, 2005; Uribe and Gunter,

2007).

b. Teori familiaritas. Secara umum, media menggunakan masa lalu untuk

membantu memahami masa sekarang (Neiger, et.al.2011:5). Secara lebih spesifik, masa lalu diungkit untuk menambah kadar familiaritas. (Berkowitz:

2011). Peristiwa yang sulit dipahami oleh publik seperti penembakan massal di

Virginia Tech mendorong media untuk menggiring audiens untuk mengingat

Holocaust (Berkowitz, 2011). Budaya media menuntut media menampilkan

sesuatu yang tidak akrab (unfamiliar) dengan sesuatu yang lebih akrab dalam hal ini adalah Holocaust. Dengan kata lain, kapan Holocaust itu muncul

tergantung pada apakah konteks peristiwa-peristiwa kekinian yang terjadi

tepat untuk mengingat Holocaust (Berkowitz, 2011).

c. Teori sensasionalitas dan etnosenstrisme berita internasional. Pada

berita-berita internasional, sensasionalisme seakan telah menjadi resep dasar untuk

mensukseskan berita atau tayangan. Ostgaard (1965) memaparkan bahwa

sensasionalisme secara inheren mempengaruhi arus berita internasional. Ia

menemukan di banyak hasil penelitian di Eropa dan Amerika bahwa banyak

media berita melebih-lebihkan berita luar negeri dan menggunakan interpretasi

yang tidak moderat, berpihak pada nasionalisme dalam negeri, atau mengalami

penafsiran yang tersimplifikasi berlebihan terhadap berita-berita

hubungan-hubungan luar negeri dan peristiwa-peristiwa internasional (Ostgaard 1965).

Prinsip-prinsip jurnalistik seperti keberimbangan dan edukasi publik seringkali

absen dari praktek penyusunan berita-berita internasional sehingga berita-berita

tersebut kekurangan penjelasan yang proporsional dan akhirnya dekontekstual

(Moeller, 1999). Sama halnya dengan yang terjadi pada berita-berita umumnya,

faktor determinan dalam sensasionalitas berita internasional adalah

(13)

dan topik hubungan-hubungan internasional yang dianggap dapat merangsang

emosi pembaca dan bersaing di pasar sehingga meraih efisiensi finansial dan

profit maksimum (Moeller, 1999). Selain itu, etnosentrisme di ruang redaksi

memperkental sensasionalisme itu. Menurut Novais (2007), bias pada berita

internasional sulit dihindari karena bias yang bermula dari nation-centrism dan

ethnocentrism yang berlangsung selama proses editorial.

Ketiga teori tersebut dipadukan untuk menjawab mengapa memori kultural

yang negatif atas budaya lain digunakan oleh pemberitaan media. Jawaban

pertanyaan tersebut adalah karena media membutuhkan sesuatu yang akrab pada

skema interpretif audiens media bersangkutan sehingga media mengungkit masa

lalu untuk memframing peristiwa internasional. Dengan demikian, tak hanya berita

i ter asio al terse ut e jadi le ih akra pada ske a i terpretif audie s,

melainkan juga lebih menguntungkan media arus utama karena bernilai sensasional.

2) Media baru dan konflik antar budaya.

Internet memiliki karakteristik yang unik. Berbeda dari media konvensional,

Internet hampir tidak memiliki batas penyimpanan (space), merupakan moda komunikasi yang sangat cepat, memungkinkan penggunaan fungsi-fungsi multimedia

dan interaktivitas, mencapai audiens yang sangat luas dari seluruh dunia, tidak

dibatasi oleh regulasi dan kendali terpusat, dan secara relatif lebih murah untuk

dipelihara (Gilboa, 2009: 98). Selain itu, situs web dan jejaring sosial telah menjadi

sumber informasi untuk media tradisional maupun untuk agensi-agensi berita global

(Gilboa, ibid).

Internet memberi peluang bagi para aktor negara dan non negara terutama

para aktor yang lemah dan miskin untuk bersuara (to voice the voiceless). Melalui situs-situs web, negara-negara, kelompok-kelompok, gerakan-gerakan,

organisasi-organisasi, dan individu dapat secara langsung menghadirkan diri mereka dan posisi

mereka di dunia maya, dan dapat menggali potensi dukungan dari berbagai macam

komunitas virtual untuk menyebarluaskan pesan-pesan mereka ke seluruh dunia

(14)

Dengan karakteristiknya yang unik tersebut, Internet memiliki peran yang

unik pula terhadap konflik antar budaya, yaitu sebaga media konflik, dan alat

berkonflik antar budaya serta konservator konflik antar budaya.

a. Internet sebagai media dan alat konflik antar budaya.

