• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Studi pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Studi pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan) Chapter III V"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN UMUM BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL

1. Pengertian

Pengertian arbitrase dalam literatur sejarah hukum Islam, arbitrase lebih identik dengan istilah tahkim atau hakam. Istilah ini secara literal berartimengangkat sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan secara terminologi definisi yang dikemukakan Salam Madzkur. Menurutnya, tahkim atau hakam adalah pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai.35

Sudargo Gautama, menyatakan bahwa arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikiler yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.36

Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh para pihak-pihak pengusaha yang bersengketa, penyelesaian sengketa di

35 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, PT. Radjagrafindo, Jakarta, 2002, hal. 154-155.

(2)

luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas para pihak, kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis.37

R. Subekti, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau mentaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut38.

Menurut Undang-Undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Sedangkan arbitrase dalam perspektif Islam (arbitrase syariah) dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja hakkama39.

Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seseorang menjadi pencegah suatu sengketa.

Secara teknis tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini, yaitu: pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Kata sinonim yang digunakan adalah muhakkam, sedang wasit atau arbiter digunakan istilah hakam, yaitu: Who States A Dispute (yang menyelesaikan perselisihan.40

37

Abdul kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. hal. 276.

38 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, PT. Bina Cipta, Bandung, 1979. hal 1

39 Luis Ma’luf, Al Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut Dar al-Masyria, 1994. hal 146 40 Bernard Lewis, Encyclopedia of Islam, Leiden: E. J. Briil, 1987. Vol. VII, hal 72

(3)

Dalam istilah fiqih, pengertian tahkim seperti yang didefinisikan oleh Abu Al-Ainain Abdul Fatah Muhammad, diartikan sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka para pihak.41

Bahwa menurut para pakar hukum Islam, terutama dari kalangan mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah memberikan pengertian sebagai berikut:

Menurut kelompok Hanafiyah hakam adalah memisahkan persengketaan dan memutuskan pertikaian atau menetapkan hukum antara manusia dengan yang haq dan dengan apa yang ditentukan oleh Allah SWT. Sedangkan menurut kelompok Syafi’iyah hakam adalah memisahkan pertikaian antara dua pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT, atau menyatakan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa bagi yang wajib melaksanakannya.42

Bahwa dari pengertian di atas, apabila diperhatikan dalam setiap perselisihan atau sengketa di dalam membuat perjanjian (aqad) terdapat tiga komponen penting yang menimbulkan persengketaan. Ketiga komponen yang menjadi persengketaan dalam hal ini adalah: Pertama, mushalih yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian atau aqad yang berkaitan dengan klausula perjanjian yang telah ditetapkan sebelum atau sesudah terjadinya sengketa. Kedua, mushalih ‘anhu yaitu persoalan para pihak yang dipersengketakan berkaitan dengan isi atau materi perjajian yang menjadi sumber sengketa. Ketiga, mushalihi ‘alaini atau badalush sulh yaitu arbitor

41 Abu al-Ainain Abdul Fatah Muhammad, Al-Qadha Wa al-Istbat Fi al-Fiqhal-Islami, Dar al-Fikr, Mesir, 1976. hal 84.

42

Said Agil Husain al-Munawar, Pelaksanaan Arbitrase Islam dalam Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal 48-49.

(4)

yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa terhadap seseorang yang melakukan wanprestasi atau pelanggaran yang dilakukan pihak lain atau pihak yang bermasalah dalam permasalahn hukum.

Pada hakikatnya arbitrase dalam perspektif Islam atau arbitrase syariah mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian arbitrase secara umum di Indonesia. Dalam dunia hukum sekarang ini, kata arbitrase berasal dari bahasa latin, yaitu arbitrate yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan.43

Bahwa dalam istilah bahasa Inggris arbitrase disebut arbitration sehingga dari kedua istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa arbitrase mengandung pengertian sebagai cara penyelesaian suatu persengketaan melalui arbiter yang berusaha menghilangkan sikap permusuhan di antara dua pihak yang bersengketa. Inilah yang merupakan salah satu ciri khas dari sistem pengadilan arbitrase dibandingkan dengan sistem pengadilan yang lain.

Bahwa dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa arbitrase syariah adalah suatu cara penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan oleh wasit

(hakam) di luar lembaga peradilan berdasarkan kesepakatan baik sebelum atau sesudah terjadinya sengketa secara syariah.44

Kewenangan absolut Pengadilan Agama telah dimuat dalam Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adapun pembatasan dari

43 M. Husyein Umar dan A. Supriyani Kardono, Hukum dan LembagaArbitrase di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. hal 2

(5)

kewenangan Pengadilan Agama di bidang ekonomi syariah adalah tidak menjangkau sengketa perjanjian yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri. Sebaliknya, badan-badan peradilan negara pun tidak berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang timbul dari suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase. Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Dalam hal ini, dengan adanya klausul arbitrase tersebut, maka kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian tersebut menjadi jatuh ke dalam kewenangan absolut arbitrase. Sehingga kalaupun para pihak tetap mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke lembaga peradilan negara, pengadilan bersangkutan wajib menolaknya dengan menyatakan tidak berwenang mengadilinya. Pasal 11 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

44 Mardani, 2009, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Sinar Grafika,

(6)

2. Sejarah

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang dahulu bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan, sebagaimana dikukuhkan dalam Akte Notaris Yudo Paripurno, SH. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993 tersebut.45

HS. Prodjokusumo Sekum MUI, menyebutkan bahwa gagasan pembentukan badan ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prisip syariat Islam (BPRS) yang lebih dulu lahir, bersesuaian dengan diberlakukannya perangkat hukum yang mendukung beroperasinya perbankan dengan sistem yang berprinsip Islam yaitu UU No. 7/1992 dan PP No. 71 dan 72 tahun 1992. Selain bank, telah diketahui pula adanya rencana pengoperasian asuransi berdasarkan prinsip Islam. Perkembangan baru Lembaga Keuangan Islam tersebut menjadi nyata dengan diresmikannya asuransi Takaful pada Agustus 1994.

Beberapa tahun kemudian, atas keputusan MUI melalui hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada tanggal 23 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Jakarta, hlm. 69.

45 Abdul Rahman Saleh, Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal, 191.

(7)

Syariah Nasional) dengan suatu alasan bahwa banyaknya sistem bank yang menggunakan prinsip dan nama syariah. Sehingga timbul kesan di kalangan masyarakat luas bahwa BAMUI adalah lembaga penyelesaian sengketa yang dikhususkan untuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) saja mengingat pada saat itu bank yang pertama kali memberlakukan prinsip syariah adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) karena dilihat dari penggunaan kata muamalatnya. Dari banyaknya nama syariah inilah akhirnya MUI merubah BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Di samping itu juga karena banyaknya anggota pembina dan pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang meninggal dunia. Juga ada yang beranggapan bahwa yang mendirikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah Bank Muamalat itu sendiri, padahal kenyataannya yang meresmikan BAMUI adalah MUI itu artinya Majlis Ulama Indonesia yang mendirikan BAMUI dengan segala keputusan yang menyangkut BAMUI diputuskan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).

Setiap lembaga atau badan pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dengan tujuan tersebut lembaga atau badan dapat memperkirakan mutu didirikannya badan atau lembaga tersebut. Seperti halnya Badan Arbitrase Syariah Nasional memiliki fungsi dan tujuan.

Penyelesaian sengketa-sengketa keperdataan (khususnya) yang ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) diputuskan secara damai (islah). Menurut Islam mendamaikan persengketaan itu merupakan pekerjaan baik dan terpuji seagaimana terkandung dalam surah Annisa ayat 128. Dalam surat Al Hujurat ayat 9

(8)

justru mendamaikan orang yang bersengketa itu menjadi suatu perintah sebagaimana Allah SWT berfirman yang artinya:

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang (bersengketa) maka damaikanlah keduanya secara adil”.46 Bahwa dengan prinsip perdamaian, menurut A. Wasil Auli terdapat nilai-nilai positif dan juga konstuktif yaitu:

1. Kedua pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian sengketa yang terhormat dan bertanggung jawab.

2. Secara sukarela mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang atau lembaga yang disetujui dan dipercayai.

3. Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dari arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter. Kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus ditepati.

4. Mereka menghargai hak orang lain sekalipun orang lain itu adalah lawannya. 5. Mereka tidak ingin merasa benar sendiri dan mengabaikan kebenaran yang

mungkin ada pada orang lain.

6. Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran bernegara atau bermasyarakat sehingga dapat dihindari tindakan main sendiri.

7. Sesungguhnya pelaksanaan tahkim atau arbitrase mengandung makna musyawarah dan perdamaian.

Di samping itu tujuan utama pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai berikut:

(9)

1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata/muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain.

2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai Lembaga Arbitrase Islam, merupakan badan yang berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mempunyai kewenangan dalam upaya penyelesaian sengketa bisnis para pihak sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

Dalam setiap Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengenai kegiatan ekonomi syariah, maka sebagian besar fatwa tersebut mencantumkan ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Secara prinsip, dimasukkannya ketentuan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Fatwa merupakan suatu pemikiran yang baik. Pelaku usaha Syariah akan memperoleh perlindungan hukum dari para arbiter yang sangat memahami ekonomi Syariah. Dengan demikian kedudukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) semakin kuat dengan

(10)

adanya anjuran dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tersebut.47

C. Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional Dalam Menyelesaikan

Sengketa Perbankan

Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai lembaga arbitrase Islam tidak bisa dilepaskan dengan adanya bank syariah, terutama Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang pada saat itu satu-satunya bank yang menggunakan prinsip syariah. Kemudian disambut dengan dioperasikannya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Asuransi Takaful sebagai lembaga keuangan yang juga berdasarkan prinsip syariah.

Bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berdasarkan prinsip syariah perkembangan muamalah (hukum perdata Islam) telah berkembang mulai dari masalah hukum keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, dan perceraian ditambah lagi dengan hukum bisnis, seperti perekonomian dan usaha lainnya. Apabila dikemudian hari timbul sengketa dari para pihak, apabila sengketa itu timbul dari masalah bisnis syariah maka penyelesaiannya diserahkan kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan klausula yang dibuat para pihak sebelum perjanjian dilakukan.

Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) secara yuridis formal mempunyai legitimasi yang sangat kuat di negara Indonesia. Terdapat dasar hukum negara sebagai hukum positif yang berlaku saat ini memungkinkan suatu

47 Ibid, hal 144.

(11)

lembaga di luar lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi linvgkungan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.48

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) merupakan badan arbitrase Islam, maka landasan hukumnya pun tidak lepas dari pedoman Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Karena penyelesaian sengketa melalui seorang juru damai merupakan kebiasaan dari masyarakat sejak masa Arab pra Islam. Nabi Muhammad SAW seringkali diangkat menjadi juru damai oleh masyarakat arab pada saat itu, saat beliau belum menjadi Rasul. Suatu contoh, pada kasus siapa yang berhak meletakan Hajar Aswad pada tempatnya kembali, mereka mempercayai Nabi untuk menyelesaikannya serta merasa puas akan keputusan yang adil dari Nabi Muhammad SAW, sejak itu akhirnya Nabi Muhammad SAW diberi gelar Al Amin.

Adapun dasar hukum arbitrase syariah dapat dilihat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan tentang perlunya perdamaian, antara lain sebagai berikut:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimilah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah

48 Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah

Syariah”, cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2009).

(12)

memberikan taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.49 Jika dilihat secara tekstual ayat ini mengandung pengertian hakam dalam masalah keluarga, menyelesaikan perselisihan antara suami isrtri. Namun jika dilihat dari semangat yang terkandung di dalamnya, maka terdapat hakam untuk menyelesaikan perkara secara ishlah, bukan tidak mungkin untuk diterapkannya pada masalah lain.

Dasar hukum arbitrase syariah selanjutnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i yang menceritakan tentang dialog Nabi dengan Abu Syureikh, di kalangan rakyat jika terjadi perselisihan dalam berbagai hal, Abu Syureikh seringkali diangkat sebagai wasit untuk menyelesaikan masalah di antara mereka: “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Yazid, dia adalah putera Miqdam bin Syureikh dari Syreikh Ibnu Hani, dari bapaknya yaitu Hani, bahwa dia (Hani) tatkala datang kepada Rasul maka Rasul berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah itulah Hakim dan kepadanyalah dikembalikan segala permasalahan hukum namun mengapa engkau digelari “Abu Al Hakim”? maka Hani berkata: “Sesungguhnya kaumku manakala terjadi perselisihan di antara mereka tentang sesuatu maka mereka mendatangiku dan aku memberikan putusan hukum bagi mereka dan masing-masing pihak yang berselisih itu menerima (keputusan) dengan rela hati”. Rasul berkata: “Alangkah baiknya hal demikian”.

Selain Al Quran dan Hadits yang menjadi dasar hukum arbitrase syariah adalah ijma (kesepakatan) para ulama dari kalangan sahabat Rasulullah atas

49 Surat An-nisa ayat 35

(13)

keabsahan praktik tahkim. Persengketaan pernah terjadi yang diputuskan melalui arbitrase di kalangan sahabat. Ini menunjukan bahwa arbitarse sesungguhnya sudah menjadi keharusan bagi para pihak yang bersengketa untuk mengedepankan rasa perdamaian dan persaudaraan diantara sesama.

Dari segi tata hukum Indonesia, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai lembaga arbitrase Islam mempunyai kedudukan yang kuat karena hukum positif yang berlaku saat ini yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur kemungkinan suatu lembaga lain di luar lembaga peradilan umum dapat menyelesaikan suatu sengketa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.

Kewenangan Badan Arbitrase diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam pasal tersebut ditentukan mengenai sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase dan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase.

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase yakni meliputi sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

(14)

Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyebutkan bahwa:

“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.”

Pencantuman klausul arbitrase ini mempunyai arti penting berkaitan dengan kewenangan pengadilan, sebab berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa Pengadilan Negeri, dalam hal ini termasuk dengan Pengadilan Agama, tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian arbitrase timbul karena adanya suatu klausul kesepakatan yang terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni :50

1. Pactum de compromitendo, yaitu klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, dapat juga bersamaan dengan saat pembuatan perjanjian pokok atau sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitrase tersebut menjadi satu dengan perjanjian pokoknya atau dalam perjanjian tersendiri di luar perjanjian pokok. 2. Acta compromitendo, yaitu suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (acta compromitendo/akta kompromis), sehingga klausul atau perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau pendahuluannya atau dalam suatu perjanjian tersendiri

(15)

setelah timbul sengketa yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.

Terkait dengan sengketa Perbankan Syariah, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) memiliki kedudukan yang semakin kuat dengan lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 55 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan sebagai berikut :

1. Penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.

3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya melalui:

1. Musyawarah, 2. Mediasi perbankan,

3. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

50 Budhy Budiman, Ibid.

(16)

Ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, jika dipahami berdasarkan teori hukum perjanjian, maka ketentuan tersebut adalah terkait adanya asas kebebasan berkontrak.

Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan.51

Badan Arbitrase Syariah Nasional memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya:52

1. Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab

2. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise);

3. Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;

4. Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas

51

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hal 31. 52

Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.167-168.

(17)

kesepakatan mereka mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati;

5. Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang;

6. Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia maupun Bank Perkreditan Rakyat Islam, Badan Arbitrase Syariah Nasional akan memberi peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional.

Disamping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa kelemahan, antara lain :

1. Perkembangan Badan Arbitrase Syariah Nasional yang belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia dalam hal manajemen dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Apabila dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relatif baru berdiri, maka Badan Arbitrase Syariah Nasional masih harus berbenah diri. Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang representatif, mampu membantu penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan.

(18)

2. Sosialisasi keberadaan lembaga yang masih terbatas, terkait penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah.53

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MELALUI BADAN

ARBITRASE SYARIAH NASIONAL PT. BPRS PUDUARTA INSANI MEDAN

A. Sengketa Yang Diselesaikan Oleh PT. BPRS Puduarta Insani Medan

Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional

Konflik yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang mengalami kerugian menyatakan rasa tidak puas hati atau prihatin, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian. Secara prinsip dalam hal penegakan hukum di Indonesia hanyalah dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial power)

yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut badan yudikatif sesuai dengan Pasal 24 UUD 1945. Dengan demikian yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanyalah badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung Republik Indonesia.54

Undang-Undang Kehakiman dengan tegas menyatakan bahwa yang ber wenang dan yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung

53 Budiman, Op.Cit.

(19)

menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal tersebut meresahkan masyarakat dan dunia bisnis, sebab jika mengandalkan pengadilan sebagai satu-satunya penyelesaian sengketa, tentu dapat mengganggu kinerja pembisnis dalam menggerakan perekonomian, serta memerlukan biaya yang relatif besar. Untuk itu dibutuhkan instruksi yang lebih efesien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa bisnis.

Bahwa PT. BPRS Puduarta Insani Medan ketika ada suatu permasalahan proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama di luar pengadilan, yang dianggap dapat mengakomodasi kelemahan-kelemahan litimigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik dari pengadilan. Proses pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win solution. Menjamin persengketaan para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah karena komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.

Bahwa adapun dasar hukum keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, yaitu pada dasarnya dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 55 UU 21/2008 yang menegaskan bahwa Basyarnas juga dapat menghasilkan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada banding dan kasasi terhadap putusan tersebut. Kemudian berkaitan dengan 54 Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, Fajar Media Press, Yokyakarta, 2012, hal, 286.

(20)

permasalahan dasar hukum keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, pada dasarnya juga dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 60 UU 30/1999, yang menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Kedudukan keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, maka kekuatan hukum untuk pelaksanaan surat keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah sah dan mengikat para pihak serta bersifat final, hal ini dimaksudkan untuk menciptakan tertib hukum berkaitan dengan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan perbankan syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama.

