• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI ETIKA PROFESI GUNA MENDUKUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI ETIKA PROFESI GUNA MENDUKUN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI ETIKA

PROFESI GUNA MENDUKUNG

REVOLUSI MENTAL DALAM

RANGKA TERWUJUDNYA

PROFESIONALISME

POLRI

Polisi secara garis besar di seluruh dunia, mempunyai tugas yang relative sama yaitu maintance order dan fight crime. Polisi dibentuk dalam rangka mengatur atau menjaga agar kepentingan individu atau pemenuhan hak-hak individu dalam pelaksanaannya tidak bertentangan atau merugikan hak atau kepentingan orang lain. Polisi dilengkapi dengan kewenangan yang diatur oleh undang-undang. Kewenangan adalah

kewajiban dan tanggung jawab yang bukan sekedar bagian dari profesi melainkan bagian dari moralitas aparat yang pendekatannya adalah untuk menjembatani, melayani,

melindungi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pendekatan ini sangat sesuai dengan tugas pokok Polri yang menurut UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13 menyatakan dengan tegas bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

(2)

melaksanakan penegakan hukum dengan memperhatikan aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, mampu memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

kepada masyarakat dengan baik, sehingga tercipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Produk dari polisi adalah rasa aman, dan keamanan warga masyarakat yang terwujud dan terpelihara sehingga mereka dapat melakukan berbagai aktivitasnya. Kondisi dan situasi yang aman dan tertib akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena dapat bekerja dengan tenang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Polisi bukan pekerjaan, polisi adalah sebuah profesi yang

melekat pada setiap tindakan kapanpun dan dimanapun, yang bersumber dari hati nurani. Polri membuat kode etik profesi yang bertujuan untuk membentuk suatu budaya organisasi Polri, yang berdasarkan pada nilai-nilai kehidupan dalam rangka mencapai visi dan misi organisasi. Nilai-nilai tersebut tertuang dalam pedoman hidup Polri yaitu Tribrata.Tribrata memuat nilai-nilai etika profesi yang dijadikan pedoman bagi anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya, sehingga polisi bertindak sesuai dengan jati dirinya sebagai pelindung,

pengayom dan pelayan masyarakat bukan bertindak sebaliknya.

Polri adalah suatu institusi yang mempunyai potensi atau kemampuan yang sangat besar dalam berpartisipasi menunjang keberhasilan pembangunan nasional. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

(3)

masyarakat terhadap Polri menjadi suatu permasalahan dalam mendorong pembangunan nasional. Kepercayaan terhadap Polri yang rendah disebabkan oleh kinerja Polri yang belum profesional dan perilaku anggota Polri yang masih belum sesuai dengan masyarakat. Sikap dan perilaku tersebut memperlukan suatu perubahan yang cepat (Revolusi) agar Polri dapat menjadi bagian dari masyarakat dan bekerja sama mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Menyingkapi persoalan tersebut, penulis akan membahas dari segi mentalitas atau nilai-nilai kepribadian personil Polri yang saat ini masih jauh dari karakter yang sepatutnya dimiliki oleh Polri. Karakter personel Polri yang diharapkan adalah karakter sebagaimana yang tertuang dalam kode etik profesi Polri yang mampu memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan masyarakat.

Karakter Polri karakter bangsa Indonesia

Perkembangan etika suatu bangsa tidak dapat terlepas sejarah dan budaya suatu bangsa tersebut. Budaya adalah cermin sebuah kepribadian bangsa.Dengan melihat kebiasaan atau perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam aktifitas

(4)

serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya. Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif. Para pendukung kebudayaan tersebut menggunakan secara selektif apa yang dirasakan sebagai yang terbaik atau paling cocok untuk

dijadikan pedoman dalam menginterprestasi gejala-gejala yang penuh makna. Dan untuk mewujudkan tindakan dalam

menghadapi lingkungannya dan memanfaatkan sumber daya yang terkandung didalamnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia ataupun sebagai tanggapan-tanggapan atas stimuli atau rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungannya.

Pada dasarnya budaya suatu bangsa merupakan hasil interprestasi nilai-nilai para leluhur pendiri bangsa yang

(5)

1. Hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain di muka lain dibelakang, merupakan sebuah ciri utama manusia

Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang

sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan

mendapatkan ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.

2. Segan dan enggan bertanggung jawab atas

perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya dan sebagainya. “ Bukan saya” adalah kalimat yang cukup popular di mulut manusia Indonesia. Atasan menggeser tanggung jawab tentang suatu kesalahan, sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tidak baik, satu kegagalan pada bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan demikian seterusnya.

3. Berjiwa feodal, meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat Indonesia..

4. Masih percaya takhayul. Dulu dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung,

bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua.

