BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Pendekatan Realisme
Pemikiran realisme terkemuka pada abad ke-20 adalah Hans Morgenthau (1965,1985). Ia melihat bahwa „politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik
tindakan politik‟ (Morgenthau, 1965: 195).
Thucydides, Machiavelli, Hobbes, dan tentunya semua kaum realis klasik meyakinkan bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik. Dengan demikian, politik internasional
digambarkan sebagai yang paling utama, „politik kekuasaan‟ (power politics) suatu arena persaingan, konflik, dan perang antar negara dimana masalah-masalah dasar yang sama dalam mempertahankan kepentingan nasional dan dalam menjamin kelangsungan hidup negara.
Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara, hal ini merupakan nilai-nilai yang menggerakan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis. Negara dipandang esensial untuk menjamin kehidupan yang baik bagi warga negaranya. Negara yang menjamin alat dan kondisi bagi keamanan dan kehidupan manusia, dalam frasa Thomas Hobbes (1946: 82) yang terkenal ialah „kesendirian, kemiskinan adalah hal yang sangat tidak menyenangkan, tidak berperikemanusiaan dan
terbatas‟. Dengan demikian, negara dipandang sebagai pelindung wilayah, penduduk, dan
kehidupan warga negara terjamin dan bernilai. Kepentingan nasional adalah pertimbangan utama dalam menentukan kebijakan luar negeri.
Morgenthau berpendapat bahwa „politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas
manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan
cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik aksi politik‟
untuk tujuan tersebut. Yaitu, mereka harus mengorganisasikan diri mereka sendiri ke dalam negara yang kuat dan efektif. Dengan cara itu mereka dapat mempertahankan wilayah mereka.
Kekuasaan (singa) dan penipuan (rubah) adalah dua alat penting dalam melaksanakan kebijakan luar negeri, menurut ajaran politik Machiavelli (1884 : 66). Tanggung jawab utama penguasa adalah selalu berupaya mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya dan menjamin kelangsungan hidup masyarakat didalamnya. Pemikiran Machiavelli menggambarkan bahwa negara harus mempunyai kekuatan. Jika negara tidak kuat maka akan mendorong hasrat kuat bagi yang lain untuk menghancurkannya. Sehingga penguasa harus menjadi seekor singa dan juga
membutuhkan kecerdikan dan jika perlu “kekejaman” seperti seekor rubah, dalam
mengejar kepentingan nasional.
Selain itu, realisme juga meyakini bahwa tidak ada kewajiban internasional dalam moral antar negara-negara merdeka. Menurut Machiavelli, salah satu tokoh realis, menganggap bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional yaitu kemerdekaan. Negara harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan stabilitas nasionalnya karena tidak akan ada negara lain yang bersedia membantu jika negara tersebut mengalami kesulitan. Jika pun ada, maka sudah dipastikan bahwa ada maksud terselubung dibalik bantuan yang diberikan. Oleh karena itu, setiap negara harus berupaya mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya serta menjamin kelangsungan hidupnya.
Dalam kebijakan luar negeri Rusia yang ingin mengambil Crimea menjadi bagian Rusia, tidak terlepas dari kepentingan Rusia yang telah membangun armada laut hitam di Sevastopol sejak tahun 1783. Kepentingan nasional yang ingin dicapai ialah ketika Crimea masuk menjadi wilayah bagian Rusia, Rusia akan menguasai wilayah laut hitam yang terdapat sumber energi yang banyak serta tidak perlu membayar sewa kepada Ukraina terhadap armada angkatan laut Rusia yang ada di wilayah Crimea.1
Pandangan realis juga menyatakan bahwa pemimpin itu harus kuat seperti singa dan licik seperti rubah. Dalam hal ini Vladimir Putin adalah pemimpin yang dikenal sukses dalam mengembalikan ekonomi Rusia semenjak paska runtuhnya Uni Soviet. Putin berhasil meningkatkan militer Rusia sehingga militer Rusia dikenal sebagai kekuatan Rusia dan sampai sekarang Rusia dikenal sebagai negara yang kuat dalam bidang militer. Dalam kepemimpinan Putin, Putin berani mengeluarkan kebijakan seperti contohnya krisis yang terjadi di Ukraina yang berimbas kepada wilayah-wilayah yang dominan masyarakatnya beretnis Rusia. Putin mengirim pasukan milliter untuk menjaga kemanan dan menjaga masyarakat yang berada di wilayah Ukraina, pengiriman militer ini juga bermaksud untuk mengambil wilayah Crimea menjadi bagian dari Rusia.
