• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profit Equalization Reserves PER Jawaban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Profit Equalization Reserves PER Jawaban"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Fita Ishfah Aini/125020301111007

2014

Profit Equalization Reserves (PER):

Jawaban Pro dan Kontra; Haruskah Diberlakukan Selamanya?

Istilah pencadangan keuntungan atau dana cadangan yang dikenal dengan istilah Profit Equalization Reserve (PER) sudah menjadi trend di dunia perbankan syariah baik di dalam maupun diluar negeri. Penerapannya di luar negeri sudah dijalankan sejak lama, tetapi di Indonesia mulai muncul metode tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Hingga tahun 2011 mulai ada bank yang menerapkannya dan menekan DSN MUI untuk mengeluarkan peraturannya (mendesak untuk memperbolehkan).

Sebenarnya pembahasan mengenai hal ini pun sudah lama dibahas. DSN MUI pun akhirnya mengeluarkan fatwa mengenai Income Smoothing (perataan pendapatan) sebagai jawaban atas tekanan tersebut. Dalam DSN MUI No. 87/DSN-MUI/XII/2012, Income Smoothing diartikan sebagai pengaturan pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan cara menahan sebagian laba/penghasilan dalam satu periode dan dialihkan pada periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil antara Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah penyimpan dana (Dana Pihak Ketiga/DPK). Salah satu cara atau metode yang dilakukan adalah dengan membentuk dana cadangan atau yang disebut dengan PER. PER adalah dana cadangan yang dibentuk oleh LKS yang berasal dari penyisihan selisih laba LKS yang melebihi tingkat imbalan/hasil yang diproyeksikan untuk penyesuaian bagi hasil dana mudharabah (muthlaqah); dan dalam hal simpanan dana Nasabah menggunakan akad mudharabah muqayyadah, jika disepakati para pihak, pembentukan cadangan penyesuaian bagi hasil dapat pula berasal dari penyisihan keuntungan Nasabah yang melebihi tingkat bagi hasil yang diproyeksikan. Atau lebih singkatnya, PER adalah penyisihan pendapatan kotor yang didapat bank syariah (khususnya dari transaksi mudharabah) sebelum dibagikan kepada mudharib atau nasabah dengan tujuan pemerataan bagi hasil. Karena PER ditujukan untuk masalah bagi hasil, maka dalam pembahasan ini, penyebutannya lebih mengacu untuk transaksi mudharabah

Alasan didesaknya MUI untuk memperbolehkan PER banyak disampaikan oleh bank syariah, hingga perlu waktu panjang bagi MUI untuk menetapkan fatwa. Menurut saya, dari berbagai alasan yang dijelaskan di banyak wacana, inti yang paling utama adalah mengindari Displayed Commercial Risk (DCR) yang merupakan resiko yang terjadi ketika bank syariah mendapat “paksaan” untuk memberikan bagi hasil melebihi dari kesepakatan investasi di awal. Hal itu terjadi salah satunya karena ada efek interest rate dari bank konvensonal yang fluktuatif dan mungkin dapat melebihi nisbah dari bank syariah. Akibatnya membuat para investor untuk “memainkan” dananya demi keuntungan yang tinggi.

Menurut saya, memang benar, motif utama dari investasi bagi masyarakat umum adalah mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya (dalam hal ini mengesampingkan nasabah yang sudah paham ilmu syariah). Oleh karena itu, muncul anggapan dari pihak bank bahwa berbagai cara mungkin akan dilakukan oleh mereka, termasuk harus berganti-ganti atau memindahkan dananya untuk hal yang lebih menguntungkan. Selain itu, jika kembali pada substansi mudharabah dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah dan kerugian ditanggung oleh pemilik dana, apa mungkin nasabah dengan tipe diatas mau menanggung jika terjadi kerugian? Bagi nasabah yang demikian, kemungkinan besar motif

(2)

Fita Ishfah Aini/125020301111007

2014

investasi di bank syariah karena adanya nisbah yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan bunga bank. Ketika ada peningkatan bunga pada bank konvensional, mereka juga akan tertarik untuk segera memindahkan dananya (risiko imbal hasil). Jika kemudian penarikan besar-besaran terjadi secara tiba-tiba di bank syariah, pasti bank akan mengalami masalah likuiditas. Hal ini tentu menjadi hal yang amat ditakutkan oleh semua bank. Oleh karena itu, bank syariah pun mulai memikirkan manajemen resiko untuk menghadapi kemungkinan terjadinya hal tersebut. Dan jawabannya adalah dengan penerapan PER di atas seperti negara-negara lain yang memiliki industry perbankan syariah.

