BAB III
PERLINDUNGAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN
A. Pengertian Perkawinan Campuran
R. Subekti menegaskan: “perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.89 Perkawinan
merupakan salah satu bentuk “perikatan” antara seorang pria dengan seorang
wanita.90 Perikatan tersebut diatur dalam suatu hukum yang berlaku dalam
masyarakat, yang dikenal dengan istilah “hukum perkawinan”, yakni sebuah
himpunan peraturan-peraturan yang mengatur dan memberi sanksi terhadap tingkah
laku masyarakat dalam perkawinan.91
Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap
golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan
penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum antar
golongan di bidang perkawinan, salah satunya yaitu peraturan hukum manakah yang
akan diberlakukan terhadap perkawinan antara 2 (dua) orang yang berbeda
kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran, yakni Regeling op de Gemengde Huwelijken(Stb. No. 158 Tahun 1898), yang disingkat GHR.
89Subekti,Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 23.
90Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama,cet. 3, (Jakarta: Mandar Maju, 2007), hlm. 6
91 Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi Mereka yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan
Peraturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam GHR.
Artikel 1 dari Staatblaad ini memberikan pengertian mengenai perkawinan campuran. Pengertian tersebut diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai
“perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda
dinamakan perkawinan campuran.”92 Pengertian yang demikian mengandung arti
yang sangat luas, apabila ternyata hukum yang berlaku untuk orang-orang
bersangkutan yang hendak menikah di Indonesia, maka mereka dianggap telah
melakukan perkawinan campuran, berarti termasuk juga orang-orang yang berbeda
kewarganegaraannya.93
Pasal 1 GHR menjelaskan arti perkawinan campuran adalah: “perkawinan
antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang
berlainan”.94Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti perkawinan
campuran pada perkawinan-perkawinan antar WNI atau antar penduduk Indonesia
dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan
di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran.
Perkawinan antara 2 (dua) orang yang berkewarganegaraan asing dan bukan
penduduk Indonesia yang dilaksanakan di luar Indonesia, misalnya orang Prancis dan
orang Arab. Perkawinan campuran dalam GHR termasuk pula
perkawinan-92Sudargo Gautama,Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata Internasional Sedunia,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 10 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 1).
93Sudargo Gautama,Aneka Masalah dalam Praktek Pembaruan Hukum di Indonesia,cet. 1,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 226 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 2).
94Sudargo Gautama,Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblaad 1898
perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri antara 2 (dua) orang WNI yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan atau antara seorang WNI dan seorang
asing. Akan tetapi, bila pihak atau pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau
sebagian dari hukum perkawinan KUHPerdata, maka perkawinan tersebut berlakulah
ketentuan KUHPerdata.95
Pasal 2 GHR adalah pasal yang terpenting dari seluruh GHR dan bahkan juga
dalam lapangan Hukum Antar Golongan di Indonesia karena Pasal 2 ini dengan tegas
menjunjung tinggi asas persamarataan pengharapan terhadap stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia. Karena sebelum berlakunya ketentuan Pasal 2 GHR
tersebut, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah demikian, penguasa waktu itu menyatakan bahwa
stelsel hukum Eropa mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal ini terbukti ketika di Indonesia hendak dimulai dengan perundang-undangan yang baru pada tahun 1848,
dengan mencantumkannya ketentuan yang menyatakan bahwa seorang bukan Eropa
yang hendak menikah dengan seorang Eropa harus tunduk terlebih dahulu pada
Hukum Perdata Eropa.96
Terkait mengenai asas persamarataan seperti dimuat dalam Pasal 2 GHR,
walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu dipandang secara
strict juridisch, asas ini adalah perlu untuk mencapai suatu kesatuan hukum dalam keluarga.97
95Ibid.,hlm. 61.
96Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan,(Jakarta: Ichtiar Baru-Vanhoeve, 1980), hlm.
128 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 4).
Perkawinan campuran apabila dilihat dari pandangan agama Kristen Katolik,
Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic) Buku VI Kanonik 1124 menyatakan bahwa “perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara 2 (dua) orang yang dibaptis,
yang antara 1 (satu) dipermandikan dalam gereja Katolik atau diterima di dalamnya
setelah dibaptis dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan pihak yang lain
tercatat pada gereja atau persekutuan gerejani yang tidak mempunyai persatuan penuh
dengan gereja Katolik, tanpa izin tegas dari kuasa berwenang dilarang”.98
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengertian perkawinan
campuran dalam agama Katolik adalah lebih sempit dari pengertian Pasal 1 GHR,
perkawinan campuran hanyalah perbedaan antara orang yang beragama Kristen
Katolik dengan orang yang beragama Kristen tetapi bukan Katolik.
Ketentuan dalam Kanonik 1124, seorang pemeluk agama Katolik hanya boleh
melakukan perkawinan campuran, bilamana telah memperoleh izin tegas dari kuasa
yang mempunyai wewenang (pastor/paroki/uskup) dengan memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Pihak yang beragama Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur, bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam gereja Katolik (Kanonik 1125 angka 1).
2. Mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik, hendaknya pihak yang lain diberitahukan pada waktunya sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik (Kanonik 1125 angka 2).
98 Piet Go dan O. Carm, Hukum Perkawinan Gereja Katolik Teks dan Komentar,(Malang:
3. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh dikesampingkan oleh seorang pun dari keduanya (Kanonik 1125 angka 3).99
Perkawinan campuran yang dilakukan di luar wilayah Indonesia:
1. Perkawinan di luar wilayah Indonesia antara 2 (dua) orang WNI atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan ini (Pasal 56 ayat (1)).
2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke kantor pencatat perkawinan tempat tinggal mereka (Pasal 56 ayat (2)).100
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian
perkawinan internasional sebagai berikut:
“Perkawinan internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.”
B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran telah terjadi jauh sebelum lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun dasar hukum perkawinan
campuran adalah sebagai berikut:
1. Menurut Asas-Asas Umum Hukum Perdata Internasional di Indonesia
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
yang secara khusus menghimpun dan mengatur asas dan kaidah HPI secara lengkap,
99Ibid.,hlm. 128-129.