Pelaksanaan surat Keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah setelah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, sangat memiliki keterkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama dalam pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional yang didasari dengan Pasal 59-64 UU 30/1999 dan ketentuan Pasal 55 UU 21/2008 serta Pasal 54 UU 50/2009 yang menunjukkan bahwa pelaksanaan putusan Basyarnas dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah memerlukan kewenangan Pengadilan Agama agar pelaksanaan Keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, hal tersebut dimaksudkan untuk mencapai keselarasan antara hukum materil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam,

(21)

dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam.

Dasar hukum pelaksanaan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah setelah lahirnya Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah lahirnya Surat Edaran MA

(SEMA) Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur eksekusi putusan badan arbitrase syariah nasional yang menghendaki pelaksanaan eksekusi sengketa perbankan syariah Setelah Lahirnya Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kewenangan pengadilan agama dalam pelaksanaan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional mengenai sengketa perbankan syariah setelah lahirnya Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, adalah selaras dengan ketentuan Pasal 49 UU 50/2009, yang telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama, yaitu memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah. Dalam penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah reksadana syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syari’ah, dan lembaga keuangan mikro syari’ah yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadi

(22)

sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank perkreditan Rakyat Syariah. Lembaga Arbitrase Syariah merupakan penyelesaian sengketa secara syariah antara kedua belah pihak di jalur pengendalian untuk mencapai kesepakatan masalah ketika upaya mufakat tidak tercapai. Di samping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum, yaitu pendapat yang mengikat adanya suatu persoalan tetentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk deselesaikan. Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatian rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbanganuntuk meng hindari lamanya proses penyelesaian.

Dalam ketentuan badan arbitrase, keputusan pendamaian harus dijalankan dengan cara sukarela. Namun, sekiranya tidak dijalankan menurut ketentuan hukum yang ada di Indoensia, maka eksekusi akan dijalankan melalui Pengadilan Negeri setempat. Kewenangan Pengadilan Negeri tentunya sebatas dalam pelaksanaan eksekusi saja, tanpa harus mengolah atau memeriksa ulang kembali kasus yang sudah diselesaikan arbiter. Sistem hukum seperti ini sering menjadi perdebatan di kalangan pemerhati hukum, baik hukum konvensional maupun syariah dan cenderung dipandang sebagai salah satu kelemahan penyelesaian hukum melalui lembaga Badan Arbitrase Syariah Nasional.

(23)

Bahwa PT. BPRS Puduarta Insani Medan merupakan sektor perbankan dengan posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem perbankan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pembangunan nasional. Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.

Bank sebagai lembaga perantara dana (financial intermediary) memiliki tugas pokok menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Bank mempunyai peranan strategis dalam pembangunan nasional yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat sehingga dapat melaksanakan tugas pokoknya dengan baik. Kepercayaan dari masyarakat terhadap bank hanya dapat timbul apabila bank dalam kegiatan usahanya mampu melindungi keamanan dana nasabah yang disimpan di bank.

Saat ini layanan jasa perbankan berperan aktif dalam lalu lintas pembayaran transaksi bisnis. Ekspansi dunia usaha perbankan telah sampai ke pusat-pusat bisnis di berbagai pelosok tanah air, dengan kata lain lembaga perbankan telah memasyarakat. Oleh karena itu, calon nasabah menyadari banyak keuntungan yang dapat diperoleh jika menyimpan dana di bank. Namun sengketa dalam pelaksanaan hubungan hukum antara nasabah dan bank masih sering ditemui.

(24)

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan. Para pihak telah menyepakati secara tertulis bahwa jika terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah mereka buat maka mereka akan memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan tidak berperkara di depan peradilan umum. Dengan demikian yang dilakukan adalah memutuskan pilihan forum, yaitu yuridiksi dimana suatu sengketa akan diperiksa dan bukan pilihan hukum.

Konsekuensi dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah bagi para pihak yang kalah harus secara sukarela melaksanakan isi putusan arbitrase tersebut, akan tetapi apabila ternyata putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 61 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase dilaksanakan dengan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak.

Untuk itu pula, maka salinan asli dari putusan arbitrase dan lembar asli pengangkatan atau penunjukkan arbiter harus diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian berarti Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan putusan arbitrase sebagaimana halnya melaksanakan isi putusan pengadilan biasa yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

(25)

Oleh karenanya, setiap putusan arbitrase salinan lembar aslinya harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat baik oleh arbiter atau salah seorang dari mereka ataupun oleh kuasa arbiter dalam waktu paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan. Jika tidak didaftarkan, maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa PT. BPRS Puduarta Insani Medan

Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional

Ajaran Islam memberikan tuntunan bagi yang mengalami perselisihan untuk saling berdamai, bermusyawarah untuk mufakat, apabila tidak disepakati

maka diambillah salah seorang ataupun pihak lain untuk menjadi pendamai kedua belah pihak yang bersengketa, apabila belum juga terdapat jalan keluar Islam mengajarkan untuk bertahkim ataupun membawa perkara kepada pengadilan yang adil, pertama yaitu menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahan

penyelesaian kepada badan arbitrase syariah nasional sesuai dengan prosedur yang berlaku, yang kedua, memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

(26)

pihak yang bersengketa. Syariah (syari’at) adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam baik berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah suatu lembaga arbitrase yang berprinsip syariah.

Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 35 Tahun 1999, dan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaa Kehakiman

menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh badan peradilan yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian dalam penjelasannya

memperbolehkan adanya penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase, adapun bunyi ketentuan tersebut antara lain : “Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan”. Dan “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesai an perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase”.

Setelah tanggal 29 Oktober 2009, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, lembaga arbitrase semakin diakui eksistensinya sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 58 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan : “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.

(27)

Sedangkan Pasal 59 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa :

1. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

2. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

3. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.

Badan Arbitrase Syariah Nasional sesuai dengan Pedoman Dasar yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ialah lembaga hakam yang bebas, otonom dan independen, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak manapun. Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana Dewan Syariah Nasional (DSN), Lembaga Pengkajian, Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (LP-POM), Yayasan Dana Dakwah Pembangunan(YDDP).

Saat ini Badan Arbitrase Syariah Nasional belum memiliki ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus terkait dengan tata cara pelaksanaannya, sehingga dalam menyelesaikan sengketa masih berdasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

(28)

Bahwa dari hasil wawancara penulis kepada salah satu orang sub bagian Legal pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan adalah sebagai berikut:55

1. Bagaimana proses pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?

Pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan melalui beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tahapan agunan berupa benda tidak bergerak dalam bentuk tanah bersertifikat Hak Hilik (SHM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai diatas tanah negara, semua hal tersebut pengikatannya dilakukan menggunakan Hak Tanggungan (HT).

Bahwa dalam melaksanakan pengikatan agunan agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Meminta kepada calon debitur untuk menyiapkan terlabih dahulu tanda bukti pelunasan pajak kepada instansi terkait.

2. Khusus barang agunan berupa tanah dan bangunan, selama masih dibebani hak tanggungan, debitur berkewajiban menyerahkan bukti pelunasan pajak bumi dan bangunan (PBB) tahunan.

3. Dalam hal barang agunan milik pribadi/perorangan, maka kepada pihak suami dan istri diwajibkan untuk menandatangani akta pemberian hak tanggungan/ pengikatan agunan.

55 Hasil Wawancara Kepada Bapak Hamzah Ali ,Bagian Legal Bank PT. BPRS Puduarta

Insani Medan , Pada Tanggal 09 Januari 2017

(29)

Bagaimana jika debitur menyerahkan agunan berupa beberapa bidang tanah? Jika debitur menyerahkan agunan berupa beberapa bidang tanah seperti sertifikat hak milik, maka langkah selanjutnya harus dipasang Hak Tanggungan. Pengikatan Hak Tanggungan terhadap tanah selain dapat dilakukan sesuai ketentuan-ketentuan dapat juga dilakukan dengan alternative lain yaitu apabila debitur menyerahkan agunan beberapa objek tanah, maka objek tanah tersebut dapat diikat/dipasang pada satu sertifikat Hak Tanggungan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Hak atas tanah dan kepemilikan yang sama.

2. Lokasi/objek tanah berada pada satu hamparan atau tempat yang tidak terpisahkan dan berada pada satu wilayah kantor pertanahan yang sama. 3. Jangka waktu masing-masing hak tanah khususnya hak guna bangunan,

hak guna usaha, dan hak pakai tidak lebih pendek dari jangka waktu kreditnya.

Bahwa jumlah hutang debitur harus disesuaikan dengan jaminan yang dipasang Hak Tanggungan, sebelum melakukan penandatanganan antara pihak kreditur yaitu PT. BPRS Puduarta Insani Medan dengan pihak debitur harus disebutkan jumlah hutang atau pinjaman yang akan diberikan oleh pihak debitur dan disesuaikan oleh jaminan yang akan dipasang Hak Tanggungan.

2. Apakah jumlah hutang debitur harus disesuaikan dengan jaminan yang dipasang Hak Tanggungan?

Ya, sebelum melakukan penandatanganan antara pihak kreditur yaitu PT. BNI (Persero) Tbk SKC Polonia Medan dengan pihak debitur harus disebutkan jumlah

(30)

hutang atau pinjaman yang akan diberikan oleh pihak debitur dan disesuaikan oleh jaminan yang akan dipasang Hak Tanggungan.

3. Bagaimana bentuk perlindungan hukum kepada kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?

Bentuk perlindungan hukum kepada kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan bahwa pada waktu pembebanan Hak Tanggungan terhadap tanah dan bangunan ada beberapa janji-janji debitur yang dapat dicantumkan pada akta pemberian Hak Tanggungan. Mengenai janji-janji yang wajib dicantumkan dalam akta pemberian Hak Tanggungan, tidak semua janji yang memberikan perlindungan kepada kreditur tetapi hanya sebagaian besar saja, seperti:

1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk meyewakan objek hak tanggungan dana atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dana atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.

2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Tak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.

3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji.

(31)

4. Janji yang memberikan kewenangan pemegang Hak Tanggungan untuk meyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.

5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji.

6. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.

7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum. 8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau

sebagain dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan.

9. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.

4. Bagaimana tata cara eksekusi Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit terhadap debitur yang wanprestasi di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?

(32)

Tata cara eksekusi Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit terhadap debitur yang wanprestasi di PT. BPRS Puduarta Insani Medan, yaitu:

1. Mendata barang agunan yang akan dieksekusi.

2. Pihak kreditur membantu memasarkan agunan yang berada di daerah kerjanya.

3. Mengantar calon pembeli yang akan meninjau, melakukan penilaian 6 bulan sekali dan menginformasikan harga penawaran.

4. Penjualan agunan selain dilakukan melalui penawaran tertulis dapat juga dilakukan melalui penawaran terbuka yang disaksikan oleh pejabat bank dan debitu (pemilik agunan).

5. Melakukan negosiasi terhadap debitur secara persuasif.

6. Negosiasi antara calon pembeli dengan pemilik agunan diketahui oleh bank, dalam hal ini bank berkepentingan dalam penetapan harga jual, syarat-syarat penjualan dan hasil penjualan.

7. Melakukan monitoring atas hasil penerimaan penjualan.

8. Hasil penjualan harus digunakan untuk menurunkan out standing kreditnya. 9. Melakukan monitoring penyerahan dokumen atas agunan tersebut.

10.Seluruh biaya biaya yang timbul dari transaksi penjualan agunan menjadi beban debitur.

Hal-hal dalam keadaan ketika terjadi permasalahan yang timbul dalam penyelesaian akan kredit, seorang Legal PT. BPRS Puduarta Insani Medan siap menjalankan tugasnya sebagaimana yang telah di tugaskan oleh pimpinan PT. BPRS Puduarta Insani Medan.

(33)

C. Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Terkait Sengketa

Perbankan Pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan

Bahwa putusan arbitrase yang pelaksanaan eksekusinya melalui atau dengan fiat eksekusi yang disertai dengan tanda tangan dari Ketua Pengadilan Negeri, maka pelaksanaan putusannya sesuai dengan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan eksekusi atas putusan arbitrase akan berbeda dengan permohonan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri. Secara jelas disebutkan dalam Pasal 64 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa “Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Bahwa di samping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum, yaitu pendapat yang mengikat adanya suatu persoalan tetentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk deselesaikan. Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatian rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.

Bahwa dalam ketentuan badan arbitrase, keputusan pendamaian harus dijalankan dengan cara sukarela. Namun, sekiranya tidak dijalankan menurut ketentuan hukum yang ada di Indonesia, maka eksekusi akan dijalankan melalui

(34)

Pengadilan Negeri setempat. Kewenangan Pengadilan Negeri tentunya sebatas dalam pelaksanaan eksekusi saja, tanpa harus mengolah atau memeriksa ulang kembali kasus yang sudah diselesaikan arbiter. Sistem hukum seperti ini sering menjadi perdebatan di kalangan pemerhati hukum, baik hukum konvensional maupun syari’ah dan cenderung dipandang sebagai salah satu kelemahan penyelesaian hukum melalui lembaga arbitrase.

Bahwa dalam hal implementasi, PT. BPRS Panduarta Insani Medan harus menjalankan kegiatannya berdasarkan syari’ah. Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem syari’ah diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara bank dan nasabah. Bila terjadi perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi perjanjian, kedua pihak akan berusaha menyelesaikan secara musyawarah.

Bahwa dalam beberapa fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) ditetapkan bahwa perselisihan atau sengketa antara para pihak dalam kegiatan ekonomi syariah diselesaikan melalui BASYARNAS. Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, penyelesaian dilakukan melalui BASYARNAS setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah (Fatwa DSN No.04/DSNMUI/IV/2000). Dengan kata lain, musyawarah (al-shuth) adalah tahap awal penyelesaian perselisihan/sengketa dan perdamaian adalah alternatif penyelesaian perselisihan/sengketa yang kedua. Artinya alternatif kedua tidak perlu dijalankan bila alternatif yang pertama berhasil dilakukan oleh PT. BPRS Puduarta Insani Medan.

(35)

Bahwa hal yang perlu dicermati dalam penyelesaian sengketa melalui Arbitarse berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah adanya dualisme kewenangan lembaga penyelesaian perselisihan/sengketa ekonomi melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk ekonomi konvensional dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk ekonomi syari’ah. Dalam Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditetapkan bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (Pasal 1 butir 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).56

Sedangkan untuk BASYARNAS dalam kenyataannya sebelum diberlakunya paradigama Peradilan Agama yang baru tahun 2006 dengan kewenangan memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syari’ah, dapat menerima penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah (khususnya Bank Syariah) menjadi dominan. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut juga ditegaskan bahwa lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang berselisih/bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu

56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 Butir 3.

(36)

dalam hal belum timbul sengketa (Pasal 1 butir 4 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Bank dalam menjalankan operasional usaha selalu melaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan sesuai ketentuan dan SOP yang berlaku baik internal maupun eksternal. Peraturan Internal Bank selalu berhubungan dan berkaitan dengan nasabah. Hubungan hukum antara bank dan nasabah terdapat pada formulir-formulir yang telah diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank. Formulir tersebut berisi tentang hak dan kewajiban para pihak dan dituangkan dalam perjanjian kredit.57

57 Hasil Wawancara Kepada Bapak Hamzah Ali, Bagian Legal Bank PT. BPRS Puduarta Insani

Medan , Pada Tanggal 09 Januari 2017

(37)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bahwa yang dinamakan bank syari’ah adalah lembaga keuangan yang memberikan segala macam kredit dan jasa keuangan lainnya dalam lalu lintas peredaran dan pembayaran uang yang menjalankan sistemnya dengan aturan dan prinsip Islam. Bank yang menjalankan fungsi dan sistemnya dengan menggunakan prinsip dan aturan-aturan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, mengemukakan bahwa yang dinamakan bank syari’ah adalah lembaga keuangan yang menjalankan usahanya berlandaskan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang berpedoman kepada Al-Quran dan Hadits.

2. Bank mempunyai peranan strategis dalam pembangunan nasional yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat sehingga dapat melaksanakan tugas pokoknya dengan baik. Kepercayaan dari masyarakat terhadap bank hanya dapat timbul apabila bank dalam kegiatan usahanya mampu melindungi keamanan dana nasabah yang disimpan di bank. Bank sebagai lembaga perantara dana (financial intermediary) memiliki tugas pokok menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit.

3. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

(38)

oleh para pihak yang bersengketa. Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) adalah suatu lembaga arbitrase yang berprinsip Syari’ah.

B. Saran

1. Perbankan diharapkan adanya pembaharuan hukum yaitu pembentukan undang-undang apabila terjadi sengketa di bidang ekonomi syari’ah, penyelesaian perkaranya di wajibkan ke lembaga arbitrase syari’ah (Basyarnas). Sesuai dengan bunyi klausul seluruh akad di lembaga keuangan syariah.

2. Perbankan harus selalu menghimbau kepada nasabah bahwa tidak terlepas dari segala kemungkinan terjadinya sengketa dalam kegiatan perjanjian perbankan, maka di antara para pihak wajib menyelesaikanya ke Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai lembaga penyelesaian sengketa Perbankan Syariah di luar pengadilan.

3. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

Referensi

Dokumen terkait

a. Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif sehingga setiap siswa berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki;. b. Menumbuhkan penghayatan

Penjual memilih menggunakan bahasa Madura ragam enjeq iye karena usia pembeli lebih muda Pada tuturan A2- A3 penjual menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko.. Bahasa Jawa ragam

Sindang Palay Desa Neglasari Cisompet

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh metode ceramah dan media leaflet terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat dalam mencegah Tuberkulosis paru di Desa

Pemilik memberikan rjin dan menjamin serta dengan tanpa memungut pembayaran atau kompensasi dalam bentuk apapun atas hakuntuk menggunakan atau hak untuk

DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGI AN PERSYARATAN DALAM MEMPEROLEH GELAR SARJANA EKONOMI.. JURUSAN

Dalam memanfaatkan sumber listrik dari cahaya matahari dengan menggunakan sistem fotovoltaik maka cara yang tepat adalah menyimpan energi listrik dari keluaran panel

Registrasi administrasi adalah kegiatan untuk memperoleh status terdaftar sebagai mahasiswa program studi kedokteran gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas