BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Corporate Governance
Struktur Corporate governance yang modern merupakan suatu entitas
bisnis yang terhubung dengan kontrak perjanjian formal dan informal yang
disetujui oleh seluruh stakeholders. (North, 1994) dalam(Lashgari, 2012). Hal ini
termasuk didalamnya tentang pola pemotongan untuk para pemasok modal seperti
stockholders dan lenders, insentif yang khusus bagi manajer perusahaan dan
struktur organisasi dalam menjaga keseimbangan harga pasar dari suatu
perusahaan. Lashgari (2012) juga menambahkan bahwa secara umum struktur
organisasi yang telah ada ini disebut sebagai biaya transaksi untuk tetap menjaga
dan menunjang kontrak perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Berbagai peristiwa baik yang terjadi didalam dan diluar perusahaan telah
menjadikan Corporate Governance sebagai isu yang sangat penting dikalangan
principal, organisasi-organisasi, konsultan suatu perusahaan, dan regulator
(pemerintahan) yang ada di berbagai belahan dunia. isu-isu yang terkait dengan
corporate governance seperti insider trading, transparency, accountability,
indepedency, business ethics dan corporate social responsibility telah menjadi
ungkapan-ungkapan yang lazim terdengar di kalangan para pelaku bisnis.
(Kesuma, 2005). Dan kini isu-isu tentang corporate governance tersebut telah
berkembang menjadi suatu prinsip yang berlaku tidak hanya diluar namun juga di
Penerapan prinsip Good Corporate Governance, yang didukung dengan
regulasi yang memadai, akan mencegah terjadinya bentuk overstated,
ketidakjujuran dalam financial disclosure yang dapat merugikan stakeholders,
misalnya karena ekspektasinya yang jauh melampaui kinerja perusahaan yang
sesungguhnya. (Kesuma, 2005). Seiring dengan perkembangan dunia usaha yang
semakin kompleks, Harjoto dan Jo (2011) mengemukakan bahwa ada dua
konsentrasi dalam corporate governance yaitu pihak internal yang terdiri dari
konsentrasi kepemilikan dan dewan komisaris dan pihak eksternal yang terdiri
dari kepemilikan institusional dan monitoring oleh security analyst.
Organisasi untuk kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/ OECD (2004)
mendefinisikan corporate governance yaitu: “sebuah sistem yang ada didalam
perusahaan yang mengarahkan dan mengontrol usaha bisnis”. Struktur corporate
governance terdiri dari penyaluran hak dan tanggung jawab ke seluruh bagian
dalam suatu perusahaan. Seperti dewan direksi, manajer, pemegang saham, dan
investor serta pihak-pihak berkepentingan lainnya. Dan dengan merinci aturan dan
prosedur untuk membuat keputusan yang jujur bagi perusahaan. Dengan
melakukan hal ini, juga menyediakan struktur bagaimana sebuah perusahaan
2.1.2 Teori dan Prinsip-prinsip Dasar Corporate Governance
Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah stewardship
theory dan agency theory yang dikemukakan oleh (Donaldson dan Davis, 1991)
yaitu:
a. Stewardship Theory
Teori ini berdasar pada pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan
motivasi manajer. Seorang eksekutif manajer dalam teori ini dianggap bukan
sebagai pihak yang opportunistic, yang mana secara esensi mereka hanya
melakukan pekerjaan dengan baik untuk menjadi pengurus yang baik bagi seluruh
asset yang dimiliki perusahaan. Stewardship theory dibangun di atas asumsi
filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat
dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas
dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan yang
dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory
memandang manajemen sebagai dapat di percaya untuk bertindak dengan
sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.
b. Agency theory
Teori ini telah lama dikembangkan oleh Jensen and Meckling (1976) yang
mengemukakan bahwa ada pemisahan kepemilikan (ownership structure) dengan
manajer (agent) dalam suatu perusahaan. Tujuan dari dipisahkannya pengelolaan
dari kepemilikan perusahaan yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh
tenaga-tenaga profesional. Dalam menjalankan manajemen perusahaan Manajer
sadar sepenuhnya dengan kepentingannya sendiri akan perusahaan, bukan sebagai
pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Teori ini
secara mendasar merupakan teori yang dapat memunculkan biaya keaganen
(agency costs). Agency cost merupakan pengorbanan yang timbul dari hubungan
keagenan apapun, termasuk hubungan di dalam kontrak kerja antara pemegang
saham (sebagai prinsipal) dan corporate management (sebagai agen). Dalam
hubungan keagenan, bukan hanya prinsipal yang menanggung cost tersebut. agen
pun menanggungnya. Hal ini dapat dipahami dari jenis-jenis biaya keagenan yang
menurut Jensen dan Meckling (1976) (1) biaya monitoring, (2) biaya bonding, dan
(3) residual loss . Biaya monitoring adalah biaya yang ditanggung oleh prinsipal
untuk membatasi agen dari aktivitas yang menyimpang dari yang diinginkannya.
Biaya bonding, adalah biaya unt uk mengikat agen yang dapat berupa uang atau
selain uang. Adapun residual loss merupakan pengorbanan berupa berkurangnya
kemakmuran prinsipal sebagai akibat dari perbed aan antara keputusan agen dan
keputusan prinsipal.
Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respon lebih
luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai
pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan bertumpu pada
agency theory di mana pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada
berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Menurut Organization for Economic Corporation and Development
(fairness), akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency ), dan
responsibilitas (responsibility). Prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk
mengukur seberapa jauh Good Corporate Governance telah diterapkan dalam
perusahaan. Berdasarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia
yang dikemukakan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Good
Corporate Governance prinsip-prinsip dasar sebagai berikut :
1. Transparansi (Transparency), Untuk menjaga obyektivitas dalam
menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang
material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami
oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk
pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku
kepentingan lainnya.
2. Akuntabilitas (Accountability), Perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.
Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai
kinerja yang berkesinambungan.
3. Responsibilitas (Responsibility), Perusahaan harus mematuhi
terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi (Independency), Untuk melancarkan pelaksanaan asas
GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga
masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak
dapat diintervensi oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness), Dalam melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
2.1.3 Dewan Komisaris
Dewan komisaris yang berperan sebagai supervisor atau yang melakukan
pengawasan, sementara dewan direksi bertanggung jawab atas kegiatan
operasional perusahaan. Keduanya memiliki tanggung jawab penuh dan juga
otoritas dalam mengambil keputusan dalam hal member perintah, mengontrol, dan
mengawasi sistem manajemen sumber daya yang berkaitan dengan tujuan
perusahaan. (Nugroho dan Eko, 2011).
Dalam perusahaan sering terjadi konflik kepentingan (Conflict of interests)
antara dewan komisaris dan dewan direksi. Dewan komisaris memegang otoritas
yang lebih tinggi, posisi yang lebih kuat daripada dewan direksi, namun memiliki
perusahaan. Sehingga salah satu solusi untuk menilai permasalahan ini yaitu
dengan melihat kinerja para dewan direksi.
Dalam riset Fama dan Jensen (1983) mengatakan bahwa dewan komisaris
merupakan elemen vital dalam menerapkan corporate governance, yang secara
esensi diterapkan untuk melindungi dan mengawasi asset para investor. Dan tidak
ada mekanisme pengawasan yang lebih efektif daripada pengawasan yang
dilakukan oleh para pihak pemangku kepentingan (stockholders). Klein (2002)
juga mengatakan bahwa direksi yang independen yang bukan berasal dari dewan
komisaris mampu manjadi alat pengawasan yang lebih efektif. Cornell et, al
(2008) menyatakan bahwa kinerja operasional dan keuntungan yang didapat akan
mampu menaikkan jumlah dewan komisaris independen. Dan riset Liu dan Lu
(2007) juga menyatakan bahwa struktur dewan tidak hanya mengawasi proses
laporan keuangan namun juga menghindari intervensi para pemegang saham
(shareholders) dari aktivitas yang dapat merugikan para stakeholders.
2.1.4 Komisaris Independen
Keberadaan dewan komisaris independen di Indonesia diatur dengan
Ketentuan Bapepam dan Peraturan Bursa Efek Indonesia No. 1-A tanggal 14 Juli
tahun 2004. Komisaris independen dapat melakukan aktivitas pengawasan dan
pengendalian terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan aturan tersebut, jumlah
dewan komisaris independen minimal adalah 30%. Ketentuan ini memberikan
pengaruh terhadap pengendalian dan pengawasan terhadap manajemen dalam
perusahaan. Aplikasi pengendalian dan pengawasan terhadap manajemen oleh
komisari independen adalah ketika ma najemen tidak melakukan
aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan capaian yang telah dite ntukan dan aktivitas-aktivitas lainnya
yang dapat memberikan dampak positif terhadap keberlangsungan perusahaan di
masa yang akan datang. Aktivitas yang dimaksud adalah pelaksanaan dan
pengungkapan aktivitas CSR. (Nurkhin, 2009).
Dalam suatu dewan komisaris terdapat jabatan komisaris independen yaitu
anggota dewan komisaris yang bukan merupakan pegawai atau orang yang
berurusan langsung dengan organisasi tersebut dan tidak mewakili pemegang
saham. Nugroho dan Eko (2011) mengemukakan bahwa komisaris independen
beserta para komite audit harus memiliki kontribusi terhadap corporate
governance dan semua dewan direksi yang telah ditunjuk secara sah oleh
pemegang saham juga bertanggung jawab atas governance perusahaan. Namun
dalam prakteknya, harus dibedakan antara para dewan direksi yang menempati
posisi manajemen perusahaan dan para komisaris yang mengawasi mereka
(oversight). (Kesuma, 2005).
2.1.4 Komite Audit
Sesuai dengan Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang
dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan
perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan
perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara
pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam
Komite audit adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang
lebih besar, untuk mengerjakan pekerjaan terten tu untuk melakukan tugas-tugas
khusus. Di dalam perusahaan, komite ini sangat berguna untuk menangani
masalah-masalah yang membutuhkan integrasi dan koordinasi sehingga
dimungkinkan permasalahan-permasalahan yang signifikan atau penting dapat
segera teratasi (Kusumaning, 2004).
Komite audit bukan bersifat wajib (mandatory) dan tidak selalu ada pada
perusahaan kecil. Tanggung jawab komite audit meliputi: mengawasi laporan
keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian
internal (termasuk audit internal). Dari ketiga tanggung jawab tersebut,
pengawasan pada laporan keuangan dan pengawasan pada audit eksternal adalah
yang berkaitan dengan aktivitas manajemen laba. Pengawasan pada laporan
keuangan meliputi laporan keuangan dan kebijakan akuntansi. (Antonia, 2008).
2.2 Struktur Kepemilikan
Pengelolaan perusahaan yang semakin dipisahkan dari kepemilikan
perusahaan merupakan salah satu ciri perekonomian modern, hal ini sesuai dengan
agency theory yang menginginkan pemilik perusahaan (principal)
menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga professional (agent)
yang lebih mengerti dalam menjalankan bisnis. Tujuan dipisahkannya
pengelolaan dan kepemilikan perusahaan yaitu agar pemilik memperoleh
keuntungan maksimal dengan biaya yang efisien.
Wicaksono (2000) menjelaskan bahwa keberhasilan penerapan
Struktur kepemilikan tercermin baik melalui instrumen saham maupun
instrumen utang sehingga melalui struktur tersebut dapat ditelaah
kemungkinan bentuk masalah keagenan yang akan terjadi. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam struktur kepemilikan, antara lain:
1. Kepemilikan sebagian kecil perusahaan oleh manajemen
mempengaruhi kecenderungan untuk memaksimalkan nilai pemegang
saham dibanding sekedar mencapai tujuan perusahaan semata.
2. Kepemilikan yang terkonsentrasi memberi insentif kepada pemegang
saham mayoritas untuk berpartisipasi secara aktif dalam perusahaan.
3. Identitas pemilik menentukan prioritas tujuan sosial perusahaan dan
maksimalisasi nilai pemegang saham, misalnya perusahaan milik
pemerintah cenderung untuk mengikuti tujuan politik dibanding tujuan
perusahaan.
Menurut Ittuiraga & Saz (1998) dalam Carolina (2007) masalah keagenan
timbul karena adanya benturan keinginan antara pemilik perusahaan
(pemegang saham mayoritas) dengan manajer pengelola. Karena itu, struktur
kepemilikan dianggap sebagai sebagai hal yang krusial untuk mengatasi
masalah keagenan karena dengan struktur kepemilikan yang baik terwujud suatu
nilai perusahaan yang layak karena manajer sebagai pihak yang berkompeten
dalam pengelolaan perusahaan mempunyai wewenang cukup untuk menjalankan
2.2.1 Struktur Kepemilikan Manajerial
Shleifer & Vishny (1986) menyatakan bahwa kepemilikan saham
yang besar dari segi ekonomi memiliki insentif untuk memonitor perilaku manajer
dalam perusahaan. Secara teoritis ketika kepemilikan manajerial rendah maka
insentif untuk memonitor terhadap kemungkinan terjadinya perilaku
opportunistik manajer akan meningkat. Kepemilikan manajer akan saham
perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan
antara pemegang saham diluar manajemen sehingga permasalahan keagenan
diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sebagai seorang
pemilik (Jensen & Meckling, 1976).
Kepemilikan saham manajerial adalah proporsi saham biasa yang dimiliki
oleh para manajemen, yang dapat diukur dari presentase saham biasa yang
dimiliki oleh pihak manajemen yang secara aktif terlibat dalam pengambilan
keputusan perusahaan. Menurut Bagnani et, al (1996) struktur kepemilikan
saham manajerial diukur sebagai presentase saham biasa dana atau opsi
saham yang dimiliki direktur dan officer. Dan menurut Setiyono (2000)
struktur kepemilikan saham manajerial diukur sebagai persentase saham
biasa yang dimiliki oleh Board of Management, didalamnya terdapat direktur
dan komisaris. Itturiaga & Sanz (2000) berpendapat bahwa struktur
kepemilikan manajerial dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu
melalui pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan
ketidakseimbangan (asymmetric information approach). Pendekatan keagenan
untuk mengurangi konflik keagenan diantara beberapa klaim (claim holder)
terhadap perusahaan. Pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang
mekanisme struktur kepemilikan manajerial sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui
pengungkapan informasi didalam pasar modal.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dengan hipotesis pemusatan
kemungkinan (convergence of interest hypothesis) menyatakan bahwa
kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara
pemegang saham dan manajer. Semakin meningkatnya proporsi kepemilikan
saham manajerial maka nilai perusahaan juga semakin baik. Dengan
meningkatkan kepemilikan saham manajerial akan mensejajarkan kedudukan
manajer dengan pemegang saham sehingga manajer temotivasi untuk
meningkatkan nilai perusahaan. Kebangkrutan perusahaan bukan hanya
menjadi tanggungan pemilik utama, namun manajer juga ikut menanggungnya.
2.2.2 Struktur Kepemilikan Institusional
Husnan (2001) menyatakan bahwa ada dua jenis ownership dalam
perusahaan Indonesia yaitu perusahaan dengan kepemilikan sangat menyebar dan
perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi. Dalam tipe perusahaan
dengan kepemilikan sangat menyebar, masalah keagenan yang sering timbul
adalah antara pihak manajemen (agent) dengan pemegang saham (shareholders).
Perusahaan yang kepemilikannya lebih menyebar memberikan imbalan yang
lebih besar kepada pihak manajemen dibandingkan dengan perusahaan yang
Jenis kepemilikan perusahaan yang kedua adalah perusahaan dengan
kepemilikan terkonsentrasi atau kepemilikan institusional. Dalam tipe
perusahaan seperti ini, timbul dua kelompok pemegang saham yaitu
controlling dan minority shareholders (Asian Development Bank, 2000
dikutip dalam Husnan, 2001). Pemegang saham pengendali atau pemegang
saham mayoritas (controlling shareholders) dapat bertindak sama dengan
kepentingan pemegang saham atau bertentangan dengan kepentingan
pemegang saham. Dan menurut Jensen dan Meckling (1976) bahwa kepemilikan
institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik
keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaaan investor
institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam
setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Disamping itu juga mempunyai
informasi yang lebih lengkap daripada pemegang saham minoritas, dan hal ini
akan mempengaruhi perilaku perusahaan (The Business Roundtable, 1997).
2.3 Teori Corporate Social Responsibility 2.3.1 Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)
Dengan melakukan social disclosure, perusahaan merasa keberadaan
dan aktivitasnya terlegitimasi. Dalam perspektif ini, perusahaan akan
menghindarkan adanya peregulasian suatu aspek, yang dirasakan akan lebih
berat dari sisi cost karena mereka melakukan secara sukarela.
Sayekti dan Wondabio (2007) mengemukakan Legitimacy theory bahwa
usahanya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan
menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan
perusahaan. Corporate social responsibility disclosure dalam laporan keuangan
tahunan diharapkan mampu membantu perusahaan untuk memperoleh
legitimasi sosial dan memaksimalkan keuangannya dalam jangka panjang,
serta terjadi keseimbangan antara sistem nilai perusahaan dengan nilai
masyarakat, karena apabila terjadi ketidakseimbangan maka perusahaan akan
kehilangan legitimasinya dan akan mengancam keberlangsungan perusahaan
tersebut
2.3.2 Teori Stakeholder (Stakeholders Theory)
Teori Stakeholders ini dikemukakan oleh Ullmann (1985) dan Roberts,
R.W. (1992) dalam Gray et, al (1995) yang mengasumsikan bahwa eksistensi
perusahaan ditentukan oleh para stakeholders. Perusahaan berusaha mencari
pembenaran dari para stakeholders dalam menjalankan operasi
perusahaannya. Semakin kuat posisi stakeholders, semakin besar pula
kecenderungan perusahaan mengadaptasi diri terhadap keinginan para
stakeholdersnya.
Januarti dan Apriyanti (2005) mengemukakan bahwa terdapat
beberapa alasan yang mendorong perusahaan perlu memperhatikan
kepentingan stakeholders, yaitu : (1) Isu lingkungan melibatkan kepentingan
berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat mengganggu kualitas
diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan; (3) Para investor dalam
menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang memiliki dan
mengembangkan kebijakan dan program lingkungan; (4) LSM dan pecinta
lingkungan semakin vokal dalam melakukan kritik terhadap
perusahaan-perusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan
2.3.3 Corporate Social Responsibility
Konsep Corporate Social Responsibility pertama kali dikemukakan oleh
Howard R. Bowen pada tahun 1953 dan sejak itu hingga sekarang telah
mengalami ‘pengayaan’ konsep. Perkembangan konsep corporate social
responsibility yang terjadi selama kurun waktu lima puluh tahun tersebut, tak
pelak lagi telah banyak mengubah orientasi corporate social responsibility.
(Ardianto dan Machfudz, 2011). Bila pada awalnya aktivitas corporate social
responsibility lebih dilandasi oleh kegiatan yang bersifat ‘filantropi’, maka saat ini
kita melihat bahwa corporate social responsibility telah dijadikan sebagai salah
satu strategi perusahaan untuk meningkatkan ‘citra perusahaan’ yang akan turut
mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan.
Penerapan corporate social responsibility di perusahaan menjadi semakin
penting dengan munculnya konsep Sustainable Development oleh The World
Business Council for Sustainable Development (WBCSD). Seiring dengan itu
maka konsep corporate social responsibility mengalami penyesuaian dan
dikembangkan dalam bingkai sustainable development. Hal ini tercermin dari
defenisi yang diberikan oleh WBCSD yakni Corporate Social Responsibility
perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi
karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun
masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang
bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.
Menurut Hasibuan (2001) Corporate Social Responsibility adalah
mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan
perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya
dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang
hukum. Dengan konsep ini, kendati secara moral tujuan perusahaan untuk
mengejar keuntungan adalah sesuatu yang baik, tetapi tidak dengan sendirinya
perusahaan dibenarkan untuk mencapai keuntungan itu dengan mengorbankan
kepentingan pihak-pihak lain.
Konsep Corporate Social Responsibility melibatkan tanggung jawab
kemitraan antara pemerintah, lembaga sumberdaya masyarakat, serta komunitas
setempat (lokal). Kemitraan ini tidaklah bersifat pasif dan statis. Kemitraan ini
merupakan tanggung jawab bersama secara sosial antara stakeholders.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang
disebut Sustainibility Reporting. Sustainibility Reporting adalah pelaporan
mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja
organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Sustainibility Reporting harus menjadi dokumen
strategis yang berleval tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang
Sustainibility Development yang membawanya menuju kepada core business dan
2.3.4 Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan
Hendriksen (1991:203) mendefinisikan pengungkapan (disclosure)
sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian
secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat wajib
(mandatory) yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan yang
didasarkan pada peraturan atau standar tertentu, dan ada yang bersifat sukarela
(voluntary) yang merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan
minimum dari paraturan yang berlaku.
Setiap unit/pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang
saham dan mengkonsentrasikan diri pada pencapaian laba juga mempunyai
tanggung jawab sosial, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan.
Nurlela dan Islahudin (2008) mengungkapkan bahwa corporate social
responsibility yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat sukarela
(voluntary), belum diaudit (unaudited), dan tidak dipengaruhi oleh peraturan
tertentu (unregulated).
Corporate Social Responsibility (CSR) disclosure merupakan
pengungkapan yang dilakukan perusahaanberkaitan dengan aktivitas
lingkungan dan sosial di dalam laporan tahunan perusahaan (Rakhiemah dan
Agustia, 2009 dalam Djuitaningsih dan Ristiawati, 2011). Pengukuran CSR
Disclosure padapenelitian ini menggunakan indeks, dimana instrumen
pengukuran checklist yang digunakan mengacu pada instrumen yang telah
ditetapkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) dalam Sustainability
Reporting Guidelines (SRG). Instrumen ini mengelompokkan informasi CSR
kedalam 7 kategori, yakni lingkungan, energi, keselamatan tenaga kerja,
lain-lain tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat, dan umum. Pengukuran ini
2008), serta (Rakiemah dan Agustia, 2009). Kategori ini terbagi dalam 90 item
pengungkapan. Berdasarkan peraturan Bapepam No. VIII G.2, tentang laporan
tahunan, maka dilakukan penyesuaian atas item-item tersebut untuk dapat
diaplikasikan di Indonesia, sehingga tersisa 78 item pengungkapan. Jumlah
ini kemudian disesuaikan kembali dengan masing-masing sektor industri.
Pendekatan untuk mengukur CSRDI pada dasarnya menggunakan pendekatan
dikotomi, yaitu setiap item CSR dalam instrumen penelitian diberi nilai 1
jika diungkapkan, dan nilai 0 jika tidak diungkapkan. Skor dari tiap item
kemudian, dijumlahkan untuk mendapatkan keseluruhan skor untuk setiap
perusahaan. Sehingga menghasilkan suatu rasio nilai corporate social
responsibility.
2.4 Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan dapat didefinisikan sebagai nilai wajar perusahaan yang
menggambarkan persepsi investor terhadap emiten bersangkutan. Nilai
perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar. Nurlela dan
Islahudin (2008) Karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran
pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat.
Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang saham.
Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan
pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai
manajer ataupun komisaris.
Samuel (2000) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008) menjelaskan
perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator
bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan Wahyudi (2005)
dalam Nurlela dan Islahuddin (2008) menyebutkan bahwa nilai perusahaan
merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan
tersebut di jual.
Dalam penilaian perusahaan terkandung unsur proyeksi, asuransi,
perkiraan, dan judgment. Ada beberapa konsep dasar penilaian yaitu : nilai
ditentukan untuk suatu waktu atau periode tertentu; nilai harus ditentukan
pada harga yang wajar; penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok pembeli
tertentu. Secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan
dalam penilaian perusahaan, di antaranya adalah : a) pendekatan laba antara
lain metode rasio tingkat laba atau price earning ratio, metode kapitalisasi
proyeksi laba; b) pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas; c)
pendekatan dividen antara lain metode pertumbuhan dividen; d) pendekatan
aktiva antara lain metode penilaian aktiva; e) pendekatan harga saham; f)
pendekatan economic value added (Suharli, 2002) dalam Kusumadilaga (2010).
Morck dkk (1998), Mc Connell dan Servaes (1990), Steiner (1996), Cho
(1998), Itturiaga dan Sanz (1998), Mark dan Li (2000) dalam Suranta dan
Machfoedz (2003) menyatakan bahwa hubungan struktur kepemilikan manajerial
dan nilai perusahaan merupakan hubungan monotonik. Hubungan
non-monotonik antara kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan di sebabkan
adanya insentif yang dimiliki oleh manajer dan mereka cenderung berusaha untuk
meningkatkan kepemilikan saham mereka jika nilai perusahaan yang berasal dari
investasi meningkat. Wennerfield dkk (1988) di dalam Suranta dan Machfoedz
(2003) menyimpulkan bahwa tobin’s Q dapat digunakan sebagai alat ukur dalam
menentukan nilai perusahaan.
2.5Size Perusahaan
Suatu perusahaan besar yang sudah mapan akan memiliki akses yang
mudah menuju pasar modal, sementara perusahaan yang baru dan yang
masih kecil akan mengalami banyak kesulitan untuk memiliki akses ke pasar
modal. Karena kemudahan akses ke pasar modal cukup berarti untuk fleksibilitas
dan kemampuannya untuk memperoleh dana yang lebih besar, sehingga
perusahaan mampu memiliki rasio pembayaran dividen yang lebih tinggi daripada
perusahaan kecil.
Menurut Zulkifli (dalam Purba, 2011) ukuran untuk menentukan firm size
adalah dengan log natural dari total aktiva. Ukuran perusahaan (firm size)
mencerminkan bahwa perusahaan yang mapan dan besar akan memiliki akses
yang lebih mudah ke pasar modal, dibandingkan dengan perusahaan yang masih
baru ataupun perusahaan yang kecil. Perusahaan yang masih baru ataupun
perusahaan yang kecil karena keterbatasan aksesnya ke pasar modal sehingga
kemampuannya untuk mendapatkan modal dan memperoleh pinjaman dari pasar
modal juga terbatas. Oleh karena itu, maka mereka cenderung untuk menahan
labanya guna membiayai operasinya dan ini berarti dividen yang akan diterima
(firm size) maka dividen yang dibagikan juga akan semakin besar, begitu juga
sebaliknya.
2.6 Leverage
Menurut Van Horn (1997) Financial Leverage merupakan penggunaan
sumber dana yang memiliki beban tetap, dengan harapan akan memberikan
tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban tetapnya, sehingga
keuntungan pemegang saham bertambah. Alasan yang kuat menggunakan beban
tetap adalah untuk meningkatkan pendapatan yang tersedia bagi pemegang saham.
Leverage juga merupakan sarana untuk mendorong peningkatan keuntungan atau
pengembalian hasil / nilai tanpa menambah investasi. Rawi (2008) juga
mengemukakan bahwa Perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi
berusaha menyampaikan lebih banyak informasi sebagai instrumen untuk
mengurangi monitoring costs bagi investor. Mereka memberikan informasi yang
lebih detail dalam laporan tahunan untuk memenuhi kebutuhan tersebut
dibandingkan dengan perusahaan yang leveragenya lebih rendah.
2.6Review Penelitian Terdahulu (Theoretical Mapping)
Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan dasar dalam
melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Penelitian oleh Nurlela dan Islahudin (2008) dengan judul penelitian
“Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap nilai perusahaan dengan
Prosentase Kepemilikan Manajerial sebagai variabel moderating”. Dengan
manajemen, serta interaksi antara Corporate Social Responsibility dengan
prosentase kepemilikan manajemen secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap nilai perusahaan.
Penelitian oleh Herawaty (2008) dengan judul “Peran Praktek Corporate
Governance Sebagai Moderating Variable dari Pengaruh Earnings Management
Terhadap Nilai Perusahaan”. Dengan kesimpulan bahwa Secara parsial earnings
management berpengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan. Dan
Secara simultan earnings management dengan corporate governance sebagai
moderating berpengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan.
Penelitian oleh Raharja (2012) dengan judul “Pengaruh Good corporate
governance dan ukuran perusahaan Terhadap kinerja perusahaan (studi empiris
pada perusahaan yang terdaftar di BEI 2010)”. Dengan kesimpulan bahwa jumlah
dewan direksi, jumlah dewan komisaris dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh
signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Penelitian oleh Harjoto dan Jo (2007) dengan judul “Corporate
Governance and Firm Value The Impact of Corporate Social Responsibility”.
Dengan kesimpulan bahwa Corporate Social Responsibility, kepemilikan
institusional dan komisaris independen memiliki hubungan positif dengan nilai
perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q.
Penelitian oleh Murwaningsari (2008) dengan judul “Pengaruh Corporate
Governance terhadap nilai perusahaaan dengan manajemen laba sebagai variabel
intervening (studi pada perusahaan manufaktur di BEI)”. Dengan kesimpulan
manajemen laba berpengaruh secara signifikan dan positif, corporate governance
berpengaruh secara signifikan dengan nilai perusahaan dan Hasil pengujian
terhadap nilai perusahaan dengan manajemen laba sebagai variabel intervening
belum berpengaruh secara signifikan.
Tabel 2.1
Review Penelitian Terdahulu (Theoretical Mapping) No. Nama Peneliti
& Tahun
Judul Variabel Hasil Penelitian 1. Rika Nurlela signifikan terhadap nilai
perusahaan.
Secara simultan: earnings management dengan corporate governance sebagai moderating berpengaruh secara signikan terhadap nilai perusahaan. dewan direksi, jumlah dewan komisaris
terdaftar di bei hubungan positif dengan nilai