Internet telah menjadi alat untuk berkomunikasi antar individu dan kelompok

dari berbagai latar belakang budaya di seluruh dunia (Pedersen, 2006) sehingga

konflik antar budaya terjadi di Internet (Walther, 2012). Walther (2012:138)

menyebut teori yang berkonsentrasi pada kurangnya petunjuk konteks sosial pada

komunikasi online. Teori tersebut mengklaim bahwa pengguna komunikasi

termediasi komputer (CMC) tidak memiliki petunjuk budaya dan norma-norma yang

berlaku tidaklah jelas sehingga orang cenderung berpusat pada dirinya sendiri dan

mengabaikan pihak lain (Walther, ibid). Hasil dari kecenderungan tersebut adalah pemanasan (flaming) hubungan di antara kedua pihak, misalnya bahasa yang kasar yang mendorong terciptanya iklim yang beracun pada relasi yang tumbuh di

Internet.

Internet sebagai sebuah media dan alat konflik antar budaya dibahas dalam

satu bagian yang sama karena kedua dimensi tersebut berhubungan. Internet

sebagai media konflik tidak hanya diartikan sebagai sebuah ruang atau kanal

(channel) komunikasi pada suatu konflik, melainkan juga sebagai alat dalam konotasi senjata (weapon) dalam berkonflik, misalnya seperti yang dilakukan oleh oknum-oknum netizen Indonesia yang meng-hack situs kementerian pariwisata Malaysia beberapa waktu yang lalu (lihat lampiran 1 dan 2).

b. Internet sebagai konservator konflik antar budaya dan memori kultural konflik

Intenet menjadi konservator konflik antar budaya karena teknologi yang ada

di Internet memungkinkan hal itu. Konservator yang dimaksud adalah Internet

memungkinkan bagi pengguna untuk menyimpan (storing) dan mengarsipkan (archiving) data dan karenanya memungkinkan pengguna untuk mengakses atau mendaparkan kembali (retrieve) data tersebut. Oleh karena itu, tak mudah bagi

seseora g u tuk e ghapus jejak ya di du ia aya.

Cantoni dan Tardini (2006:57) menyebutkan bahwa teks elektronik pada

(15)

dipahami dengan tiga cara, yaitu: (i) meninggalkan jejak karena teks elektronik

terekam dan terbaca kembali, (ii) suatu percakapan dapat bertahan dari segi durasi

dan dari segi percakapan tersebut bisa dirujuk atau merujuk ke percakapan yang lain

di hari yang lain, dan (iii) percakapan tersebut tersituasikan meliatkan

individu-individu yang sama pada waktu dan kesempatan yang berbeda yang mampu terlibat

pada percakapan yang berlangsung pada kontinum yang panjang, mulai dari

percakapan basa-basi hingga percakapan yang sangat intim.

Sebagai medium yang persisten, Internet memungkinkan bagi suatu konflik

antar budaya yang berlangsung di dunia maya untuk terekam, selalu hadir, dan bisa

diungkit kapan pun, di mana pun (mobile) dan oleh siapa pun (dispersed) (Hebert, 2008) dikarenakan digitisasi telah menyebabkan temporalitas, spasialitas dan

mobilitas memori kultural bertransformasi menjadi sesuatu yang tidak stabil, bisa

ditulis dan ditulis ulang (write and rewrite) (Hoskins, 2009:93-95). Persistensi komunikasi di Internet tersebut menjadikan Internet menjadi material dari memori

kultural itu sendiri (Pentzold dan Sommer, 2011) dikarenakan persistensi juga

menjadi salah satu ciri pada memori (Olick dan Robbins, 2008: 113).

Pada subbab ini, penulis telah memaparkan media baru memiliki kontribusi pada

konflik antar budaya yaitu sebagai media konflik, alat berkonflik, konservator konflik, dan

material dari memori kultural konflik itu sendiri. Berbeda dari konflik yang termediasi media

massa, konflik antar budaya di Internet berlangsung tidak terpusat dan terjadi setiap saat

dan di mana saja.

Studi Kasus: Pertikaian Indonesia-Malaysia atas Iklan E ig atic Malaysia

Pada Agustus-Okto er , ideo pro osi Wisata Malaysia E ig ati Malaysia yang disiarkan secara internasional di Discovery Channel membangkitkan kembali sentimen

ga ya g Malaysia di a a a edia assa I do esia teruta a di media elektronik.

