• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi) Chapter III V"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TANGGUNG JAWAB INDIVIDU MENURUT STATUTA ROMA 1998

A. Individu sebagai Subjek Hukum Internasional

Prof.Dr. Boer Mauna dalam bukunya HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian,

Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, halaman satu, mengatakan bahwa : ―Pada

umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan

subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.‖112

Hukum internasional (international law) atau hukum internasional publik (public

international law) merupakan istilah yang lebih populer digunakan saat ini dibandingkan

istilah Hukum Bangsa-Bangsa (law of nations), hukum antarnegara (Inter state law). Dua

istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Hukum

internasional saat ini tidak hanya mengatur hubungan antarbangsa atau antarnegara saja.

Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek

negara tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum

internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, perusahaan transnasional, vatican,

belligerency, merupakan contoh –contoh subjek non negara.113 Drs. T. May Rudy, S.H., dalam bukunya Hukum Internasional 1 juga mengatakan bahwa subjek hukum internasional terdiri

atas Negara, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional,

Individu , Pemberontak dan pihak dalam sengketa ( belligerent ).114

112

Prof.Dr. Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT ALUMNI, Bandung, 2011, Hal. 1

113

Sefriani, S.H., M.Hum., HUKUM INTERNASIONAL : SUATU PENGANTAR, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal.2

114

(2)

Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.,

yaitu manusia dan badan hukum.115 Sebagai subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia

mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum.116 Subjek hukum

internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional.117

Secara umum subjek hukum adalah pembawa atau pendukung hak dan kewajiban

dalam hukum. Dalam hukum internasional, manusia atau individu merupakan salah satu

subjek hukum internasional. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia atau individu sebagai

subjek hukum internasional memiliki hak dan kewajiban dalam lingkup hukum internasional.

Sering orang bertanya apakah individu juga dapat dianggap sebagai subjek hukum

internasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat dua konsep yang saling berbeda.

Dengan merujuk pada praktek internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya

pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara

dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.

Menurut pendapat mereka hanya negaralah yang merupakan subjek hukum internasional dan

bukan individu.118

Sebaliknya ada juga yang berpendapat terutama Prof. Georges Scelle, pakar hukum

kenamaan dari Prancis bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional.

Para pendukung doktrin ini mendasarkan pandangannya bahwa bukankah tujuan akhir dari

pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu dia mendapatkan

perlindungan internasional. Suatu konvensi internasional yang ditandatangani oleh sejumlah

115

Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., HUKUM PERDATA dalam SISTEM HUKUM NASIONAL, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hal. 40

116

Prof. Drs. C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., PENGANTAR ILMU HUKUM INDONESIA, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2011, Hal.99

117

T. May Rudy, Op. Cit., Hal.2 118

(3)

negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah

bebas, tidak lain berarti sebagai pemberian kebebasan kepada individu-individu, para

pedagang, pemilik kapal, untuk menggunakan sungai tersebut bagi keperluan usaha mereka.

Jadi keseluruhan dari ketentuan internasional mengenai pelayaran menyangkut

individu-individu. Ada juga naskah yang mengatur secara langsung keadaan individu seperti

konvensi-konvensi mengenai tawanan perang (Konvensi-konvensi-konvensi Den Haag ) yang mengatur perang

dan Konvensi-Konvensi Palang Merah yang semuanya mempunyai tema yang sama yaitu

perlindungan terhadap individu-individu yang lemah, menderita sakit, tidak bersenjata, dan

lain-lainnya. Tidaklah dapat disangkal bahwa perlindungan terhadap individu ini merupakan

tema umum dari pengaturan-pengaturan internasional dan keseluruhan ketentuan-ketentuan

hukum.119

Dalam hukum internasional, ada pakar atau ahli yang berpendapat bahwa satu-satunya

subjek hukum internasional adalah negara. Berlawanan dengan pendapat tersebut, ada

pendapat lain yang menyatakan bahwa subjek hukum internasional hanyalah individu. Hal ini

didasarkan pada tujuan akhir dari hukum internasional adalah untuk kepentingan dan

perlindungan individu. Perbedaan pendapat tersebut, bukan berarti untuk saling menjatuhkan

atau saling menyalahkan pendapat yang lain. Perbedaan pendapat tersebut justru membuat kita

dapat saling melihat kelebihan maupun kelemahan pendapat-pendapat tersebut sehingga

hukum internasional dapat dikembangkan lebih baik lagi. Pada perkembangan selanjutnya,

bahkan bukan hanya negara dan individu saja yang menjadi subjek hukum internasional,

namun juga Organisasi Internasional, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, dan

Pemberontak ( belligerent ).

Dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad

XX, meningkatnya hubungan kerja sama dan kesalingtergantungan antar negara,

119

(4)

menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi,

munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang sangat banyak telah

menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum

internasional bukan saja mengatur hubungan antarnegara, tetapi juga subjek-subjek hukum

lainnya seperti organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional dan

gerakan-gerakan pembebasan nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu hukum internasional

juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara.120

Memang benar bahwa banyak ketentuan internasional yang menyangkut

individu-individu baik dalam bentuk keuntungan-keuntungan yang diberikan maupun

kewajiban-kewajiban yang harus mereka laksanakan. Namun demikian tidak berarti bahwa

individu-individu secara otomatis merupakan subjek hukum internasional karena dalam banyak hal,

negara bertindak sebagai layar antara mereka dan hukum internasional.121 Menyangkut

individu, perkembangan menunjukkan bahwa dewasa ini individu merupakan subjek hukum

internasional (dalam arti yang terbatas) di samping negara. Sebagai subjek hukum, individu

memiliki hak dan kewajiban tertentu dalam hukum internasional. Adalah fakta yang tidak

dapat disangkal bahwa pada saat ini individu dapat dimintai pertanggungjawaban di forum

internasional atas tindakan-tindakannya. 122 Hal tersebut menunjukkan bahwa memang

individu diakui sebagai subjek hukum internasional, namun dalam artian yang terbatas yaitu

sepanjang individu tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban di forum internasional atas

tindakan-tindakannya.

Kasus pertama menyangkut status individu sebagai subjek atau bukan dalam hukum

internasional menurut Alina Kaczorowska adalah Case Concerning Competence of the Courts

of Danzig, Advisory opinion dari Permanent Court of International Justice tahun 1928. Dalam

120120

Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit. , Hal. 669

121

Ibid., Hal. 670-671

122

(5)

kasus ini Danzig dan Polandia membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur

persyaaratan pekerjaaan bagi pejabat yang bekerja dalam perkeretaapian Danzig mempunyai

hak untuk menuntut penggantian klaim terhadap administrasi perkeretaapian Polandia. Dalam

kasus ini mahkamah menyatakan bahwa suatu perkecualian dari prinsip bahwa individu bukan

subjek hukum internasional dapat timbul apabila maksud dari para pihak dalam suatu

perjanjian adalah memang untuk memberikan hak dan kewajiban pada individu yang

bersangkutan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa menurut PJIC, pada dasarnya

treaties tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi individu kecuali apabila para pihak

perjanjian bermaksud demikian.123 Hal tersebut menunjukkan bahwa individu sudah diakui

sebagai subjek hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban namun hanya sebatas

jika para pihak perjanjian dalam hal ini negara yang memang menginginkannya dan

menyepakatinya.

Selanjutnya pasca perang dunia kedua dalam pengadilan ad hoc Nurenberg dan Tokyo

dinyatakan bahwa individu memiliki international personality, mampu menyandang hak dan

kewajiban yang diberikan hukum internasional padanya. Individu bertanggung jawab secara

pribadi, dapat dituntut di pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya

tanpa dapat berlindung dibalik negaranya.124

Dampak PD II yang menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan hukum

internasional, khususnya di bidang hukum pidana internasional. Di bidang ini muncul prinsip

pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi

individu yang melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kategori

kejahatan internasional. Individu yang melakukan kejahatan tersebut dapat dimintai

123

Sefriani, S.H., M.Hum.,, Op. Cit. Hal. 146

124

(6)

pertanggungjawaban di forum pengadilan internasional. Hal ini sekaligus merupakan

pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional.125

Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg

dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional mengenakan kewajiban dan

tanggung jawab terhadap para individu. Mereka memiliki kewajiban internasional melebihi

kepatuhan terhadap kewajiban yang dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar

hukum perang tidak dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari

negara, jika negara dalam mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya

menurut hukum internasional.126

Pengakuan secara terbatas terhadap individu sebagai subjek hukum internasional

mengalami perkembangan yang nyata sesudah Perang Dunia II. Dalam kerangka konstruksi

regional, Konvensi Eropa mengenai Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1959, Perjanjian Roma

1957 dan pada tingkat universal dengan diterimanya The International Convenant on Civil

and Political Rights (ICPR) dan The International Convenant on Economic Social and Cultural Rights (ICES) di tahun 1966 telah meningkatkan status individu yang bukan hanya

sebagai objek tetapi juga dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional.127

Peningkatan status individu ini makin lama makin bertambah nyata setelah terjadinya

pembunuhan massal, perbuatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang

dan pelanggaran-pelanggaarn berat HAM lainnya di berbagai tempat di dunia. Kejahatan

perang, kejahatan kemanusiaan dan perbuatan genosida yang terjadi di negara eks Yugoslavia

dari tahun 1992-1999 yang menewaskan sekitar 200.000 orang, kejahatan yang terjadi di

Kamboja selama selama rezim Pol Pot dari tahun 1975-1979 yang menelan korban sekitar

125

Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal.216

126

Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal 15

127

(7)

1.700.000 orang dan pada pembantaian suku minoritas Tutsi oleh suku mayoritas Hutu di

Rwanda yang menelan korban sekitar 800.000 jiwa di tahun 1994 telah memperkuat tekad

masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas dan menghukum para pelaku

berbagai kejahatan kemanusiaan tersebut. Untuk itu telah dibentuk Mahkamah Kriminal

Yugoslavia, Mahkamah Kriminal Rwanda, Sierra Leone dan Kamboja untuk mengadili dan

menghukum para penjahat kemanusiaan tersebut. Lahirnya Mahkamah Pidana Internasional

melalui Statuta Roma bulan Juli 1998 yang dapat mengadili para pelaku genosida, kejahatan

perang dan kejahatan terhadao kemanusiaan merupakan bukti nyata bahwa pada kasus-kasus

tertentu individu-individu pun telah dianggap subjek hukum internasional.128

Dari uraian-uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa individu merupakan subjek

hukum internasional dalam artian terbatas. Secara teori, hal ini dapat kita lihat dari adanya

konvensi-konvensi internasional yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap

individu. Secara praktik, dapat kita lihat dari putusan-putusan pengadilan internasional yang

menghukum individu sebagai pelaku kejahatan internasional. Namun, pengakuan individu

sebagai subjek hukum internasional adalah terbatas pada dimungkinkannya individu dituntut

di hadapan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas nama diri

sendiri terhadap kejahatan internasional yang dilakukannya.

B. Impunity dalam Hukum Internasional

Kata ―impunity‖ yang ada dalam bahasa Inggris ternyata tidak ditemukan padanannya

dalam bahasa Indonesia resmi, paling tidak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang

diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa kalangan, terutama para advokat Hak Asasi Manusia

(HAM) menggunakan kata impunitas sebagai padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata ini

sendiri juga tidak lazim digunakan publik luas dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Kata

128

(8)

impunity‖ sendiri berasal dari bahasa Latin ―impunitas‖ yang berasal dari akar kata ―impune

yang artinya ‗tanpa hukuman‘129. Kata impunite atau impunity (impunitas, dalam serapan bahasa Indonesia) diasosiasikan dengan situasi pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang

diciptakan atau dipelihara oleh negara atau sebagai hasil dari runtuhnya kekuasaan di sebuah

negara dan pelbagai institusinya.130Secara umum impunitas dipahami sebagai ―tindakan yang

mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran (hak asasi manusia)‖ atau dalam kepustakaan umum diartikan sebagai ―absence of punishment‖. Dalam perkembangannya

istilah impunity digunakan hampir secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan

suatu proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap

berbagai tindakan illegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan.131

Seiring dengan kemajuan sistem hukum dan tata negara, definisi ―impunity‖ dalam

kerangka hukum internasional di sini adalah ―ketidakmungkinan –dejure atau de facto- untuk

membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan kriminal, sipil, administratif atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan, apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban mereka‖.132

Impunity dapat ditemukan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Latin, namun dalam

Bahasa Indonesia, impunity dikenal dengan istilah impunitas. Impunity atau impunitas dapat