100 Soeprijatna Anwar, “Perkawinan Campuran dalam Kaitannya dengan Undang-Undang
komprehensif dan terintergrasi. Asas dan kaidah HPI tersebar diberbagai aturan yang
terpisah-pisah. Kaidah-kaidah HPI umum yang ada dan melupakan peninggalan
sistem hukum Hindia Belanda, termuat di dalam Pasal 16, 17 dan 18 AB. Peraturan
tersebut isinya adalah sebagai berikut:101
a. Pasal 16 AB
“Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku bagi kawula Negara Belanda (para warga di wilayah terjajah), apabila ia berada di luar negeri. Akan tetapi, apabila ia menetap di Negara Belanda atau di salah satu daerah koloni Belanda, selama ia mempunyai tempat tinggal disitu, berlakulah mengenai bagian tersebut dan hukum perdata yang berlaku disana”.
Pasal ini mengatur tentang status dan kewenangan personal dari seseorang.
Asas yang digunakan dalam pasal ini adalah asasdomicile of origins. Artinya, untuk menentukan seseorang cakap atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum tertentu ukuran yang digunakan adalah ukuran yang berlaku di dalam hukum
tempat orang tersebut berasal.
b. Pasal 17 AB
“Terhadap barang-barang yang tidak bergerak berlaku undang-undang dari
negara atau tempat dimana barang-barang tersebut berada”.
Pasal ini mengatur tentang status kebendaan dari benda tetap. Asas yang
digunakan di dalam pasal ini adalah asasselexitusataulex rei sitae. Artinya, ukuran-ukuran untuk menentukan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai benda tetap, hak
101 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu,
kebendaan atas benda tetap, serta akibat hukumnya harus ditetapkan berdasarkan
sistem hukum dari benda tetap berada atau terletak.
c. Pasal 18 AB
“Bentuk setiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut
perundang-undangan dari negeri atau tempat, dimana tindakan hukum
dilakukan”.
Pasal ini mengatur tentang hukum yang seharusnya diberlakukan dalam
penetapan status dan keabsahan dari perbuatan-perbuatan atau hubungan-hubungan
hukum (yang mengandung unsur asing). Asas HPI yang digunakan di dalam pasal ini
adalah asas lex loci actus, artinya bentuk dari perbuatan hukum serta keabsahannya akan ditentukan dimana hukum dibuat. Asas ini menjadi sangat penting untuk
menentukan kualifikasi hukum dari suatu perbuatan hukum.102
Mengingat hingga saat ini Indonesia belum memiliki peraturan yang berisi
asas HPI yang menggantikan ketiga pasal AB tersebut, maka AB hingga saat ini
masih berlaku dan menjadi acuan penting untuk menentukan hukum yang berlaku
untuk menyelesaikan perkara HPI. Penjabaran lebih jauh ketiga asas tersebut akan
dibahas sebagai berikut:103
1) Status personal dan kecakapan hukum: hukum dari tempat kewarganegaraan.
Pasal 16 AB diatur dalam konteks penjajahan Belanda karena peraturan ini
ditujukan untuk menentukan status personal dari kawula Negara Belanda yang tetap
tunduk pada sistem hukum dari wilayah hukum berasal, kecuali jika ia tinggal di
Belanda atau di salah satu wilayah koloni Belanda (pada saat itu beberapa negara
jajahan Belanda lainnya adalah Suriname, Netherlands Antilles dan Curacao).
Kawula Negara Belanda akan tunduk pada hukum Belanda atau hukum negara
terjajah lainnya dimana kawula negara tersebut berada. Jika, seorang Bumi Putera
pada tahun 1921 tinggal di Amerika Serikat, penentuan status personalnya akan
tunduk pada hukum adatnya sendiri. Status hukumnya akan diatur dengan hukum
Curacao apabila seorang Bumi Putera tinggal di Curacao.
Terkait mengenai Negara Indonesia yang telah merdeka, asas yang dapat
disimpulkan dari Pasal 16 AB adalah status personal dan kecakapan bertindak dari
seorang WNI yang tunduk pada hukum Indonesia, status personal dan kecakapan
bertindak dari setiap WNA akan tunduk pada hukum dari tempat mereka berasal (asas
country of origin atau domicile of origin). Mengadopsi dari sistem yang berlaku di Belanda, di Indonesiadomicile of originini diterapkan dengan menggunakan patokan hukum dari tempat seseorang berkewarganegaraan (national principle).
2) Benda tetap: asaslex situs
Pasal 17 AB Indonesia menetukan status benda tetap diatur dengan
menggunakan asaslex situsatau lex rei sitaeyang artinya hukum dari tempat tersebut berada yang akan digunakan untuk menentukan status benda tetap.
Asas ini adalah asas yang sangat tepat, mengingat dengan ditundukkannya
penegakan atas hak benda menjadi lebih mudah dilaksanakan karena telah
sesuai dengan hukum yang berlaku di wilayah tersebut.104
Pasal 17 ini harus ditegaskan kembali bahwa hanya diberlakukan untuk
menentukan status benda tetap. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia tidak
memiliki kaidah HPI yang mengatur tentang hukum yang seharusnya berlaku
terhadap status benda bergerak. Secara doktrinal dan juga dalam praktik, asas
yang digunakan untuk menentukan status hukum dari benda bergerak adalah
asas mobilia sequuntur personam, yang menentukan keberlakuan hukum personal pemilik/penguasa benda bergerak untuk mengatur status hukum dari
benda bergerak. Penerapan asas mobilia sequuntur personam dalam menentukan status benda bergerak dapat lebih memberikan kepastian hukum
penerapan asas lex situs yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.105
3) Perbuatan hukum atau hubungan hukum: asaslex loci actus
Bentuk, formalitas dan keabsahan dari sebuah perbuatan hukum ditentukan
berdasarkan hukum dari tempat terlaksana/dilaksanakannya perbuatan hukum
(asas lex loci actus). Asas ini diturunkan dari asas locus regit actum, yang memberi kualifikasi atas bentuk perbuatan hukum atau masalah hukum
tertentu berdasarkan sistem hukum dimana perbuatan hukum atau masalah
hukum terjadi.106
2. MenurutStaatsblad1896 No. 158
Pengertian perkawinan campuran masa Pemerintahan Kolonial Besluit
Kerajaan 29 Desember 1896/158 (Regeling op de Gemengde Huwelijken, selanjutnya disingkat GHR) memberi definisi sebagai berikut: “Perkawinan dari orang-orang
yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan (Pasal 1)”. Menurut Pasal 1
GHR tersebut maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran, yaitu:
a. Perkawinan campuran internasional
Perkawinan campuran internasional selalu merupakan perkawinan campuran. Perkawinan antara warga negara dan orang asing jelas merupakan perkawinan yang berada di bawah hukum yang berlainan. Berdasarkan sebuah Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 1 September 1954, ternyata perkawinan yang dilangsungkan di Kairo antara seorang laki-laki WNI dengan seorang perempuan warga negara Mesir berdasarkan Pasal 2 dan 10 GHR merupakan perkawinan campuran.
b. Perkawinan campuran antar regio.
Perkawinan antar regio adalah perkawinan campuran sebelum tanggal 27 Desember 1949 hukum interregional ini masih mempunyai arti, tetapi sekarang hanya merupakan sejarah. Dasar dari hubungan hukum interregional itu adalah Pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetgeving selanjutnya disebut AB. Bagi kaula Belanda yang berasal dari Hindia Belanda dan berada di Negeri Belanda atau lain jajahan dari kerajaan Belanda, tetap berlaku hukum yang dikenal staat en bevoegheid, yang tengah berlaku di Belanda, kecuali bila mana ia bertempat tinggal dan menetap di negeri lain, dimana berlaku hukum setempat karena terjadi perkawinan campuran.
c. Perkawinan campuran antar tempat.
Perkawinan campuran antar tempat adalah perkawinan antara kaula negara dan kaula daerah yang memiliki pemerintahan sendiri.
d. Perkawinan campuran antar agama, adalah:
1) Antara Indonesia Nasrani dan Indonesia bukan Nasrani; 2) Antara Indonesia Islam dan bukan Islam;
3) Antara Arab Nasrani dan Arab bukan Nasrani;
4) Antara Indonesia Hindu dan bukan Hindu. e. Perkawinan campuran antar golongan
Berlaku untuk perkawinan antar golongan rakyat dari Pasal 163 IS.107
3. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan campuran merupakan perkawinan antara 2 (dua) orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
kewarganegaraan, yang mana salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan yang
lainnya berkewarganegaraan Indonesia.108 Konsep perkawinan campuran
Undang-Undang Perkawinan berlainan dengan konsep perkawinan campuran dalam Pasal 1
Staatsblad1898 Nomor 158, perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan.109
Faktor penyebab hukum yang berlainan, yaitu adanya perbedaan
kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama, sedangkan perkawinan campuran
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menekankan pada
perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya harus kewarganegaraan Indonesia.110
Aturan pelaksananya dari Undang-Undang Perkawinan juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam rangka pelaksanaan undang-undang
tersebut ditetapkan pula Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Peradilan Agama dan Petunjuk
Mahkamah Agung Nomor: MA/ Pemb/ 0807/ 75. Sementara itu, sebagai pedoman di
107Sudargo Gautama 3,Op. Cit., hlm. 8.
108Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
109Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
hlm. 104.
dalam pelaksanaannya maka digunakan Regeling op de Gemengde Huwelijken (Staatsblad 1898 No. 158), dengan ketentuan tidak bertentangan pada Pasal 2 angka (1) Undang-Undang Perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan menganut beberapa asas dalam pelaksanaan
perkawinan. Asas-asas tersebut juga berlaku bagi perkawinan campuran karena
adanya perbedaan kewarganegaraan. Adapun asas-asas yang tertuang dalam
Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut:111
a. Asas perkawinan terdaftar
Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama yang sah menurut hukum positif, apabila didaftarkan pada lembaga pencatatan perkawinan. Perkawinan yang tidak terdaftar tidak akan diakui sah menurut undang-undang yang berlaku.
b. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Sekali kawin dilakukan, berlangsunglah ia seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal jangka waktu, tidak mengenal batas waktu. Sehingga perkawinan yang bersifat sementara bertentangan dengan asas ini, apabila dilakukan juga maka perkawinan batal. c. Asas kebebasan berkehendak
Perkawinan harus berdasarkan persetujuan bebas antara seorang pria dan seorang perempuan yang akan melangsungkan perkawinan. Persetujuan bebas artinya suka sama suka, tidak ada paksaan dari pihak lain.
d. Asas monogami terbuka
Perkawinan hanya boleh dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang berarti bahwa dalam waktu yang sama seorang suami dilarang untuk kawin lagi dengan perempuan lain.
e. Asas kematangan jiwa
Perkawinan dapat dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa yaitu sudah genap 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi apabila sebelum 21 (dua puluh satu) tahun mereka akan melangsungkan perkawinan, batas umur minimal bagi wanita 16 (enam belas) tahun, bagi pria 19 (sembilan belas) tahun.
f. Asas mempersulit perceraian
Asas ini ada hubungannya dengan tujuan perkawinan kekal dan kebebasan untuk kawin. Asas ini menuntut kesadaran pihak-pihak untuk berpikir dan bertindak secara matang dan dewasa sebelum melangsungkan perkawinan.
Sekali perkawinan dilangsungkan, sulit untuk dilakukan perceraian, karena perkawinan itu kekal.
g. Asas keseimbangan
Suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Suami sebagai kepala keluarga, istri sebagai ibu rumah tangga, diantara keduanya suami istri tidak ada yang satu mempunyai kedudukan di atas di bawah yang lainnya.
Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57
Undang-Undang Perkawinan, yaitu sebagai berikut:112
“Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarga negara Indonesia. Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia”.
Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan
unsur-unsur perkawinan campuran, sebagai berikut:
a. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
b. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan;
c. Karena perbedaan kewarganegaraan; dan
d. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur
kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang
melangsungkan perkawinan. Perbedaan hukum tersebut bukan karena perbedaan
agama, suku bangsa dan golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga, yaitu
adanya perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan
kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat menyatakan bahwa
salah satu kewarganegaraan tersebut adalah kewarganegaraan Indonesia.113Tegasnya,
perkawinan campuran menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu:114
a. Seorang pria WNI kawin dengan seorang wanita WNA.
b. Seorang wanita WNI kawin dengan seorang pria WNA.
Selanjutnya dalam Pasal 59 Undang-Undang Perkawinan juga menentukan
bahwa:115
a. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
b. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 60 Undang-Undang Perkawinan, menegaskan sebagai berikut:116
Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah terpenuhi.
Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi
113Muhammad Abdulkadir,Op. Cit.,hlm. 103. 114
K. Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hlm. 46.
tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut di atas.
Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan tersebut diberikan.
