• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program “Sumut Dalam Berita” dan Kebutuhan Informasi Lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Program “Sumut Dalam Berita” dan Kebutuhan Informasi Lokal"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Paradigma Kajian

Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu

kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha umtuk

mencari kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi

melalui model-model tertentu. Model-model tertentu biasanya disebut dengan

paradigma (Moleong, 2010: 34).

Paradigma bukanlah teori-teori, namun lebih merupakan cara pandang atau

pola-pola untuk penelitian yang diperluas dan dapat menuju pembentukan suatu

teori. Setiap penelitian yang diperluas dan dapat menuju pembentukan suatu teori.

Setiap penelitian memerlukan paradigm teori dan model teori sebagai dasar dalam

menyusun kerangka penelitian. Paradigma adalah cara pandang seseorang

terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir

(kognitif), bersikap (afektif) dan bertingkah laku (konatif). Karenanya paradigma

sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang

menjadi objek ilmunya (Vardiansyah, 2008: 27).

Dalam Dani Vardiansyah (2008: 27-28) memberi uraian atas ketiga

paradigma sebagai hasil “kesepakatan untuk tidak sepakat” dari para teoretisi

komunikasi; dan karenanya akan menentukan “aliran” atau “mahzab” yang dianut:

a. Paradigma-1: komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja

diarahkan seseorang dan diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini

menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja dan pesan itu

harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi harus terdapat: (a)

komunikator pengirim, (b) pesan itu sendiri, (c) komunikan penerima.

(2)

pesan itu tidak diterima, tidak ada komunikan karena tidak ada manusia

yang menerima pesan. Jadi, tidak ada komunikasi dan proses komunikasi

yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman

melambai pada Anda tapi Anda tidak melihat, ini bukan komunikasi yang

menjadi kajiannya, karena Anda selaku komunikan tidak menerima pesan

itu. Tidak ada komunikan tidak menerima pesan itu. Tidak ada komunikan

dan karenanya tidak ada komunikasi dan proses komunikasi antara Anda

dengan teman itu.

b. Paradigma-2: komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna

bagi penerma, apakah disengaja ataupun tidak disengaja. Paradigma ini

menyatakan nahwa pesan tidak harus disampaikan dengan sengaja, tetapi

harus diterima. Paradigma ini relatif tidak mengenal istilah komunikan

penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku

komunikasi dinamai sebagai komunikator mengingat bahwa keduanya

punya peluang untuk menyampaikan pesan – disengaja atau tidak – yang

dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan

yang dimaknai sebagai semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama

ada pemaknaan pesan pada salah satu pihak adalah komunikasi yang

menjadi kajiannya. Maka ketika Anda dengan tidak sengaja melenggang di

tepi jalan dan sopir taksi berhenti serta bertanya, “Taksi, Pak?” ini adalah

komunikasi yang menjadi kajiannya karena sopir itu telah memaknai

lenggangan Anda yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa

terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.

a. Paradigma-3: komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan

dengan sengaja, namun derajat kesengajaan sulit ditentukan. Paradigma ini

menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, tetapi tidak

mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya, untuk dapat

terjadi komunikasi harus ada: (a) komunikator pengirim, (b) pesan, (c)

target komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan

tapi Anda tidak melihat, ini sudah merupakan komunikasi yang menjadi

(3)

Gangguan apa yang sedang terjadi pada salurannyakah? Pada alat

penerima (mata Anda)? Atau ada hal lainnya?

Ketiga paradigma ini dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 2.1

Tabel Paradigma Objek Kajian Ilmu Komunikasi

Sengaja Diterima Syarat

Paradigma-1 V V Komunikator, pengirim pesan dan

komunikan penerima

Paradigma-2 X V Tidak mempersoalkan komunikator

– komunikasi selama ada pihak yang

menerima dan memaknai

pesan.seluruh pelaku komunikasi

disebut komunikator atau bahkan

mendefinisikannya sebagai

komunikan: manusia pelaku

komunikasi

Paradigma-3 V X Komunikator, pesan dan target

komunikan

Penelitian kuantitatif pada dasarnya lahir dan berkembang dari tradisi

ilmu-ilmu sosial Inggris dan Perancis yang dipengaruhi tradisi ilmu-ilmu-ilmu-ilmu alam (eksakta

dan karenanya terukur). Dari sini lahir dan berkembang ilmu sosial dengan latar

positivism yang mengedepankan penelitian kuantitatif untuk menjelaskan

fenomena sosial. Dilihat dari paradigma filsafat ilmunya, penelitian komunikasi

kuantitatif-positivist memandang manusia sebagai makhluk jasmaniah yang

(4)

Tindakan atau respons terhadap stimulus ini tergantung pada tuntutan organismik

yang secara alamiah tersimpan di dalam diri manusia itu sendiri dan/atau dari luar

manusia sebagai bagian dari struktur sosial yang melingkunginya. Karena itu,

suatu fenomena sosial dipandang sebagai akibat atau fungsi dari bekerjanya faktor

organismik internal tertentu dalam diri manusia dan/atau faktor lingkungan

eksternal sebagai bagian dari struktur sosialnya. Dari sini lahir tradisi penelitian

yang berupaya mengidentifikasi dan mengukur faktor, dalam bentuk

variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi atau menyebabkan suatu fenomena

komunikasi.