(6)

maka manusia Indonesia dekat pada alam. Dia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan

perasaan-perasaan sensualnya, dan semua ini

mengembangkan daya artistic yang besar dalam dirinya yang dituangkan dalam segala rupa ciptaan artistic dan kerajinan yang indah-indah dan serba aneka macamnya, variasinya, warna-warninya.

6. Watak yang lemah, manusia Indonesia berkarakter kurang kuat karena lemah mempertahankan dan memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya.

7. Boros, manusia Indonesia sekarang itu tidak hemat, dia bukan “economic animal” .malahan dia pandai

mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum diterimanya, atau yang tidak pernah akan diterimanya.

8. Manusia Indonesia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Gejalanya hari ini adalah cara-cara banyak orang ingin menjadi “miliuner seketika” atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari ke-dudukannya berpangkat cepat bias menjadi kaya.

9. Manusia Indonesia kini sudah jadi orang kurang sabar, tukang menggerutu. Tetapi menggerutunya tidak berani secara terbuka, hanya jika dalam rumahnya, antara kawan-kawannya yang sepaham atau sama perasaannya dengan dia.

(7)

berpangkat, lebih berkuasa, lebih pintar, lebih terkenal dari dirinya, akibatnya spion melayu jadi laku, laporan-laporan mereka gunakan untuk menjatuhkan orang yang tidak disukai atau disenangi.

11. Manusia Indonesia dapat dikatakan sebagai manusia yang sok, kalau berkuasa mudah mabuk kuasa, kalau kaya mudah mabuk harta. Pepatah Jawa mengatakan “kacang lali kulite” maksudnya adalah seseorang yang lupa asal-usulnya

setelah mendapatkan keinginannya, apa yang diperolehnya adalah miliknya sendiri karena hasil kerja kerasnya padahal untuk memperoleh apa yang diraihnya tersebut karena mendapatkan bantuan dari orang lain, pendeknya lupa budi.

12. Manusia Indonesia juga tukang tiru. Kepribadian kita sudah terlalu lemah. Kita tiru kulit –kulit luar yang

mempesonakan kita. Meniru adalah sifat dasar manusia , namun bila mata telah terbutakan bahwa apa yang ditiru tidak sepantasnya dilakukan namun tetap di contoh itulah yang tidak benar.

13. Manusia Indonesia cenderung bermalas-malasan, akibat alam kita yang begitu murah hati, untuk hidup dan

memperhitungkan hidup hanya dari hari ke hari. Kita masih kurang rajin menyimpan untuk hari depan dan berhitung jauh ke depan. Kondisi alam Indonesia yang kaya raya seharusnya sebagai anugerah dari Tuhan untuk bangsa

(8)

14. Manusia Indonesia adalah sikap tidak atau kurang peduli dengan nasib orang selama tidak mengenai dirinya sendiri atau orang yang dekat padanya. Maka orang merasa dirinya tidak tersangkut dan berkepentingan terhadap orang lain. Kita seakan tidak punya hati nurani mengenai nasib orang lain.

Berbagai karakteristik bangsa Indonesia tersebut berpengaruh pada budaya organisasi yang dianut di Polri. Sebuah Adegium menyebutkan bahwa perilaku personel kepolisian adalah

cermin dari budaya masyarakatnya. Apabila karakter masyarakat nya baik maka begitu pula karakter personel kepolisian, hal ini berlaku juga sebaliknya.

Perilaku dalam suatu organisasi ditentukan oleh nilai-nilai yang di anut dan dipedomani oleh anggota organisasi.Perilaku yang berulang-ulang ini yang di sebut dengan budaya. Budaya yang ada dalam organisasi kepolisian tidak akan jauh berbeda

dengan budaya yang ada dalam masyarakat karena faktor hubungan yang salaing mempengaruhi. Menurut Cushway dan Lodge (2000) budaya organisasi merupakan sistem nilai

organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi di sini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang

(9)

universal, there is a concensus among researchers that certain similaritiesin cop culture are discernible in widely-differing police forces throughout the world. The culture of the police – the values, norms, perspectives and craft rules that inform their conduct – is neither monolithic , universal nor unchanging. There are differences of outlook within police forces, according to such individual variables as personality, generation, or

career trajectory and structured variations according to rank, assignment and specialization.

Kepribadian organisasi Polri yang terbentuk dalam pengaruh budaya masyarakat Indonesia yang ada saat ini tentunya tidak jauh berbeda, karena budaya kepolisian sendiri adalah produk dari masyarakat.Merubah nilai-nilai yang sudah mengakar dalam masing-masing individu yang menjadi budaya kolektif tentu tidak mudah, namun berarti tidak mungkin. Perubahan kultur ke arah yang lebih baik akan bisa terjadi bila sudah terbentuk motivasi untuk berubah ada dan dengan sendirinya dengan motifvasi perubahan itu akan terbentuk sistem

perubahan. Perubahan budaya ke arah yang lebih baik secara nyata berbentuk pada perilaku yang bemoral.Moralmerupakan landasan dasar dalam menjalankan atau

melahirkanprofesi.Di dalam menjalankan profesi agar tetap berada pada kerangka nilai-nilai moral diperlukan aturan perilaku (code of conduct) berupa etika.

(10)

Etika adalah nilai-nilai dalam norma moral yang menjadi pegangan bagi manusia secara individu maupun kelompok dalam berperilaku. Dengan pengertian ini maka lebih jelasnya bahwa etika lebih spesifik dari pada moral karena moral berarti membuat batas yaitu baik dan buruk atau bermoral

dan immoral.Etika terdiri dari nilai-nilai moral yang bisa

terlihat dalam berperilaku yang dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari misalnya jujur, rendah hati, dan berbagai sifat

kepribadian lainnya.

Pengaturan bagi para pemegang profesi agar berperilaku

sesuai dengan harapan organisasi dan untuk mengetahui apa yang harus dikerjakan atau larangan dalam melakukan satu profesi tersebut maka di buat kode etik profesi. Kode etik profesi adalah suatu tuntunan , bimbingan atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau

merupakan daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disususn oleh para anggota profesi itu sendiri dan

mengikat mereka dalam mempraktekannya (Liliana : 2003). Sehingga dalam organisasi kepolisian, kode etik profesi polri digunakan sebagai code of conduct pertama-tama digunakan sebagai sarana untuk pedoman dan penuntun perilaku anggota Polridalam menjalankan profesi kepolisian, dan kedua untuk menentukan apakah terjadi maadministrasi (pelanggaran etika) dalam menjalankan profesi. (Sadjijono: 2003)

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam mengatur para anggotanya merumuskan Kode etik profesi polri dalam

(11)

yakni : pertama, etika kepribadian adalah sikap moral anggota Polri terhadap profesinya di dasarkan pada panggilan ibadah sebagai umat beragama; kedua,etika kenegaraan adalah sikap moral anggota Polri yang menjujung tinggi landasan dan

konstitusional Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ketiga , etika kelembagaan adalah sikap moral anggota Polri terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan patut di junjung tinggi sebagai ikatan lahir dan batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan

kehormatannya; dan keempat, etika dalam hubungan dengan masyarakat adalah sikap moral anggota Polri yang senantiasa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

Kode etik profesi Polri digunakan dalam rangka menunjang tercapainya visi organisasi Polri.Tujuan penyelenggaraan kepolisian di Indonesia adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hokum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.Perumusan kode etik profesi Polri berpedoman pada pedoman hidup Polri yaitu Tribrata.Tribrata menjiwai kode etik profesi Polri maknanya adalah nilai-nilai moral yang ada dalam Tribrata tertuang dalam kode etik profesi polri tersebut. Tribrata sendiri masih berupa falsafah hidup atau mengandung nilai-nilai yang berisi

(12)

belum mampu memberikan suatu keterikatan secara lahiriah, atau lebih mudahnya bila ada anggota tidak mengamalkan falsafah yang terkandung dalam Tribrata maka tidak ada konsekuensi tindakan dari organisasi. Agar mampu mengikat secara lahiriah dalam menjalankan profesi kepolisian maka dirumuskan kode etik profesi Polri yang mengandung nilai-nilai Tribrata, apabila ada anggota yang tidak menjalankan

ketentuan-ketentuan yang ada dalam kode etik profesi Polri tersebut maka akan menerima konsekuensi yang terdapat dalam kode etik yang tertuang dalam Peraturan Kapolri No Pol : 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri.

Pembinaan Karakter sebagai revolusi mental Polri

Upaya pembinaan karakter Polri sesuai yang sesuai

dengan Tri Brata dan Catur Prasetya sehingga dapat

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri dapat dilaksanakan dalam berbagai tahapan sebagai berikut:

1. Proses Rekruitment Personil Polri

Anggota polisi diambil dari pribadi-pribadi terpilih dari warga masyarakat itu sendiri, dengan proses seleksi yang ketat. Seleksi ini mengisyaratkan bahwa para anggota polisi mempunyai kepribadian, kemampuan dan nilai lebih dibandingkan warga masyarakat kebanyakan sehingga

diharapkan para personel polisi nantinya dapat dipercaya oleh masyarakat. Kebijakan awal yang di ambil dalam proses

(13)

Dalam pemolisian modern dikenal suatu program istilah pemolisian masyarakat, dalam program ini menekankan kepada kemitraaan polisi dengan masyarakat dalam membangun keamanan dan ketertiban dalam

wilayahnya.Kebijakan penempatan personel kepolisian dalam program pemolisian masyarakat di atas adalah local job for local boy, maksudnya adalah penempatan personil kepolisian yang mengutamakan anggota kepolisian dari asal daerah personil tersebut berasal. Kebijakan ini didasari pemikiran bahwa dengan menempatkan personil kepolisian dari asal daerahnya diharapkan personil tersebut telah menguasai kondisi dan situasi daerah tersebut, mengerti budaya yang berkembang dalam masyarakatnya sehingga mampu menjalin kerjasama dengan baik dengan warga masyarakat dan tercapai tujuan dari program tersebut.

Ketika kebijakan local job for local boy dilaksanakan, terjadi sebuah sirkulasi atau perputaran pada personel kepolisian dari warga masyarakat biasa, masuk menjadi anggota kepolisian dan kembali lagi ke warga masyarakat semula. Dalam

kehidupan masyarakat yang masih erat hubungan sosialnya, masing-masing warga mempunyai reputasi yang terbentuk dalam kebiasaan perilaku yang nampak dalam individu tersebut, reputasi inilah yang menjadi brand

untukmembedakan individu yang satu dengan yang lain. Ketika suatu saat warga masyarakat yang mempunyai label sebagai warga yang mempunyai reputasi buruk dalam masyarakatnya diterima menjadi polisi dan kembali ke warganya dengan

(14)

tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Persepsi masyarakat yang sudah terbentuk kepada seseorang seringkali akan

melekat lama, bahkan ketika seseorang sudah berubah pandangan masyarakat belum juga mengalami perubahan. Berdasarkan analisa diatas maka perlunya pengecekan ulang reputasi etika di mata masyarakat sekitarnya bagi seorang calon personil pada saat akan masuk dalam pendidikan Polri sebagai syarat kelulusannya. Pada saat era Orde Baru

kegiatan pengecekan terhadap personil yang akan masuk menjadi angggota ABRI ini adalah hal yang lumrah dilakukan namun berbeda fokusnya yaitu pengecekan yang dilakukan oleh intelijen ABRI melalui aparat Koramil kepada calon yang akan masuk atau keluarganya tersangkut benang merah organisasi terlarang apakah tidak, sedangkan yang dimaksud penulis di sini adalah reputasi calon dalam masyarakat

sehingga nantinya setelah dikembalikan ke dalam masyarakat mendapatkan apresiasi warga, sehingga didapatkan calon personil Polri yang dapat dijadikan panutan warga. Pengecekan ini dilakukan oleh Bhabinkamtibmas setempat dengan

mewancarai warga sekitar tempat tinggalnya.

Menyangkut penerimaan personel Polri agar mendapatkan calon yang baik maka, sosialisasi kepada siswa-siswa terbaik dalam sekolah agar lebih digalakkan. Kebijakan penerimaan personel Polri saat ini yang mengedepankan penerimaan yang transparan, dengan melibatkan berbagai lembaga

independent, perlu mendapatkan apresiasi karena merupakan komitmen Polri dalam reformasi birokrasi menuju good

(15)

akan menghilangkan fenomena “menembak diatas kuda” dalam proses rekruitmen personel Polri.

1. Lembaga Pendidikan Polri

Fungsi pendidikan adalah membentuk pola pikir, keahlian, kekuatan dan kemampuan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan organisasi.Ketika Polri mendidik para calon anggota polisi materi yang diajarkan adalah materi yang mendukung pelaksanaan tugas daripada profesi Polri.Kode etik profesi Polri pertama kali diperkenalkan kepada para siswa dalam materi pelajaran etika kepolisian.Berdasarkan pengalaman penulis etika kepolisian yang diajarkan dalam pendidikan hanya sebatas sebagai pengetahuan saja, bukan mendalami atau membudayakan nilai-nilai etika kepolisian tersebut dalam kehidupan sehari-hari di lembaga pendidikan.

Lembaga Pendidikan Polri adalah sebuah lembaga yang diharapkan mampu mencetak calon-calon polisi yang

professional sehingga mampu menjalankan tugas kepolisian nanti pada saat bertugas, yang didasari etika kepolisian dengan berlandaskan kepada Tribrata. Lembaga Pendidikan Polri adalah pintu pertama membentuk karakter peserta

didiknya. Sudah sepantasnya sebagai “kawah candradimuka” proses penanaman karakter menjadi prioritas yang tentunya ada perimbangan antara kompetensi pengetahuan yang dimilikinya. Tradisi buruk dunia pendidikan Polri yang

(16)

didik ketika kekerasan ini menjadi sebuah tradisi maka nilai yang timbul adalah budaya feodal yang mengisyaratkan

kekuasaan sebagai nomer satu. Setelah lulus pendidikan maka jiwa feodal ini yang menjiwai kinerjanya, yang pada akhirnya menjadi pejabat pemerintahan yang minta dilayani bukan menjadi pelayan masyarakatnya.

Sudah sepantasnya Polri me- reinfenting kembali lembaga pendidikan yang ada saat ini dengan kurikulum yang

menyeimbangkan karakter yang berisi 13 (tiga belas) nilai luhur yang terkandung dalam Tribrata. Proses penanaman nilai-nilai luhur tribrata harus dimulai dari dunia pendidikan, karena lembaga pendidikan mempunyai otoritas untuk menyeleksi peserta didik, apabila tidak sesuai dengan kebutuhan

organisasi maka dapat dikeluarkan. Otoritas ini sudah

sepantasnya lebih dimanfaatkan karena apabila nanti setelah lulus baru di pecat proses dan biayanya akan lebih mahal. Penanaman nilai-nilai luhur menjadi sebuah budaya ada beberapa tahap yang harus dilewati yaitu dipaksakan,

terpaksa, bisa, biasa dan menjadi budaya. Mengacu pada hal ini maka peserta didik dipaksakan menjalankan nilai-nilai yang ada dalam Tribrata dengan didukung sistem pembelajaran yang sapantasnya harus dilakukan, nantinya akan merasa terpaksa daripada kehilangan kesempatan menjadi polisi,

selebihnya peserta didik akan bisa menjalankan nilai-nilai luhur dan kemudian menjadi biasa melaksanakannya yang pada akhirnya menjadi budaya.

(17)

Kepemimpinan Polri mempunyai pengaruh yang besar dalam implementasi etika para anggotanya. Unsur-unsur dasar

kepemimpinan menurut Kunarto (1997) adalah 1). Kemampuan mempengaruhi orang lain, 2). Dalam

kepemimpinan harus ada posisi yang memimpin (atasan) dan yang di pimpin (bawahan), 3). Upaya untuk mempengaruhi dilaksanakan dengan proses komunikasi, 4). Upaya untuk mempengaruhi bertujuan untuk memotivasi dan

menggerakkan orang lain, dan 5). Menggerakkan orang lain berkepentingan langsung dengan tujuan yang harus di capai oleh sekelompok atau organisasi. Berdasarkan unsur-unsur kepemimpinan di atas, serasa mudah dipahami, begitu mudah dihafalkan, tetapi pada kenyataannya organisasi kepolisian pada saat ini mengalami krisis kepemimpinan, sehingga tujuan organisasi sulit terwujud, gerak dan langkah yang tidak

seirama, banyak permasalahan internal yang menjadi beban dalam melaksanakan tugas pokoknya.

Ketika organisasi polri yang mengalami krisis kepemimpinan seperti saat ini, tentunya tidak mudah terlaksana personil kepolisian yang beretika karena figure yang dijadikan teladan dan contoh tidak ada.Organisasi Polri saat ini membutuhkan lebih dari sekedar pemimpin, melainkan pemimpin yang efektif.Pemimpin yang efektif menyumbangkan dan

(18)

disibukkan mengurus konflik dan kekuasaannya. Ketika

Pimpinan Polri sudah tidak efektif lagi dan sudah kehilangan respek dari anggotanya, sehingga organisasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, dalam organisasi kepolisian yang masih kental sifat kemiliterannya adalah mustahil bila anggotanya “menggulingkan” dalam arti nyata, berdemo minta Kapolres turun yang tentunya juga sangat tidak elegan apabila dilihat oleh masyarakat. Disinilah perlunya kearifan seorang pimpinan ketika merasa kepemimpinannya sudah tidak efektif untuk mundur dengan baik-baik daripada terkena seleksi alam dengan mendapatkan “kasus”. Sayangnya budaya mundur dari jabatan di Indonesia belum ada, karena masih menghubungkan jabatan dengan materi, bukan dengan kehormatan seperti di negara Jepang.

Para pemimpin di setiap level di kepolisian harus menyadari bahwa mereka adalah sebagai rolemodel bagi anggotanya. Kemajuan Polri di masa yang akan datang tidak terlepas dari langkah apa yang di ambil para pimpinan pada saat ini,

sebagai rolemodel pemimpin harus bisa menjaga

kepemimpinannya efektif. Kepemimpinan efektif adalah

pemimpin yang kata-kata dan perintahnya diikuti oleh banyak orang. Dalam budaya organisasi kepolisian saat ini banyak anggota yang dalam bahasa gaul di kenal “dramaqueen” yang artinya sebagai sosok anggota yang penjilat, mengatakan

(19)

sehingga perlu penelitian lebih lanjut tentang kepemipinannya agar mendapatkan fakta yang sebenarnya.

Untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat dan efektif tidak harus bekerja terlalu keras, cukup beri arahan yang strategis yang bermutu, dan kawal dengan segala kerendahan hati, integritas, dan tata kelola yang baik.Selebihnya semua elemen akan bekerja secara otomatis. Eishenhower pada saat ditanya tentang keberhasilannya memenangkan perang di Eropa

mengatakan bahwa memberikan tujuan yang jelas dan ingin dicapai adalah lebih penting daripada memberikan cara-cara untuk mencapai tujuan, biarkan para komandan berinovasidi lapangan yang untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini dapat kita lihat bahwa pemimpin harus percaya pada anak buahnya dalam melakukan pekerjaan yang kita berikan, dengan

kepercayaan yang tumbuh antara pimpinan dan bawahan akan timbul teamwork yang kuat. Teamwork adalah kekuatan

utama dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin yang efektif perlu mempunyai otoritas yang kuat sebagai modal untuk membuat perubahan dalam organisasi Polri, 2 (dua) hal yang harus dibangun oleh seorang pemimpin yaitu karakter dan kompetensi. Bahkan Stephen Covey

menyebutkan, leadership is nothing than what a person is andwhat a person does. What a person isterlihat dari karakter yang dimiliki orang tersebut yang hanya bisa didapat dari

pengalaman dan didikan keluarga di masa kecil. Karakter tidak bisa dibohongi karena itulah jati diri manusia yang

(20)

lain, dari guru, buku, dan sekolah. Ia dapat dipelajari dan dilatih agar terus berkembang menjadi suatu kekuatan. Kompetensi akan tampak pada hasil atau output suatu

kegiatan.Kompetensi dan karakter adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Orang berkompetensi tanpa

karakter adalah penipu.Sedangkan karakter tanpa kompetensi adalah penggerutu.Gabungan keduanya melahirkan manusia yang unggul, dicintai dan menjadi modal besar bagi

perubahan.

Pemimpin yang efektif bukanlah orang yang semata-mata dicintai atau dihormati. Pemimpin yang efektif adalah

pemimpin yang mampu membuat pengikut-pengikutnya do the right things. Pemimpin efektif adalah pemimpin yang

bertanggungjawab .Bertanggung jawab adalah karakter

seorang pemimipin yang efektif. Ketika seorang pimpinan akan melakukan suatu perubahan dalam organisasinya, ada dua kemungkinan resiko berhasil dan resiko gagal, seringkali dalam kepolisian ketika kerjanya berhasil maka dengan lantang akan mengatakan bahwa ini adalah hasil kerjanya ketika gagal

bahwa itu kesalahan orang lain. Berani mengambil resiko terhadap apa yang dilakukan serta bertanggung jawab

terhadap apa yang akan terjadi adalah modal untuk melakukan sebuah perubahan.

Joseph White mengatakan bahwa pemimpin besar, bukanlah seorang pekerja tekun. Ia adalah seorang besar yang memiliki kemampuan “helicopter view”. Tugas seorang pemimpin

(21)

mungkin mendukung.Kedua, dapatkan orang-orang bagus (great leader).Dan ketiga, bawa energi besar ke tengah-tengah mereka dan bangun antusiasme untuk bergerak.Seringkali dalam organisasi kepolisian seorang pimpinan masih

membicarakan hal yang bersifat teknis, bukan sebuah strategi untuk melakukan sebuah perubahan.Perubahan hanya bisa di awali oleh dukungan anak buah yang mempunyai motivasi untuk berubah, agar mempunyai motivasi inilah peranan seorang pemimpin untuk membangunnya. Pembahasan kepemimpinan efektif di atas adalah sebagai acuan model kepemimpinan yang mampu menanamkan nilai-nilai Tribrata dalam pembinaan etika profesi Polri dikewilayahan. Tanpa figure kepemimpinan yang efektif proses implementasi etika profesi etika Polri tidak akan tercapai, karena pimpinan adalah sebagai central dan motor penggerak praktik etika profesi kepolisian.

1. Pembinaan Etika kepolisian

Penggambaran kepemimpinan yang disampaikan penulis

(22)

dijalankan.Menurut Deming sebuah program hendaknya terdapat PDCA (Plan-Do-Check-Action).

Aplikasi PDCA dalam membudayakan praktik etika profesi adalah perencanaan sejauh mana target etika profesi

dijalankan, praktik etika itu di dalam menjalankan tugas pokok kepolisian, pengawasan sejauh mana perilaku anggota

dilapangan dilaksanakan evaluasi dan perubahan bila ada permasalahan yang terakhir laksanakan evaluasi tersebut, secara berkesinambungan karena merubah budaya bukan sesuatu yang mudah memperlukan waktu bertahun-tahun. Inti dari suksesnya manajemen ini adalah konsistensi

pelaksanaannya, tanpa konsistensi program membudayakan praktik etika profesi ini tidak berjalan sebagai mana mestinya. Penjelasan ini masih terasa begitu umum untuk lebih

mudahnya, penulis gambarkan dalam praktik kepolisian sehari-hari sebagai berikut;

1. Pimpinan kewilayahan dan perwira staf merumuskan sejauh mana nilai-nilai luhur Tribrata yang akan di tanamkan kepada anggota, hal ini adalah membuat sebuah

perencanaan yang didalamnya meliputi stadar nilai-nilai etika dalam tugas masing-masing fungsi disesuaikan dengan bidang atau tugas pokoknya secara khusus dan secara

umum nilai-nilai etika yang harus dilaksanakan semua anggota

(23)

insidentil. Proses pemahaman anggota terhadap nilai-nilai ini sangat penting agar mereka memahami apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan, yang

tentunya para pimpinan atau perwira staf ini terlebih dahulu memberikan contoh praktik etika profesi kepolisian tersebut.

3. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan praktik etika profesi dapat dilaksanakan dengan cara melihat langsung perilaku anggota dalam melaksanakan tugasnya dan dengan melakukan wawancara langsung terhadap masyarakat yang bersentuhan langsung dengan petugas tersebut. Apabila terjadi kendala dicari permasalahan apa yang mejadi

hambatan pelaksanaan praktik etika profesi Polri tersebut, di ambil solusi agar dapat di aplikasikan.

4. Melaksanakan kembali evaluasi yang sudah ditetapkan hal ini dilakukan secara berulang-ulang dan konsisten sehingga semakin lama terjadi peningkatan dalam praktik etika profesi ini. Pada dasarnya perilaku dipengaruhi oleh psikologis seseorang yang berkaitan dengan watak maka lebih bagusnya dalam setiap evaluasi sebelum menaikkan target pada proses selanjutnya dilakukan pengetesan psikologis bagi para anggota yang tidaak mampu

menjalankan standar etika yang sudah ditetapkan, hasil pengetesan psikologi ini dijadikan acuan untuk

(24)

perwira sehingga pada nantinya akan terlepas dari masalah yang dialaminya dan mampu menjalankan praktik etika profesi yang telah disepakati.

Pembinaan etika kepolisian di tingkat kewilayahan tentunya sangat tidak mudah karena nilai-nilai yang budaya organisasi yang ada saat ini (sudah dijelaskan penulis di atas) sudah sedemikian mengakar, nilai-nilai keduniawian telah tertanam dalam sanubari personil kepolisian yang ada saat ini, namun praktik etika profesi ini bukan tidak mungkin dilaksanakan apabila para pimpinan mempunyai komitmen yang sama,

karena persoalan saat ini adalah para pimpinan dengan kondisi budaya organisasi seperti saat ini merasa di untungkan

sehingga tidak mau melakukan perubahan, namun kita harus memahami kemajuan teknologi yang disertai kebebasan memperoleh informasi akan menuntut perubahan itu untuk dilaksanakan, apabila tidak melakukan perubahan maka akan tergilas oleh perubahan itu sendiri

1. Penegakan Etika Profesi Polri

Penegakan etika profesi adalah mekanisme terakhir pembinaan etika profesi kepolisian. Pada prinsipnya pemberian hukuman adalah sarana yang seyogyanya tidak ingin dilaksanakan, karena penghukuman akan terjadi bila adanya pelanggaran kode etik prefesi kepolisian, padahal pelanggaran bukan

(25)

Dari segi keadilan hendaknya penegakan etika profesi polri harus dapat mengakomodir keadilan bagi pelanggar, korban akibat pelanggaran etika profesi anggota tersebut (bila ada), serta keadilan bagi masyarakat (organisasi Polri). Keadilan di sini diartikan bahwa penghukuman bagi pelanggar etika profesi mempertimbangkan keadilan pada semua pihak yang terkait, contohnya bila ada anggota polisi melakukan penyimpangan di jalan dengan bentuk penyuapan uang damai tilang dari

seorang pelanggar lalulintas, dalam proses penegakan etika profesi hukuman yang diberikan tentunya memperhatikan: pertama, keadilan bagi pelanggar etika profesi apakah pada kasus tersebut antara anggota polisi dengan pelanggar

lalulintas menghendaki penyelesaian semacam itu atau tidak, sehingga anggota tersebut tidak disudutkan sebagai pelaku tunggal. Kedua, keadilan bagi korban pungli oleh oknum anggota tersebut apakah hukuman yang diberikan kepada anggota tersebut sesuai dengan harapan si pelapor karena berbagai pertimbangan si pelapor juga mempunyai andil proses penyuapan atau pungli itu terjadi dan tentunya dalam hal ini si pelapor juga salah dalam hukum positif. Ketiga,

keadilan dalam masyarakat (organisasi Polri) yang dimaksud disini adalah bahwa hukuman yang diberikan dengan

penyimpangan pungli dijalan misalnya dengan jumlah uang yang di dapat apakah wajar si pelanggar mendapatkan hukuman tersebut.

(26)

agar tidak melakukan pelanggaran etika profesi yang sama. Dalam bidang kemanfaatan ini adalah dengan melihat sejauh mana tindakan pelanggaran oleh oknum anggota tersebut merugikan organisasi pada khususnya dan kerugian

masyarakat pada umumnya, dengan melihat sejauh mana dampak yang ditimbulkan sebuah perbuatan pelanggaran tersebut maka menjadi berat-ringannya hukuman yang diberikan.

Dari segi kepastian hukum, penegakan hukum etika profesi kepolisian hendaknya mencerminkan kapabilitas organisasi Polri. Kapabilitas di sini dimaksudkan bahwa sebagai sebuah organisasi, Polri tidak membiarkan terjadinya sebuah

pelanggaran etika profesi yang sudah ditetapkan sehingga setiap pelanggaran yang terjadi mendapatkan hukuman yang jelas. Di mata masyarakat kapabilitas ini juga menjadi tolok ukur kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Saat ini

masyarakat tidak percaya kepada pada kapabilitas Polri hal ini ditandai dengan siding kode etik yang dilaksanakan oleh Polri terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota, persepsi masyarakat adalah bahwa terjadi “perlindungan” kepada pelanggar etika profesi Polri.Kepastian hukum juga menjadi pedoman kepada pelanggar etika profesi Polri apakah dirinya masih mempunyai kesempatan berkarir di kepolisian atau tidak.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terkait revolusi mental melaui implementasi etika profesi Polri di atas maka dapat

(27)

1. Kepribadian personil Polri saat ini di pengaruhi oleh budaya organisasi dan budaya masyarakat yang ada, sehingga satu sama lain saling keterkaitan saling

mempengaruhi, budaya organisasi Polri adalah produk dari budaya masyarakat yang mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat indonesia

2. Pembinaan dan penanaman nilai-nilai moral etika profesi kepolisian sehingga dapat diparaktikkan oleh para personil kepolisian dimulai dari proses rekruitment personil Polri dengan mencari calon personil Polri yang terbaik di masyarakat, Lembaga Pendidikan Polri sebagai tempat pengemblengan karakter yang mencerminkan nilai-nilai moral etika kepolisian, peran pemimpin sebagai tauladan dan mampu melaksanakan pembinaan etika kepolisian di kewilayahan serta penegakan etika profesi Polri dengan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hokum

Saran

Reformasi birokrasi dalam bidang kultural kearah yang lebih baik bukan suatu yang mudah, memperlukan waktu bertahun-tahun dan memperlukan tindakan nyata bukan sekedar

wacana. Tindakan nyata ini walaupun kecil apabila dilakukan secara terarah dan terukur akan membawa perubahan yang besar. Berberapa saran yang perlu dipertimbangkan dalam rangka revolusi mental melalui implementasi nilai-nilai etika profesi adalah sebagai berikut :

(28)

2. Me-reinventing peran Lembaga Pendidikan Polri sabagai penanaman budaya organisasi kepolisian dengan nilai-nilai luhur Tribrata sebagai sendinya,.

3. Merubah standar penerimaan calon personil kepolisian dengan melihat segi latar belakang karakter dalam

bermasyarakat bukan hanya mengutamakan postur fisik dan pengetahuan, karena pengetahuan tanpa karakter akan membawa kepada kehancuran profesi kepolisian.

4. Penegakan etika profesi Kepolisian dengan menggunakan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang dilakukan oleh para personil yang memang bersih dan capable di bidang pengamanan profesi Kepolisian. Advertisements

SHARE THIS:

 Twitter

 Facebook 4

 Google

 RELATED

revolusi mentalIn "Catatan Kritis"

MODEL PEMOLISIAN DALAM MENANGANI KONFLIK HUBUNGAN INDUSTRIALIn "Proposal"

PROFESI PENEGAK HUKUM DAN POLRI SEBAGAI PENEGAK HUKUMIn "Tugas Kuliah"

yogaputraprimasetya

Author archiveAuthor website

July 1, 2015

Tulisan Mandiri

(29)

Leave a Reply

KALENDER

July 2015

M T W T F S S

« JUN AUG »

1 2 3 4 5

6 7 8 9 10 11 12

13 14 15 16 17 18 19

20 21 22 23 24 25 26

27 28 29 30 31

PENA NEWS

 An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Pendidikan IPS.

[r]

Padung-padung sebagai salah satu perhiasan suku Karo yang unik merupakan salah satu unsur budaya yang menjadi identitas suku Karo dan membedakan dengan

Hipotesa Monro-Kellie menyatakan bahwa karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini menyebabkan perubahan

Nevertheless, even though the data show an in- crease in the proportion of convicted foreign offenders in almost all types of criminal offences, including violent crime (Figure

penelitian yang digunakan adalah: teologi normatif, dan yuridis. Adapun sumber data penelitian ini adalah yang melakukan pernikahan dini, masyarakat. Selanjutnya, metode

Kepala sekolah sudah memiliki sebagian kecil kompetensi berbasis bisnis untuk memimpin institusi yang besar dan komplek, tetapi wakasek dan kapro belum.. Kepala sekolah dan waksek

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, penulis ucapkan karena skripsi dengan judul “Evaluasi terhadap Sistem Pengendalian Intern dan Sistem Pengendalian