Selanjutnya, dalam Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan, menyebutkan
sebagai berikut:
a. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang; b. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan
surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) undang-undang ini dihukum kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
c. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
C. Prosedur Dan Pencatatan Perkawinan Campuran
1. Pencatatan Perkawinan Campuran Yang Dilaksanakan Di Indonesia
Perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan berbeda kewarganegaraan
dalam Undang-Undang Perkawinan disebut juga sebagai Perkawinan Campuran.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, berbunyi:
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
Perkawinan campuran dapat dilaksanakan di Indonesia ataupun di luar
Indonesia (luar negeri). Apabila dilangsungkan di luar negeri maka perkawinan sah
bilamana perkawinan dilaksanakan menurut hukum negara yang berlaku, menurut di
negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.117 Sementara itu, apabila
dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran harus dilaksanakan menurut
Undang-Undang Perkawinan.118
Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan berbunyi:
“Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.”119
“Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.”120
Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, “apabila
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan bahwa
syarat-syarat untuk perkawinan campuran telah terpenuhi maka atas permintaan yang
berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak
boleh dimintakan banding lagi mengenai persoalan apakah penolakan pemberian
surat keterangan itu beralasan atau tidak.”121
117Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 118Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 119Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 120Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
121 Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Pengadilan ini adalah pengadilan menurut Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan, yaitu pengadilan agama bagi masyarakat muslim dan pengadilan umum
bagi masyarakat non muslim. Terhadap hal ini, pengadilan akan memeriksa dan
memberikan keputusan tentang penolakan tersebut apakah beralasan atau tidak,
pemeriksaannya akan menghasilkan suatu keputusan yang merupakan keputusan
pertama dan terakhir, artinya terhadap keputusan pengadilan tersebut tidak dapat
dimintakan banding berdasarkan Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan.
Perkawinan dapat segera dilangsungkan setelah surat keterangan atau putusan
pengadilan diperoleh. Pelangsungan perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agama. Berlangsungnya perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat.
Apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia, tata caranya dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sementara itu, jika
perkawinan dilangsungkan di negara pihak lainnya maka berlakulah ketentuan tata
cara menurut hukum di negara yang bersangkutan.122
Setelah surat keterangan atau putusan pengadilan diperoleh para pihak, ada
kemungkinan perkawinan tidak segera dilaksanakan. Apabila perkawinan tidak
dilaksanakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah keterangan atau putusan itu
diberikan, maka surat keterangan atau putusan pengadilan tersebut tidak mempunyai
kekuatan lagi.123
Terkait mengenai pencatatan perkawinan, perkawinan campuran dicatat oleh
pegawai pencatat yang berwenang.124 Pegawai pencatat yang berwenang bagi
masyarakat yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk (P3NTCR), sedangkan bagi masyarakat
yang bukan beragama Islam ialah Pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil.
Perkawinan campuran yang dilangsungkan tanpa memperlihatkan terlebih
dahulu surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan kepada pegawai
pencatat, maka yang melangsungkan perkawinan campuran tersebut dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.125 Pegawai pencatat perkawinan
yang mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada,
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum
jabatan.126
Adapun surat keterangan atau dokumen yang harus dipersiapkan sebelum
dilangsungkan perkawinan campuran yaitu:127
Calon mempelai yang berkewarganegaraan asing (WNA) harus memiliki surat
keterangan dari negara asalnya untuk dapat melangsungkan perkawinan di Indonesia
dan surat keterangan yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan
124Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 125Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. 126Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
127 Wawancara dengan Rahmat Ali, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan dan
orang berkewarganegaraan Indonesia. Surat keterangan tersebut dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang di negara asalnya. Selain itu harus pula melampirkan:
a. Fotokopi Surat Tanda Melapor Diri dari Kepolisian; b. Fotokopi Paspor;
c. Fotokopi Id Card;
d. Fotokopi Akta Kelahiran; dan
e. Surat Keterangan Belum Pernah Menikah yang dikeluarkan oleh negara atau perwakilan negara atau Akta Cerai bila sudah pernah kawin atau Akta Kematian istri/suami bila istri/suami meninggal.
Surat-surat tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
penerjemah yang disumpah, kemudian harus dilegalisasi oleh Kedutaan Negara WNA
tersebut yang berada di Indonesia.
Mekanisme pelayanan pernikahan yang harus dipenuhi calon mempelai WNI
pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yaitu:
a. Calon mempelai datang ke kantor kepala desa atau kelurahan untuk mendapatkan:
1) Surat keterangan untuk menikah (N1); 2) Surat keterangan asal usul (N2); 3) Surat persetujuan mempelai (N3); 4) Surat keterangan tentang orang tua (N4); 5) Surat pemberitahuan kehendak menikah (N7).
b. Calon mempelai datang ke puskesmas untuk mendapatkan:
1) ImunisasiTetanus ToxoidI bagi calon mempelai pengantin wanita; 2) ImunisasiTetanus ToxoidII;
3) Kartu imunisasi.
Setelah proses pada poin (a) dan (b) selesai, calon mempelai datang ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat, untuk:
c. Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurut model N7). Apabila calon mempelai berhalangan, pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atau wakilnya.
d. Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Pernikahan dilaksanakan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; 2) Pernikahan yang dilaksanakan di luar Dinas Kependudukan dan
pengantin di rumah (di luar kantor) sesuai ketentuan yang ditetapkan kepala kanwil masing-masing daerah;
e. Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh PPN: 1) Surat keterangan untuk nikah (Model N1);
2) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa/pejabat setingkat (Model N2);
3) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP); 4) Fotokopi Kartu Keluarga;
5) Data orang tua : KTP ayah dan ibu;
6) Persetujuan kedua calon mempelai (Model N3);
7) Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/pejabat setingkat (Model N4);
8) Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun (Model N5);
9) Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas diperlukan izin dari pengadilan;
10) Pasfoto gandeng ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar;
11) 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat dengan melampirkan fotokopi KTP.
12) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun;
13) Jika calon mempelai anggota TNI/Polri diperlukan surat izin dari atasannya atau kesatuannya;
14) Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang;
15) Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
16) Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar pengisian Model N6 bagi janda/duda yang akan menikah;
17) Surat ganti nama bagi WNI keturunan.
f. Petugas pencatatan sipil memasang pengumuman kehendak nikah (menurut model NC) selama 10 (sepuluh) hari sejak saat pendaftaran.
g. Pendeta/pastor segera menyerahkan Surat Pemberkatan Nikah kepada kedua mempelai setelah pelaksanaan pemberkatan nikah.
Kutipan Akta Perkawinan yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil setempat perlu dilegalisasi di Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkum HAM) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), serta didaftarkan di
kedutaan negara asal pasangan yang WNA. Dengan adanya legalisasi, perkawinan
sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum negara asal pasangan
yang berkewarganegaraaan asing maupun menurut hukum Indonesia.128
2. Pelaporan Perkawinan Campuran Yang Dilaksanakan Di Luar Wilayah Indonesia
Perkawinan WNI di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan
dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia (Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). WNI yang mempunyai
Akta Pencatatan Sipil yang diterbitkan oleh negara lain, setelah kembali ke Indonesia
yang bersangkutan melaporkan perkawinannya ke Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil di tempat domisilinya (Pasal 14 ayat (1) Permendagri Nomor 12
Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang
Diterbitkan Oleh Negara Lain).129
Berkas yang diperlukan untuk mendaftarkan perkawinan WNI di luar negeri
pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di wilayah Indonesia, yaitu:
128 Wawancara dengan Rahmat Ali, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan dan
Pengangkatan Anak, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam pada tanggal 11 November 2016.
129 Soeprijatna Anwar, “Perkawinan Campuran dalam Kaitannya dengan Undang-Undang
a. Akta Perkawinan dari negara asal yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan telah dilegalisasi oleh Perwakilan RI setempat;
b. Surat Keterangan Menikah dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) setempat;
c. Salinan Akta Kelahiran suami dan istri; d. Salinan KTP dan Kartu Keluarga; e. Salinan paspor suami/istri yang WNA;
f. Pasfoto gandeng ukuran 4x6 dengan latar belakang merah sebanyak 3 lembar;
Akta Perkawinan dari negara asal harus dilegalisasi oleh KBRI setempat agar
dapat digunakan di Indonesia. Sebelumnya, Akta Perkawinan harus dilegalisasi
secara berurutan oleh, sebagai berikut:
a. Kantor yang mengeluarkan Akta Perkawinan; b. Regional Register Office;
c. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) setempat;
d. Akta Perkawinan selanjutnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi;
e. Legalisasi130 oleh KBRI setempat yang mana prosesnya adalah 3 (tiga) hari kerja.
Surat pengantar dari RT/RW, Lurah atau Camat tidak diperlukan untuk
mendaftarkan Akta Perkawinan Campuran ke Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil. Para pihak langsung saja mendatangi Kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil di wilayah tempat tinggal. Pendaftaran perkawinan luar negeri di
Indonesia dilakukan selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah yang bersangkutan tiba
di Indonesia (dapat ditunjukkan dengan cap Imigrasi pada paspor).131
D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran
Secara umum ada 3 (tiga) akibat dari suatu perkawinan, yaitu:
1. Terhadap hubungan suami istri
131 Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Administrasi
Suami istri harus setia, tolong-menolong dan saling membantu, Pasal 105
KUHPerdata menyatakan bahwa:
a. Suami adalah kepala dan persatuan suami istri. b. Suami harus memberikan bantuan kepada istrinya.
c. Suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya. d. Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak rumah tangga
yang baik.
e. Suami tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan istrinya.
2. Terhadap harta kekayaan
Sejak dilangsungkannya perkawinan, demi hukum berlakulah persatuan harta
kekayaan suami istri, sejauh tentang hal ini tidak diadakan ketentuan lain
dalam perjanjian perkawinan.132 Persatuan harta kekayaan terjadi selama
perkawinan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu perjanjian
suami istri. Persatuan bulat meliputi:133
a. Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang maupun kemudian hari.
b. Penghasilan dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan. c. Utang-utang suami atau istri sebelum dan sesudah perkawinan. d. Kerugian-kerugian yang dialami sebelum perkawinan.
Terkait mengenai persatuan harta bersama, para calon suami istri dengan
perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan perundang-undangan mengenai
harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.134 Perjanjian
kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan akan
132Pasal 119 KUHPerdata.
menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian akan mulai berlaku pada
saat perkawinan berlangsung, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.135
3. Terhadap Kedudukan Anak
Dalam KUHPerdata, ada 3 (tiga) jenis anak, yaitu:
a. Anak sah
Adalah keturunan yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.136 Hal ini diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyatakan:137 “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Dengan demikian hubungan anak dan bapak merupakan hubungan yang sah.138
b. Anak luar kawin yang diakui
Adalah anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi antara mereka tidak terdapat larangan untuk kawin. Anak ini statusnya sama dengan anak sah, jika kemudian orang tuanya kawin dan dapat diakui jika tidak kawin.139 c. Anak luar kawin yang tidak diakui
Adalah anak yang dilahirkan dari ibu, tetapi antara mereka terdapat larangan untuk kawin menurut undang-undang dengan laki-laki yang membenihkannya.140 Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPerdata yang menegaskan bahwa anak yang dibenihkan dalam zinah ataupun sumbang, sekali-kali tidak boleh diakui, kecuali dengan cara dispensasi oleh Presiden dengan cara mengakuinya dalam Akta Perkawinan.141
Sementara itu, jika dikaitkan dalam perkawinan campuran, kedudukan anak
akibat perkawinan campuran diatur dalam Pasal 11 GHR yang menegaskan sebagai
berikut:
“Anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran yang dilangsungkan
menurut kedudukan hukum-hukum yang dulu mempunyai kedudukan hukum
menurut kedudukan hukum ayah mereka, baik terhadap hukum publik
maupun hukum sipil”.
Perkawinan campuran di Indonesia melibatkan salah satu pihak WNA
sehingga tunduk pada 2 (dua) yurisdiksi hukum yang berbeda, maka disini timbul
permasalahan, bagaimana status kewarganegaraan anak-anak yang lahir dari
perkawinan campuran.
Dari uraian di atas, kedudukan anak di dalam perkawinan campuran sangat
ditentukan oleh kewarganegaraan ayahnya. Dengan ketentuan anak harus dilahirkan
dalam atau akibat perkawinan yang sah. Jika perkawinan tidak dilakukan dalam
perkawinan yang sah, anak hanya mengikuti hubungan keperdataan dengan ibunya.
Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami
perubahan yang cukup signifikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006. Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini telah diberlakukan
oleh Presiden sejak tanggal 1 Agustus 2006.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12
Tahun 2006, Indonesia berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
yang berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa hal yang diatur dalam
Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama adalah mengenai ketentuan-ketentuan siapa
yang dinyatakan berstatus Warga Negara Indonesia (WNI), naturalisasi,
kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan siapa yang dinyatakan berstatus orang
asing.142
Penjelasan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006
disebutkan bahwa, Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 secara
filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.143
Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung
ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain karena bersifat
diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antara warga
negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan
anak-anak.144
Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut
adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950) yang
sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 yang menyatakan
kembali ke UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami
perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap HAM dan hak warga
negara.145
Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
142 Mulyadi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1997), hlm. 7.
143Abdulkadir Muhammad,Op. Cit.,hlm. 103. 144Ibid.
internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan
perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan
dan keadilan jender.146
Terkait mengenai perkawinan campuran di Indonesia, masalah yang sering
terjadi di dalamnya adalah mengenai kewarganegaraan anak. Undang-Undang
Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 menganut prinsip kewarganegaraan
tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki 1
(satu) kewarganegaraan yang dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang
harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan
persoalan karena untuk tetap tinggal di Indonesia orang tuanya harus terus-menerus
memperpanjang izin tinggalnya. Persoalan lainnya apabila perkawinan orang tua
putus, ibu akan kesulitan mendapatkan pengasuhan anak yang WNA.147
Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 tidak lagi
mengatur demikian. Khusus untuk anak-anak yang lahir dari pasangan yang
melakukan perkawinan campuran, berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan untuk
berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah menikah. Setelah anak-anak berkewarganegaraan ganda berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah menikah, kewarganegaraannya harus segera dipilih,
apakah mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau menjadi Warga Negara Indonesia
146Ibid.
147 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Status Hukum Kewarganegaraan Anak
(WNI). Pernyataan untuk memilih harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun
setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah.148
Undang-Undang Kewarganegaraan ini juga mengatur bahwa anak yang sudah
lahir sebelum undang-undang ini disahkan dan belum berusia 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah adalah termasuk WNI. Caranya yaitu dengan mendaftarkan
diri kepada Menteri melalui pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling
lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 disahkan.149
Anak yang memperoleh kewarganegaraan ganda tidak hanya diperoleh oleh
anak yang lahir dari perkawinan yang sah, tetapi kewarganegaraan ganda juga
berlaku untuk anak luar kawin, Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.yaitu:150
“Anak WNI yang lahir di luar perkawinan sah, belum berusia 18 (delapan
belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI”.
Beberapa aspek hukum terhadap anak luar kawin, yaitu aspek dari ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata. Pasal
43 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan kerabat ibunya. Jika anak
tersebut mendapat pengakuan dari ayahnya dan dikaitkan dengan ketentuan hukum
148 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Status Hukum Kewarganegaraan Anak
Hasil Perkawinan Campuran”, diakses melalui http://www.kpai.go.id/artikel/status-hukum-kewarganegaraan-anak-hasil-perkawinan-campuran/, tanggal 14 Desember 2016, pukul 05.20 WIB.
149Libertus Jehani dan Atanasius Harpen,Hukum Kewarganegaraan,(Bandung: Citra Adytia
Bakti, 2006), hlm. 8.
perdata maka anak tersebut secara perdata mempunyai hubungan hukum dengan ayah
tetapi tidak dengan keluarga ayahnya.”151
Terkait tentang status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran,
berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, anak yang
lahir dari perkawinan seorang perempuan WNI dengan laki-laki WNA, maupun anak
yang lahir dari perkawinan seorang laki-laki WNA dengan perempuan WNI, kini
sama-sama telah diakui sebagai WNI. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda
dan setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah maka ia harus
menentukan pilihannya dengan membuat pernyataan. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor
12 Tahun 2006 yang berturut-turut berbunyi sebagai berikut:
“Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan”.152
“Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin”.153
Kewarganegaraan ganda terjadi apabila pasangan suami istri yang berbeda
kewarganegaraan tetap mempertahankan kewarganegaraannya masing-masing, tetapi
status kewarganegaraan anaknya dapat menjadi tunggal dalam hal:
a. Pasangan suami istri berbeda kewarganegaraan menjadi WNI, apabila suami/istri yang berkewarganegaraan asing memilih untuk menjadi WNI. Apabila hal ini terjadi maka anak-anak yang lahir sudah tentu
151Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Op. Cit.,hlm. 13.
berkewarganegaraan Indonesia. Dari segi hukum, keadaan yang demikian memberikan dampak positif. Ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 yang menyebutkan antara lain: keturunan dipakai sebagai dasar untuk menentukan kewarganegaraan. Suatu hal yang wajar apabila suatu negara menganggap seorang anak sebagai warga negaranya, dimanapun ia dilahirkan, apabila orang tuanya merupakan warga negara dari negara tersebut.154
b. Jika suami/istri berkewarganegaraan Indonesia mengikuti kewarganegaran pasangannya yang WNA maka oleh karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang menganut asas ius sanguinis (asas keturunan) sebagai dasar untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang, sudah tentu anak-anak yang terlahir dari orang tua yang berkewarganegaraan asing adalah termasuk WNA. Kecuali bila Undang-Undang Kewarganegaraan dari negara orang tuanya tidak dapat menerima anak tersebut menjadi warga negaranya, misalnya karena undang-undang tersebut mengandung asasius soli(tempat kelahiran) untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.
c. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, anak tersebut menjadi WNI apabila lahir di dalam wilayah NKRI. Kenyataan dalam hal ini di Indonesia jarang sekali terjadi bahkan hampir tidak ada karena anak bagi orang tua merupakan permata hati yang tak ternilai harganya. Apabila anak masuk kewarganegaraan lain, semua harta milik orang tua tidak dapat dimiliki oleh anak setelah nantinya orang tua tiada.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif
bagi anak-anak hasil perkawinan campuran dan ini dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan anak. Dengan demikian orang tua tidak perlu lagi mengurus izin tinggal
bagi anak-anaknya. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 6 Undang-Undang
Kewarganegaraan, bahwa status kewarganegaraan Indonesia terhadap anak, yaitu:
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI.
154 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,
c. Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya adalah WNI.
d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI.