Beberapa pejabat publik Indonesia bahkan berpendapat bahwa laporan media massa telah

memanaskan hubungan Indonesia dan Malaysia dan laporan sensasional itu telah

mendorong publik untuk melakukan protes di ruang publik seperti melempar telur busuk ke

Konsulat Jenderal Malaysia di Medan dan membakar bendera Malaysia pada September

(16)

Gambar 3. Protes dari er agai daerah atas klai Malaysia terhadap seni tradisi Indonesia.

Hu u ga I do esia da Malaysia isa diga arka se ara parodi ga ya g Malaysia, sela atka “iti Nurhaliza. “loga Ga ya g Malaysia perta a kali dipopulerka

oleh Presiden Soekarno pada 1960-an ketika Soekarno mendeklarasikan konfrontasi politik

terhadap Malaysia (Green, 1965; Sodhy, 1966; Brown, 2005). Hubungan mutualistik antara

Indonesia dan Malaysia mungkin bisa digambarkan denga sloga sela atka “iti

Nurhaliza , pe ya yi Melayu Malaysia ya g dige ari di I do esia.

Untuk menganalisis konflik antar budaya yang dimediasi oleh media massa (televisi)

dan Internet, penulis melakukan dua strategi. Pertama, sebagai orang Indonesia penulis akan lebih banyak menggali memori kultural bangsa Indonesia untuk melihat apa saja yang

menjadi dasar ko struksi edia atas digu aka ya Tari Pe det pada ikla E ig ati

Malaysia da dasar ke araha da ke e ia netizen Indonesia atas Malaysia. Kedua,

penulis akan mencermati memori kultural yang terkandung dalam konstruksi tayangan iklan

E ig ati Malaysia di erita Metro TV dan komunikasi antar netizen Indonesia dan

Malaysia pada kolom comment di video berita TV One yang diunggah di Youtube Dotcom. 1) Memori Metro TV : Kriminalisasi Malaysia, Viktimisasi Indonesia

Pada tayangan berita Metro TV selama Agustus-Oktober 2009, Metro TV

e e patka Malaysia se agai pihak ya g ersalah kare a telah e gklai se i

tradisi Indonesia ke dalam iklan pariwisata Malaysia. Indonesia menjadi pihak yang

dirugikan dan dikorbankan atas tindakan Malaysia tersebut. Untuk menegaskan

kriminalisasi Malaysia dan viktimisasi Indonesia, Metro TV mengungkit memori kultural Indonesia sebagai berikut:

(17)

dan lagu Rasa Sayange pernah di diklaim juga oleh Malaysia. Berikut ini narasi

voice over pada berita di Metro TV

...

// Klaim Malaysia terhadap produk seni tradisional Indonesia semakin memburuk/ Sekarang giliran Tari Pendet yang mereka klaim sebagai warisan budaya Malaysia// ...

//Ya pemirsa/ tidak hanya batik dan lagu Rasa Sayange tetapi beberapa produk busana hasil kreativitas bangsa Indonesia diklaim sebagai produk budaya Malaysia//

....

//Lihat dan dengarkan lagu ini/ Lagu Rasa Sayange dari Maluku yang telah kita kenals ejak kita kecil/ karena lagu ini sering dinyanyikan oleh nenek moyang kita di sekolah// ...

//Tak hanya lagu/melainkan Kerajaan Malaysia juga mengklaim batik sebagai produk mereka//

Hal yang diungkit oleh Metro TV tidak sama dengan kasus yang terjadi terhadap Tari Pendet. Berbeda dari batik dan Rasa Sayange, penggunaan rekaman Tari

Pendet pada iklan wisata Malaysia tidak dilakukan oleh Malaysia, melainkan oleh

Discovery Channel. Pihak Kementrian Pariwisata Malaysia telah menegaskan hal

tersebut namun pernyataan tersebut tidak mengubah konstruksi pencurian seni

tradisi oleh Malaysia.

- Malaysia adalah bangsa Melayu, sedangkan Indonesia bukan Melayu

Memori kultural tersebut digunakan untuk menegaskan Tari Pendet yang bukan

tarian Melayu tidak semestinya hadir di iklan wisata Malaysia. Tari Pendet

seharusnya hadir di iklan wisata Indonesia sebab Indonesia bukan Melayu.

Tari Pendet bukan budaya Melayu

//Aktivis kebudayaan Riau menyatakan klaim bahwa Tari Pendet sebagai budaya Malaysia adalah ekspresi kebohongan/ kebohongan itu tidak terpisah dari ambisi negara tersebut untuk menempatkan diri mereka sebagai Truly Asia//

....