Paradigma positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur

metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsure

tersebut, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari

materialisme. Menurut Susman dan Evered tahun 1978 dalam Emzir (2012:

243-244), paradigma positivism merupakan paradigma yang didasarkan pada

perpaduan atau kombinasi antara angka dan menggunakan rancangan penelitian

kuantitatif dalam mengungkapkan suatu fenomena secara objektif. Peneliti

mengambil pendekatan partikularistik dengan fokus yang diteliti sangat spesifik

berupa variabel-variabel tertentu saja bukan bersifat holistik yang meliputi aspek

yang cukup luas atau tidak dibatasi pada variabel tertentu.

Dalam penelitian kuantitatif diyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang

valid adalah ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan

pada pengalaman yang tertangkap lewat pancaindra untuk kemudian diolah oleh

nalar. Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima sebagai suatu

paradigma bahwa sumber pengetahuan yang paling utama adalah fakta yang

sudah pernah terjadi dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap panca

indera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa

secara ontologisme, objek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan

hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations

between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena disini adalah sejalan

dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appeareance given

(5)

diperoleh melalui pancaindra , maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada

eksperimen, induksi dan observasi.

Terdapat sejumlah asumsi dalam penelitian kuantitatif sebagai dasar

ontologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi tersebut adalah (1)

objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain baik bentuk, struktur,

sifat maupun dimensi lainnya; (2) suatu benda atau keadaan tidak mengalami

perubahan dalam jangka waktu tertentu; (3) suatu gejala bukan merupakan suatu

kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Jadi diyakini adanya deterninisme atau proses sebab

akibat (kausalitas).

Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma

kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu teridiri dari dua, yaitu pemikiran

rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan

korespondensi. Koheren berarti sesuai dengan teori-teori terdahulu dan

korespondensi berarti sesuai dengan kenyataan empiris.

Dalam hal ini peneliti menggunakan metodologi penelitian komunikasi

kuantitatif-positivisme dengan pendekatan survei. Dalam survei, informasi

dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner dan data

dikumpulkan dari sampel yang mewakili populasi. Apabila sampel diambil dari

seluruh populasi dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data

yang pokok. Survei cenderung digunakan digunakan untuk melihat hubungan

antarvariabel (Vardiansyah, 2008: 67).

Penelitian survei adalah penelitian yang diadakan untuk memperoleh

fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara

faktual, baik tentang instituisi sosial, ekonomi atau politik dari suatu kelompok

ataupun suatu daerah (Hasan, 2002: 13). Dalam penelitian survei ini dikerjakan

evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan

orang dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat

(6)

Penelitian dilakukan terhadap sejumlah individu atau unit, baik secara sensus

maupun dengan sampel.

Dalam hal ini, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang

berlaku dalam masyarakt serta situasi-situasi termasuk tentang hubungan,

kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang

sedang berlangsung danpengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Jadi penelitian

deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap

fenomena-fenomena masyarakat (sosial) tertentu, misalnya perceraian, pengangguran,

keadaan gizi, preferensi terhadap politik tertentu dan lain-lain.

Vardiasyah dalam bukunya Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar

(2008: 68) umumnya, dalam upaya mengejar objektivitas dan generalisasi

universalitas yang diinginkannya, penelitian komunikasi kuantitatif-positivisme

meliputi beberapa criteria tugas pokok yaitu:

1. Merumuskan masalah dan menetapkan kerangka teori yang akan

digunakan untuk mengupas masalah penelitian.

2. Dalam kerangka teori, dikupas konsep-konsep penelitian sehingga dapat

diturunkan variabel serta hipotesis penelitian. Dalam hal ini, konsep

diartikan sebagai penggambaran secara abstrak suatu fenomena, keadaan,

kelompok atau individu yang menjadi masalah pokok penelitian. Agar

konsep dapat diteliti secara empiric harus dioperasionalkan menjadi

variabel. Bagaimana penelitian melihat keterkaitan antarvariabel disebut

hipotesis, yakni praduga sementara yang harus dibuktikan kebenarannya.

Dari sini disusunlah rancangan penelitiannya.

3. Rancangan penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana

penelitian dilakukan utamanya menetapkan bagaimana data akan

dikumpulkan, detailnya adalah sebagai berikut:

a. Dalam rancangan penelitian, ditetapkan jenis data yang dibutuhkan

dalam upaya menjawab masalah penelitian bagaimana data itu

(7)

menetapkan prosedur dan skala pengukuran data untuk kemudian

melaksanakan pre-test atas alat pengumpul data dan pengukurannya.

b. Dalam menetapkan cara mendapatkan data dikenal sejumlah teknik

penarikan sampel. Sampel yang diambil harus representatif, mewakili

populasi sehingga dapat dilakukan generalisasi terhadapnya.

Karenanya, kuantitaif-positivisme menuntut sampel yang bersifat acak

(random) guna member peluang yang sama atas setiap unsure populasi

sehingga dapat dilakukan generalisasi.

c. Dalam menetapkan alat pengukuran data, maka validitas dan

realibilitas mutlak diperhatikan. Validitas menunjuk sejauh mana alat

ukur yang digunakan mampu mengukur apa yang ingin diukur.

Sedangkan realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana

suatu alat ukur dapat diandalkan.

4. Selain itu, rancangan penelitian juga mengurai bagaimana data akan

dianalisis. Karenanya, pemilihan teknik analisis data termasuk ketepatan

pemilihan dan penggunaan metode statistik mutlak diperhatikan.

2.2 Kerangka Teori

Dalam penelitian diperlukan teori sebagai acuan dan pedoman. Kerangka

teori adalah suatu kumpulan teori dan model dari literatur yang menjelaskan

hubungan dalam masalah tertentu. Dalam kerangka teoritis secara logis

dikembangkan, digambarkan dan dielaborasi jaringan-jaringan dari asosiasi antara

variabel-variabel yang diidentifikasi melalui survei atau telaah literatur (Silalahi,

2009:92). Emery dan Cooper mengatakan bahwa teori merupakan suatu kumpulan

konsep, definisi, proposisi, dan variabel yang berkaitan satu sama lain secara

sistematis dan telah digeneralisasikan sehingga dapat menjelaskan dan

memprediksi suatu fenomena tertentu (Umar, 2000:55). Dalam penelitian ini,

(8)

2.2.1 Komunikasi

Komunikasi atau communication berasal dari bahasa latin, yaitu

communicatus yang berarti berbagi atau milik bersama. Komunikasi menurut

Lexicographer (ahli kamus bahasa), menunjuk pada suatu upaya yang bertujuan

berbagi untuk mencapai kebersamaan (Fajar, 2009:31). Manusia sebagai makhluk

sosial sangat memerlukan sebagai hal paling mendasar dalam berinteraksi. Hal ini

dilakukan untuk kebutuhan dirinya sendiri maupun orang lain. Tentunya

komunikasi juga dilakukan dengan berbagai tujuan sebab komunikasi merupakan

suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar sesuai dengan keinginan dari

pelakunya.

Menurut Laswell, komunikasi meliputi lima unsur yakni: komunikator

(communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media),

komunikan, dan efek (effect). Berdasarkan paradigma Laswell, komunikasi adalah

proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media

yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2003:19).

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran

atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan).

Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari

benaknya. Perasaan bisa merupakan keyakinan, kepastian, keragu-raguan,

kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul

dari lubuk hati (Effendy, 2007: 11).

2.2.2 Komunikasi Massa

Komunikasi massa menurut para ahli adalah komunikasi kepada khalayak

luas dengan menggunakan media massa. Sedangkan menurut Joseph A. Devito

dalam bukunya, Communicology: An Introduction to the study of communication

menyatakan bahwa komunikasi massa adalah:

(9)

communication is perhaps most easily and most logically defined by it form: television, radio, newspaper, magazine, film, books, and tapes.”

Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan pada massa,

kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti khalayak meliput

seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi agaknya ini berarti

bahwa khalayak itu besar pada umumnya agar sukar didefinisikan. Kedua,

komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar

yang audio atau visual komunikasi. Barangkali akan lebih mudah dan lebih egois

bila didefinisikan menurut bentuknya: televisi, radio, majalah, film, buku, dan pita

(McQuail, 2011: 65).

Nuruddin dalam bukunya Pengantar Komunikasi Massa (2004: 19),

mengemukakan ciri-ciri komunikasi massa adalah:

1. Komunikator bukan satu orang, tetapi kumpulan orang-orang. Artinya,

gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain

dalam sebuah lembaga.

2. Komunikan bersifat heterogen yang artinya penonton televisi beragam

pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, jabatan

beragam, agama atau kepercayaan yang tidak sama pula.

3. Pesan yang bersifat umum sehingga pesan tersebut tidak disengaja

untuk golongan tertentu.

4. Komunikasi berlangsung satu arah yakni dari media massa ke khalayak

dan tidak sebaliknya.

5. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan sehingga khalayak

dapat menikmati media massa tersebut hampir bersamaan.

6. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis seperti, pemancar

untuk media elektronik (mekanik atau elektronik).

7. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (pentapis

informasi/palang pintu/penjaga gawang) yang merupakan orang yang

ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar

(10)

2.2.3 Televisi

Televisi adalah televisi siaran yang merupakan media dari jaringan

komunikasi (Effendy, 2003: 21). Televisi merupakan media yang menguasai

ruang tetapi tidak menguasai waktu. Siaran dari televisi dapat diterima di mana

saja dalam jangkauan pancarannya (menguasai ruang) tetapi siarannya tidak dapat

dilihat kembali (tidak menguasai waktu). Televisi merupakan paduan radio

(broadcast) dan film (moving picture). Televisi terdiri dari istilah “tele” yang

berarti jauh dan “vision” yang berarti penglihatan. Segi “jauh” dihasilkan dengan

prinsip radio, sedangkan segi “penglihatan” oleh gambar (Effendy, 2003: 174).

Televisi saat ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Banyak orang yang menghabiskan waktunya lebih lama di depan pesawat televisi

dibandingkan dengan keluarga, pasangan atau teman-temannya. Bagi banyak

orang televisi menjadi cerminan perilau masyarakat dan televisi dapat menjadi

candu (Morissan 2010: 3). Menurut Prof. Dr. R. Mar’at dari UNPAD, acara

televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan

para penonton. Salah satu pengaruh psikologis dari televisi ialah seakan-akan

menghipnotis penonton sehingga penonton dihanyutkan dalam suasana

pertunujukan televisi (Effendy, 2007: 41).

Komunikasi massa media televisi bersifat periodik. Dalam komunikasi

massa tersebut, penyelenggara komunikasi bukan secara perorangan melainkan

melibatkan banyak orang dengan organisasi yang kompleks serta pembiayaan

yang besar karena media televisi bersifat “transitory” (hanya meneruskan) maka

pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi massa media tersebut, tidah

hanya dapat didengar tetapi juga dapat dilihat dalam gambar yang bergerak

(audiovisual).

Sebagai media massa, televisi memiliki ciri-ciri berlangsung satu arah,

komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum dan menimbulkan

keserempakan. Menurut Russel, Verril dan Lane dalam buku Komunikasi Politik:

(11)

audiovisual, televisi mampu mempengaruhi kehidupan manusia baik dari segi

politik, sosial, dan budaya.

“Sejak diperkenalkan sebagai media nasional pada awal 50-an, TV telah berubah menjadi sebuah institusi. Untuk memahami tentang televisi, ia haruslah dipandang sebagai sebuah fenomena sosial. Lebih dari sebuah media untuk periklanan dan hiburan, televisi memiliki kemampuan untuk merubah cara kita berinteraksi dengan orang lain sejalan dengan bagaimana kita melihat dunia yang berada di sekeliling kita.”

Menurut Djalaludin Rakhmat (2000: 72) dalam bukunya Teori Komunikasi Massa adapun fungsi utama televisi yaitu:

1. Fungsi menyiarkan informasi (to inform)

Menyiarkan informasi merupakan fungsi yang pertama dan utama.

Khalayak menerima informasi mengenai berbagai hal yang terjadi.

Gagasan atau pikiran orang lain dan apa yang dipikirkan orang lain dan

sebagainya.

2. Fungsi mendidik (to educate)

Fungsi ini sebagai sarana pendidikan massa sebagai khalayak bertambah

pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk

pendapat-pendapat membangun dari para dewan juri jurnalis.

3. Fungsi menghibur (to entertain)

Hal – hal yang bersifat menghibur untuk megimbangi berita-berita yang

berbobot tujuannya untuk melemaskan ketegangan pikiran setelah

dihidangkan berita yang berat.

4. Fungsi mempengaruhi (to persuasive)

Fungsi ini menyebabkan sebuah program acara memegang peranan dalam

kehidupan masyarakat dalam mempengaruhi khlayak.

2.2.4 Berita

Istilah “news” berasal dari bahasa Inggris yang berarti “berita”, berasal dari

“new” (baru) dengan konotasi kepada hal-hal yang baru. Dalam bahasa Inggris

(12)

dapat dari empat penjuru mata angin yaitu: North (utara), East (timur), West

(barat) dan South (selatan). Semua hal yang baru merupakan bahan informasi

yang dapat disampaikan kepada orang lain dalam bentuk berita (news). Hornbby

(1961) menjelaskan bahwa news sebagai laporan tentang apa yang terjadi paling

mutakhir (sangat-sangat baru), baik peristiwanya maupun faktanya (Morissan,

2010: 69). Secara ilmiah Curtis D. MacDogall (1977) menyatakan bahwa berita

yang selalu dicari oleh para reporter adalah laporan tentang fakta yang terlibat

dalam suatu peristiwa namun bukan hakiki dari peristiwa itu sendiri.

Fraser Bond tahun 1961 (Suhandang 2004: 144-145) menyatakan bahwa

untuk menyajikan berita yang bernilai tinggi dan dapat merangsang bangkitnya

perhatian orang banyak maka ada empat faktor yang harus diperhatikan yakni:

1. Ketepatan waktu (timeless).

2. Kedekatan tempat kejadian (proximity)

3. Besarnya (size)

4. Kepentingan (importance)

Nilai berita adalah karakteristik sebuah peristiwa yang dapat diberikan atau

dapat dipublikasikan di media massa yaitu (Romli, 2003: 90-92):

1. Aktual, yakni hangat atau baru saja terjadi

2. Faktual, nyata dan benar-benar terjadi

3. Penting, yakni menyangkut orang-orang penting atau artis atau tokoh

ternama

4. Menarik, yakni mengundang perhatian orang untuk melihat

Dalam bukunya Romli (2003: 40) menyatakan jenis-jenis berita yaitu:

1. Straight News: berita langsung, apa adanya, ditulis secara singkat, dan

lugas.

2. Depth News: berita mendalam, dikembangkan dengan pendalaman

hal-hal yang ada di bawah suatu permukaan.

3. Investigation News: berita yang dikembangkan berdasarkan penelitian

(13)

4. Interpretative News: berita yang dikembangkan dengan pendapat atau

penelitian penulisnya/reporter.

5. Opinion News: berita mengenai pendapat seseorang, biasanya

pendapat para cendikiawan, sarjana, ahli, atau pejabat mengenai suatu

hal, peristiwa, dan sebagainya.

2.2.5 Konten Lokal (Local Content)

Nilai berita (news value) yang sama bisa saja diterapkan baik oleh lembaga

penyiaran publik maupun lembaga penyiaran swasta. Namun satu hal yang

menjadi keunggulan dari sistem penyiaran publik Indonesia yang sudah memiliki

jaringan di setiap daerah adalah konten lokal dalam siarannya. Konten lokal

adalah segala sesuatu yang bermuatan sumber pengetahuan atau informasi yang

asli dihasilkan oleh instansi, perusahaan atau daerah sampai dengan negara yang

dapat dijadikan sumber pembelajaran dalam bentuk karya cetak maupun karya

rekam.

Konten lokal merupakan aspek penting dan perlu mendapat perhatian oleh

penyelenggara televisi. Setiap lembaga penyiaran publik memiliki tugas utama

untuk melayani kebutuhan masyarakat dengan memberikan informasi, pendidikan,

hiburan yang sehat, cerdas dan mendidik. Selain itu lembaga penyiaran publik

menjadi perekat sosial serta melestarikan budaya bangsa dan mempersatukan

bangsa melalui siarannya di seluruh wilayah Indonesia.

Pengelola program media penyiaran daerah dapat bekerja sama dengan

pemerintah daerah untuk memproduksi acara dengan setting berdasarkan

kebutuhan daerah setempat. Acara tersebut dapat berguna untuk agar pemerintah

kota atau kabupaten bisa menyampaikan berbagai gagasan atau informasi

pembangunan, progress report program pemerintah daerah serta mendiskusikan

berbagai masalah sosial. Acara tersebut biasanya disukai oleh masyarakat

setempat karena menyangkut daerah mereka. Dengan demikian, media penyiaran

daerah menjadi sebuah jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah

(14)

kegiatan pemerintah. Selain itu, media penyiaran bisa menjadikan dirinya sebagai

lembaga kontrol sosial yang efektif (Morissan, 2010: 289).

Konten lokal diatur oleh Undang – Undang Nomor 32 tahun 2002, tentang

penyiaran pada pasal 36: “Isi siaran dari jasa penyiaran televisi yang

diselenggarakan oleh lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran publik,

wajib memuat sekurang – kurangnya 60% mata acara yang berasal dari dalam

negeri.” Selain itu konten lokal juga diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia

(KPI) dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).

Dalam jurnal RISALAH tahun 2015 ada beberapa hal mengenai konten lokal

dalam penyiaran menurut Bhattacharjee (2001) sebagai berikut:

a. Bertujuan untuk mendukung pluralism

Aturan konten lokal yang dijadikan sebagai alat kontrol pemerintah yang

justru melemahkan keberagaman adalah tidak sah, apalagi bila dirancang

untuk kepentingan media milik negara atau milik swasta yang cenderung

membela pemerintah, juga untuk menjauhkan media asing yang kritis

terhadap pemerintah dan pengusaha elit tertentu.

b. Diterapkan melalui hukum yang layak

Aturan konten lokal harus diatur dalam regulasi sebagai bagian aturan

penyiaran. Regulator penyiaran pun harus adil dan bebas kepentingan

dalam melakukan pengawasan dan menegakkan peraturan.

c. Realistis dan praktis, disesuaikan dengan sektor penyiaran tertentu dan

adanya kebutuhan khusus

Kriteria-kriteria secara khusus bisa diterapkan sesuai dengan jenis-jenis

media penyiaran misalnya televisi dan radio; atau jenis program seperti

drama, film, dokumenter, program pendidikan, program anak dan musik;

atau menyesuaikan jenis produksi misalnya sendiri atau produksi

independen.