2.2 Konsep Rational Actor Model (RAM)
Graham T Allison dalam bukunya mengenai “how to understand the decisions and actions of government”. Inti dari apa yang ingin disampaikan Allison terletak pada tiga pendekatan untuk memahami perilaku pemerintah, tiga pendekatan tersebut terdiri dari model asumsi yang akan penulis gunakan. Yaitu, pertanyaan yang ditanyakan, informasi yang dicari, kosa kata yang digunakan, dan membentuk jawaban yang didapatkan. Tiga konsep tesebut terdiri dari model I (Rational Actor), Model II (Organization Proces Model), dan Model III (Governmental or Beraucratic Politic Model).
1
Defence Research and Development Canada. Crimea-naval and strategic implication’s of Russia’s annexation.
Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model I adalah Aktor Rasional (Rational Actor). Negara atau, lebih tepatnya, secara mutlak mengasumsikan bahwa pemerintah seperti individu yang berpikir secara rasional yang memiliki nilai-nilai, tujuan, dan berpikir secara strategi yaitu secara instrumental. Mereka membangun tujuan, mengumpulkan dan menilai informasi, menimbang risiko, kemudian pilih dan melaksanakan rencana. Jika aktor yang berpikir secara rasional gagal atau mendapat masalah, itu karena ia tidak memiliki informasi yang diperlukan, salah perhitungan, atau kurang dalam rasionalitas.
Model I (Rational Actor) seperti pemikiran Schelling dan Realisme Strategi. Dimana realisme strategi secara sentral memfokuskan pada pembuatan keputusan kebijakan luar negeri, ketika para pemimpin negara menghadapi isu-isu diplomatik dan militer, mereka diwajibkan untuk berpikir strategi, yaitu secara instrumental jika berharap untuk berhasil. Schelling (1980,1986).
Dapat dilihat bahwa Rusia dibawah kepemimpinan Valdimir Putin telah berhasil merebut Crimea melalui referendum pada tahun 2014, kebijakan Rusia merebut Crimea dengan alasan untuk mempertahankan wilayah Eropa Timur dimana NATO yang telah memperluas jaringannya sampai ke wilayah Eropa Timur terutama ikut campur dalam konflik di Crimea. Kebijakan dari Rusia dibawah kepemimpinan Putin secara rasional Putin ingin mengambil Crimea karena faktor keamanan dan dimana Rusia telah membangun armada angkatan laut di wilayah Crimea. Sampai pada tahun 2016, walaupun Crimea telah referendum dan telah bergabung di Rusia, Ukraina tetap tidak menyetujui karena referendum Crimea ini tidak diakui secara hukum internasional sehingga Putin terus mengirim militer ke Crimea dan terus mempertahankan Crimea. Selain keamanan Putin secara tidak langsung ingin menjadikan Eropa bagian Timur sebagai “New Russia”.
