• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Persepsi Dukungan Organisasi Terhadap Work-Life Balance (The Influence of Perceived Organizational Support toward Work-Life Balance)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Persepsi Dukungan Organisasi Terhadap Work-Life Balance (The Influence of Perceived Organizational Support toward Work-Life Balance)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI A. WORK-LIFE BALANCE

1. Definisi Work-Life Balance

Marks and MacDermid (1996) menjelaskan work-life balance sebagai

kecenderungan individu untuk sungguh-sungguh terikat dalam menampilkan

performa di setiap peran yang dijalaninya. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan oleh Greenhaus, Collins dan Shaw (2003) bahwa work-life balance

merupakan sejauh mana individu merasa terikat dan puas terhadap kehidupan

pekerjaan dan kehidupan keluarganya serta mampu menyeimbangkan tuntutan

pekerjaan dan keluarga. Purohit (2013) menambahkan, work-life balance

merupakan sebuah konsep keseimbangan peran antara karir dan gaya hidup, yaitu

kesehatan, kebahagiaan, keluarga dan pengembangan spiritual. Dalam

penelitiannya dikatakan bahwa work-life balance terjadi ketika individu dapat

menciptakan peran yang tepat di tempat kerja dan di keluarga dengan tingkat

konflik peran yang rendah.

Menurut Clark (2000), work-life balance merupakan kepuasan yang

dirasakan individu dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan keluarga dengan

meminimalkan konflik yang mungkin muncul akibat pemenuhan kedua tuntutan

peran tersebut. Work-life balance juga dipandang sebagai bentuk pemenuhan

peran pekerjaan dan keluarga dengan orang-orang yang terkait dalam pemenuhan

(2)

Milner (2009) menyatakan bahwa work-life balance meliputi manajemen waktu

karyawan, konflik antar peran dan perhatian terhadap keluarga.

Work-life balance mengandung tiga unsur penting, yaitu pengaturan total

waktu jam kerja, tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan pengasuhan

anak. Ketika peran keluarga dilaksanakan dengan baik, maka tempat kerja akan

menjadi tempat yang menyenangkan dan karyawan cenderung terhindar dari

konflik (McDonald, Brown & Bradley, 2005; Gregory & Milner 2009). Hal ini

sejalan dengan yang dikatakan oleh Purohit (2013) bahwa karyawan yang mampu

mengatur jam kerja dan mengurus rumah tangga dengan baik akan memiliki work

engagement terhadap organisasi sehingga karyawan akan menampilkan performa

kerja yang terus meningkat.

Work-life balance merupakan sejauh mana individu mampu secara

bersamaan menyeimbangkan tuntutan temporal, emosional dan perilaku dalam

dua tuntutan peran yaitu pekerjaan dan tanggung jawab keluarga (Hill, 2001;

Lyness & Kropf, 2005). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh

Deivasigamani dan Sankar (2014) bahwa work-life balance mengacu pada sebuah

keseimbangan peran antara pekerjaan dan kehidupan dengan kemunculan konflik

peran yang minim.

Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa work-life

balance adalah suatu keadaan dimana individu merasa terikat dan puas terhadap

kehidupan pekerjaan dan kehidupan keluarganya, mampu menyeimbangkan

(3)

motivasi, performa kerja, produktivitas dan loyalityas dalam mencapai

keberhasilan dan kesejahteraan.

2. Aspek-aspek Work-Life Balance

Greenhaus, Collins dan Shaw (2003) mengidentifikasikan tiga aspek

work-life balance, yaitu:

a. Time Balance

Keseimbangan jumlah waktu yang dihabiskan individu untuk memenuhi

tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga. Dalam hal ini, keseimbangan waktu

yang dimiliki oleh karyawan menentukan jumlah waktu yang dialokasikan oleh

karyawan pada pekerjaan maupun kehidupan pribadi mereka dengan keluarga.

Dengan demikian, karyawan tidak merasa terbebani oleh pekerjaan yang dapat

mengurangi waktu mereka berkumpul bersama keluarga. Selain itu, karyawan

juga tetap dapat menyelesaikan pekerjaannya secara profesional tanpa adanya

tuntutan keluarga yang terlalu menyita waktu mereka.

b. Involvement Balance

Keseimbangan keterlibatan psikologis individu dalam memenuhi tuntutan

peran dalam pekerjaan dan keluarga. Dalam hal ini, ketika karyawan dapat terlibat

secara fisik dan emosional dalam pekerjaan dan keluarganya, maka involvement

balance akan tercapai.

c. Satisfaction Balance

Keseimbangan kepuasan individu terhadap tuntutan peran dalam pekerjaan

(4)

menganggap bahwa apa yang telah dilakukannya selama ini cukup baik dan dapat

mengakomodasi kebutuhan pekerjaan maupun keluarga.

Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek work-life balance adalah time

balance, involvement balance dan satisfaction balance.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work-Life Balance

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi work-life balance, yaitu:

a. Emotional Intelligence

Mayer dan Salovey (1997) menyatakan bahwa emotional intelligence adalah

kemampuan untuk memahami, mengakses dan menghasilkan emosi untuk

membantu pikiran, pengetahuan emosional dan pertumbuhan intelektual. Dalam

hal ini dijelaskan bahwa emotional intelligence berperan penting dalam

meningkatkan work-life balance seseorang. Menurut Gardner & Goleman (1998),

karyawan yang menggunakan emotional intelligence akan mampu bekerja dalam

tim, mengurangi stres, merasa termotivasi dalam bekerja, mengembangkan

empati, memiliki komunikasi yang baik dengan rekan kerja serta dapat mengatur

waktu, memenuhi kebutuhan dan membangun hubungan yang baik dengan

anggota keluarga.

b. Spiritual Intelligence

Spiritual intelligence memiliki banyak efek pada kehidupan individu,

terutama di tempat kerja dan di keluarga (Sum, 2005). Menurut Emmons (2000),

individu yang memiliki spiritual intelligence mampu memanfaatkan sumber daya

(5)

motivasi untuk menyeimbangkan peran di tempat kerja dan di keluarga sehingga

individu dapat meningkatkan work-life balance (Tekkeveettil, 2005).

c. Job Engagement

Job engagement adalah keadaan dimana individu secara emosional dan

intelektual berkomitmen untuk organisasi yang tampak melalui produktivitas dan

loyalitas terhadap organisasi (Jawaharrani & Susi, 2010). Schaufeli, Salanova,

Gonzalez-Roma dan Bakker (2002) secara khusus mendefinisikan job engagement

sebagai pemenuhan pekerjaan yang terkait dengan pikiran yang dilakukan dengan

semangat dan dedikasi yang tinggi. Jawaharrani & Susi (2010) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara job

engagement dan work-life balance pada karyawan. Dalam hal ini, karyawan yang

terikat dengan pekerjaannya cenderung memiliki komitmen dan dedikasi yang

tinggi dalam pekerjaan sehingga mereka akan mampu mengelola work-life

balance yang baik (Jawaharrani & Susi, 2010).

d. Organizational Support

Work-life balance tidak hanya menjadi tanggung jawab karyawan, tetapi

juga organisasi. Dalam hal ini, organisasi berperan untuk membantu karyawan

dalam menyeimbangkan peran di tempat kerja dan keluarga dengan cara

memberikan dukungan yang diperlukan karyawan untuk mempertahankan

work-life balance mereka (Eisenberger, Huntington, Hutchison & Sowa, 1986).

Organisasi yang memberikan dukungan berarti menghargai kontribusi karyawan

dan peduli terhadap kesejahteraan mereka (Eisenberger, dkk, 1986). Di sisi lain,

(6)

dukungan melalui program dan kebijakan yang menekankan pada work-life

balance karyawan (McCarthy, Cleveland, Hunter, Darcy, & Grady, 2013). Dalam

penelitian ini dijelaskan bahwa upaya tersebut memiliki dampak positif terhadap

work-life balance karyawan (McCarthy, dkk, 2013).

e. Work Overload

Work-overload merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi

work-life balance. Leiter & Schaufeli (1996) menyatakan bahwa karyawan yang

mengalami work-overload cenderung merasa kelelahan sehingga mempengaruhi

motivasi karyawan dalam menanggapi tuntutan peran yang lain, seperti keluarga.

Menurut Aryee, Srinivas & Tan (2005), ketika karyawan bekerja terlalu keras,

mereka cenderung tidak memberikan hasil yang baik. Vogel (2012) dalam

penelitiannya menambahkan bahwa karyawan yang kelebihan beban pekerjaan

sering merasa frustrasi dan merasa bahwa mereka tidak mampu menyeimbangkan

peran di tempat kerja dan keluarga dengan baik.

f. Technology Advancement

Menurut Lester (1999), technology advancement baik untuk membantu

menyelesaikan pekerjaan secara fleksibel karena dapat diakses dengan mudah dan

cepat. Namun dalam penelitiannya juga dijelaskan bahwa teknologi dapat

menghambat work-life balance seseorang karena waktu dan peran di keluarga

menjadi berkurang (Lester, 1999). Stephens, McGowan, Stoner, dan Robin (2007)

menyatakan bahwa teknologi membuat beberapa kehidupan kurang fleksibel dan

(7)

didukung oleh Waller dan Ragsdell (2012) yang menemukan bahwa teknologi

memiliki dampak negatif pada karyawan di luar jam kerjanya.

Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi

work-life balance adalah emotional intelligence, spiritual intelligence, job engagement,

organizational support, work overload dan technology advancement.

B. PERSEPSI DUKUNGAN ORGANISASI

1. Definisi Persepsi Dukungan Organisasi

Rhoades dan Eisenberger (2002) mendefinisikan bahwa persepsi dukungan

organisasi merupakan sejauh mana organisasi menghargai kontribusi dan

memperhatikan kesejahteraan mereka di tempat kerja. Sejalan dengan itu, Sihag &

Sarikwal (2015) menambahkan bahwa persepsi dukungan organisasi berkaitan

dengan pemenuhan kebutuhan sosial dan emosional karyawan. Karyawan dengan

tingkat persepsi dukungan organisasi yang tinggi cenderung menampilkan

perilaku positif di tempat kerja yang ditandai dengan meningkatnya performa

kerja, komitmen terhadap organisasi serta timbulnya harapan bahwa pekerjaan

mereka akan terus dihargai di organisasi (Beheshtifar, Ali-Nezhad &

Nekoie-Moghadam, 2012).

Rozaini, Norailis & Aida (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa

dukungan organisasi merupakan salah satu konsep organisasi yang paling penting

dan berperan sebagai kunci dalam meningkatkan kepuasan kerja pada karyawan.

Hal ini ditandai dengan meningkatnya loyalitas dan kepercayaan diri karyawan

dalam menyelesaikan pekerjaan di organisasi (Afzali, Motahari &

(8)

semakin karyawan merasa didukung dan dihargai dalam organisasi, maka

karyawan akan semakin mampu mengembangkan self-efficacy dan melakukan

pekerjaan dengan semangat serta dedikasi yang tinggi. Persepsi dukungan

organisasi membuat karyawan menjadi mampu menyelesaikan pekerjaannya

dengan baik, bekerjasama dengan rekan kerja, memenuhi harapan atasan serta

memanfaatkan keterampilan dan pengetahuannya secara aktif (Yan, 2015).

Berdasarkan uraian definisi di atas, persepsi dukungan organisasi adalah

suatu keadaan dimana karyawan merasa bahwa organisasi menghargai kontribusi

dan memperhatikan kesejahteraan mereka dalam mencapai kebutuhan sosial dan

emosional, kerja sama yang baik antar rekan kerja, peningkatan perilaku positif di

tempat kerja yang ditandai dengan peningkatan performa kerja, komitmen,

kepuasan kerja, kepercayaan diri, self-efficacy, semangat serta dedikasi dalam

menyelesaikan pekerjaannya dengan baik sehingga dapat memenuhi harapan

atasan serta memanfaatkan keterampilan dan pengetahuannya secara aktif.

2. Aspek-aspek Persepsi Dukungan Organisasi

Rhoades dan Eisenberger (2002) mengidentifikasikan tiga aspek persepsi

dukungan organisasi, yaitu:

a. Keadilan

Sejauh mana karyawan merasa bahwa mereka akan diperlakukan secara adil

oleh organisasi. Keadilan prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk

menentukan distribusi sumber daya di antara karyawan (Greenberg, 1990). Shore

(9)

tentang distribusi sumber daya akan memiliki efek yang kuat terhadap persepsi

dukungan organisasi dengan menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan

karyawan. Cropanzano dan Greenberg (1997) membedakan dua aspek keadilan

prosedural, yaitu struktural dan sosial. Aspek struktural melibatkan aturan formal

dan kebijakan mengenai keputusan yang mempengaruhi karyawan, termasuk

pemberitahuan yang cukup sebelum keputusan diimplementasikan, penerimaan

informasi yang akurat dan suara (yaitu, masukan karyawan dalam keputusan

proses). Aspek sosial disebut juga keadilan interaksional, berkaitan dengan cara

organisasi memperlakukan karyawan dengan bermartabat dan hormat. Andrews &

Kacmar (2001) mendefinisikan keadilan prosedural sebagai perlakuan yang adil

secara keseluruhan.

b. Dukungan yang diterima dari atasan

Sejauh mana karyawan merasa bahwa atasan menghargai kontribusi mereka

dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Atasan memiliki tanggung jawab

untuk mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan dimana hal ini merupakan

indikasi dari adanya dukungan organisasi (Eisenberger et al, 1986;. Levinson,

1965). Karyawan memahami bahwa evaluasi yang dilakukan oleh atasan terhadap

bawahan merupakan suatu bentuk kepatuhan terhadap pimpinan organisasi serta

merupakan suatu hal positif yang dapat dipersepsikan sebagai dukungan terhadap

(10)

c. Penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan

Shore dan Shore (1995) mengemukakan bahwa kontribusi karyawan

berhubungan positif dengan persepsi dukungan organisasi, seperti adanya

pengakuan dari atasan dan terciptanya kondisi kerja yang nyaman dan aman bagi

karyawan. Bentuk penghargaan yang diberikan oleh organisasi terhadap karyawan

dapat berupa gaji, tunjangan, promosi, keamanan kerja dan pelatihan.

Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek persepsi dukungan organisasi

adalah keadilan, dukungan yang diterima dari atasan dan penghargaan organisasi

dan kondisi pekerjaan.

3. Dampak Persepsi Dukungan Organisasi

Thakur dan Kumar (2015) menjelaskan beberapa dampak persepsi

dukungan organisasi, yaitu:

a. Kesejahteraan Psikologis

Persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi akan memberikan dampak

positif terhadap kesejahteraan psikologis karyawan. Karyawan akan merasa

bahwa kontribusi pekerjaannya dihargai oleh organisasi sehingga karyawan akan

menghasilkan emosi dan pikiran positif di tempat kerja dengan cara menciptakan

hubungan yang baik dengan atasan dan rekan kerja, mengatur waktu dengan baik

dan mampu menuntaskan pekerjaan dengan baik.

b. Komitmen organisasi

Karyawan yang merasa didukung, dihargai dan diperhatikan dalam

(11)

memanfaatkan keterampilan dan pengetahuannya secara aktif. Karyawan akan

bekerja dengan semangat dan dedikasi yang tinggi, hal ini berarti bawha

komitmen karyawan terhadap organisasi semakin meningkat.

c. Performa kerja

Karyawan yang merasakan adanya dukungan dari organisasi akan

termotivasi dalam bekerja sehingga karyawan cenderung menampilkan perilaku

positif di tempat kerja. Hal ini akan memicu peningkatkan performa kerja

karyawan dalam organsasi.

d. Kepuasan kerja

Karyawan yang merasakan adanya dukungan dari organisasi akan bekerja

dengan maksimal dan percaya diri sehingga karyawan tersebut mampu

menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Karyawan yang mampu menyelesaikan

tuntutan pekerjaan di organisasi dengan baik akan mencapai kepuasan kerja yang

dapat meningkatkan loyalitas karyawan terhadap organisasi.

C. PENGARUH PERSEPSI DUKUNGAN ORGANISASI TERHADAP WORK-LIFE BALANCE

Work-life balance merupakan suatu keadaan dimana individu mampu

memberikan sumber daya yang cukup dalam memenuhi tuntutan peran di

pekerjaan dan keluarga secara efektif (Voydanoff, 2005; Milkie, Kendig,

Nomaguchi & Denny, 2010). Hal ini ditandai dengan pendistribusian waktu yang

seimbang serta energi dan komitmen yang baik dalam menjalankan tuntutan

(12)

Hasil penelitian Hasan (2011) menunjukkan bahwa work-life balance

merupakan situasi dimana karyawan mampu bekerja dengan cerdas, efisien dan

dapat menghabiskan waktu yang berkualitas di rumah tanpa merugikan satu

tuntutan peran terhadap peran yang lain. Work-life balance juga dimaknai sebagai

bentuk kepuasan dan kenyamanan individu dalam menjalankan keberfungsian dan

perannya di pekerjaan maupun di luar pekerjaan (Clark, 2009; Fapohunda &

Tinuke, 2014).

Okeke (2011) menegaskan bahwa ketika orang-orang menghabiskan waktu

yang terlalu banyak di tempat kerja dan menghabiskan waktu yang lebih sedikit di

keluarga, maka kesehatan dan performa kerja individu tersebut akan terganggu.

Sebaliknya, hasil penelitian Fapohunda & Tinuke (2014) menyatakan bahwa

ketika individu merasa bahagia dalam lingkungan keluarga maka tempat kerja

akan cenderung terhindar dari konflik. Hal ini ditandai dengan adanya

keseimbangan yang tepat antara pekerjaan dan kehidupan dimana keluarga

individu merasa puas terhadap hasil pekerjaannya. Dalam penelitian ini juga

dijelaskan bahwa karyawan yang mampu menyeimbangkan pekerjaan dan

keluarga akan menjadi loyal terhadap organisasi, mampu meningkatkan inovasi

dan produktivitas kerja serta mengurangi tingkat absensi pada organisasi.

Individu yang tidak dapat menyeimbangkan tuntutan peran di pekerjaan dan

keluarga akan memberikan kerugian terhadap organisasi dan individu itu sendiri

dimana hal ini ditandai dengan penurunan kualitas kehidupan kerja, kesejahteraan,

kepuasan kerja, produktivitas dan kinerja (Prescott, Shaw & Allikas, 2008; Jafri,

(13)

dan menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarganya agar menjadi suatu

konsep yang terintegrasi (Rothausen, 2009). Greenhaus, Collins dan Shaw (2003)

menyebut konsep ini sebagai work-life balance atau work-family balance, yang

berarti sejauh mana individu merasa terikat dan puas terhadap kehidupan

pekerjaan dan kehidupan keluarganya.

Kumarasamy, Pangil dan Isa (2015) menjelaskan bahwa salah satu faktor

yang mempengaruhi work-life balance adalah organizational support (dukungan

organisasi). Dukungan organisasi merupakan perhatian yang diberikan organisasi

terhadap kontribusi karyawan dimana hal ini dipengaruhi oleh kepemimpinan,

reward, kondisi kerja dan lingkungan organisasi (Ni & Wang, 2015). Karyawan

yang merasakan adanya dukungan organisasi akan mengembangkan sense of

belonging dan keterikatan emosional terhadap organisasi (Ucar & Otken, 2010).

Hasil penelitian Thakur dan Kumar (2015) menunjukkan bahwa persepsi

dukungan organisasi berkorelasi positif terhadap work-life balance. Dalam

penelitian ini dikatakan bahwa dukungan organisasi yang diterima karyawan akan

membuat karyawan merasa diperhatikan sehingga mereka tidak kesulitan untuk

menyeimbangkan tuntutan peran pekerjaan dan keluarga. Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian Kossek, Colquitt dan Noe (2001) yang menyatakan bahwa ketika

karyawan merasakan dukungan dari organisasi, mereka tidak perlu mengorbankan

keluarga demi memenuhi tuntutan mereka di tempat kerja atau dengan kata lain

mereka dapat membagi waktu secara seimbang antara kehidupan pekerjaan dan

(14)

Ensher, Grant-Valone & Donaldson (2001) menunjukkan bahwa dukungan

organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan, mengurangi

depresi dan kecemasan karyawan. Dukungan organisasi yang dirasakan karyawan

akan mendorong respon positif karyawan karena mampu memberdayakan secara

psikologis yaitu keyakinan dan kepercayaan diri sehingga karyawan dapat

mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik (Ali, Rehman, Ul Haq, Ghafoor &

Azeem, 2010; Zulkarnain, Pohan & Sulistyawati, 2015). Penilaian positif dari

organisasi dapat meningkatkan kepercayaan bahwa peningkatan usaha dalam

bekerja akan dihargai (Zulkarnain, dkk, 2015). Oleh karena itu karyawan akan

memberikan perhatian yang lebih atas penghargaan yang mereka terima dari

atasan mereka (Rhoades & Eisenberger, 2002).

D. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh positif persepsi dukungan organisasi terhadap work-life

balance.

2. Ada pengaruh aspek-aspek persepsi dukungan organisasi terhadap work-life

Referensi

Dokumen terkait

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.. Kejang lama terjadi pada

Analisis regresi linear berganda digunakan dalam penelitian ini dengan maksud dan tujuan untuk membuktikan hipotesis mengenai pengaruh variabel harga dan kualitas

prev menghasilkan nilai elemen sebelum posisi pointer sekarang, dan meletakkan pointer ke lokasi tersebut. pemanggilan: prev(nama_array) key menghasilkan indeks elemen

Berdasarkan dari hasil pemaparan tersebut penulis merasa tertarik untuk mengangkat topik yang berkaitan dengan hal di atas, alasan yang lebih jelasnya yaitu perjumpaan agama

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa orang tua memerlukan media informasi yang dapat membantu mereka dalam mempelajari, dan memantau perkembangan

 Kami Memberikan Garansi 1 Tahun Ganti Baru Kamera Dan Alat Rekam atau DVR.  Lembaran ini Menjadi Bukti Bahwa Telah Terjadinya Transaksi Dengan Pihak

Selanjutnya dilakukan pencacahan untuk masing- masing sampel sumber radiasi β yaitu Thorium yang terkandung dalam abu kaos lampu petromaks dalam waktu pencacahan

(1) Penyuluh Kehutanan Pelaksana, pangkat Pengatur Muda tingkat 1, golongan ruang II/b sampai dengan Penyuluh Kehutanan Penyelia, pangkat Penata, golongan ruang III/c dan Penyuluh