d. Diimplementasikan secara progresif

Penerapan atauran konten lokal dilakukan secara bertahap dan meningkat

untuk memberi waktu bagi media penyiaran menyesuaikan diri dengan

(15)

2.2.6 Teori Stimulus-Organism-Respons

Teori stimulus-organism-respons pada dasarnya suatu prinsip belajar yang

sederhana dimana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. McQuail

menjelaskan elemen-elemen utama dari teori ini yaitu : a. pesan (Stimulus), b.

seorang penerima atau receiver (Organisme) dan c. efek (Respon). Dalam

masyarakat, prinsip stimulus-respons mengasumsikan bahwa pesan informasi

dipersiapkan oleh media dan didistribusikan secara sistematis dan dalam skala

yang luas. Oleh sebab itu, secara serempak pesan tersebut dapat diterima oleh

sejumlah besar individu, bukan ditujukan pada orang per orang. Kemudian

sejumlah individu itu akan merespons pesan informasi itu.

Onong Uchjana Effendy (2007: 254), berpandangan bahwa teori stimulus-organism-respons mengkaji tentang efek yang ditimbulkan merupakan reaksi

khusus terhadap stimulus khusus sehingga seseorang dapat mengharapkan dan

memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Pandangan Onong

Uchjana ini mengandung unsur-unsur dari model teori stimulus respons adalah

pesan (Stimulus/S), komunikan (Organism/O) dan efek (Response/R). Dalam

proses komunikasi berkenaan dengan perubahan sikap adalah aspek “how” bukan

“what” dan “why”. Jelasnya, how to communicate dalam hal ini adalah how to

change the attitude, yakni kemampuan mengubah sikap komunikan. Prof. Dr,

Mar’at dalam bukunya “Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya,

mengutip pendapat Hovland, Janis, dan Kelley yang menyatakan bahwa dalam

menelaah sikap yang baru ada tiga variabel penting (Effendy, 2007: 255) adalah

sebagai berikut:

1. Perhatian

2. Pengertian mencakup pengetahuan dan pemahaman

(16)

Gambar 1

Teori Stimulus-Organism-Respons

Sumber: Effendy, 2007: 255

2.2.7 Teori Kultivasi

Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor

George Gerbner dengan tulisan pertamanya “Living with Television: The

Violenceprofile”, Journal of Communication. Menurut teori kultivasi ini, televisi

menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang

masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi apa yang dibangun di benak

seseorang tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini

artinya melalui kontak seseorang dengan televisinya belajar tentang dunia,

orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya (Nurudin, 2007: 78).

Dalam teori kultivasi dikenal istilah heavy viewers (pecandu berat) dan

light viewers (pecandu ringan). Para pecandu berat televisi akan menganggap Stimulus

Organism • Perhatian • Pengertian • Penerimaan

(17)

bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Penelitan kultivasi

menekankan bahwa media massa sebagai agen sosialisasi dan menyelidiki apakah

penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa

yang mereka lihat sesungguhnya. McQuail dan Windahl (1993) mencatat bahwa

teori kultivasi menganggap televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau

refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gerbner

(meminjam istilah Bandura) berpendapat bahwa gambaran tentang adegan

kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan

(Nurudin, 2004: 88).

2.2.8 Uses and Gratifications Approach Theory

Menurut Cohen (1963) teori ini fokus pada arah pergantian fokus dari

persuasif (arah langsung) pada efek ke arah efek perubahan kognitif.Karena itu,

maka media dikatakan “tidak akan sukses kalau hanya memberitahu tentang apa

yang harus dipikirkan orang, tetapi media akan sukses karena dapat memberitahu

para pembacanya tentang bagaimana mereka yang memikirkan sesuatu” (Liliweri

2011: 219).

Pendekatan uses and gratifications ditujukan untuk menggambarkan proses

penerimaan dalam komunikasi massa dan menjelaskan penggunaan media oleh

individu atau agregasi individu. Pendekatan uses and gratifications memberikan

alternatif untuk memandang pada hubungan antara isi media dan audience dan

pengkategorian ini media menurut fungsinya. Menurut Karl Erik Rosengren, teori

ini memiliki 11 elemen sebagai berikut: (1) kebutuhan mendasar tertentu dalam

interaksinya dengan (2) berbagai kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan

juga dengan (3) struktur masyarakat termasuk struktur media, menghasilkan (4)

berbagai pencampuran personal individu dan (5) persepsi mengenai solusi bagi

persoalan tersebut, yang menghasilkan (6) berbagai motif untuk mencari

pemenuhan atau penyelesaian persoalan yang menghasilkan (7) perbedaan pola

konsumsi media dan (8) perbedaan pola perilaku lainnya yang menyebabkan (9)

(18)

intra dan ekstra individu, sekaligus akan mempengaruhi (11) struktur media dan

berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi dalam masyarakat (Effendy, 2007:

291).

Menurut Alo Liliweri (2011) dalam bukunya Komunikasi Serba Ada Serba

Makna dua cara untuk menentukan agenda setting, yaitu:

1. Priming. Merupakan proses psikologis dalam nama media menekankan

isu-isu yang penting, tidak hanya meningkatkan tonjolan dari isu ini tetapi

juga untuk mengaktifkan kembali ingatan audiens sebelum mereka

mencari informasi tentang isu-isu ini. Jadi, media melakukan

reintroduces,semacam pengantar atau komentar baru yang dapat

meningkatkan pengaruh persuasif terhadap audiens. Langkah ini dilakukan

media untuk menunjukkan bahwa media peduli terhadap konsekuensi dari

isu-isu tertentu sesuai dengan setting the public agenda.

2. Framing. Merujuk pada perhatian terhadap beberapa aspek dan kenyataan

yang sedang mempengaruhi audiens namun ada unsur-unsur dari

kenyataan itu yang kurang jelas. Media menyusun agenda untuk

mengangkatnya kembali demi memancing reaksi yang berbeda-beda dari

audiens. Kadang-kadang framing didefinisikan sebagai level kedua dari

agenda setting dimana level pertama: mengalihkan objek yang menonjol

dan level kedua adalah mengalihkan sifat/atribut dari sesuatu yang

menonjol. Framing juga berhubungan dengan kepentingan dari individu

yang sedang berhadapan dengan cara menghalau keyakinan tertentu

(meyakinkan untuk mendukung suatu kebijakan tertentu dengan

menghubungkan ukuran kebijakan dengan nilai tertentu). Karena itu ada

dua jenis framing, yaitu:

a. Media Framing: media membuat sesuatu lebih menonjol daripada

kenyataan sehingga membuat audiens akan lebih menerimanya,

misalnya dengan memperkenalkan definisi suatu masalah, interpretasi

sebab suatu masalah, evaluasi moral, dan/atau memberikan

(19)

b. Individual Frames: media secara bertahap menyusun gagasan tentang

atau yang bersumber dari individu sehingga membimbing individu dari

audiens memproses informasi.

Teori uses and gratifications beroperasi dalam beberapa cara yang dapat

(20)

Gambar 2

Uses and Gratifications Approach Theory

(21)

2.2 Kerangka Konsep

Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang

bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai

dapat mengantarkan pada perumusan hipotesis. Konsep menggambarkan suatu

fenomena suatu abstrak yang dibentuk dengan jalan membuat generalisasi

terhadap suatu yang khas (Nawawi, 200: 40). Kerangka konsep adalah hasil

pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang sederhana

merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya, agar konsep

dapat diteliti secara empiris, maka harus diopeasionalkan dengan mengubahnya

menjadi variabel.

Adapun komponen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peranan

program Sumut Dalam Berita di LPP TVRI Siaran Sumut terhadap kebutuhan

informasi lokal mahasiswa USU. Berdasarkan komponen tersebut, maka

terbentuklah suatu skema model teoritis penelitian sebagai berikut:

Gambar 3

Model Teoritis Penelitian

Program “Sumut Dalam Berita”

Televisi sebagai pembawa pesan

Frekuensi penayangan acara Sumut Dalam Berita

(22)

2.3 Variabel Penelitian

Variabel berasal dari kata bahasa Inggris variable, yang berarti faktor tak

tetap atau berubah-ubah. Kemudian arti variable dalam bahasa Indonesia lebih

tepat disebut bervariasi. Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu

yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga

diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2009: 60). Berarti variabel adalah fenomena yang bervariasi dalam

bentuk, kualitas, kuantitas, mutu standar dan sebagainya. Berdasarkan kerangka

teori dan kerangka konsep yang telah dijelaskan, maka dibuat batasan variabel

penelitian agar lebih jelas penggunanya di lapangan dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 2.12 Variabel Penelitian

Variabel Indikator

Variabel (X)

Program “Sumut Dalam Berita” di LPP TVRI Siaran Sumut.

1. Komunikan: a. Perhatian

b. Penghayatan

c. Durasi

d. Frekuensi

e. Kekuasaan

f. Kepercayaan

2. Pesan: a. Struktur

b. Gaya

c. Isi

3. Media

Variabel (Y)

Kebutuhan informasi lokal pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara

1. Seleksi

2. Interpretasi

3. Reaksi

(23)

b. Usia

c. Angkatan

d. Fakultas

2.4 Definisi Operasional

Untuk mengoperasionalkan variabel, maka variabel harus dijelaskan

parameter atau indicator-indikatornya (Bungin, 2013: 70). Definisi operasional

merupakan suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur

variabel-variabel. Definisi operasional juga merupakan suatu informasi alamiah

yang sangat membantu penelitian ini yang akan menggunakan variabel yang sama

(Singarimbun, 2008: 46). Adapun yang menjadi definisi operasional dalam

penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas (X), program “Sumut Dalam Berita” di LPP TVRI Siaran Sumut

a. Program “Sumut dalam Berita”

- Kepercayaan (credibility) merupakan kepercayaan komunikan

(pembaca) kepada komunikator (Surat Kabar Harian Kompas)

yang menyangkut isi berita yang ditulis oleh jurnalist.