Penerapan PER dalam perbankan Indonesia sebenarnya menuai banyak pro dan kontra. Namun karena berbagai alasan dan utamanya desakan dari bank-bank syariah dengan berbagai alasan yang diajukan, akhirnya DSN MUI pun mem-fatwakan dan memperbolehkannya. Memang tidak serta merta bank dapat menerapkan seenaknya, tetapi ada beberapa syarat yang harus dipatuhi yaitu dalam Fatwa No. 87 di atas, Disebutkan bahwa PER boleh dilakukan jika bagi hasil aktual Bank Syariah melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan, serta mendapatkan izin dari nasabah. Jika dalam praktek terjadi sebaliknya, yakni bagi hasil actual kurang dari imbalan yang diproyeksikan, maka PER tidak diperbolehkan. Syarat lainnya juga dijelaskan dalam fatwa tersebut. Bolehnya perlakuan PER juga disampaikan oleh Agustianto. Menurut beliau, sebenarnya PER tidak pernah ada dalam sistem dan praktik fikih muamalah, tetapi adanya alasan bisnis dan kesetiaan nasabah di lembaga syariah, PER bisa diterapkan. Bank syariah yang “masih kecil” memiliki tantangan yang besar dalam pertumbuhannya terhadap Bank Konvensional yang sangat mendominasi, seperti di Indonesia, sehingga perlu adanya cara untuk dapat menyainginya. Intinya, Agustianto memperbolehkannya, tetapi dengan “keterpaksaan”.

Namun, di lain pihak, Wahyu Hidayat, pemerhati ekonomi islam, tidak mendukung adanya penerapan PER di Indonesia karena beberapa hal, yaitu PER cenderung mengurangi “ke-syariah-an” Bank Syariah (sharia risk) dan juga kurang sesuai di Indonesia karena keadaan Indonesia sejatinya berbeda dengan negara lain, seperti Malaysia yang sudah lama menerapkannya. Hal-hal mengenai berbagai alasan penerapan PER yang intinya adalah “pengaturan” untuk hal komersial dunia pasar uang sebenarnya dapat diatasi dengan cara dari internal bank sendiri maupun pemanfaatan potensi nasabah di Indonesia. Dari sisi bank sendiri dapat meningkatkan aksesabilitas, layanan, benefit dan variasi produk, serta promosi dan sosialisasi. Dari sisi nasabah potensial, dalam hal ini penduduk Indonesia, sebagian besar, yakni 205 juta penduduk merupakan muslim (Pew Forun Demogrphic Study). Hal tersebut tentu sangat mendukung perkembangan bank syariah, meskipun dalam kenyatannya saat ini jumlahnya masih jauh dibandingkan dengan bank konvensional. Selain hal tersebut, pertumbuhan perbankan Syariah di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain (seperti Malaysia) yang rata-rata pertumbuhannya hanya 10-15%, sementara di Indonesia dapat mencapai kisaran 40%per tahun, menurut Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI. Mengenai nisbah bagi hasil di Indonesia juga cenderung lebih tinggi. Seharusnya bank syariah di Indonesia tidak perlu khawatir mengenai kemungkinan “kekalahan” dalam bisnis perbankan.

Sementara itu, menurut saya pribadi penerapan PER memang sebaiknya tidak dilakukan. Namun mengingat ketimpangan jumlah bank syariah dan bank konvensional di Indonesia yang sangat lebar, maka PER memang perlu

(3)

Fita Ishfah Aini/125020301111007

2014

dilakukan. Apalagi DSN MUI sudah memperbolehkannya, tetapi tidak untuk diterapkan seterusnya dengan alasan sharia value. Bank syariah yang dinilai sebagai bank yang berbeda dengan bank konvensional, khususnya masalah ‘‘ke-syariah-an’’ harus tetap dipertahankan agar tidak membuat masyarakat yang notabene-nya muslim berpersepsi bahwa keduanaya sama saja. Dari beberapa wacana sudah dijelaskan mengenai pertumbuhan bank syariah yang sangat bagus. Saya berfikir “tanpa PER saja sudah bagus, itu artinya pertumbuhannya bukan karena PER kan?” Akan lebih baik jika penerapan ini juga dibarengi dengan berbagai upaya lain seperti perbaikan manjemen aset dan pelayanan, serta sosialisasi berbagai produk yang sesuai syariah.

Terlepas dari adanya pro dan kontra di atas, jika kita kali ini berfikir PER itu harus dilakukan. Pertanyaan yang selanjutnya muncul ialah, sampai kapankah PER itu dilakukan, akankah seterusnya yang pada akhirnya akan membuat bank syariah tidak dapat tumbuh tanpa PER? Saya sendiri setuju dengan adanya pendapat bahwa PER akan menghilangkan nilai syariah di bank syariah. Oleh karena itu, besar harapan saya bahwa PER tidak seterunya dilakukan.

Dalam hal teknis, pembatasan diatur sesuai pernyataan dalam Fatwa DSN No 87, yaitu bank tidak boleh mencadangkan dana ketika bagi hasil aktual kurang dari proyeksi imbal hasil. Namun, jika melihat pertumbuhan bank syariah yang mampu mencapai angka 40% maka tingkat bagi hasil yang didapat, menurut saya juga besar kemungkinannya juga besar, sehingga tetap saja pembatasan teknis saja tidak cukup. Sementara itu dalam peraturan perbankan syariah di Malaysia, diatur bahwa PER tidak dapat diteruskan ketika aset perbankan syariah sudah mencapai 40-50% dari total sert perbankan konvensional. Artinya, Malaysia sudah menetapkan target yang jelas kapan ditiadakannya PER. Bagaimanakah dengan Indonesia? Sampai saat ini belum ada peraturan mengenai hal tersebut. Menurut saya karena masih adanya fokus pada pro dan kontra di atas dan mungkin akan terlalu dini jika hal ini dibahas sekarang. Namun hal itu ternyata juga sudah dipertanyakan oleh salah satu pengamat Ekonomi Syariah, Agustianto. Menurut beliau PER tidak diperlukan lagi jika masyarakat sudah benar-benar memahami konsep bagi hasil dan resiko dalam perbankan syariah, tetapi belum tahu mengenai waktu riil pembatasan pemberlakuan PER. Yang pasti, menurut beliau PER ini sifatnya sementara. Merujuk dari pendapat tersebut, lagi-lagi membahas konsep syariah dalam bank syariah seperti pendapat saya tentang sharia value.

Kesimpulan:

Banyaknya pro dan kontra pemberlakuan PER sudah terjawab dengan dikeluarkannya peraturan dari Fatwa DSN MUI No 87 tahun 2012 dimana PER boleh dilakukan oleh bank syariah dengan syarat-syarat tertentu. Karena adanya alasan sharia value atau nilai ‘ke-syariah-an’ di mata masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama islam yang akan menimbulkan sharia risk, maka akan lebih baik jika PER ditiadakan atau jika memang itu harus tetap dilakukan maka perlu adanya pembatasan waktu pemberlakuan. Terkait pembatasan waktu pemberlakuan tersebut belum ada kejelasan yang pasti karena belum ada peraturan yang mengatur. Namun dari sumber yang ada, dapat disimpulkan bahwa PER seharusnya tidak diperlukan ketika bank syariah mencapai batas aset tertentu (40-50% dari aset bank konvensional, untuk peraturan Malaysia) serta ketika masyarakat atau nasabah sudah mampu memahami hakikat tujuan dan penerapan bagi hasil serta resiko dalam bank syariah yang semestinya.

(4)

Fita Ishfah Aini/125020301111007

2014

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. PROFIT EQUALIZATION RESERVE (PER). (Online)

( http://myviewpoint2u.blogspot.com/2009/07/profit-equalization-reserve-per.html, diakses pada Sabtu, 21 Juni 2014)

Anonim. 2011. Profit Equalisation Reserves (PER). (Online),

( http://www.islamicbankingway.com/2011/01/27-profit-equalisation-reserves-per.html, diakses pada, Sabtu, 21 juni 2014, pukul 9:16 WIB) BNI Syariah. 2011. Bank Tunggu Fatwa Pencadangan Keuntungan. (Online),

Bisnis Indonesia, Page: 5, ( http://www.bnisyariah.co.id/bank-tunggu-fatwa-pencadangan-keuntungan, diakses pada Selasa, 24 Juni 2014) Cecep Maskanulhakim. 2013. Profit Equalization Reserve: Mestikah?. (Online),

( http://cecepmh.blogspot.com/2013/11/profit-equalization-reserve-mestikah.html, diakses pada, Sabtu, 21 juni 2014, pukul 8:57 WIB) FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 Tentang

Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga. (http://dsnmui.or.id/index.php?

mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=96&cntnt01origid=15&cntnt 01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=59, diakses pada Selasa, 24 Juni 2014)

Hidayat, Wahyudi. 2012. Profit Equalization Reserve (PER) dan Investment Risk Reserve (IRR) dan (Idealisme) Ber Bank Syariah. (Online), Sebuah ringkasan (Artikel Sundararajan),

( http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/04/13/profit-equalization- reserve-per-dan-investment-risk-reserve-irr-dan-idealisme-ber-bank-syariah-454257.html, diakses pada Sabtu, 21 Juni 2014)

Pohan, Rizky Andriati. 2011. Mengatur Serep di Kala Seret.(Online),

(http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-10-21/186137, diakses pada Selasa, 24 Juni 2014)

Pohan, Rizky Andriati.2011. Wakil Sekretaris Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Hasanudin, Bulan Depan MUI dan BI Mulai Berembuk. (Online), (http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-10-21/186045, diakses pada Selasa, 24 Juni 2014)

Purnomo, Herdaru. 2011. BI Perjuangkan Aturan Pencadangan Laba Bank Syariah. (Online),

( http://finance.detik.com/read/2011/11/18/165525/1770509/5/bi-perjuangkan-aturan-pencadangan-laba-bank-syariah, diakses pada Selasa, Sabtu, 21 Juni 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh logam nikel dan aluminium serta suhu terhadap katalis besi telah dikaji melalui uji sulfidasi tanpa batubara pada kondisi yang sama dengan proses pencairan

Umur terbaik bagi ibu untuk melahirkan menurut ilmu kesehatan reproduksi usia antara 20-30 tahun, namun akhir- akhir ini mulai beranjak hingga usia 35 tahun. Syarat

Penelitian ini dimulai dengan mengisolasi bakteri pelarut fosfat, isolasi fragmen DNA genom dari mutan negatif pelarut, amplifikasi fragmen DNA pengapit menggunakan inverse

Pasar Palapa Kota Pekanbaru sebelum menjadi salah satu pasar tradisional yang besar di Kota Pekanbaru pada awalnya hanyalah berupa pasar lingkungan Kecamatan

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa koleksi perpustakaan adalah semua bahan perpustakaan yang ada sesuai dengan kebutuhan sivitas akademika dan dapat digunakan oleh

dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Tanjungbalai. Dalam penelitian ini menggunakan 2 variabel yaitu “Layanan Penguasaan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa ada Perbedaan antara pelaksanaan sistem pengelolaan limbah medis padat di RSUD Raden Mattaher Jambi dengan

Pembahasannya akan dimulai dari menguak latar belakang historis munculnya riba, konsep riba dan bunga dalam ekonomi Islam, kritik terhadap teori-teori bunga dan kontroversi