Terobosan lain dari Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun
2006 adalah anak yang berkewarganegaran ganda berhak mendapatkan akta kelahiran
di Indonesia dan juga akta kelahiran dari negara lain dimana anak tersebut diakui
sebagai warga negara. Dengan demikian, ia berhak mendapat pelayanan publik di
Indonesia seperti warga negara lainnya termasuk untuk memperoleh pendidikan. Hal
ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan, jangankan untuk mendapatkan akta kelahiran, apabila izin
tinggalnya telah melewati batas ketentuan, ia diusir secara paksa dari wilayah
NKRI.155
WNA yang menikah secara sah dengan WNI dapat memperoleh
kewarganegaraan Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi WNI di
hadapan pejabat, pernyataan tersebut dilakukan apabila yang bersangkutan sudah
bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut. Hal ini diatur dalam Pasal
19 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006156
155Ibid.,hlm. 14.
Pasal 26 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006
menegaskan:
“Perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut”.157
Secara subtansial dan konseptual, Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor
12 Tahun 2006 ini mencerminkan usaha serius Indonesia untuk memberikan
perlindungan bagi kepentingan kaum perempuan yang menikah dengan WNA dan
anak-anak dari hasil perkawinan campuran serta telah menghapus aturan
kewarganegaraan yang bersifat diskriminatif.
E. Tinjauan Umum Tentang Anak Dan Anak Luar Kawin
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti.
Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak mewarisi tanda-tanda
kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk.158
Secara umum kata “anak” dalam Hukum Keluarga mengandung 2 (dua)
pengertian dasar, yaitu: anak dalam pengertian orang yang belum dewasa dan anak
dalam pengertian orang yang memiliki hubungan hukum dengan ibu atau kedua orang
tuanya baik karena dilahirkan olehnya atau karena memperoleh status sebagai anak.
157Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, mengenai pengertian anak juga
belum terdapat keseragaman. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
pengertian anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) adalah “Seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.159Batasan umur 18 (delapan belas) tahun pada Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 berbeda dengan batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan
bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
dan belum pernah kawin”.160
Hukum Adat tidak mengenal usia tertentu untuk mengatakan apakah seorang
belum atau sudah dewasa. Hal ini tergantung pada keadaan dalam mana dilihat
apakah seorang anak sudah matang untuk bersetubuh dengan seorang dari jenis
kelamin lain(geslachtsrijp) atau apakah seorang anak itu sudah cukup “kuat gawe” (kerja) untuk mencari nafkah sendiri secara menggarap sawah atau sebagainya. Dan
biasanya ini terjadi pada usia lebih kurang 16 (enam belas) tahun”.161
159 Pasal 1 ayat (1) Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
160 Penjelasan: batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan
pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ini mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.
161
Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa yang dinamakan orang belum
dewasa (minderjarig) adalah orang-orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin. Apabila ia sebelum berusia 21 (dua puluh satu) tahun
melakukan perkawinan dan perkawinannya putus juga sebelum ia berusia 21 (dua
puluh satu) tahun maka ia tetap dianggap sudah dewasa (meerderjarig). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas memberikan
pengertian tentang istilah “anak luar kawin” tetapi hanya menjelaskan pengertian
anak sah dan kedudukan anak luar kawin. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42162dan
Pasal 43163.
Dilihat dari bunyi pasal di atas kiranya dapat ditarik pengertian bahwa anak
luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan hanya memiliki
hubungan keperdataan dengan ibunya saja. Menurut KUHPerdata, anak luar kawin
merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan di luar pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar kawin tentunya
akan melekat pada anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut.
Pengertian anak luar kawin dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu sebagai
berikut:
1. Anak luar kawin dalam arti luas adalah anak luar perkawinan karena
perzinahan dan sumbang.
162 Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
163 Pasal 43: (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar kawin
antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya
terikat pernikahan dengan orang lain, sedangkan anak sumbang adalah anak
yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang
antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk
saling menikahi.
Sebagaimana diketahui, Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan melarang
perkawinan antara 2 (dua) orang yang:164
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah.
2. Anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah.
Orang tua biologis dari anak luar kawin dapat menikah satu sama lain.
Akibat dari perkawinan ini maka kedudukan hukum anak luar kawin menjadi
sama dengan anak sah. Akan tetapi kalau kedua orang tua biologis anak luar
kawin tidak menikah maka hubungan hukum antara ayah biologis dengan
anak luar kawin baru ada setelah ayah biologis mengakuinya secara formil
atau karena suatu Putusan Hakim.
F. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan Yang Telah Disahkan.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari
Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi anak.hukum.165
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memenuhi rasa keadilan
dan dalam tataran yuridis bertentangan dengan hak warga negara yang dijamin oleh
konstitusi (UUD 1945) yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.166
Salah satu fakta ketidakadilan hukum yang diterima oleh anak luar kawin
adalah dalam akta kelahirannya tidak tercantum atau menyebut nama ayahnya.
Adanya fakta yang demikian selain membawa dampak psikologis bagi anak juga
165 Sri Budi Purwaningsih, “Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010”, Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, diakses melalui http://journal.umsida.ac.id, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.39 WIB.
166 Sri Budi Purwaningsih, “Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
melanggar hak-hak anak untuk mengetahui asal usul orang tuanya. Apalagi
pandangan masyarakat umumya memberikan stigma negatif terhadap anak luar
kawin. Oleh karena itu, terlepas dari soal prosedur administrasi perkawinan, anak
yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka
yang dirugikan adalah anak luar kawin, padahal anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya.167
Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010
tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, membawa
terobosan hukum berupa perlindungan hukum terhadap kedudukan anak luar kawin
biasa maupun anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda
kewarganegaraan. Kedudukan anak luar kawin status hukumnya menjadi sejajar
dengan anak sah, sehingga anak luar kawin mempunyai hubungan hukum (hak
keperdataan) dengan ayah (biologis) dan keluarga ayahnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak
(Convention on the Rights of Child)yang mengatur bahwa “anak akan didaftar segera setelah lahir dan akan punya hak sejak lahir atas nama, hak untuk memperoleh suatu
kebangsaan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang
tuanya”. Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak mengatur bahwa “setiap anak berhak untuk mengetahui orang
167 Sri Budi Purwaningsih, “Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”, termasuk hak anak untuk
mengetahui identitas kedua orang tuanya.168
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010
bahwa diakuinya anak luar kawin yang terlahir dari perkawinan di bawah tangan,
status hukumnya sama sebagai anak sah apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (hasil test DNA) sehingga demi hukum anak luar kawin
dapat menuntut hak-hak keperdataannya kepada ayah biologisnya, terutama yang
terkait dengan kewajiban nafkah untuk kebutuhan hidup oleh orang tua terhadap
anak.169
Globalisasi di bidang informasi, ekonomi, pendidikan dan transportasi
menyebabkan batas negara bukan lagi halangan untuk berinteraksi. Hal tersebut
berdampak semakin meningkatnya perkawinan antar bangsa yang terjadi hampir di
seluruh dunia. Perkawinan pasangan beda kewarganegaraan yang paling banyak
terjadi adalah perkenalan melalui internet, kemudian teman kerja atau teman bisnis,
berkenalan saat berlibur, dan sebagainya.170
Perkawinan campuran di Indonesia dapat terjadi dalam 2 (dua) bentuk yaitu:
Pertama, perempuan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) yang
168 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas,
Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, (Jakarta: Kaifa, 2012), hlm. 220.