- Perhatian merupakan ketertarikan terhadap objek tertentu yang

menjadi target perilaku. Hal ini diilustrasikan dengan adanya

stimulus yang datang kemudian stimulus itu direspon dan

responnya berupa tersitanya perhatian individu terhadap objek

dimaksud. Dalam hal ini program “Sumut dalam Berita” di LPP

TVRI Siaran Sumut merupakan stimulus dan mahasiswa

Universitas Sumatera Utara individunya.

- Penghayatan dalam menonton program televisi meliputi

pemahaman dan penyerapan terhadap tayangan-tayangan tersebut,

kemudian dijadikan informasi baru yang disimpan sebagai

(24)

- Durasi menonton program televisi berarti membutuhkan waktu,

lamanya selang waktu yang dibutuhkan untuk menonton sebuah

program televisi. Dalam hal ini lamanya selang waktu mahasiswa

melihat program “Sumut dalam Berita” di LPP TVRI Siaran

Sumut.

- Power (kekuasaan) adalah kemampuan jurnalis mempengaruhi

pembaca melalui pembaharuan informasi yang diberitakan.

b. Pesan: segala sesuatu yang disajikan oleh Program “Sumut Dalam

Berita”.

- Struktur adalah keterpaduan pesan satu dengan yang lainnya atau

pengorganisasian pesan.

- Gaya merupakan cara menyampaiakan pesan kepada pembaca.

- Isi adalah keseluruhan yang menyangkut berita yang menjadi topik

pembahasan dalam sebuah pemberitaan.

c. Media : wahana yang digunakan untuk menyampaiakn pesan kepada

komunikan.

2. Variabel Terikat (Y), Kebutuhan informasi lokal pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara

a. Kebutuhan informasi lokal mahasiswa Universitas Sumatera Utara. b. Seleksi adalah proses penyaringan informasi oleh mahasiswa

Universitas Sumatera Utara mengenai program “Sumut dalam Berita”

serta rangsangan yang menimbulkan perhatian mahasiswa.

c. Interpretasi adalah proses di mana mahasiswa Universitas Sumatera

Utara memahami dan menerima informasi dari program berita tersebut

sehingga memiliki makna bagi mahasiswa.

d. Reaksi adalah respon yang diterima berdasarkan stimulus atau

rangsangan yang diterima oleh alat indera. Respon dalam hal ini

berkaitan dengan reaksi atau emosi terhadap program “Sumut dalam

Berita” di LPP TVRI Siaran Sumut.

3. Karakteristik Responden

a. Jenis kelamin dari mahasiswa Universitas Sumatera Utara yaitu

(25)

b. Angkatan dari mahasiswa Universitas Sumatera Utara yaitu angkatan

2012 hingga 2015 yang sudah pernah menonton program “Sumut

dalam Berita”.

c. Usia adalah tingkatan umur responden.

d. Fakultas dari mahasiswa Universitas Sumatera Utara yaitu Pendidikan

Kedokteran, Pendidikan Kedokteran Gigi, Ilmu Keperawatan, Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Ilmu

Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Pertanian, Teknik, Farmasi,

Psikologi, Ekonomi dan Bisnis, Ilmu Budaya dan Matematika dan

Gambar

Tabel Paradigma Objek Kajian Ilmu Komunikasi
Gambar 1
Gambar 2
Tabel 2.12

Referensi

Dokumen terkait

Sejarah penyiaran televisi di Indonesia dimulai dengan keberadaan TVRI.. Kemudian, pada 

1) Memiliki pola piker global, yaitu dimaksudkan kecendrungan untuk melihat dunia dengan cara tertentu, sebuah jaringan yang apabila melaluinya kita dapat melihat

Dari dunia pertelevisian apabila kita cermati dengan seksama maka akan menemui suatu kenyataan bahwa media televisi akhir-akhir ini diramaikan dengan aktivitas yang

Terlebih karena media sosial muncul beranjak dari sebuah pemahanan bagaimana media tersebut dapat menjadi sarana untuk saling bersosialisasi di dunia maya

Tindakan anda adalah cermin bagaimana anda melihat dunia. Sementara dunia anda tak lebih luas dari pikiran anda tentang diri anda sendiri. Itulah mengapa kita diajarkan

Penulis membandingkan empat berita pertama dari Oke News dengan Tribun Jogja untuk melihat bagaimana kecenderungan awal kedua kanal berita tersebut memberitakan

Melihat situasi di atas, kita atau siapapun seharusnya tidak ragu untuk mengakui ketika kita masuk ke dalam tingkah laku budaya lokal tertentu, memahaminya bahwa

Adapun permasalahan yang akan diteliti berkaitan dengan iklan politik ARB di televisi swasta adalah bagaimana makna iklan ARB versi petani di televisi swasta dan untuk