BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Bahasa pada dasarnya sudah menyatu dengan kehidupan manusia.
Manusia menyampaikan gagasan, ide, pikiran, harapan dan keinginan lewat
bahasa. Bahasa yang digunakan oleh manusia memiliki unsur-unsur yang sangat
beragam. Unsur-unsur tersebut dimulai dari bagaimana manusia memproduksi
bunyi yang kemudian berubah menjadi kata dan kalimat yang diujarkan oleh
manusia. Kalimat yang diujarkan manusia pasti memiliki makna serta maksud
tertentu. Hal ini ditandai oleh beragamnya tindak tutur yang dilakukan oleh
manusia ketika berkomunikasi dengan manusia lainnya.
Bahasa yang digunakan oleh manusia memiliki berbagai kepentingan dan
fungsinya masing-masing. Bahasa yang digunakan oleh manusia dapat digunakan
untuk kepentingan berbudaya, pendidikan, hukum, beragama dan masih banyak
lainnya. Salah satu peran bahasa yang kini tengah menjadi sorotan adalah peran
bahasa dalam dunia hukum. Peran bahasa dalam dunia hukum sudah menjadi hal
yang sangat vital. Hal tersebut dapat terlihat dari mulai banyaknya para ahli
bahasa yang dilibatkan untuk menangani sebuah kasus. Apabila biasanya suatu
penyidikan terhadap sebuah kasus ditumpukan pada aspek-aspek di dalam dunia
hukum, maka kini aspek dari segi ilmu bahasa sudah menjadi salah satu aspek
yang dapat membantu dalam penyidikan sebuah kasus.
Para ahli bahasa menggunakan suatu ilmu kebahasaan (linguistik) untuk
menangani sebuah kasus. Ilmu kebahasaan yang digunakan adalah ilmu linguistik
forensik. Linguistik forensik adalah hubungan antara bahasa, tindak kriminal, dan
hukum di mana di dalamnya termasuk penegak hukum, masalah hukum,
perundang-undangan, perselisihan atau proses hukum, bahkan perselisihan yang
berpotensi melibatkan beberapa pelanggaran hukum yang ditujukan untuk
McMenamin (2002: 4) linguistik forensik adalah studi ilmiah mengenai bahasa
yang diterapkan untuk keperluan forensik dan pernyataan hukum.
Berbekal ilmu linguistik forensik, para ahli bahasa dapat meneliti sebuah
kasus dari awal mula penyidikan polisi, proses penyusunan surat dakwaan, surat
tuntutan, hingga proses persidangan. Dalam proses penyidikan polisi terhadap
perkara pidana, terkadang didapati sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada. Polisi seharusnya berperan sebagai animator yang mewakili sebuah
institusi negara untuk menanyakan beberapa pertanyaan terkait dengan perkara
pidana maupun perdata. Akan tetapi, kenyataannya polisi seringkali beralih peran
menjadi principal, author, dan figure. Hal tersebut didukung oleh peryataan
Goffman dalam Heydon (2005: 21) bahwa partisipan dalam pembicaraan
diidentifikasi memiliki empat peran yang dapat berganti-ganti, diantaranya
animator, principle, author, dan figure. Ketika polisi melakukan pergantian peran
di saat melakukan proses penyidikan terhadap tersangka, maka hal tersebut dapat
menimbulkan suatu kondisi yang tidak sehat. Hal tersebut disebabkan oleh
pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dihadirkan dalam proses penyidikan,
terkadang didapati polisi memberikan janji-janji yang sebenarnya di luar kuasanya
kepada tersangka di saat proses penyidikan.
Selain dari kasus di atas, peran bahasa sangat berperan penting dalam
proses penyusunan surat dakwaan. Seorang Jaksa Penuntut Umum diwajibkan
memenuhi syarat formil dan materil dalam menyusun surat dakwaan. Oleh karena
itu, penggunaan bahasa dalam penyusunan surat dakwaan perlu dicermati dengan
baik, karena ketika terdapat sedikit kesalahan dalam penggunaan bahasa dapat
berdampak perubahan hukum yang diberikan. Hal ini dapat dicontohkan ketika
terdapat kesalahan dalam penggunaan prefiks di- dan ter- dalam surat dakwaan
untuk kasus pembunuhan yang terjadi di Bandung. Dalam kasus tersebut, terdapat
sebuah keterangan yang tidak sesuai dengan keterangan tersangka yang
menyatakan bahwa korban terseret oleh motor yang dikendarai oleh tersangka.
Akan tetapi, di dalam surat dakwaan tertulis bahwa korban diseret oleh tersangka.
tersangka, atau bahkan surat dakwaan dapat batal demi hukum. Maka dari itu,
penggunaan bahasa dalam proses penyusunan surat dakwaan perlu dicermati
dengan baik agar surat dakwaan dapat segera dilimpahka n ke Pengadilan Negeri.
