• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Gagal Jantung - Hubungan Kadar Natrium Darah Dengan Derajat Functional Class Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Rsup H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Gagal Jantung - Hubungan Kadar Natrium Darah Dengan Derajat Functional Class Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Rsup H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Gagal Jantung 2. 1. 1. Definisi

Menurut Panggabean (2009) gagal jantung adalah suatu sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan kelelahan (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Secara umum, definisi dari gagal jantung adalah suatu kondisi dimana ada fungsi jantung yang abnormal yang bertanggung jawab atas gagalnya jantung untuk memompa darah pada keadaan seimbang dengan keperluan metabolik jaringan (Francis et al., 2008).

Gagal jantung kongestif adalah suatu sindrom klinis yang kompleks dengan karakter disfungsi ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya dan dihasilkan perubahan dalam pengaturan neurohormonal (Deedwania dan Carbajal, 2009). Menurut Dorland (2010), gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis akibat penyakit jantung, ditandai adanya kesulitan bernapas serta retensi abnormal natrium dan air, yang sering menyebabkan edema.

2. 1. 2. Epidemiologi

(2)

Tiap tahun, kasus gagal jantung kongestif yang baru berkembang sekitar 550,000 pasien.Pada studi jantung Framingharm menunjukkan bahwa laki-laki, yang mempunyai simptom klinis dari gagal jantung kongestif yang berkembang, mendapat probabilitas kematian 62% dalam waktu 5 tahun dari onset simptom. Studi lain menunjukkan bahwa pasien dengan gagal jantung kongestif dengan derajat fungsional NYHA (New York Heart Association) kelas IV mempunyai angka kematian 40-50% tiap tahun (Deedwania dan Carbajal, 2009).

2. 1. 3. Etiologi

Pada gagal jantung akut terdapat banyak penyebab dan faktor pencetus, antara lain (Gheorghiade, Filippatos, dan Felker, 2012) :

1) Penyakit jantung iskemik a) Sindrom koroner akut

b) Komplikasi mekanik dari infark akut c) Infark ventrikel kanan

2) Valvular

a) Stenosis valvular b) Regurgitasi valvular c) Endokarditis d) Diseksi aorta 3) Miopati

a) Post-partum kardiomiopati b) Miokarditis akut

4) Hipertensi/aritmia a) Hipertensi b) Aritmia akut 5) Gagal sirkulasi

a) Septikemia b) Tiroktoksikosis c) Anemia

(3)

e) Tamponade f) Emboli paru

6) Dekompensasi pada gagal jantung kronik a) Tidak patuh minum obat

b) Volume overload

c) Infeksi, terutama pneumonia d) Gangguan cerebrovaskular e) Operasi

f) Disfungsi ginjal g) Asma/PPOK

h) Penyalahgunaan obat atau alkohol

2. 1. 4. Mekanisme Kompensasi

Pada pasien gagal jantung kongestif ada tiga variabel yang terganggu, yaitu : (1) relaksasi dan pengisian ventrikel (fungsi diastolik), (2) kontraktilitas jantung, dan (3) afterload (Figueroa dan Peters, 2006). Hal tersebut mengakibatkan penurunan cardiac output sebagai respon awal hemodinamik. Penurunan cardiac output mengakibatkan terjadinya mekanisme kompensasi (Ramani et al., 2010). Beberapa mekanisme kompensasi alami bekerja pada pasien dengan gagal jantung untuk mengatasi menurunnya volume sekuncup dan membantu mempertahankan tekanan darah secukupnya untuk perfusi organ vital (Chatterjee dan Fifer, 2011). Kompensasi ini termasuk :

1) Mekanisme Frank-Starling

(4)

Tetapi mekanisme ini mempunyai batas, dimana pada kasus gagal jantung yang berat dengan kontraktilitas yang menurun, kurvanya mungkin mendekati datar pada volume diastolik yang tinggi. Secara bersamaan pada sirkumtansi, peningkatan bermakna dari volume diastolik akhir dan tekanan (dimana ditransmisikan secara retrograd ke atrium kiri, vena pulmonar, dan kapiler) dapat menghasilkan kongesti paru dan edema (Chatterjee dan Fifer, 2011). 2) Perubahan neurohormonal

Istilah neurohormonal merefleksikan bahwa banyak molekul berelaborasi pada pada gagal jantung, diproduksi oleh sistem neuroendokrin (Mann, 2012). Sebagai respon penurunan cardiac output, mekanisme kompensasi neurohormonal diaktifkan. Mekanisme ini berjalan untuk meningkatkan tahanan perifer sistemik, yang membantu untuk mempertahankan perfusi arteri ke organ vital walaupun cardiac output berkurang. Peningkatan tahanan perifer total yang diinduksi oleh mekanisme kompensasi ini dapat hampir menyeimbangkan turunnya cardiac output, dan pada derajat awal gagal jantung dapat mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal (Chatterjee dan Fifer, 2011).

a) Sistem saraf adrenergik

Menurunnya cardiac output pada gagal jantung dideteksi oleh baroreseptor pada sinus carotis dan lengkung aorta. Reseptor ini mengurangi tingkat pemberian sinyal dalam proporsi untuk penurunan tekanan darah, dan sinyal ditransmisikan oleh saraf kranial ke-9 dan ke-10 ke pusat pengaturan kardiovaskular di medula. Hasilnya, keluaran simpatetik ke jantung dan sirkulasi perifer meningkat (Chatterjee dan Fifer, 2011). Aktivasi sistem saraf simpatik terjadi bersamaan dengan penurunan kekuatan parasimpatis (Mann, 2012). Ada 3 konsekuensi segera, yaitu : (1) peningkatan denyut jantung, (2) penambahan kontraktilitas ventrikel,dan (3) vasokonstriksi akibat dari stimulasi reseptor-α pada vena dan arteri sistemik (Chatterjee dan Fifer, 2011).

b) Sistem renin-angiotensin-aldosteron

(5)

Renin adalah enzim yang memecah angiotensin menjadi angiotensin I, dimana secara cepat dipecah lagi oleh enzim angiotensin-converting (ACE) untuk membentuk angiotensin II. Peningkatan angiotensin II mengkonstriksi arteriol dan meningkatkan tahanan perifer sistemik (Chatterjee dan Fifer, 2011). Angiotensin II juga menstimulasi pelepasan aldosteron dari korteks adrenal (Francis et al., 2008). Aldosteron mengakibatkan reabsorpsi natrium dari tubulus kontortus distal ke ginjal, mengakibatkan penambahan volume intravaskular (Chatterjee dan Fifer, 2011).

c) Hormon antidiuretik

Hormon ini berkontribusi dalam peningkatan volume intravaskular karena meningkatkan retensi air pada nefron distal. Peningkatan volume intravaskular mengakibatkan penambahan preload ventrikel kiri dan cardiac output. Peningkatan angiotensin II dan aldosteron yang kronis dapat menimbulkan produksi sitokin, aktivasi makrofag, dan stimulasi fibroblas, mengakibatkan fibrosis dan adverse remodeling jantung (Chatterjee dan Fifer, 2011).

d) Peptida natriuretik

Peptida natriuretik adalah hormon yang menguntungkan, dimana disekresi pada gagal jantung sebagai respon meningkatnya tekanan intrakardiak (Chatterjee dan Fifer, 2011). Peptida natriuretik meningkat pada pasien gagal jantung. ANP (Atrial Natriuretic Peptide) normalnya disintesis dan disimpan di atrium, serta dilepas ke sirkulasi selama distensi atrium (Francis et al, 2008). Kerja dari peptida natriuretik ini menghasilkan ekskresi pada garam dan air, vasodilatasi, inhibisi sekresi renin dan antagonis efek angiotensin II pada aldosteron dan vasopressin (Chatterjee dan Fifer, 2011). BNP (B-type Natriuretic Peptide) paling banyak disintesis oleh ventrikel dan dilepas pada saat disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung tahap awal. ANP dan BNP mengakibatkan vasodilatasi dan natriuresis lewat aktivasi reseptor guanylate cyclase (Francis et al., 2008).

3) Hipertrofi ventrikel dan remodeling

(6)

respon dari overloading hemodinamik jantung, bisa volume atau tekanan, ataupun kombinasi dari keduanya (Francis et al., 2008). Proses remodeling dari ventrikel kiri juga penting dalam mempengaruhi miosit kardiak, volume komponen miosit dan nonmiosit pada miokardiak, serta geometri dan susunan ruang ventrikel kiri (Mann, 2012).

Peningkatan yang mendukung dalam tekanan dinding (bersamaan dengan neurohormonal dan perubahan sitokin) menstimulasi perkembangan hipertrofi miokardiak dan deposisi matriks ekstraseluler. Peningkatan masa dari serat otot ini membantu mempertahankan kekuatan kontraksi dan meniadakan tekanan dinding ventrikel. Akan tetapi karena meningkatnya kekakuan dari dinding yang hipertrofi, keuntungan ini datang pada saat peningkatan tekanan ventrikel diastolik daripada saat normal, yang mana ditransmisikan ke atrium kiri dan vaskularisasi pulmonal (Chatterjee dan Fijer, 2011).

2. 1. 5. Klasifikasi

Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA) (McMurray et al., 2012).

1. Kelas I

Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang biasa tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau dispnea.

2. Kelas II

Ada sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tetapi aktivitas fisik yang biasa menyebabkan kelelahan, palpitasi atau dispnea.

3. Kelas III

Ada keterbatasan aktivitas fisik yang nyata. Aktivitas fisik yang sedikit saja menyebabkan kelelahan, palpitasi atau dispnea.

4. Kelas IV

(7)

2. 2. Natrium 2. 2. 1. Fisiologi

Natrium merupakan kation terbanyak yang terdapat pada cairan ekstraseluler (Guyton, 2006). Karena natrium merupakan kompartemen ekstraseluler yang terbanyak, jumlah natrium dalam tubuh merefleksikan volume cairan ekstraseluler. Mekanisme pengaturan volume normal memastikan pengeluaran natrium seimbang dengan pemasukan natrium. Perubahan pada konsentrasi natrium umumnya menunjukkan terganggunya homeostatis air, sedangkan perubahan pada kadar natrium bermanifestasi menjadi berkurangnya atau bertambahnya volume cairan ekstraseluler dan secara tidak langsung keseimbangan natrium menjadi abnormal (Singer dan Brenner, 2005).

Gambar 1. Pompa Natrium-Kalium Sumber : Kjell Lundin, 2012

(8)

anak dan dewasa adalah 135-145 mmol/L, sedangkan pada urin anak dan dewasa adalah 40-220 mmol/24 jam (Yaswir dan Ferawati, 2012).

Gambar 2. Proses Transpor Sepanjang Nefron Sumber : Color Atlas of Physiology, 2003

2. 3. 2. Etiologi Hiponatremia

Hiponatremia, umumnya didefinisikan sebagai konsentrasi serum natrium <135mmol/L ( Madan, Novak dan Rich, 2011). Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma (Yaswir dan Ferawati, 2012). Hiponatremia disebabkan oleh banyak penyebab, antara lain :

a. Pseudohiponatremia

i. Osmolalitas plasma normal a. Hiperlipidemia b. Hiperproteinemia

c. Reseksi pasca transuretral tumor prostat ii. Osmolalitas plasma meningkat

(9)

b. Manitol

b. Hiponatremia hipoosmolalitas

i. Kehilangan natrium primer (penambahan air sekunder) a. Dari kulit : keringat, luka bakar

b. Dari saluran cerna : muntah, drainase selang, fistula, diare, obstruksi

c. Dari ginjal : diuretik, osmosis diuresis, hipoaldosteronisme, nekrosis tubular akut non-oligurik

ii. Penambahan air primer (kehilangan natrium sekunder) a. Polidipsi primer

b. Menurunnya pemasukan natrium c. Pelepasan hormon antidiuretik d. Defisiensi glukokortikoid e. Hipotiroidisme

f. Insufisiensi ginjal kronik

iii. Penambahan natrium primer (dilewati oleh penambahan air sekunder) a. Gagal jantung

b. Sirosis hepar c. Sindrom nefrotik

Penyebab hiponatremia paling banyak bersamaan dengan osmolalitas plasma yang rendah (Singer dan Brenner, 2005).

2. 3. Hubungan Kadar Natrium dengan Gagal Jantung Kongestif

Dari semua pasien yang diterima di rumah sakit dengan diagnosa gagal jantung, 18-27% akan mengalami hiponatremia pada awal penerimaan (Romanovsky, Bagshaw, dan Rosner, 2011). Kadar natrium darah dikenal sebagai prediktor outcome pada pasien gagal jantung kronik.Pada percobaan

ACTIV in CHF (Acute and Chronic Therapeutic Impact of a Vasopressin

Antagonist in Congestive Heart Failure), 21% pasien yang dihospitalisasi karena

gagal jantung dekompensata akut mengalami hiponatremia pada batas bawah

(10)

hemodinamik, hospitalisasi yang lama, meningginya tingkat rehospitalisasi dan mortalitas (Madan, Novak, dan Rich, 2011). Hiponatremia dapat mengidentifikasi sebuah populasi dengan profil patofisiologi yang berbeda dari pasien normonatremia. Hal ini menunjukkan banyaknya aktivasi renin-angiotensin-aldosteron atau sistem saraf simpatis dan/atau pelepasan vasopressin (Gheorghiade et al., 2007).

Pada gagal jantung kongestif, umumnya terjadi hiponatremia dilusional

yang hipervolemik akibat kelebihan cairan (Abraham, 2008). Pada umumnya, mekanisme utamanya adalah hiponatremia dilusional yang dipicu oleh osmolalitas yang independen pada sekresi AVP (Tada et al., 2011). Sedangkan pada pemakaian obat-obatan yang mengurangi cairan ekstraseluler yang

mengakibatkan pengurangan garam yang berlebih, seperti diuretik, dapat

mengakibatkan hiponatremia deplesional (Abraham, 2008).

(11)

AVP secara signifikan meningkat menurut tingkat keparahan dari kelas NYHA, dimana pada NYHA I: 4.9 +/- 0.8 pmol/l, pada NYHA II: 5.5 +/-0.9 pmol/l, pada NYHA III: 13.4 +/- 2.6 pmol/l, sedangkan pada NYHA IV: 26.9 +/- 5.6 pmol/l (Nakamura et al., 2006).

Remodeling miokardium sebagai respon terhadap reabsorpsi air yang berlebihan, dimana mengembangkan preload ventrikular dan mengubah fungsi gap junction, dapat berkontribusi terhadap osmolalitas yang rendah pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal. Dalam kondisi ini, meskipun kadar natrium darah tetap rendah, kadar natrium tubuh total meningkat dan ada peningkatan volume cairan ekstraseluler (Chrysohoou, Tousoulis, dan Stefanadis, 2012). Hiponatremia pada gagal jantung juga merupakan tanda terganggunya perfusi ginjal (Madan, Novak, dan Rich, 2011).

Obat diuretik meningkatkan ekskresi air dan natrium, dengan demikian dapat mengurangi gejala kongestif dan secara teori membantu mengoptimalkan kontraktilitas jantung (Romanovsky, Bagshaw, dan Rosner, 2011). Pada umumnya, NYHA dengan kelas yang lebih tinggi, bersamaan dengan meningkatnya penggunaan loop diuretic dan keperluan dosis, merupakan karakteristik pasien dengan hiponatremia (Balling et al., 2011). Pada populasi umum, diuretik yang menginduksi hiponatremia sangat banyak, dengan thiazid dihitung atas 63% dari kasus hiponatremia yang parah, loop diuretic atas 6%, dan spironolakton atas 1% (Romanovsky, Bagshaw, dan Rosner, 2011). Umumnya, pasien yang menerima thiazid, aktivitas AVP yang berlebihan, hipokalemia, dan pemasukan air yang berlebihan ditemukan baik, secara tunggal atau bersamaan, muncul untuk berkontribusi dalam perkembangan hiponatremia. Loop diuretic, dimana bekerja pada medula dan korteks dari ansa henle asenden tebal, sering memperburuk hiponatermia oleh karena diuresis isotonik dengan hilangnya garam (Kumar et al., 2007).

(12)

Sedangkan pada studi MUSIC (MUerte Subita en Insuficiencia Cardiaca) dengan jumlah pasien gagal jantung kronik sebanyak 992 orang, ditemukan lebih banyak pasien dengan NYHA kelas II (78,4%) dibandingkan dengan NYHA kelas III (21,6%) dengan kadar natrium darah ≤ 138 mmol/L (Vazquez et al, 2009). Menurut De Wolfe et al. (2008), rata-rata pasien memiliki derajat fungsional NYHA kelas II dengan kadar serum natrium normal lebih banyak (87%) dibandingkan dengan kadar serum natrium yang rendah (13%).Subjek penelitian yang mengalami hiponatremia mempunyai WHO functional class yang buruk, dimana hiponatremia terjadi pada 85% subjek penelitian yang mempunyai derajat III-IV dan pada grup dengan kadar natrium yang normal mempunyai proporsi yang sama pada kelas I-II dan III-IV (Forfia et al., 2008).

Pada pasien gagal jantung yang dihospitalisasi, hiponatremia juga tejadi bersamaan dengan tekanan darah sistolik yang rendah, BNP yang meninggi, dan kemungkinan penggunaan agen inotropik yang meninggi (Chrysohoou, Tousoulis, dan Stefanadis, 2012). Menurut Balling et al. (2011), pasien gagal jantung dengan hiponatremia, secara signifikan mempunyai detak jantung dan tekanan darah sistolik rata-rata yang rendah. Gejala yang parah dengan NYHA kelas III-IV lebih sering terjadi pada pasien hiponatremia dibandingkan dengan pasien normonatremia.

(13)

Pada penelitian International Collaborative of NT-proBNP juga ditemukan, kadar natrium darah rendah sangat banyak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang parah dengan tingkat NT-proBNP (amino-terminal pro-B-type natriuretic peptide). Efek pengobatan seperti diuretik dalam pembentukan hiponatremia juga telah didiskusikan, meskipun pasien dengan natrium yang rendah pada studi ini tidak cenderung memakai loop diuretic saat presentasi. Menariknya, meskipun pasien dengan hiponatremia pada analisis mereka lebih banyak dengan gejala kelas IV dan NT-proBNP yang meningkat, mereka cenderung tidak menunjukkan tanda overload cairan pada riwayat penyakit mereka dan pemeriksaan fisik atau gambaran radiografi, dibandingkan dengan pasien yang mempunyai kadar natrium normal (Mohammed et al., 2010).

Gambar

Gambar 1. Pompa Natrium-Kalium
Gambar 2. Proses Transpor Sepanjang Nefron

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi Cross Sectional analitik untuk mengukur kadar FGF-2 serum pada penderita meningioma intrakranial, dilanjutkan dengan

Kesimpulan: Sebagai kesimpulan, tidak didapatkan korelasi yang signifikan secara statistic antara status besi dan kelas fungsional NYHA pada pasien gagal jantung yang dirawat inap

Data subjek penelitian yang di adalah natrium dan tekanan darah (sistolik dan diastolik). Data rata-rata kadar natrium serum yang di dapat menunjukan bahwa data

Tekanan darah mungkin normal pada saat pemeriksaan jika pasien mendapatkan pengobatan antihipertensi yang adekuat atau jika pasien menderita disfungsi ventrikel kiri tingkat