169 Sri Budi Purwaningsih, “Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/ PUU-VIII/ 2010”, Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, diakses melalui http://journal.umsida.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.39 WIB.
170 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam
menikah dengan laki-laki Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA); dan
Kedua, laki-laki WNI menikah dengan perempuan WNA. Faktor perbedaan kewarganegaraan di antara para pihaklah yang kemudian membedakan suatu
perkawinan campuran dengan perkawinan yang bersifat intern. Perbedaan kewarganegaraan tersebut tidak saja terjadi saat awal dimulainya suatu perkawinan
campuran, tetapi dapat berlanjut setelah terbentuknya suatu keluarga perkawinan
campuran.171
Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia Nomor 62 Tahun 1958 (yang
selanjutnya disebut Undang Kewarganegaraan lama) maupun
Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 (yang selanjutnya
disebut Undang-Undang Kewarganegaraan baru) tidak memberikan status
kewarganegaraan Indonesia secara otomatis bagi perempuan WNA yang menikah
dengan laki-laki WNI, tetapi apabila perempuan WNA tersebut ingin menjadi WNI
maka ia harus mengajukan permohonan resmi sesuai peraturan yang berlaku.
Demikian juga perempuan WNI yang menikah dengan seorang laki-laki WNA dapat
tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesia, bila ia hendak mengikuti
kewarganegaraan suami menjadi WNA, maka perempuan tersebut diharuskan untuk
mengajukan permohonan sesuai peraturan yang berlaku seperti tertuang dalam Pasal
7 dan 8 Undang-Undang Kewarganegaraan lama, dan Pasal 26 Undang-Undang
171Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam
Kewarganegaraan baru. Hal tersebut dapat menimbulkan perbedaan kewarganegaraan
dalam keluarga suatu perkawinan campuran.172
Perbedaan kewarganegaraan tidak saja terjadi antara pasangan suami istri
dalam suatu perkawinan campuran, tetapi juga terjadi pada anak-anak hasil
perkawinan campuran. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan lama,
kewarganegaraan untuk anak dari pasangan suami istri yang berbeda
kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan ayahnya, apabila anak yang lahir
pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan ibunya WNI dan ayahnya WNA,
anak tersebut secara otomatis menjadi WNA, sehingga terjadi perbedaan
kewarganegaraan antara anak yang lahir tersebut dengan ibunya yang WNI.173
Perbedaan kewarganegaraan antara anak WNA dengan ibunya WNI
menimbulkan banyak masalah hukum, baik selama masa perkawinan campuran itu
berlangsung maupun setelah putusnya perkawinan campuran. Terdapat banyak kasus
yang muncul, dimana Undang-Undang Kewarganegaraan lama tidak dapat
melindungi anak-anak yang lahir dari seorang ibu WNI suatu perkawinan campuran,
teristimewa saat putusnya perkawinan dan anaknya yang WNA harus berada dalam
172Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani,
“Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB.
173Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam
pengasuhan ibunya WNI serta bertempat tinggal di Indonesia yang notabene merupakan negara ibunya sendiri.174
Setelah Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru diundangkan, aturan ini
memberikan kewarganegaraan ganda hanya terbatas pada anak-anak hasil perkawinan
campuran sampai anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah menikah, setelah itu ia
harus memilih salah satu untuk menjadi kewarganegaraannya. Hal ini juga berlaku
untuk anak luar kawin dari pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan yang
diakui.175
Status kewarganegaraan ganda yang dianut dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan yang baru merupakan terobosan untuk mengatasi permasalahan
yang timbul dalam perkawinan campuran, maupun setelah putusnya perkawinan
campuran, dimana terdapat perbedaan kewarganegaraan antara orang tua dan
anak-anak hasil perkawinan itu.176
Seiring dengan melekatnya kewarganegaraan ganda terbatas pada anak hasil
perkawinan campuran, maka anak tersebut tunduk pada dua yurisdiksi dari 2 (dua)
negara yang terkait kewarganegaraan dari kedua orangtuanya, sehingga menimbulkan
174Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani,
“Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB.
175Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani,
“Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB.
176Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani, “Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam
permasalahan hukum di bidang Hukum Perdata Internasional, yaitu hukum dari
negara mana yang berlaku atas status personalnya.
Menurut Teori Hukum Perdata Internasional (HPI) untuk menentukan status
anak dan hubungan antara anak dan orangtua perlu dilihat lebih dahulu, perkawinan
orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan perkawinan orang
tuanya sah, bila anak lahir dalam suatu perkawinan yang sah maka bila salah satu atau
kedua orang tuanya meninggal maka anak adalah ahli waris.177
Berdasarkan yurisprudensi dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) baik di
Belanda maupun di Indonesia, hukum yang berlaku mengenai warisan adalah hukum
nasional dari pewaris. Terkait kewarganegaraan ganda anak dari pasangan suami istri
yang berbeda kewarganegaraan, bila salah satu orang tuanya, yaitu ibunya WNI atau
ayahnya WNI meninggal dunia, tentunya anak-anak tersebut merupakan ahli waris
ibu atau ayahnya yang adalah WNI.178
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru menggantikan Undang-Undang
Kewarganegaraan yang lama mulai diundangkan tertanggal 1 Agustus tahun 2006.
Kehadiran Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru disambut penuh antusias
oleh pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan karena anak-anak yang
lahir dari suatu perkawinan pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan tetap
177 Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani,
“Kewarganegaraan Ganda Anak Dalam Perkawinan Campuran Dan Implikasinya Dalam Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/, pada tanggal 22 Desember 2016, pukul 11.54 WIB.
178