Memori kultural ini terkait erat dengan pencarian identitas sebagai

bangsa di awal kemerdekaan Indonesia dan Malaysia. Bagi Indonesia, identitas

ke-Indonesia-an melampaui identitas etnis dan agama. Sebaliknya, bagi

Malaysia, identitas etnis menjadi identitas bangsanya. Identitas nasional kedua

negara tersebut bisa dilacak pada era 1960-an ketika Soekarno berkonfrontasi

(18)

mengeluarkan politik konsosialisme yaitu menempatan etnis Melayu lebih

istimewa pada posisi politik dan ekonomi daripada etnis lainnya melalui

Kebijakan Ekonomi Baru (Liouw, 2005).

2) Komentar di Youtube

Perang komentar di YouTube menggunakan memori kultural yang tidak hanya

mempertanyakan identitas kebudayaan Indonesia dan Melayu, melainkan

kedaulatan sebagai bangsa dan menunjukkan persaingan bangsa manakah yang lebih

besar dan lebih mulia.

Sebagaimana yang nampak pada memori kultural yang menjadi dasar

konstruksi di Metro TV bahwa Tari Pendet tidak berasal dai tradisi Melayu, perang komentar atas video “etelah Pe det, Kuda Lu pi g Pu Diklai erita “CTV ya g diunggah ke Youtube pada 23 Agustus 2009):

Muhammad Rizal 2 years ago

tak mengapa sebahagian atau seluruh budaya Indonesia di amalkan dimalaysia,... tapi tak patutlah jika budaya tersebut diklaim sebagai bagian dari budaya asli negara malaysia... (bagaimana mungkin negara yang berbudaya malay punya budaya macam tu????)

Pada perang komentar atas video- ideo erita klai Malaysia atas ‘asa Sayange misalnya ‘asa “aya ge is I do esia a d Al ays I do esian Song ), memori kultural yang nampak diungkap oleh netizen Malaysia dan Indonesia

berbeda. Netizen Malaysia mengungkit bahwa Indonesia itu juga terdiri dari Jawa

dan Melayu, jika Indonesia sekarang adalah Jawa, rendang seharusnya tidak juga

boleh diklaim oleh Indonesia. Berikut kutipannya:

Noor Azaman 1 month ago

Indonesia hanya menjadi negara mulai tahun 1945... sebelumnya bukan Indonesia hanya tanah jawa dan kepulauan melayu...negeri-negeri di tanah melayu dan sebahagian sumatera asalnya adalah satu...

Reply ·

Noor Azaman1 month ago

Indonesia tu hanya tanah jawa... yang lain adalah kepulauan melayu.... Orang jawa jangan berangan mengatakan rendang itu asli Indonesia... rendang kepunyaan orang melayu diserata kepulauan melayu....

(19)

Memori kultural ke persoalan kedaulatan bangsa juga diungkit oleh netien

Sabah Sarawak Keluar Malaysia (SSKM): Doris Jones Part 1

melayu malingsia anjing2 british....mereka cuma sedikit tapi liciknya lebih dari ular....cuma satu caranya menyelesaikan masalah dgn melayu malingsia...tebas kepala mereka buang kelaut...selesai...pengkhianat¬, anjing2 penjajah halal darahnya...kalo mereka bener2 islam gak mungkin jadi pengkhianat dan jadi anjing2 british...SS dah bangunlah...Melayu malingsia kan dibunoh oleh semua..

Reply ·

Kesimpulan

Pada makalah ini penulis telah memaparkan gagasan bahwa memori kultural yang

mengandung negativitas ke kelompok budaya yang lain bisa menjadi sumber konflik antar

budaya ketika dikomunikasikan baik melalui media massa maupun Internet. Media massa

mendasarkan pada memori kultural yang negatif tersebut untuk mengkonstruksi peristiwa

kekinian demi kepentingan sensasionalitas berita. Polemik di media massa tersebut

e ular di ra ah aya a akala berita-berita media tersebut diunggah di Youtube dan

dikomentari oleh para netizen Indonesia dan Malaysia. Pada komentar-komentar tersebut

terlihat bahwa terjadi perbedaan memori kultural antara netien Indonesia dan Malaysia.

Daftar Pustaka:

Assman, J. . Co u i ati e a d Cultural Me ory , dala Erll, A. da Nu i g, A., Cultural Memory Studies: An International and Interdisciplinary Handbook, Walter de Gruyter: New York. Malaysia compared . Working Paper 10, CRISE.

Cantoni, L. dan Tardini, S. (2006), Internet, New York: Routledge. Cottle, S. (2006). Mediatized Conflict. Berkshire: Open University Press.

Entman, R.M. (1993). Framing: toward clarification of a fractured paradigm. Journal of Communication, 43, 51-58.

(20)

Fisher, ‘.J.. . I tergroup Co fli t , M. Deutsch & P. Coleman, (Eds.), The handbook of constructive conflict resolution: Theory and practice (131-143). San Francisco: Jossey-Bass. Gilboa, E. 2009 . “Media and Conflict Resolution: A Framework for Analysis , dala Market Law

Review, Vol.93.

Green, L.C. (1965). Indonesia, the United Nations and Malaysia Journal of Southeast Asian History 2, 71-86.

Griffin, E. (2012). A First Look at Communication Theory, Eighth Edition. New York: McGraw Hill.

He ert, “. . Digital Me orializatio : Colle ti e Me ory, Tragedy, a d Parti ipatory “pa es ,

A Thesis Presented to the Faculty of Arts and Humanities, University of Denver, Denver: University of Denver.

Hoski s, A. , Digital Net ork Me ory , dala A. Erll da A. ‘ig ey eds.), Mediation, Remediation, and the Dynamics of Cultural Memory, Berlin: Walter de Gruyter.

Joh so , ‘.N. . Bad Ne s‘e isited: The portrayal of iole e, o fli t, a d sufferi g o

television news , dala Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology, 2(3) 201-206.

Krauss, ‘.M. da E. Morsella . Co u i atio a d Co fli t , dala M. Deutsch & P. Coleman, (Eds.), The handbook of constructive conflict resolution: Theory and practice (131-143). San Francisco: Jossey-Bass.

Millburn, M.A. and McGrail, A.B.(1992). The dramatic presentation of news and its effect on cognitive compexity. Political Psychology 4, 613-632.

Moeller, S.D. (1999). Compassion Fatigue: How Media Sell Disease, Famine, War, and Death. London: Royledge.

Novais, R.A. (2007). National influences in foreign news: British and Portuguese press coverage of the Dili massacre in East Timor. International Communication Gazette 69, 669.

Neiger, M., Meyers, O., & Zandberg, E. (Eds.). (2011). "Introduction" dalam On media memory: Collective memory in a new media age. New York: Palgrave Macmillan.

Oli k, J.O. da ‘o i s, J. , Fro Colle ti e Me ory to the Histori al “o iology of M e o i Pra ti es , dalam Annual Review of Sociology, Vol. 24, 105-140.

Pederse , P. . Multi ultural Co fli t ‘esolutio , dala M. Deutsch & P. Coleman, (Eds.), The handbook of constructive conflict resolution: Theory and practice (131-143). San Francisco: Jossey-Bass. Malaysia, 1963-1966, Journal of Southeast Asian Studies 19, 111-136.

Ting-Toomey, S., & Chung, L. C. (2012). Understanding Intercultural Communication, Second Edition. New York: Oxford University Press.

Uri e ‘., a d Gu ter, B. . Are se satio al e s stories ore likely to trigger ie er s

emotions than non-sensational news stories?: a content analysis of British TV news. European Journal of Communication, 22, 207.

Vettehen, P.H., Nuijten, K., Beentjes, JWJ. (2006). Research note: sesationalism in Dutch current affairs programmes 1992-2001. European Journal of Communication, 21, 221.

Walther, J. , “o ial I for atio Pro essi g Theory , dala E. Griffi . A First Look at Communication Theory, Eighth Edition. New York: McGraw Hill.

Gambar

Gambar 1. Kerangka analisis peran media pada resolusi konflik menurut (Gilboa, 2009).
Gambar 2. Ranah media (ranah publik dan layar publik) (Simon Cottle, 2006).
Gambar 3. Protes dari �er�agai daerah atas �klai� Malaysia� terhadap seni tradisi Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk gambar 1 di atas, maka proses daripada promosi akan meningkatkan minat dari masyarakat untuk menggunakan jasa dan produk dari lembaga keuangan syariah sehingga

Uli Danis POLI MTBS Rathi Utari, AM.Kep. POLI

Bedasakan permasalahan yang ada di laboratorium komputer Fakultas Teknologi Informasi UKSW, dalam penelitian ini dirancang SaaS sebagai penyedia layanan aplikasi,

[r]

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT beserta Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat, hidayah-Nya,

dari berbagai media tumbuh dapat mengendalikan hama ulat grayak ( S. litura F.) (Lepidoptera : Noctuidae) pada tanaman tembakau di rumah kasa. Diduga waktu aplikasi

[r]

Kayu merupakan komoditi utama dalam pembuatan mebel yang berasal dari alam. Dewasa ini penyusutan hutan dunia telah mengkhawatirkan mencapai 80%. Sehingga kebutuhan oksigen akan