2.3 Responsibility to Protect (R2P)
yang bertujuan untuk mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) rakyatnya dari empat jenis kejahatan tersebut.2
Ide mengenai Responsibility to Protect pada awalnya berkembang dari pemikiran Francis Deng (seorang mantan Diplomat asal Sudan yang menjadi perwakilan khusus PBB untuk masalah pengungsi internal (Internally Displaced Persons/ IDPs) selama dekade 1990-an) bersama dengan ahli lainnya yang bekerja dibidang yang sama. Deng dan para
ahli lainnya berpendapat bahwa ide mengenai „kedaulatan negara‟ harus didasarkan bukan pada hak dari setiap negara untuk melakukan apa yang dikehendakinya tanpa ada campur tangan internasional, tetapi bahwa kedaulatan negara harus diasaskan pada perlindungan terhadap rakyatnya yang tinggal di wilayah tersebut. Secara sederhana, kedaulatan negara
harus dibangun diatas konsep “kedaulatan sebagai tanggung jawab (soverignity as responsibility). Ide Deng mengenai „kedaulatan sebagai tanggung jawab‟ kemudian digunakan untuk menciptakan prinsip “Responsibility to Protect” oleh Komisi Internasional atas Intervensi dan Kedaulatan Negara (International Commission on Intervention and State Sovereignity/ ICISS).3 Komisi ini dibentuk atas hasil pemikiran Deng yang berpendapat negara seharusnya menerima tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya yang tinggal di dalam batas-batas wilayahnya.
Dalam KTT Dunia 2005 atas “Responsibilty to Protect/R2P”, Sekretaris Jenderal PBB
Ban Ki Moon menjelaskan tentang tiga pilar dalam menerapkan prinsip R2P:
1. Tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnah massal (genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleaning) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut.
2
Outreach Programe Rwanda Genocide and the United Nations. Bacground Note . “ The Responsibility to Protect. http://www.responsibilitytoprotect.org/files/UMC_R2PBackground.pdf. Diakses pada 4 April 2017
2. Komitmen komunitas internasional untuk membantu negara-negara dalam menjalankan tanggung jawab itu.
3. Tanggung jawab setiap negara anggota PBB untuk merespon secara kolektif, tepat waktu dan tegas ketika suatu negara gagal memberikan perlindungan yang dimaksud.
Dalam kasus mengenai Intervensi Rusia di Crimea, Rusia menekankan bahwa tindakan intervensi militer tersebut didasari dengan prinsip Responsibility to Protect. Intervensi tersebut merupakan bentuk dari tanggung jawab Rusia terhadap perlindungan warga negara yang beretnis Rusia di Crimea. Pengiriman pasukan militer Rusia juga berdasarkan pilar ke 1
R2P yang menyatakan bahwa “Tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya sendiri
dari pemusnah massal (genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleaning) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut.”. Melalui konsep R2P, Rusia melihat konflik tersebut tidak dapat diselesaikan oleh negara yang sedang terjadi konflik (Ukraina) dikarenakan presiden telah digulingkan oleh pihak oposisi dan mengakibatkan kondisi dalam negeri tidak stabil sehingga Rusia merespon melalui kebijakan yang dikeluarkan Vladimir Putin yang mengirimkan pasukan militer untuk melindungi masyarakat Crimea yang bertenis Rusia dalam mengalami konflik sampai pada tindakan diskriminasi oleh pihak oposisi di wilayah Ukraina.
2.4 Politik Identitas
masyarakat, gerakan etnis (ras/suku), gerakan gay dan lesbian, serta gerakan nasionalis dan postkolonial. 4
Dalam menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih dahulu dilakukan identifikasi suatu konstruksi yang timbul yang menurutnya bisa dilihat dengan 3 model identitas, yaitu:
a. Legitimizing identity (legitimasi identitas), yaitu identitas yang dibangun oleh institusi yang dominan ada dalam kehidupan sosial. Lembaga ini menunjukkan dominasinya dengan melekatkan sebuah identitas tertentu pada seseorang atau kelompok.
b. Resistance identity (resistensi identitas), yaitu identitas yang dilekatkan oleh aktor-aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut dilakukan dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu perlawanan dan terbentuknya identitas baru yang berbeda dari yang sedang dibangun oleh masyarakat.
c. Project identity (proyek identitas), konstruksi identitas pada model ini dilakukan oleh aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan terbentuk identitas baru untuk bisa mencapai posisi tertentu dalam masyarakat, hal ini bisa terjadi sebagai implikasi dari gerakan sosial yang bisa merubah struktur sosial secara global.5
Dalam penelitian ini mengenai kebijakan luar negeri Putin di Crimea berhasil membuat Crimea melakukan referendum dan menjadi bagian dari Rusia juga memiliki faktor pendukung. Faktor pendukung tersebut ialah Etnis, dimana dapat dikaitkan dengan
konsep identitas politik “tindakan sosial kelompok tertentu untuk menetukan hak mereka dalam mancapai kesetaraan atau keadilan”. Di Crimea terdapat etnis dominan Rusia dengan jumlah 58,3%, Crimea yang dominan etnis Rusia ini sebelum melakukan referendum, terlebih dahulu melakukan aksi demonstrasi yang mengibarkan bendera Rusia dan mengatakan mereka sebagai orang Rusia. Survei juga dilakukan oleh lembaga non pemerintah Ukraina (Razumkov center) yang meneliti tentang dominan bahasa di
4
Richard Thompson Ford “Political Identity as Identity Politics” Unbound. Harvard Journal Vol. 1: 53, 2005. egalleft.org/wp-content/uploads/2015/09/1UNB053-Ford.pdf
5
Crimea serta dukungan masyarakat di Crimea dengan keinginan mereka mendukung untuk menggantikan bahasa resmi di wilayah tersebut menjadi bahasa Rusia. Bentuk dukungan internal berupa aksi demonstrasi dan keinginan kuat mesyrakat Crimea sendiri merupakan politik identitas yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Putin dapat berhasil.
Dalam permasalahan yang terjadi di Crimea juga dapat dikaitkan dengan Resistance identity yang menyatakan bahwa “pemeberian identitas oleh aktor-aktor sosial tertentu dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu perlawanan dan terbentuknya identitas baru. Masyarakat Crimea sebelum melakukan referendum awalnya bagian dari wilayah Ukraina, sehingga bahasa resmi yang harus dipakai yaitu bahasa Ukraina. Pemerintah Ukraina menekeankan kepada masyarakat di Crimea agar dapat memakai bahasa resmi Ukraina sebagai bahasa keseharian. Kebijkaan Ukraina tersebut dilakukan karena Ukraina sebagai negara (merupakan penguasa) untuk wilayah Crimea. Tetapi kebijakan tersebut tidak dipatuhi oleh masyarakat Crimea, masyarakat Crimea tetap menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa ibu mereka (bahasa keseharian). Dari kasus tersebut merupakan resisten identitas atau bentuk penolakan Crimea dalam membulatkan tekad melakukan referendum dan lebih menerima Rusia sebagai negara mereka.
2.5 Penelitian Terdahulu
1. Dampak Kebijakan pertahanan Rusia terhadap Perimbangan Kekuatan Konvesional dengan NATO. 2. Dampak Kebijakan Pertahanan Rusia terhadap
Perimbangan Kekuatan Non-Konvesional dengan NATO
Dalam hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa :
Kebijakan pertahanan Rusia telah mampu memberikan kondisi perimbangan relatif dalam bidang pertahanan keamanannya dengan pihak NATO, khususnya dalam hal kualitas kemampuan militer. Hal ini dapat terlihat, ketika pemerintah Rusia menempuh kebijakan modernisasi dan reformasi militernya sejak tahun 2000, serta dikeluarkannya doktrin untuk menaikan kemampuan militer Rusia, baik di bidang persenjataan militer konvensional maupun non-konvensional seperti nuklir.
Penelitian ini meneliti mengenai :
Bagaiman kebijakan offensive Rusia dalam melakukan aneksasi wilayah Crimea selatan, Ukraina (2014)
Apa dampak aneksasi Rusia terhadap kondisi politik dan keamanan kawasan (2014)
Dalam hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa :
Paramadina Jakarta 2015
merupakan hasil sebuah perhitungan secara rasional maupun sebagai konsekuensi dari sistem internasional. Semenjak suatu negara diasumsikan tidak memiliki informasi yang pasti dari negara lain maka ofensif menjadi pilihan dari para pengambil keputusan untuk bertindak merespon potensi ancaman yang ada.
Asumsi tersebut menjadi semakin menarik ketika feno mena mengenai ekspansi keanggotaan Uni Eropa dan NATO dilihat sebagai potensi ancaman bagi Rusia sehingga campur tangan dari aliansi Barat untuk mepengaruhi kondisi domestik Ukraina dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan dan keamanan nasional Rusia. Sulit untuk membedakan bahwa ekspansi keanggotaan yang dilakukan oleh aliansi Barat dapat diposisikan sebagai postur ofensif atau defensif, namun konsekuensi dari perilaku tersebut menyebabkan Rusia harus memilih untuk bersikap secara ofensif.
Mengapa Rusia melakukan intervensi di Crimea, bagaimana pengaturan hukum internasional mengenai intervensi, dan bagaimana perspektif hukum internasional terhadap intervensi Rusia di Crimea.
Dalam hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa :
negara tersebut yang melanggar hukum internasional tidak berarti apa-apa. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat internasional untuk mengadakan perubahan dan/atau mengkaji kembali norma-norma dalam hukum internasional untuk membentuk suatu hukum internasional yang mengikat bagi semua negara tanpa terkecuali. aneksasi yang dilakukan Rusia pada Semenanjung Crimea.
Dalam hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa :
Penelitian ini menjelaskan bagaimana suatu negara sebagai aktor rasional dalam perpolitikan hubungan internasional sangat memperhitungkan setiap tindakan yang diambil dan memperhatikan fenomena yang terjadi di dunia internasional baik itu yang berpengaruh atau berdampak langsung atau tidak langsung. Setiap keputusan atau kebijakan yang diambil oleh sebuah aktor hubungan internasional selalu dikaitkan dengan kepentingan yang ingin dicapai, setiap keputusan negara harus menguntungkan negaranya atau sesuai dengan kepentingan yang dimilikinya atau negara dapat juga bertindak tidak sesuai dengan apa yang aktor lainnya inginkan karena kebijakan yang dimilikinya memberi pengaruh negatif kepada negara. Hal ini kemudian juga dapat berakhir dengan konflik internasional.
Krisis yang terjadi di Ukraina belum berakhir,
permasalahan Ukraina Timur masih berlanjut sampai saat
ini. Akan tetapi penulis membatasi pembahasan sampai
denganhanya masalah dua negara Ukraina dan Rusia. Krisis
kekuasaan antara dua negara super power yakni, Amerika
Serikat dan Rusia.
Ukraina yang merupakan bagian dari Uni Soviet yang
memiliki geokultur campuran, wilayah timur pro-Ukraina
dan wilayah Barat pro Uni Eropa, ditekan oleh Rusia paska
turunnya Presiden Yanukovych (pro Rusia) sehingga Rusia
menganeksasi Semenanjung Crimea. Sebagai respon atas
aneksasi yang dilakukan Rusia, Ukraina memilih untuk
merubah orientasi politik luar negerinya dengan cara
mendekatkan diri ke Uni Eropa dan NATO yang diprakaisai
oleh Amerika Serikat sebagai strategi keamanan bagi
Ukraina dalam menghadapi Rusia yang kuat Ukraina jelas
sedang untuk menyelamatkan negaranya dari tekanan Rusia.
Walau hingga kini Ukraina belum berhasil mendapatkan
Semenanjung Crimea kembali, tetapi pengakuan atas tidak
sahnya referendum Semenanjung Crimea diakui dunia
internasional dan tampaknya Ukraina memfokuskan diri
untuk menjaga Ukraina bagian Timur agar tidak lepas ke
Rusia.
2.6 Kerangka Berpikir
Vladimir Putin
Russia
Kebijakan Luar Negeri Rusia di Crimea pada masa pemerintahan Vladimir Vladimirovich Putin
Crimea
Landasan Teori dan Konsep untuk melihat kebijakan luar nageri Rusia di Crimea pada masa pemerintahan Vladimir Putin: