BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang banyak
menarik perhatian karena angka prevalensinya yang semakin bertambah. Menurut
WHO kasus DM di Indonesia pada tahun 2000 adalah 8,4 juta orang berada pada
rangking 4 dunia, pada tahun 2003 menduduki posisi kelima, dan pada tahun 2005
Indonesia bergeser ke posisi ketiga (Mayasari, 2015).
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi
diabetes melitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian
akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki
ranking ke-2 yaitu 14,7%. DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% di daerah
pedesaan (Depkes RI., 2009).
Menurut data International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2014,
jumlah penderita diabetes tipe 2 meningkat disetiap negara. Jumlah terbesar orang
dengan diabetes berusia antara 40 dan 59 tahun. Setiap tujuh detik satu orang
meninggal akibat diabetes. Sebanyak 76% kematian akibat diabetes terjadi pada
usia dibawah 60 tahun di Afrika. 1 dari 10 orang dewasa menderita diabetes di
Timur Tengah dan Afrika Utara (IDF., 2015).
Diperkirakan jumlah penderita diabetes akan meningkat sebesar 60% pada
tahun 2035 di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penderita DM di Pasifik
kawasan manapun. Asia tenggara hampir setegah dari penderita diabetes tidak
terdiagnosis (IDF., 2015).
Penyakit DM di Kota Medan sejak bulan September hingga Oktober 2009
merupakan penyakit dengan angka kejadian terbanyak. Berdasarkan survei awal
yang dilakukan oleh Restu (2013) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan,
diperoleh data pada tahun 2011 sampai 2012 terdapat 375 pasien rawat inap
dengan diagnosis DM. Sedangkan untuk rawat jalan pada tahun 2013 terdapat
7023 kunjungan pasien DM (Restu, 2013).
Diabetes Melitus belum menempati skala prioritas utama pelayanan
kesehatan namun dampak negatifnya sudah terlihat jelas yaitu, pada penurunan
kualitas sumber daya manusia, terutama akibat penyakit menahun yang
ditimbulkannya seperti penyakit serebro-vaskular, penyakit jantung koroner,
penyakit mata, ginjal dan saraf (Sari, 2008).
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Diabetes bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien. Farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat
(Depkes RI., 2005).
Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
obat yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih
besar pada orang lanjut usia dan mengalami penyakit kronis karena mereka akan
menggunakan obat-obatan lebih banyak dari populasi umumnya. Risiko juga
Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat
lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan atau bila dua atau
lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu
obat atau lebih berubah (Fradgley,2003). Interaksi antara obat antidiabetik oral
dengan obat dapat menghasilkan peningkatan atau penurunan efek obat
antidiabetik. Interaksi yang terjadi dapat berupa farmakokinetik ataupun
farmakodinamik (Stockley, 2008).
Pada pasien rawat jalan umumnya mendapatkan terapi obat yang lebih
sedikit dibandingkan dengan pasien rawat inap. Namun, risiko terjadinya interaksi
obat pada pasien rawat jalan juga meningkat oleh beberapa faktor yaitu adanya
praktek polifarmasi, pasien berobat pada lebih dari satu dokter spesialis,
pengobatan sendiri dan mendapatkan obat yang lebih kuat dengan indeks terapi
sempit (Sari, 2008).
Dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya interaksi obat antidiabetik
oral dan mengoptimalkan terapi, maka farmasis perlu memahami mengenai
mekanisme dasar terjadinya interaksi obat, serta perubahan fisiologis dan
patologis yang dapat mempengaruhi efek obat terhadap pasien dan respon pasien
terhadap obat. Dengan pemahaman tersebut maka masalah interaksi obat yang
berdampak buruk dapat diminimalkan atau diatasi (Sari, 2008).
Pusat kesehatan masyarakat atau disingkat puskesmas adalah unit
pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Permenkes
baik untuk pengobatan rawat jalan maupun rawat inap dan juga rujukan untuk ke
rumah sakit (Rumanda, dkk., 2015).
Penelitian tentang interaksi obat antidiabetes di puskesmas masih
sangatlah minim sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai
potensi interaksi obat pada pasien yang mendapatkan terapi obat antidiabetik oral
ditiga puskesmas di Kota Medan.
1.2 Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang frekuensi kejadian potensi interaksi obat
antidiabetik oral pada pasien ditiga puskesmas di Kota Medan, mekanisme
interaksi, mengidentifikasi obat-obat yang sering berinteraksi dan menentukan
potensi tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi. Dalam hal ini karakteristik
pasien (usia pasien) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima pasien)
adalah variable bebas (Independent Variable) yang merupakan faktor resiko.
Potensi interaksi obat sebagai variable terikat (Dependent Variable). Gambaran
kerangka penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter
1.3Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. apakah terdapat potensi interaksi obat pada pemberian obat antidiabetik oral
ditiga puskesmas di Kota Medan?
b. berapakah persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetik oral-obat
ditiga puskesmas di Kota Medan ?
c. jenis obat antidiabetik oral, pola mekanisme interaksi dan tingkat keparahan
apa saja yang sering berpotensi terjadi interaksi ditiga puskesmas tersebut ?
d. apakah ada hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetik
oral dan juga antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetik
oral di ketiga puskesmas?
1.4Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. terdapat potensi interaksi obat antidiabetik oral pada peresepan ditiga
puskesmas di Kota Medan.
b. persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetik oral-obat ditiga
puskesmas di Kota Medan tinggi.
c. obat antidiabetik oral yang sering berpotensi terjadi interaksi adalah metformin, pola mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes meliputi
farmakodinamik, farmakokinetik, dan unknown, dan tingkat keparahan interaksi obat antidiabetik yang terjadi di ketiga puskesmas meliputi major,
d. ada hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetik oral dan
juga antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetik oral di
ketiga puskesmas
1.5Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui:
a. potensi interaksi obat antidiabetik oral pada peresepan di puskesmas di Kota
Medan.
b. persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetik oral diketiga
puskesmas di Kota Medan.
c. jenis obat antidiabetik oral, mekanisme potensi interaksi dan tingkat
keparahan yang berpotensi terjadi diketiga puskesmas di Kota Medan.
d. hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetik oral dan juga
antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetik oral di ketiga
puskesmas.
1.6Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. agar dapat memberikan informasi terkait frekuensi potensi interaksi obat
antidiabetik oral-obat, pengaruh usia dan jumlah obat terkait potensi interaksi
ditiga puskesmas di Kota Medan.
b. agar dapat menjadi bahan kajian bagi pemerintah daerah, khususnya
professional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan