• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perwa No. 24 tahun 2012 tentang Perizinan Tenaga Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perwa No. 24 tahun 2012 tentang Perizinan Tenaga Kesehatan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BERITA DAERAH KOTA DEPOK

TAHUN 2012 NOMOR 24 PERATURAN WALIKOTA DEPOK

NOMOR 24 TAHUN 2012 Tentang

PERIZINAN TENAGA KESEHATAN

WALIKOTA DEPOK,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 05 Tahun 2011 tentang Perizinan dan Sertifikasi Bidang Kesehatan, Tata cara perizinan tenaga kesehatan, Tenaga Pengobatan Komplementer Alternatif (TPKA), Tenaga Pelayanan Kesehatan Tradisional (YANKESTRAD), sarana pelayanan kesehatan dan tempat-tempat umum yang terkait dengan kesehatan, serta tata cara sertifikasi pada tempat-tempat umum yang terkait dengan kesehatan dan industri pangan rumah tangga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota;

b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 05 Tahun 2011 tentang Perizinan dan Sertifikasi Bidang Kesehatan, hal-hal yang belum cukup diatur berkaitan dengan Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Perizinan Tenaga Kesehatan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran negara Republik Indonesia tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);

(2)

2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3828);

3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);

4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140);

8. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

(3)

10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044 );

14. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1392/Menkes/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin Kerja Perawat Gigi;

15. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1363/Menkes/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin Kerja Fisioterapis;

16. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 544/Menkes/SK/VI/2002 tentang Registrasi dan Izin Kerja Refraksionis Optisien;

17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 867/Menkes/PER/VIII/2004 tentang registrasi dan praktik Terapis Wicara;

18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 357/Menkes/PER/V/2006 tentang Registrasi dan Izin Kerja Radiografer;

(4)

19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 548/Menkes/PER/IV/2007 tentang Registrasi dan Izin Praktik Okupasi Terapis;

20. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 161/Menkes/Per/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan; 21. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 299/MENKES/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan program Internsip dan penempatan Dokter Pasca Internsip;

22. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat;

23. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan;

24. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 317/Menkes/Per/III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing di Indonesia;

25. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 299/Menkes/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip;

26. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian;

27. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran;

28. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2008 Nomor 07);

(5)

29. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2008 Nomor 08) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 20 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 20);

30. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 05 Tahun 2011 tentang Perizinan dan Sertifikasi Bidang Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2011 Nomor 05);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA DEPOK TENTANG PERIZINAN TENAGA KESEHATAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan : 1. Kota adalah Kota Depok.

2. Walikota adalah Walikota Depok.

3. Dinas adalah Dinas Kesehatan Kota Depok.

4. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok.

5. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

7. Sarana Pelayanan Kesehatan adalah adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan.

(6)

8. Surat Izin Praktik selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis yang diberikan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota kepada tenaga kesehatan yang telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik mandiri. 9. Surat Izin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis yang

diberikan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota kepada tenaga kesehatan yang telah memenuhi persyaratan untuk bekerja di sarana pelayanan kesehatan.

10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perUndang-Undangan.

11. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter, Ikatan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi, Persatuan Perawat Nasional Indoensi untuk perawat, Persatuan Perawat Gigi Indonesia untuk perawat gigi, Ikatan Bidan Indonesia untuk bidan, Ikatan Fisioterapi Indonesia untuk Fisioterapis, Persatuan Ahli Radiografi Indonesia untuk Radiografer, Ikatan Refraksionis Optisien Indonesia untuk Refraksionis Optisien, Ikatan Apoteker Indonesia untuk Apoteker, Persatuan Ahli Farmasi Indonesia untuk Tenaga Teknis Kefarmasian dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia untuk Tenaga/profesi gizi.

12. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. 13. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter

gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan.

14. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen, yang terdiri atas konsil kedokteran dan kedokteran gigi.

15. Internsip adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga, dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan.

(7)

16. Peserta Program Internsip adalah dokter yang baru lulus program studi pendidikan dokter berbasis kompetensi yang akan menjalankan praktik kedokteran dan/atau mengikuti pendidikan dokter spesialis.

17. Surat Tanda Registrasi untuk kewenangan internsip, selanjutnya disebut STR Untuk Kewenangan Internsip adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter yang akan menjalankan praktik kedokteran selama internsip.

18. Surat Izin Praktik Internsip, selanjutnya disebut SIP Internsip adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter yang akan menjalankan praktik kedokteran selama internsip setelah memiliki STR Untuk Kewenangan Internsip.

19. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundangan-undangan .

20. Perawat gigi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan perawat gigi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

21. Surat Izin Perawat Gigi selanjutnya disebut SIPG adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan gigi di seluruh wilayah Indonesia.

22. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan

23. Praktik mandiri adalah praktik bidan swasta perorangan.

24. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

25. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. 26. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan

telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.

(8)

27. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker.

28. Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada Apotek atau instalasi farmasi Rumah Sakit.

29. Surat Izin Kerja selanjutnya disingkat SIK adalah surat izin yang diberikan kepada apoteker dan tenaga teknis kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran.

30. Fisioterapis adalah seseorang yang telah lulus pendidikan fisioterapi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

31. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi.

32. Surat Izin Fisioterapis selanjutnya disebut SIF adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan Fisioterapi di seluruh wilayah Indonesia.

33. Surat Izin Praktik Fisioterapis yang selanjutnya disebut SIPF adalah bukti tertulis yang diberikan kepada fisioterapis untuk menjalankan praktik fisioterapi.

34. Radiografer adalah tenaga kesehatan lulusan Akademi Penata Rontgen, Diploma III Radiologi, Pendidikan Ahli Madya/ Akademi/ Diploma III Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi yang telah memiliki ijasah sesuai ketentuan perUndang-Undangan yang berlaku.

35. Surat Izin Radiografer selanjutnya disebut SIR adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan radiografer di seluruh wilayah Indonesia.

(9)

36. Refraksionis Optisien adalah seseorang yang telah lulus pendidikan refraksionis optisien minimal program pendidikan diploma, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

37. Pemeriksaan mata dasar adalah tindakan untuk menggidentifikasi dan menemukan adanya kelainan/penyakit mata yang perlu dirujuk ke dokter spesialis mata.

38. Surat Izin Refraksionis Optisien selanjutnya disebut SIRO adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan refraksionis optisien di seluruh wilayah Indonesia.

39. Okupasi terapis adalah seseorang yang telah lulus pendidikan okupasi terapi minimal setingkat Diploma III sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

40. Okupasi terapi adalah bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat/ pasien yang mengalami gangguan fisik dan atau mental dengan menggunakan aktivitas bermakna (okupasi) untuk meningkatkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

41. Surat Izin Okupasi Terapis selanjutnya disebut SIOT adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan okupasi terapi di seluruh wilayah Indonesia.

42. Terapis wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan terapis wicara baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

43. Surat Izin Terapis Wicara selanjutnya disebut SITW adalah bukti tertulis atas kewenangan untuk menjalankan pekerjaan terapis wicara di seluruh wilayah Indonesia.

44. Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing yang selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara asing pemegang izin tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan dan bermaksud bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Indonesia.

(10)

45. Tenaga Pendamping adalah tenaga kesehatan Indonesia dengan keahlian yang sesuai yang ditunjuk sebagai pendamping TK-WNA dan dipersiapkan sebagai calon pengganti TK-WNA.

46. TK-WNA Pemberi Pelatihan adalah tenaga kesehatan warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhubungan secara langsung dengan pasien.

47. TK-WNA Pemberi Pelayanan adalah tenaga kesehatan warga negara asing yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan yang berhubungan secara langsung dengan pasien.

48. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TK-WNA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TK-WNA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat yang ditunjuk .

49. Alih Teknologi dan Alih Keahlian adalah proses pemindahan pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional TK-WNA kepada tenaga pendamping.

50. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TK-WNA. 51. Evaluasi adalah proses penyesuaian kompetensi tenaga kesehatan

lulusan luar negeri agar memenuhi kebutuhan kompetensi yang tepat untuk bekerja di wilayah Indonesia.

52. Ahli Gizi (Ahli Gizi/Ahli Diet Teregistrasi) disebut Registered Dietisien yang disingkat RD bila telah mengikuti pendidikan sarjana gizi, D-IV gizi ditambah pendidikan profesi (internship) dan ujian profesi serta dinyatakan lulus kemudian diberi hak untuk mengurus izin memberikan pelayanan dan menyelenggarakan Praktik Gizi;

(11)

53. Ahli Madya Gizi (AMG) adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan diploma III Gizi yang disetarakan dengan Dietetic Technisian Registered (DTR) sesuai aturan yang berlaku, mempunyai tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh untuk melakukan kegiatan fungsional dalam bidang pelayanan gizi, makanan dan dietetik baik di masyarakat individu atau rumah sakit. Tenaga tersebut termasuk Dietesien & Nutrisionis;

54. Surat Izin Kerja Profesi gizi (Ahli Gizi, Ahli Madya Gizi, RD dan DTR) selanjutnya disebut SIKPG adalah bukti tertulis yang diberikan kepada profesi gizi.

Pasal 2

Ruang lingkup Peraturan Walikota ini mengatur tentang Perizinan Tenaga Kesehatan.

BAB II

JENIS TENAGA KESEHATAN Pasal 3

Tenaga Kesehatan yang diatur dalam Peraturan Walikota ini meliputi :

a. Dokter dan dokter gigi termasuk dokter spesialis atau dokter gigi spesialis; b. perawat;

c. perawat gigi; d. bidan;

e. fisioterapis; f. radiografer;

g. refraksionis optisien; h. okupasi terapis; i. terapis wicara; j. tenaga kefarmasian; k. profesi/ tenaga gizi;

l. tenaga kesehatan warga negara asing.

(12)

BAB III

PERIZINAN TENAGA KESEHATAN Pasal 4

(1) Setiap tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.

(2) Kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan

pada pendidikan tinggi bidang kesehatan sekurang-kurangnya Diploma III.

(3) Setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya di bidang pelayanan kesehatan perseorangan wajib memiliki izin dari Kepala Dinas.

(4) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah memiliki izin wajib memasang papan nama praktik.

(5) Pelayanan kesehatan medik dasar yang dilakukan oleh paling banyak 3 (tiga) dokter (homogen) dan/atau 4 (empat) dokter (heterogen) pada satu tempat yang dimiliki perorangan dan/atau badan usaha dapat diberikan surat izin praktik perorangan.

(6) Profesi di bidang pelayanan kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah profesi yang berhubungan langsung dengan pasien, baik dalam kegiatan promotif, preventif, diagnostik, kuratif, ataupun rehabilitatif.

(7) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam bentuk SIP atau SIK.

(8) Blanko SIP untuk tenaga medis (dokter dan dokter gigi) berwarna hijau. (9) Blanko SIP atau SIK untuk tenaga keperawatan (perawat dan bidan)

berwarna kuning.

(10) Blanko SIP untuk tenaga kesehatan lainnya termasuk tenaga kefarmasian (diluar tenaga medis dan keperawatan) berwarna pink. (11) SIP atau SIK masih berlaku sepanjang :

a. STR masih berlaku;

b. Tempat praktik atau tempat kerja masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP atau SIK.

(12) SIP/SIK dinyatakan tidak berlaku, apabila :

a. tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIP/SIK; b. masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang;

(13)

c. dicabut atas perintah pengadilan;

d. dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi; e. yang bersangkutan meninggal dunia.

Paragraf 1

Dokter/Dokter Gigi/Dokter Spesialis Pasal 5

(1) Dokter/ dokter gigi/ dokter spesialis dapat memiliki SIP maksimal 3 (tiga) tempat.

(2) Satu SIP hanya berlaku pada 1 (satu) tempat praktik.

(3) Untuk memperoleh SIP, dokter/dokter gigi/ dokter spesialis yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas dengan melampirkan :

a. fotokopi Identitas diri (KTP/ SIM/ Paspor); b. fotokopi Ijazah terakhir sesuai dengan profesi;

b. fotokopi surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkan dan dilegalisir asli oleh Konsil Kedokteran Indonesia, yang masih berlaku;

c. surat pernyataan mempunyai tempat praktik atau surat keterangan dari sarana pelayanan kesehatan sebagai tempat praktiknya;

d. surat rekomendasi dari organisasi profesi, sesuai tempat praktik; e. pas foto berwarna ukuran 3 x 4 sebanyak 3 (tiga) lembar;

f. surat persetujuan dari atasan langsung bagi dokter dan dokter gigi yang bekerja pada instansi/fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah atau pada instansi/fasilitas pelayanan kesehatan lain secara purna waktu;

g. fotokopi SIP yang sudah dimiliki;

h. fotokopi surat izin sarana, bagi yang mengajukan praktek di sarana pelayanan kesehatan.

i. bagi dokter warga negara asing, selain persyaratan diatas disertai juga dengan bukti telah melakukan evaluasi di perguruan tinggi Indonesia berdasarkan permintaan tertulis KKI, mempunyai surat izin kerja dan izin tinggal, dan bukti lulus bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Indonesia.

(14)

(4) Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Formulir I Lampiran Peraturan Walikota ini.

(5) Bentuk format SIP dokter atau dokter gigi tercantum pada Formulir II Lampiran Peraturan Walikota ini.

(6) Untuk pembuatan SIP dilakukan survei untuk menilai sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku

(7) Bentuk format survei tercantum dalam Formulir III Lampiran Peraturan Walikota ini.

Pasal 6

(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki SIP yang memberikan pelayanan medis atau memberi konsultasi keahlian dalam hal sebagai berikut :

a. diminta oleh suatu sarana pelayanan kesehatan dalam rangka pemenuhan pelayanan medis yang bersifat khusus, yang tidak terus menerus atau tidak berjadwal tetap;

b. dalam rangka melakukan bakti sosial/kemanusiaan; c. dalam rangka tugas kenegaraan;

d. dalam rangka melakukan penanganan bencana atau pertolongan darurat lainnya;

e. dalam rangka memberikan petolongan pelayanan medis kepada keluarga, tetangga, teman, pelayanan kunjungan rumah dan pertolongan masyarakat tidak mampu yang sifatnya insidentil;

tidak memerlukan SIP di tempat tersebut.

Pasal 7

(1) Kepala Dinas dapat secara langsung memberikan SIP kepada dokter/dokter gigi yang telah ditempatkan di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah.

(2) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terhitung sebagai 1 (satu) tempat praktik.

(15)

(3) Dokter/ dokter gigi/ dokter spesialis yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter pengganti.

(4) Dokter/ dokter gigi/ dokter spesialis pengganti harus yang mempunyai SIP.

(5) Penunjukan dokter pengganti harus diketahui oleh pasien.

Paragraf 2

Izin Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)/Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS)

Pasal 8

(1) Dokter atau dokter gigi yang sedang mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau program pendidikan dokter gigi spesialis (PPDGS) dapat secara langsung diberikan SIP secara kolektif oleh Kepala Dinas dimana Rumah Sakit Pendidikan tersebut berada, untuk menjalankan praktik kedokteran.

(2) SIP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku di sarana tempat program pendidikan dilaksanakan dan seluruh sarana pelayanan kesehatan yang menjadi jejaring Rumah Sakit Pendidikan serta sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk.

Paragraf 3 Dokter Internsip

Pasal 9

(1) Setiap dokter yang baru lulus program pendidikan dokter berbasis kompetensi yang akan menjalankan praktik kedokteran dan/atau mengikuti pendidikan dokter spesialis harus mengikuti program internsip.

(2) Setiap dokter yang mengikuti program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin.

(16)

Paragraf 4 Perawat Pasal 10

(1) Perawat dapat menjalankan praktik pada sarana pelayanan kesehatan. (2) Sarana pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi sarana pelayanan kesehatan diluar praktik mandiri dan/atau praktik mandiri.

(3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D-III) Keperawatan.

(4) Untuk memperoleh Surat Izin Praktik Perawat (SIPP)/ Surat Izin Kerja Perawat (SIKP), perawat harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kota dengan melampirkan :

a. fotokopi identitas diri (KTP/ SIM/ Paspor);

b. fotokopy STR/SIP yang masih berlaku dan dilegalisir; c. fotokopi ijazah pendidikan perawat;

d. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;

e. surat pernyataan memiliki tempat praktik;

f. pas foto berwarna terbaru ukuran 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; g. rekomendasi dari Organisasi Profesi;

h. fotokopi izin sarana pelayanan kesehatan (untuk yang pengajuan permohonan SIKP);

i. keterangan dari pimpinan sarana tempat bekerja. (5) SIPP/SIKP hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat praktik.

(6) Surat permohonan memperoleh SIPP/SIKP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Formulir IV Lampiran Peraturan Walikota ini.

(7) Format SIPP/SIKP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Formulir V Lampiran Peraturan Walikota ini.

(8) Untuk pembuatan SIPP dilakukan survei untuk menilai sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku

(9) Bentuk format survei tercantum dalam Formulir VI Lampiran Peraturan Walikota ini.

(17)

Paragraf 5 Izin Perawat Gigi

Pasal 11

(1) Perawat gigi dapat melaksanakan pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut pada sarana pelayanan kesehatan.

(2) Untuk memperoleh Surat Izin Kerja Perawat Gigi (SIK-PG) perawat gigi yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas dengan melampirkan :

a. fotokopi Identitas diri (KTP/ SIM/ Paspor); b. foto kopi ijazah pendidikan perawat gigi; c. foto kopi SIPG /STR yang masih berlaku; d. surat keterangan sehat dari dokter;

e. pas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;

f. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang menyebutkan tanggal mulai bekerja sebagai perawat gigi;

g. rekomendasi dari organisasi profesi;

h. fotokopi surat izin sarana pelayanan kesehatan.

(3) Permohonan SIK selambat-lambatnya diajukan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterima bekerja.

(4) Surat permohonan memperoleh SIK-PG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Formulir VII Lampiran Peraturan Walikota ini. (5) Bentuk format SIK-PG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum

dalam Formulir VIII Lampiran Peraturan Walikota ini.

Paragraf 6 Izin Bidan

Pasal 12

(1) Bidan dapat menjalankan praktik mandiri dan/atau bekerja di sarana pelayanan kesehatan.

(2) Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpendidikan minimal Diploma III (DIII) Kebidanan.

(18)

(3) Untuk memperoleh Surat Izin Kerja Bidan (SIKB)/ Surat Izin Praktik Bidan (SIPB) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bidan harus mengajukan permohonan kepada Dinas Kesehatan Kota Depok dengan melampirkan :

a. foto kopi identitas diri (KTP/SIM/Paspor);

b. foto kopi STR/SIB yang masih berlaku dan dilegalisir; c. fotokopi ijazah;

d. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;

e. surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat praktik;

f. pas foto berwarna terbaru ukuran 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; g. rekomendasi dari organisasi profesi;

h. surat izin sarana pelayanan kesehatan untuk pengajuan SIKB. (4) SIKB atau SIPB berlaku untuk 1 (satu) tempat.

(5) Surat permohonan memperoleh SIPB/SIKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Formulir IX Lampiran Peraturan Walikota ini.

(6) Bentuk format SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Formulir Xa dan Formulir Xb Lampiran Peraturan Walikota ini.

(7) Untuk pembuatan SIPB dilakukan survei untuk menilai sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(8) Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi :

a. memiliki tempat praktik, ruangan praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan, serta peralatan untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan prasekolah yang memenuhi persyaratan lingkungan sehat;

b. menyediakan maksimal 2 (dua) tempat tidur untuk persalinan;

(19)

c. memiliki sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana tercantum dalam Formulir XI Lampiran Peraturan Walikota ini.

Paragraf 7 Fisioterapi Pasal 13

(1) Fisioterapis dapat melaksanakan praktik fisioterapi pada sarana pelayanan kesehatan, praktik perorangan dan atau berkelompok.

(2) Fisioterapis yang melaksanakan praktik fisioterapi wajib memiliki SIPF. (3) SIPF hanya berlaku pada satu tempat sarana pelayanan kesehatan. (4) Untuk memperoleh SIPF, fisioterapis yang bersangkutan harus

mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kota dengan melampirkan :

a. foto kopi identitas diri (KTP/ SIM/ Paspor) pemohon; b. fotokopi SIF/ STR yang masih berlaku;

c. foto kopi ijazah pendidikan fisioterapi; d. surat keterangan sehat dari dokter; e. rekomendasi dari organisasi profesi;

f. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang menyatakan tanggal mulai bekerja;

g. surat keterangan meyelesaikan adaptasi, bagi lulusan luar negeri; h. pas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; i. fotokopi surat izin sarana pelayanan kesehatan.

(5) Fisoterapis dalam menjalankan praktik perorangan sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan :

a. memiliki tempat praktik yang memenuhi syarat kesehatan; b. memiliki perlengkapan untuk tindakan fisioterapi;

(20)

c. memiliki perlengkapan administrasi termasuk catatan tindakan fisoterapis dan formulir rujukan..

(6) Bentuk permohonan SIPF sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam formulir XII Lampiran Peraturan Walikota ini.

(7) Bentuk SIPF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam formulir XIII Lampiran Peraturan Walikota ini.

(8) Bentuk format survey untuk praktik perorangan fisioterapis tercantum dalam formulir XIV Lampiran Peraturan Walikota ini.

Paragraf 8 Radiografer

Pasal 14

(1) Setiap Radiografer untuk menjalankan pekerjaan radiografi pada sarana pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta wajib memiliki Surat Izin Kerja Radiografer (SIKR).

(2) Untuk memperoleh SIKR, radiografer yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas dengan melampirkan :

a. fotokopi identitas diri (KTP/SIM/Paspor) pemohon; b. fotokopi SIR/ STR yang masih berlaku;

c. foto kopi ijazah radiografer yang disahkan oleh pimpinan penyeleggara pendidikan radiografer;

d. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP;

e. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan atau yang menyatakan masih bekerja pada sarana yang bersangkutan; f. surat keterangan meyelesaikan adaptasi, bagi lulusan luar negeri; g. pas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; h. rekomendasi dari organisasi profesi;

i. fotokopi surat izin sarana pelayanan kesehatan.

(3) SIKR hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.

(4) Bentuk permohonan SIKR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam formulir XV Lampiran Peraturan Walikota ini.

(21)

(5) Bentuk format surat izin kerja radiografer tercantum dalam formulir XVI Lampiran Peraturan Walikota ini.

Paragraf 9 Refraksionis Optisien

Pasal 15

(1) Setiap Refraksionis optisien untuk melakukan pekerjaan pada sarana kesehatan wajib memiliki SIK.

(2) Untuk memperoleh SIK Refraksionis Optisien, refraksionis optisien yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas dengan melampirkan :

a. fotokopi identitas diri (KTP/SIM/Paspor) pemohon; b. fotokopi SIRO/ STR yang masih berlaku;

c. fotokopi ijazah Refraksinois Optisien; d. surat keterangan sehat dari dokter;

e. pas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;

f. surat keterangan dari pimpinan sarana kesehatan yang menyatakan tanggal mulai bekerja;

g. rekomendasi dari organisasi profesi;

h. fotokopi surat izin sarana pelayanan kesehatan untuk yang bekerja pada sarana kesehatan.

(3) Permohonan SIK selambat lambatnya diajukan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterima bekerja.

(4) SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana kesehatan.

(5) Bentuk permohonan SIK Refraksionis Optisien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam formulir XVII Lampiran Peraturan Walikota ini.

(6) Bentuk format surat izin kerja refraksionis optisien tercantum dalam formulir XVIII Lampiran Peraturan Walikota ini.

(22)

Paragraf 10 Okupasi Terapi

Pasal 16

(1) Okupasi terapis dapat melaksanakan praktik okupasi terapi pada sarana pelayanan okupasi terapi, praktik perorangan dan/ atau berkelompok. (2) Setiap okupasi terapis yang melakukan praktik pada sarana pelayanan

okupasi terapi wajib memiliki Surat Izin Praktik Okupasi Terapi (SIPOT). (3) SIPOT hanya berlaku untuk 1 (satu) sarana pelayanan okupasi terapi. (4) Untuk memperoleh SIPOT okupasi terapis yang bersangkutan harus

mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kota dengan melampirkan :

a. foto kopi identitas diri (KTP /SIM/ Paspor) pemohon; b. foto kopi SIOT yang masih berlaku;

c. foto kopi ijazah okupasi terapis yang disahkan oleh pimpinan penyelenggara pendidikan okupasi terapi;

d. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP;

e. pas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;

f. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan okupasi terapi yang menyatakan tanggal mulai bekerja, untuk yang bekerja di sarana pelayanan okupasi terapi;

g. surat keterangan telah menyelesaikan adaptasi, bagi lulusan luar negeri;

h. foto kopi surat izin sarana pelayanan kesehatan.

(5) Okupasi terapi dalam menjalankan praktik perorangan sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan :

a. memiliki tempat praktik;

b. memiliki perlengkapan untuk tindakan okupasi terapi;

c. memiliki perlengkapan administrasi termasuk catatan tindakan okupasi terapi dan formulir rujukan.

(23)

(6) Bentuk permohonan SIPOT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam formulir XIX Lampiran Peraturan Walikota ini.

(7) Bentuk surat izin praktik okupasi terapi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam formulir XX Lampiran Peraturan Walikota ini. (8) Bentuk format survey untuk praktik perorangan okupasi terapis tercantum

dalam formulir XXI Lampiran Peraturan Walikota ini.

Paragraf 11 Terapis Wicara

Pasal 17

(1) Terapis wicara dapat melaksanakan praktik terapis wicara pada sarana pelayanan terapi wicara, praktik perorangan dan atau berkelompok. (2) Terapis wicara yang melakukan praktik harus memiliki Surat Izin Praktik

Terapis wicara (SIPTW).

(3) Masa berlaku SIPTW berlaku sesuai masa berlaku SITW.

(4) SIPTW hanya berlaku pada satu sarana pelayanan terapi wicara.

(5) Untuk memperoleh SIPTW terapis wicara yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kota dengan melampirkan :

a. foto kopi identitas diri (KTP /SIM/ Paspor) pemohon; b. foto kopi SITW/ STR yang masih berlaku;

c. foto kopi ijazah yang disahkan oleh pimpinan penyelenggara pendidikan terapis wicara;

d. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP;

e. surat keterangan dari pimpinan sarana yang menyatakan tanggal mulai bekerja,untuk yang bekerja di sarana pelayanan terapis wicara; f. pas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;

g. surat keterangan telah menyelesaikan adaptasi bagi lulusan luar negeri;

h. foto kopi surat izin sarana pelayanan kesehatan.

(24)

(6) Terapis wicara dalam menjalankan praktik perorangan sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan :

a. memiliki tempat praktik;

b. memiliki kelengkapan untuk pelayanan terapis meliputi : formulir penilaian bahasa bicara, formulir penilaian kemampuan menelan, alat tulis, alat permainan edukatif, cermin, gambar-gambar.

c. Sarana/prasarana yang meliputi : tempat pelaksanaan terapi, tempat peralatan diagnostik dan terapeutik, tempat penyimpanan dokumen/administrasi.

(7) Bentuk permohonan SIPTW sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam formulir XXII Lampiran Peraturan Walikota ini.

(8) Bentuk surat izin praktik okupasi terapi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam formulir XXIII Lampiran Peraturan Walikota ini.

(9) Bentuk format survey untuk praktik perorangan terapis wicara tercantum dalam formulir XXIV Lampiran Peraturan Walikota ini.

Paragraf 12 Tenaga Kefarmasian

Pasal 18

(1) Setiap tenaga kefarmasian yang melaksanakan pekerjaan kefarmasian di Indonesia wajib memiliki Surat Izin (SIPA/SIK) sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja.

(2) Untuk mendapat SIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Apoteker harus memiliki :

a. foto kopi ijazah apoteker;

b. foto kopi surat lolos butuh bagi lulusan diluar provinsi Jawa Barat dan provinsi lain yang meneluarkan surat lolos butuh;

c. surat sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki SIP; d. foto kopi STRA yang masih berlaku dan dilegalisir oleh KFN;

e. foto kopi Akte notaris perjanjian kerjasama APA dan pemilik modal (untuk apoteker yang bekerja sama dengan pemilik modal);

(25)

f. SK pengangkatan (untuk yang bekerja di IFRS dan instansi pemerintah);

g. surat rekomendasi organisasi profesi yang masih berlaku;

h. surat pernyataan APA hanya bekerja di satu sarana (bermaterai 6000);

i. surat pernyataan dari apoteker penanggung jawab selama melaksanakan pelayanan kefarmasian akan dilakukan oleh tenaga kefarmasian (bermaterai 6000);

j. pas foto 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar, sesuai KTP;

k. foto kopi KTP;

l. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian;

m. untuk pengajuan permohonan SIPA sebagai apoteker pendamping harus dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, ketiga;

n. surat pernyataan apoteker pendamping bekerja maksimal pada 3 (tiga) sarana kafarmasian (bermaterai);

o. jika apoteker bekerja sebagai apoteker pendamping pada sarana ke 2 (dua) dan ke 3 (tiga) maka melampirkan SIPA pada sarana kefarmasian sebelumnya.

p. surat pernyataan bermaterai apoteker pendamping berada di sarana kefarmasian selama tidak ada apoteker penanggung jawab.

q. surat pernyataan apoteker penanggung jawab akan bekerja penuh (purna waktu) selama melaksanakan pelayanan kefarmasian (bagi yang tidak memiliki apoteker pendamping) bermaterai 6000;

r. surat pernyataan bersama apoteker dan pemilik modal menyetujui adanya apoteker pendamping bila apoteker tidak purna waktu, bermaterai 6000.

(3) Untuk memperoleh SIKA, apoteker harus memiliki : a. foto kopi ijazah dan surat sumpah;

b. surat lolos butuh bagi lulusan diluar provinsi Jawa Barat dan provinsi DKI Jakarta;

(26)

c. surat sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki SIP; d. foto kopi STRA yang masih berlaku dan dilegalisir oleh KFN;

e. akte notaris perjanjian kerjasama/surat perjanjian kontrak/SK pengangkatan Apoteker Penanggung Jawab;

f. surat rekomendasi Organisasi Profesi;

g. surat pernyataan Apoteker penanggung jawab hanya bekerja di satu sarana (bermaterai 6000);

h. pas foto 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar, dasar sesuai KTP;

i. foto kopi KTP;

j. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;

(4) untuk memperoleh SIK TTK, tenaga teknis kefarmasian harus memiliki : a. foto kopi ijazah teknis kefarmasian yang dilegalisir;

b. foto kopi surat lolos butuh bagi lulusan di luar provinsi Jawa Barat dan provinsi DKI Jakarta;;

c. surat sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki SIP; d. foto kopi STRTTK yang masih berlaku;

e. surat perjanjian kerjasama dengan pemiliki modal bermaterai 6000 (ditandatangani 2 (dua) orang saksi dari kedua belah pihak) dengan menyebutkan hak dan kewajiban masing-masing pihak;

f. SK pengangkatan (untuk yang bekerja di IFRS dan instansi pemerintah);

g. surat pernyataan hanya bekerja maksimal di tiga sarana (bermaterai 6000);

h. bila mengajukan di sarana ke 2 (dua) dan 3 (tiga) agar melampirkan SIKTTK sebelumnya;

i. pas foto ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar, sesuai KTP;

j. foto kopi KTP;

k. surat rekomendasi dari organisasi profesi;

(27)

l. surat pernyataan Apoteker atau pimpinan tempat pemohon melaksanakan pekerjaan kefarmasian bermaterai 6000;

(5) Surat permohonan memperoleh SIPA/SIKA/ SIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Formulir XXV Lampiran Peraturan Walikota ini.

(6) SIPA/SIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Formulir XXVI Lampiran Peraturan Walikota ini.

Paragraf 13 Profesi / Tenaga Gizi

Pasal 19

(1) Setiap tenaga gizi yang menjalankan pekerjaan di bidang gizi pada sarana kesehatan dan sarana pelayanan masyarakat harus memiliki Surat Izin Kerja Profesi Gizi (SIKPG).

(2) Untuk memperoleh SIKPG yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas dengan melampirkan :

a. foto kopi identitas diri (KTP/ SIM/ Paspor);

b. foto kopi Surat Izin Profesi Gizi yang masih berlaku; c. foto kopi ijazah DIII yang dilegalisir;

d. surat keterangan sehat dari dokter;

e. pas foto 3 x 4 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;

f. surat keterangan dari pimpinan sarana kesehatan yang menyatakan masih bekerja pada sarana yang bersangkutan;

g. rekomendasi dari PERSAGI;

h. surat izin sarana pelayanan kesehatan.

(3) Surat permohonan memperoleh Surat Izin Kerja Profesi Gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Formulir XXVII Lampiran Peraturan Walikota ini.

(4) SIKPG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Formulir XXVIII Lampiran Peraturan Walikota ini.

(28)

(5) Bentuk format survey untuk praktik perorangan Profesi Gizi tercantum dalam formulir XXIX Lampiran Peraturan Walikota ini.

Paragraf 14

Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Pasal 20

(1) TK-WNA dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka kerja sosial.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan pada pemberian pertolongan pada bencana atas izin pihak yang berwenang. (3) TK-WNA dilarang menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu

sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.

(4) TK-WNA dilarang melaksanakan tugas dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, jabatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan tempat atau wilayah kerja yang telah ditentukan dalam IMTA.

(5) TK-WNA Pemberi Pelayanan berkualifikasi minimal dokter spesialis dan atau dokter gigi spesialis atau yang setara, serta S1 bagi tenaga kesehatan lainnya.

(6) TK-WNA Pemberi Pelatihan berkualifikasi minimal dokter subspesialis atau konsultan, dokter gigi subspesialis atau konsultan atau yang setara, serta S2 bagi tenaga kesehatan lainnya.

(7) TK-WNA Pemberi Pelayanan bekerja selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

(8) TK-WNA Pemberi Pelatihan bekerja untuk jangka waktu 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang.

Pasal 21

(1) TK- WNA pemberi pelayanan hanya dapat bekerja di Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah terakreditasi serta fasilitas kesehatan tertentu yang telah ditetapkan oleh Menteri.

(2) Fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang akan mempekerjakan TK-WNA pemberi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin operasional tetap dan minimal telah berjalan 2 (dua) tahun.

(29)

(3) Fasilitas pelayanan kesehatan yang akan menggunakan TK-WNA harus memiliki RPTKA dan IMTA.

(4) Dalam rangka penerbitan rekomendasi RPTKA, Kepala Dinas melakukan :

a. pengkajian RPTKA berdasarkan kebutuhan daerah;

b. peninjauan lapangan dan menilai kelayakan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah kota dan swasta;

c. menyampaikan hasil pengkajian dan peninjauan lapangan kepada pemerintah Provinsi.

(5) Penyelenggara pelatihan yang dapat menggunakan TK-WNA pemberi pelatihan meliputi :

a. Institusi pendidikan tenaga kesehatan yang terakreditasi; b. Rumah Sakit pendidikan;

c. Organisasi profesi;

d. Rumah Sakit non pendidikan;

BAB IV

PENCABUTAN SURAT IZIN TENAGA KESEHATAN Pasal 22

(1) Tenaga Kesehatan yang akan menghentikan kegiatan izin praktik atau izin kerja disuatu tempat, wajib memberitahukan kepada Kepala Dinas. (2) Untuk melakukan pencabutan Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja,

tenaga kesehatan yang bersangkutan harus mengajukan permohonan ke Dinas dengan melampirkan :

a. surat pernyataan pencabutan bermaterai;

b. surat pernyataan penghentian tenaga kesehatan bila bekerja pada sarana pelayanan kesehatan bermaterai;

c. SIP/ SIK/ SIPA/ SIKA asli yang akan dicabut.

(30)

BAB V

DELEGASI TINDAKAN Pasal 23

(1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dapat menerima pendelegasian tindakan medis dari tenaga medis.

(2) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain perawat, bidan, perawat gigi, perawat anestesi, tenaga keterapian fisik dan keteknisian medis.

(3) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat menerima pendelegasian pekerjaan kefarmasin dari tenaga apoteker.

(4) Pendelegasian tindakan sebagaimana dimasksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan dengan ketentuan :

a. tindakan yang didelegasikan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima delegasi;

b. pelaksanaan tindakan yang didelegasikan tetap dibawah pengawasan pemberi delegasi;

c. pemberi delegasi tetap bertanggung jawab atas tindakan yang didelegasikan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan delegasi yang diberikan;

d. tindakan yang didelegasikan tidak termasuk mengambil keputusan klinis sebagai dasar pelaksanaan tindakan.

BAB VI

KEWENANGAN TENAGA KESEHATAN Paragraf 1

Kewenangan Tenaga Medis Pasal 24

(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas :

(31)

a. mewawancarai pasien;

b. memeriksa fisik dan mental pasien; c. menentukan pemeriksaan penunjang; d. menegakkan diagnosis;

e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien; f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi; g. menulis resep obat dan alat kesehatan;

h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi; i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan;

j. selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Paragraf 2 Kewenangan Perawat

Pasal 25

(1) Praktik keperawatan dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga.

(2) Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

(3) Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan :

a. Pelaksanaan asuhan keperawatan;

b. Pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan masyarakat;

c. Pelaksanaan tindakan komplementer;

(4) Asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi keperawatan.

(32)

(5) Implementasi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), meliputi penerapan perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan.

(6) Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi pelaksanaan prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling keperawatan.

(7) Perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud Pada ayat (3) huruf a, dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas.

Paragraf 3

Kewenangan Perawat Gigi Pasal 26

(1) Perawat gigi dalam menjalankan pekerjaan sebagai perawat gigi harus sesuai dengan :

a. pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut;

b. melaksanakan tindakan medik terbatas dalam bidang kedokteran gigi sesuai permintaan tertulis dari dokter gigi.

(2) Pelayanan asuhan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dalam rangka upaya promotif dan preventif.

(3) Pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut meliputi : a. upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut;

b. upaya pencegahan penyakit gigi (pemeriksaan plak, teknik sikat gigi yang baik, skaling supra gingival, pencegahan karies gigi, pengisian fit dan fissure gigi dengan bahan fissure sealant dan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pasien rawat inap);

c. tindakan penyembuhan gigi (pengobatan darurat sesuai dengan standar pelayanan, pencabutan gigi sulung dengan atau tanpa topikal anestesi, penambalan gigi sulung dan gigi tetap satu bidang dengan glass ionomer dan bahan amalgam, perawatan pasca tindakan);

(33)

d. pelayanan hygiene kesehatan gigi (sterilisasi alat-alat kesehatan gigi, pemeliharaan alat-alat kesehatan gigi dan lingkungan kerja).

Paragraf 4 Kewenangan Bidan

Pasal 27

(1) Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi :

a. pelayanan kesehatan ibu (pada masa pra hamil, kehamilan normal, persalinan normal, masa nifas normal, meyusui dan konseling antara dua kehamilan);

b. pelayanan kesehatan anak (bayi baru lahir, bayi, balita dan anak prasekolah);

c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana (konseling dan memberikan alat kontrasepsi oral dan hormon).

(2) Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berwenang untuk :

a. episiotomi;

b. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;

c. penanganan kegawat darurat dilanjutkan dengan perujukan; d. pemberian tablet Fe pada ibu hamil;

e. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;

f. bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi asi eksklusif;

g. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala III dan postpartum;

h. penyuluhan dan konseling;

i. bimbingan pada kelompok ibu hamil; j. pemberian surat keterangan kematian; k. pemberian surat keterangan cuti bersalin.

(34)

(3) Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berwenang untuk :

a. asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi vitamin K, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari) dan perawatan tali pusat; b. penganan hipotermi dan kegawatdaruratan dilanjtkan dengan

segera merujuk; c. pemberian imunisassi;

d. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak prasekolah;

e. konseling dan penyuluhan;

f. pemberian surat ketarangan kematian; g. pemberian surat keterangan kelahiran.

(4) Selain kewenangan diatas bidan yang terlatih dan bersertifikat dapat melakukan kewenangan untuk melakukan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, pelaksanaan deteksi dini, merujuk, penyuluhan terhadap infeksi menular seksual, pencegahan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) dalam rangka menjalankan program pemerintah.

Paragraf 5

Kewenangan Fisioterapi Pasal 28

(1) fisioterapi dalam melaksanakan praktik fisioterapi berwenang untuk melakukan :

a. asesmen fisioterapi yang meliputi pemeriksaan dan evaluasi; b. diagnosis fisioterapi;

c. perencaan fisioterapi;

(35)

d. intervensi fisioterapi;

e. evaluasi/re-evaluasi/re-asesmen.

(2) Fisioterapi dalam menjalankan praktik fisioterapi dapat menerima pasien/ klien dengan rujukan dan/atau tanpa rujukan.

(3) Kewenangan untuk menerima pasien tanpa rujukan hanya dilakukan bila pelayanan yang diberikan berupa :

a. pelayanan bersifat promotif dan preventif;

b. pelayanan untuk pemeliharaan kebugaran, memperbaiki postur, pemeliharaan sikap tubuh dan melatih irama pernafasan normal; c. pelayanan dengan keadaan aktualisasi rendah dan bertujuan untuk

pemeliharaan.

Paragraf 6

Kewenangan Radiografer Pasal 29

(1) Dalam memberikan pelayanan radiologi dan imeging dengan menggunakan energi radiasi pengion dan non pengion dibwah pengawasan dokter spesialis radiologi, radiografer berwenang :

a. melakukan teknik pemeriksaan radiologi non kontras/pemeriksaan rutin : tulang belakang, thorak/costae, tulang muka dan tulang kepala, tulang ektremitas, gigi/geligi dengan panoramic, BNO/abdomen dan abdomen tiga posisi, panggul/pelvimetri, radiografi dengan teknik soft tissue, bone age/bone survey, tomografi, radiografi di ruang rawat inap, kamar bedah termasuk di poliklinik.

b. melakukan tindakan teknik pemeriksaan radiologi dengan bahan kontras : penyiapan bahan-bahan kontras radiografi, radiografi traktus urinarius, traktus digestivus, cholecystografi/biliari sistem, HSG, pemeriksaan USG, radiografi pada tindakan pemasangan pace maker/katerisasi jantung, radiogrfai pembuluh darah secara digital angiografi substraction (DSA).

(36)

c. melakukan pemeriksaan radiologi dengan alat canggih : tindakan pemeriksaan dengan alat CT scan/CT helical, pemeriksaan dengan alat SPECT Gamma Camera, MRI.

d. melakukan treatment planning system pada teknik penyinaran radioterapi: terapi tumor, kurva isodose tumor, menghitung dosis radiaso tumor, menetapkan waktu terapi radiasi tumor, membuat dokumentasi perencanaan terapi dengan oto terapi simulator.

e. melakukan tindakan penyinaran pada terapi radiasi : internal maupun external.

f. melakukan pekerjaan di mould room : membuat masker untuk radioterapi, membuat countour organ untuk terapi radiasi, membuat sistem blokradiasi untuk penyinaran terapi, membuat alat bantu penyinaran terapi radiasi.

g. melakukan teknik pemeriksaan kedokteran nuklir : statik, dinamik, RIA (radioimonoassy), extraksi/ilusi radiofarmaka, labeling radiofarmaka, memesan/menerima/memeriksa kiriman dan mempersiapkan radiofarmaka, melakukan processing data dari pemeriksaan scintidrafi thallium radio nuklide ventriculografi (RNV), tindakan pengelolaan limbah radioaktif dan persiapan pelaksanaan terapi isotop.

(2) Dalam memberikan pelayanan radiologi dan imeging dengan menggunakan energi radiasi pengion dan non pengion tanpa pengawasan dokter spesialis radiologi, radiografer berwenang :

a. melakukan pemeriksaan rutin; b. melakukan tindakan processing film; c. melakukan tindakan proteksi radiasi;

d. merencanakan penyelenggaraan pelayanan radiologi dan imejing.

Paragraf 7

Kewenangan Refraksionis Optisien Pasal 30

(1) Refraksionis optisien dalam melaksanakan pekerjaan berwenang untuk : a. melakukan pemeriksaan mata dasar;

(37)

b. melakukan pemeriksaan refraksi;

c. menetapkan, menyiapkan dan membuat kacamata berdasarkan ukuran lensa kacamata/lensa kontak sesuai dengan kebutuhan; d. menerima dan melayani resep kacamata dari dokter spesialis; e. mengepas (fitting) kacamata/ lensa kontak pada pemakai/pasien

untuk kenyamanan dan keserasian

Paragraf 8

Kewenangan Okupasi Terapi Pasal 31

(1) Okupasi terapi dalam melaksankan praktik okupasi terapi berwenang untuk melakukan pelayanan okupasi terapi yang meliputi pengembangan, pemeliharaan dan pemulihan aktivitas kegiatan sehari-hari, produktivitas, pemanfaatan waktu luag, memfungsikan peralatan adaptif dan alat bantu tertentu.

(2) Pelayanan okupasi terapi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. melakukan tindakan terapi pada problem kinerja okupasional untuk kelompok kasus musculoskeletal, neuromuskuler, kardiopulmonal, anak dengan gangguan mental, gangguna jiwa/psikososial, kasus terminal, kasus ketergantungan NAPZA, dan kasus geriatri;

b. melakukan tindakan stimulasi kinerja okupasional untuk kelompok kasus tumbuh kembang anak;

c. melakukan tindakan terapi pada problem komponen kinerja okupasinal dengan menggunakan : sensori integrasi dan snoezelen; d. melakukan tindakan terapi pada problem keterampilan pra akademik

pada kasus tumbuh kembang;

e. mendesain dan memfungsikan alat bantu fungsional; f. mendesain modifikasi lingkungan.

(38)

(3) Okupasi terapi dalam melakukan praktik okupasi terapi dapat menerima pasien/klien dengan rujukan dan/atau tanpa rujukan.

(4) Kewenangan untuk menerima pasien/klien tanpa rujukan hanya dapat dilakukan untuk pelayanan okupasi terapi yang meliputi pelayanan promotif, preventif, deteksi dini, penyembuhan dan pemulihan dalam intervensi okupasi terapis pada gangguan area kinerja okupasional dan gangguan komponen kinerja okupasional.

Paragraf 9

Kewenangan Terapis Wicara Pasal 32

(1) Terapi wicara dalam melaksanakan praktik terapis wicara berwenang untuk melakukan assesmen, diagnostik, prognostik, perencanaan, terapi, evluasi, rujukan dan advis dalam permasalahan terapi wicara. (2) Terapi wicara dalam melakukan praktik terapis wicara dapat menerima

pasien/klien dengan rujukan dan/atau tanpa rujukan.

(3) Kewenangan untuk menerima pasien/klien tanpa rujukan hanya dilakuakn bila pelayanan yang diberikan berupa pelayanan yang bersifat promotif dan preventif, pelayanan pada pasien dengan aktualisasi rendah dan bertujuan untuk pemeliharaan, serta pelayanan pada apsien dengan gangguan komunikasi ringan.

Paragraf 10

Kewenangan Profesi Gizi Pasal 33

(1) Kewenangan Profesi gizi meliputi tiga bidang yaitu : a. asuhan gizi;

b. manajemen sistem penyelenggaraan makanan masal; c. pelayanan gizi masyarakat.

(39)

(2) Kewenangan ahli gizi (RD) :

a. melakukan tata laksana/asuhan/pelayanan gizi klinik dan dietetik; b. mengelola pelayanan gizi masyarakat;

c. melaksanakan penelitian gizi;

d. melakukan pemasaran produk gizi dan kegiatan wirausaha; e. melaksanakan partisipasi bersama tim kesehatan dan tim lintas

sektoral;

f. melakukan praktik dalambidang gizi yang bekerja secara profesional dan etis.

(3) Kewenangan ahli madya gizi (DTR) :

a. melakukan tata laksana pelayanan gizi klinik dan dietetik; b. melaksanakan pelayanan gizi masyarakat;

c. menyelia sistem penyelenggaraan makanan masal; d. mendidik/menyuluh dan memberikan konseling gizi/diet; e. melakukan pemasaran produk gizi dan kegiatan wirausaha; f. melakukan praktik dalam bidang gizi yang bekerja secara

profesional dan etis.

Paragraf 11

Kewenangan Tenaga Kefarmasian Pasal 34

(1) Untuk apoteker yang bekerja pada instalasi farmasi di Apotik, Puskesmas dan Rumah Sakit memiliki kewenangan :

a. melayani resep dokter;

b. mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;

(40)

c. menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter;

d. penyiapan obat (peracikan, memasang etiket, mengemas dan penyerahan obat);

e. memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat; f. konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan

kesehatan;

g. monitoring penggunaan obat (pasien tertentu);

h. memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai (hanya terbatas pada obat bebas dan obat bebas terbatas);

i. pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah;

(2) untuk apoteker yang bekerja instalasi farmasi diluar apotik, puskesmas dan rumah sakit memiliki kewenanangan : pengelolaan, pengadaan, penyimpanan dan penyaluran perbekalan farmasi serta menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi pedagang besar farmasi. (3) Untuk tenaga kefarmasian yang memiliki SIK memiliki kewenangan :

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

BAB VII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 35

(1) Dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melindungi masyarakat, perlu dilakukan pembinaan terhadap tenaga kesehatan.

(2) Pembinaan dilakukan oleh Kepala Dinas bekerja sama dengan organisasi proffesi dan/atau asosiasi yang terkait.

(41)

BAB VIII

SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 36

(1) Setiap pemegang izin tenaga kesehatan yang melanggar ketentuan Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 dikenakan sanksi administrasi.

(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. teguran tertulis sebanyak 3 kali dengan interval teguran 1 (satu)

bulan, 2 (dua) minggu dan 1 (satu) minggu; b. denda;

c. pembekuan izin selama 6 bulan; d. pencabutan izin.

(3) Pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan sebesar: Rp.10.000.000.,- (sepuluh juta rupiah);

(4) Hasil pengenaan sanksi administrasi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetorkan ke kas daerah.

BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 37

Tenaga Kesehatan yang sebelum Peraturan Walikota ini ditetapkan telah memiliki izin dan izin tersebut belum berakhir, maka izin tersebut dinyatakan tetap berlaku sampai masa izinnya habis.

BAB X

KETENTUAN PENUTUP Pasal 38

Materi yang terdapat dalam form-form perizinan tenaga kesehatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

(42)

Pasal 39

Peraturan Walikota ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Walikota ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kota Depok.

Ditetapkan di Depok pada tanggal 29 Juni 2012

WALIKOTA DEPOK ttd,

H. NUR MAHMUDI ISMA`IL

Diundangkan di Depok pada tanggal 29 Juni 2012

SEKRETARIS DAERAH KOTA DEPOK ttd,

Hj. ETY SURYAHATI

(43)

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR : 24 TAHUN 2012

TANGGAL : 29 Juni 2012

DAFTAR FORMULIR PERIZINAN TENAGA KESEHATAN

I. Formulir I : Permohonan Surat Izin Praktik Dokter/ Dokter Gigi/Dokter Spesialis

II. Formulir IIa : Format Surat Izin Praktik Dokter/Dokter Gigi/ Dokter Spesialis

III. Formulir IIb : Format Surat Izin Praktik Intersip

IV. Formulir IIIa : Berita Acara Pemeriksaan Dokter Umum V. Formulir IIIb : Berita Acara Pemeriksaan Dokter Gigi VI. Formulir IIIc : Berita Acara Pemeriksaan Dokter Spesialis VII. Formulir IV : Permohonan Surat Izin Praktik/Kerja Perawat VIII. Formulir IVa : Format Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) IX. Formulir IVb : Format Surat Izin Kerja Perawat (SIKP) X. Formulir VI : Berita Acara Pemeriksaan Perawat Mandiri

XI. Formulir VII : Permohonan Surat Izin Kerja Perawat Gigi (SIKPG) XII. Formulir VIII : Format Surat Izin Kerja Perawat Gigi (SIK-PG) XIII. Formulir IX : Permohonan Surat Izin Praktik/Kerja Bidan XIV. Formulir Xa : Format Surat Izin Kerja Bidan (SIKB) XV. Formulir Xb : Format Surat Izin Praktik Bidan (SIPB) XVI. Formulir XI : Berita Acara Pemeriksaan Bidan Mandiri

XVII. Formulir XII : Permohonan Surat Izin Praktik Fisioterapis (SIPF) XVIII. Formulir XIII : Format Surat Izin Praktik Fisioterapis (SIPF)

XIX. Formulir XIV : Berita Acara Pemeriksaan Praktik Fisioterapis Mandiri XX. Formulir XV : Permohonan Surat Izin Kerja Radiografer (SIKR) XXI. Formulir XVI : Format Surat Izin Kerja Radiografer (SIKR)

XXII. Formulir XVII : Permohonan Surat Izin Kerja Refraksionis Optisien (SIKRO)

XXIII. Formulir XVIII : Format Surat Izin Kerja Refraksionis Optisien (SIKRO) XXIV. Formulir XIX : Permohonan Surat Izin Praktik Okupasi Terapis (SIPOT) XXV. Formulir XX : Format Surat Izin Praktik Okupasi Terapis (SIPOT)

(44)

XXVI. Formulir XXI : Berita Acara Pemeriksaan Okupasi Terapi

XXVII. Formulir XXII : Permohonan Surat Izin Praktik Terapis Wicara (SIPTW) XXVIII. Formulir XXIII : Format Surat Izin Praktik Terapis Wicara (SIPTW) XXIX. Formulir XXIV : Berita Acara Pemeriksaan Terapis Wicara

XXX. Formulir XXVa : Permohonan Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) XXXI. Formulir XXVb : Permohonan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) XXXII. Formulir XXVc : Permohonan Surat Izin Kerja Tenaga Teknis

Kefarmasian (SIK TTK)

XXXIII. Formulir XXVIa : Format Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) XXXIV. Formulir XXVIb : Format Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA)

XXXV. Formulir XXVIc : Format Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIK TTK)

XXXVI. Formulir XXVII : Permohonan Surat Izin Kerja Profesi Gizi XXXVII. Formulir XXVIII : Format Surat Izin Kerja Profesi Gizi

XXXVIII. Formulir XXIX : Berita Acara Pemeriksaan Praktik Tenaga/Profesi Gizi Mandiri

WALIKOTA DEPOK

ttd,

Referensi

Dokumen terkait

siswanya melalui toko Ibu Ahmad yang tetap buka meski tidak ada yang menjaga. Hanya catatan kecil yang bertulis harga yang ada di dalam toko tersebut. Anak harus

Metode ini digunakan untuk memperkirakan berapa area (penutupan relatif) yang diperlukan tiap-tiap spesies dan berapa total basal dari vegetasi di suatu daerah. Total basal

Berdasarkan hasil pantauan cuaca yang terjadi bulan Juli 2020 di Stasiun Syamsudin Noor Banjarmasin, kondisi cuaca signifikan kejadian hujan sebanyak 15 kali, petir

3.500.000,- untuk setiap program studi setiap tahun sehingga meskipun tidak mendapatkan dana pengabdian dari pihak luar, dosen dalam suatu program studi tetap dapat

9.5 Tersedianya standar khusus untuk serti fikasi hutan adat melalui certi fication by policy untuk hutan adat diluar tujuan produksi kayu 10 .Revisi prosedur Sertifikasi PHBML

Menurut Figueroa dan Silk dalam Halgin dan Whitbourne (2010:94), bahwa merusak diri sendiri dan perilaku impulsif dari orang dengan gangguan tersebut, dikombinasikan dengan

Penelitian kearifan lokal Tacca leontopetaloides dari kepulauan yang ada di Indonesia ini dilakukan diantaranya di Pulau Kangean yang termasuk kabupaten Sumenep, Jawa

Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (selanjutnya disebut dengan Prodi IPI FAH UIN