Proses penyidikan perkara pidana dan proses penyusunan surat dakwaan
merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Sistem
peradilan pidana merupakan suatu proses penegakan hukum pidana di mana
didalamnya sangat berkaitan erat dengan undang-undang pidana yang berkaitan
dengan kasus pidana yang terjadi. Menurut Basian (2009:91) sistem peradilan
pidana adalah suatu institusi kolektif yang harus dijalani seorang tersangka atau
terdakwa hingga suatu putusan pidana dijatuhkan dan dilaksanakan. Berdasarkan
pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang terlibat dalam kasus
pidana harus mengikuti serangkaian proses hukum hingga akhirnya seseorang
tersebut mendapat kepastian hukum. Proses penyidikan perkara oleh polisi dan
proses penyusunan surat dakwaan oleh Jaksa merupakan salah satu rangkaian
yang harus dijalani oleh tersangka atau terdakwa.
Berangkat dari pernyataan di atas, penelitian kali ini akan membahas
mengenai diskrepansi informasi yang acap kali terjadi dalam proses penyusunan
surat dakwaan. Peneliti memilih surat dakwaan sebagai objek penelitian karena
surat dakwaan merupakan dasar dari proses pemeriksaan dalam persidangan.
Surat dakwaan merupakan akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisi
rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Surat dakwaan
merupakan ornamen yang hanya bisa digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum
(JPU) yang didasari asas oportunitas yang diberikan kepada Jaksa Penuntut
Umum sebagai wakil negara dalam menuntut atau mendakwa terdakwa pelaku
kasus pidana. Format surat dakwaan haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang
berlaku dalam tata cara penyusunan surat dakwaan. Hal tersebut dijelaskan dalam
pasal 143 ayat 2 huruf KUHAP yang berisikan bahwa surat dakwaan haruslah
memenuhi dua syarat utama yang diantaranya syarat formil dan syarat materiil.
Syarat formil wajib dipenuhi oleh JPU yang berisi mengenai data lengkap
syarat formil tidak terpenuhi, maka surat dakwaan dapat dibatalkan oleh Hakim.
Akan tetapi surat tersebut tidak dibatalkan demi hukum, melainkan batal karena
dinilai tidak jelas kepada siapa dakwaan tersebut ditujukan. Sama halnya dengan
surat formil, syarat materiil juga wajib dipenuhi dengan baik oleh JPU. Syarat
materiil meliputi tindak pidana apa yang dilakukan, siapa yang melakukan,
dimana tindak pidana dilakukan, bilamana tindak pidana dilakukan, bagaimana
tindak pidana dilakukan, akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut, apa
yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana, dan yang terakhir
ketentutan-ketentuan pidana yang diterapkan. Apabila syarat materiil tidak
terpenuhi secara menyeluruh, maka surat dakwaan akan batal demi hukum yang
mengakibatkan terdakwa batal ditahan. Keterangan dalam surat dakwaan pun
harus disampaikan dengan sangat jelas, yang artinya keterangan dalam surat
dakwaan harus seimbang dengan keterangan dalam BAP.
Kasus kesalahan dalam penyusunan surat dakwaan pernah terjadi dalam
kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Kepala Bareskrim
Mabes Polri, Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji. Susno Duadji batal
dieksekusi karena dalam surat dakwaam yang ditujukan kepadanya tidak
memenuhi syarat pasal 197 KUHAP. Sehingga pihak dari Susno Duadji
mengajukan penundaan eksekusi karena keputusan kasasi dinilai tidak memenuhi
syarat pasal tersebut. Selain kasus di atas, yang menjadi alasan peneliti melakukan
penelitian ini adalah format gramatikal dari surat dakwaan yang dirasa terlalu
rumit untuk dibaca karena terdapat banyak kalimat tidak efektif yang digunakan.
Oleh karena itu, peneliti beranggapan bahwa penelitian ini perlu dilakukan demi
tercapainya kelegalan sebuah surat dakwaan berdasarkan aspek kebahasaannya.
Sejauh ini penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan analisis
forensik adalah penelitian yang dilakukan oleh Bachari (2011). Penelitian ini
menggunakan analisis tindak tutur untuk membuktikan tindak penipuan,
penghinaan, dan pencemaran nama baik. Bachari berhasil membuktikan bahwa
benar kedua terlapor melakukan penghinaan dengan cara mengevaluasi wujud
kasus penipuan, Bachari berhasil menemukan satu tuturan dari terlapor yang
mengandung daya tipu muslihat. Akan tetapi dalam kasus pencemaran nama baik,
Bachari berhasil membuktikan bahwa tuturan terlapor sulit untuk dikatakan
sebagai tindak pencemaran nama baik. Selanjutnya, Bachari menemukan bahwa
tidak benar adanya tindak penghinaan, penipuan, dan pencemaran nama baik dari
segi implikaturnya. Terakhir, Bachari berhasil menemukan bahwa tiga tuturan
terlapor benar untuk patut diduga sebagai tindak pidana jika dilihat dari analisis
felicy conditions.
Penelitian selanjutnya datang dari Bachari (2013). Dalam penelitian ini,
Bachari berhasil menemukan pengalihan topik di dalam proses pemeriksaan
polisi. Secara mikro memiliki tujuan untuk membantu terperiksa mengingat
informasi yang dibutuhkan, menasihati, memberi keterangan, dan mengondisikan
agar terperiksa merasa nyaman di saat pemeriksaan. Kemudian secara makro
memiliki tujuan untuk membangun kedekatan antara penyidik dan terperiksa.
Sehingga terperiksa dapat bersikap kooperatif di saat pemeriksaan.
Selanjutnya, penelitian sebelumnya datang dari Hermawan (2013).
Penelitian ini membahas mengenai ketidakcocokan informasi antara keterangan
tersangka dengan BAP Polisi. Hermawan menemukan informasi yang hilang atau
tidak akurat dalam BAP. Kemudian Hermawan pun menemukan penambahan atau
salah tafsir informasi dalam BAP.
Penelitian terdahulu yang terakhir datang dari Bachari (2013). Dalam
artikelnya, Bachari membahas mengenai pemenuhan syarat formal dan materil
dalam transkripsi BAP polisi. Bachari memaparkan penemuan penelitian dalam
artikelnya, yang diantaranya adalah 1) penghilangan informasi dari jawaban
tersangka, 2) doktrinasi yang memiliki daya paksa pada tersangka untuk membuat
persetujuan, dan 3) pemuatan jawaban yang tidak dinyatakan oleh tersangka.
Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti berjudul “Diskrepansi
menggunakan teori diskrepansi dan pasal 143 ayat 2 KUHAP sebagai acuan
dalam penelitian ini. Penelitian ini dengan penelitian terdahulu sangatlah berbeda
karena penelitian ini lebih difokuskan kepada diskrepansi informasi dalam surat
dakwaan yang berdampak kepada proses persidangan.
B. Masalah Penelitian
Masalah penelitian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu identifikasi masalah,
batasan masalah, dan rumusan masalah. Adapun uraiannya sebagai berikut.
1. Identifikasi Masalah
Pengidentifikasian masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Masalah dalam penelitian ini terkait dengan persoalan diskrepansi informasi.
Bahasa sebagai alat yang digunakan dalam proses hukum, ini menjadi entitas
yang tidak lagi menggambarkan fakta hukum yang sebenarnya.
2. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Penelitian ini dibatasi pada persoalan diskrepansi informasi yang terdapat pada
surat dakwaan sebagai produk hukum yang didasarkan pada BAP Kepolisian.
2) Penelitian ini hanya menggunakan surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum di Bandung.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah, selanjutnya peneliti
merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1) Bagaimana wujud diskrepansi informasi dalam surat dakwaan JPU?
2) Apa implikasi diskrepansi informasi yang terdapat di dalam surat dakwaan
terhadap proses hukum yang dijalani para pihak?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
1) Mendeskripsikan wujud diskrepansi informasi dalam surat dakwaan JPU.
2) Mendeskripsikan implikasi diskrepansi informasi yang terdapat di dalam surat
dakwaan terhadap proses hukum yang dijalani para pihak.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis
maupun manfaat praktis. Adapun uraiannya sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian teoretis terkait
pengembangan bidang linguistik forensik terutama yang berkenaan dengan
diskrepansi antara BAP dan surat dakwaan (legal process)
2. Manfaat Praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menegakkan supremasi hukum yang
berkeadilan membantu memahami penyusunan surat dakwaan dan peranan
bahasa di dunia hukum.
2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi alternatif di dalam analisis
adanya perbedaan antara BAP yang dibuat oleh polisi surat dakwaan JPU yang
selama ini sering terdengan di ruang sidang pengadilan Indonesia.
E. Struktur Organisasi Skripsi
Pada bagian ini, Peneliti akan menjelaskan mengenai rincian dari setiap bab
dan bagian bab dalam skripsi ini. Berikut adalah rincian bab dari skripsi ini. Bab
satu merupakan pendahuluan dari skripsi. Bab satu terdiri atas latar belakang
masalah, masalah penelitian yang terdiri dari identifikasi masalah, batasan
masalah, dan rumusan masalah. Selanjutnya, bab satu ini terdiri dari tujuan
penelitian, manfaat penelitian yang terbagi menjadi manfaat teoretis dan manfaat
praktis, serta yang terakhir adalah struktur organisasi skripsi.
Bab dua terdiri dari kajian teori dan penelitian terdahulu. Kajian teori yang
digunakan dalam skripsi ini diantaranya, linguistik forensik yang di dalamnya
termasuk bahasa dan hukum, penyusunan wacana institusi kepolisian, dan tindak
diskrepansi informasi, dan surat dakwaan sebagai acuan untuk melakukan
penelitian dalam skripsi ini.
Bab tiga merupakan metode penelitian yang di dalamnya terdapat sumber data
penelitian, data atau korpus data, desain penelitian dan justifikasi dari pemilihan
desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional, teknik pengumpulan
data, dan teknik pengolahan data. Setelah itu, bab empat merupakan pembahasan
hasil penelitian mengenai strategi kebahasan Jaksa Penuntut Umum dan
diskrepansi informasi pada surat dakwaan oleh JPU di Pengadilan Negeri
Bandung. Lalu terakhir adalah bab lima yang merupakan penutup yang terdiri