129

Louis Joinet, MENOLAK IMPUNITAS-Serangkaian Prinsip perlindungan dan pemajuan HAK ASASI MANUSIA Melalui Upaya memerangi Impunitas Prinsip-prinsip hak korban,Edisi Terjemahan, KONTRAS, Jakarta, 2005, Hal. i

130

Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS: Media Kajian Kewarganegaraan, Vol 7 No 1, 2010, Hal. 17. Jurnal dapat diakses pada http://download.portalgaruda.org/article.php?article=307209&val=474&title=PENGADILAN%20HAK%20ASA SI%20MANUSIA%20DAN%20PELANGGENGAN%20BUDAYA%20IMPUNITAS

131

Genevieve Jacques Dalam Daniel Hutagalung, Negara dan Pelanggaran HAM Masa Lalu : Tuntutan Pertanggungjawaban versus Impunitas, Jurnal Dignitas, Vol. 3 (1) (2005), Hal. 8

132

(9)

kita artikan sebagai peniadaan hukum atau suatu keadaan tidak dihukumnya seseorang atas

kejahatan yang diperbuatnya. Kejahatan yang dilakukan dalam impunity biasanya adalah

kejahatan pelanggaran HAM dan juga kejahatan perang. Dalam hukum internasional, impunity

diartikan sebagai keadaan tidak mampunya negara menangkap, memeriksa, mengadili, bahkan

menghukum pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya

dihadapan hukum.

Terdapat empat faktor yang memelihara kelangsungan impunitas. Yakni, faktor

kekuasaan, faktor hukum, faktor budaya, dan faktor hubungan internasional yaitu133 :

1. Faktor Kekuasaan (power factor)

Tidak dihukumnya pelaku kejahatan HAM (impunitas) dapat disebabkan oleh karena yang bersangkutan adalah orang kuat atau dekat penguasa yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat saja disalahgunakan untuk melindungi orang tersebut dari jerat hukum.

2. Faktor Hukum (legal factor)

Faktor hukum dapat juga berperan merawat praktek impunitas. Lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya peraturan hukum membuat pelaku impunitas enggan untuk diadili dan tidak memiliki dasar hukum untuk diadili.

3. Faktor Budaya

Faktor budaya seperti budaya feodal membuat masyarakat tidak kritis, apatis dan pesimis terhadap praktek impunitas.

4. Faktor Hubungan Internasional

Kurangnya implementasi perjanjian-perjanjian internasional dan lemahnya tekanan internasional atas sebuah pelanggarana HAM turut menyebabkan lemahnya itikad negara untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM tersebut. Diperlukan pengawasan internasional untuk mencegah praktek impunitas.

Praktek impunitas ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya adalah gagalnya

Negara-negara Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana yang direkomendasikan

oleh Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas

keputusan AS, berbagai pengadilan pura-pura yang mengadili serdadu-serdadu rendah dengan

hukuman yang ringan dan melawan hari nurani keadilan masyarakat.134

133

Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS: Media Kajian Kewarganegaraan,Vol 7 No 1, 2010, Hal 11.

134

(10)

Dapat kita lihat bahwa impunitas telah terjadi sangat lama dan sering dilakukan oleh

raja dan juga orang yang dekat dengan raja atau penguasa. Hal ini karena kekuasaan yang

mereka miliki sehingga sangat susah menyeret mereka ke pengadilan. Tentu hal ini menyalahi

hukum karena semua dihadapan hukum adalah sama (equality before the law), sehingga

siapapun yang bersalah harus dihukum terlepas dari apapun status maupun jabatannya. Tidak

ada pengistimewaan dalam hukum, siapapun orangnya, baik itu presiden, hakim, pedagang,

petani, dan lain sebagainya, dihadapan hkuum adalah sama.

C. Pengaturan Tanggung Jawab Individu berdasarkan Statuta Roma 1998

Untuk memerangi impunity atau impunitas, maka dunia internasional membuat

pengadilan internasional. Dengan adanya pengadilan internasional, maka lahirlah prinsip

tanggung jawab individu untuk memerangi impunity sekaligus penguatan pengakuan individu

sebagai subjek hukum internasional walaupun secara terbatas. Dengan adanya tanggung jawab

individu maka pelaku kejahatan internasional siapapun orangnya, walaupun kepala negara

atau penguasa, dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui

pengadilan internasional.

Upaya untuk mengadili para penjahat perang setelah PD II kemudian dinyatakan

dalam Perjanjian London (London Agreement) yang dibuat oleh empat negara sekutu

(Amerika, Inggris, Prancis dan Uni Soviet) pada tanggal 8 Agustus 1945. Selanjutnya, hal

tersebut diwujudkan melalui pembentukan dua Pengadilan Militer Internasional (International

(11)

Military Tribunal) di Nuremberg (1945) dan Tokyo (1946) untuk mengadili penjahat perang

yang utama.135

Pengadilan Nuremberg telah menjatuhkan pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa,

pidana seumur hidup atas tiga orang terdakwa dan pidana penjara dengan lamanya pidana

yang bervariasi atas empat orang terdakwa, dan dibebaskan untuk tiga orang terdakwa. Selain

dari itu, menetapkan enam organisasi yang terlibat di dalam PD II sebagai organisasi

kejahatan dan membebaskan dua organisasi tuduhan. Adapun pengadilan Tokyo telah

menjatuhi pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa dan 16 orang terdakwa dijatuhi pidana

semumur hidup serta pidana penjara dengan variasi lamanya pidana terhadap dua orang

terdakwa.136 Dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep

individual criminal responsibility

.

137

Prinsip tanggung jawab individu dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional

Nuremberg, dapat kita lihat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer

Internasional Nuremberg138. Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg,

adalah :

The Tribunal established by the Agreement referred to in Article 1 here of for the trial and punishment of the major war criminals of the European Axis countries shall have the power to try and punish persons who, acting in the interests of the European Axis countries, whether as individuals or as members of organizations, committed any of the following crimes. The following acts, or any of them, are crimes coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual

responsibility: crimes against peace…; war crimes…;crimes against humanity…;. Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or

execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible for all acts performed by any persons in execution of such plan.

Terjemahan Bebas : Diakses pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 01:21 WIB.

138

(12)

Pengadilan didirikan oleh Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 perjanjian untuk melakukan sidang dan memberi hukuman dari para penjahat perang utama dari negara-negara Eropa Axis, yang mana pengadilan akan memiliki kekuatan untuk memeriksa dan menghukum orang-orang yang bertindak dalam Negara-negara Eropa Axis, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi, melakukan suatu kejahatan berikut. Semua tindakan-tindakan berikut, atau salah satu dari kejahatan berikut, adalah kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan yang harus ada tanggung jawab

individu: kejahatan terhadap perdamaian…; kejahatan perang…; kejahatan terhadap

kemanusiaan…;. Pemimpin, penyelenggara, penghasut dan anak buah yang berpartisipasi dalam perumusan atau pelaksanaan rencana umum atau konspirasi untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut bertanggung jawab untuk semua tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksanaan rencana tersebut.

Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, adalah :

The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment.

Terjemahan Bebas :

Posisi resmi terdakwa, apakah sebagai Kepala Negara atau penanggung jawab atau para pejabat di Departemen Pemerintah, tidak akan dianggap sebagai membebaskan mereka dari tanggung jawab atau hukuman yang meringankan.

Tanggung jawab individu dapat kita lihat dari pasal-pasal tersebut yaitu dalam Pasal 6

disebutkan bahwa pelaku kejahatan terhadap tiga jenis kejahatan yaitu kejahatan terhadap

perdamaain, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut

pertanggungjawabannya melalaui pengadilan internasional yaitu Pengadilan Militer

Internasional Nurenberg. Tangggung jawab individu tersebut juga dikuatkan dalam pasal 7

yaitu siapapun orangnya atau apapun jabatan yang diemban individu, baik kepala negara atau

pejabat, yang melakukan kejahatan tersebut harus dihukum dan tidak berhak memperoleh

keringanan hukuman.

Dalam perkembangannya, prinsip tanggung jawab individu diterapkan juga ke dalam

berbagai pengadilan internasional. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Statuta Pengadilan

(13)

Former Yugoslavia139atau ICTY dan Pasal 6 Statuta Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc

untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda140atau ICTR, yaitu

1. A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in articles 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime.

2. The official position of any accused person, whether as Head of State or Government or as a responsible Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate punishment.

3. The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.

4. The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of a superior shall not relieve him of criminal responsibility, but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice so requires.

Terjemahan Bebas :

1. Seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan, berkomitmen atau

membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan dimaksud dalam artikel 2 sampai 5 dari Statuta ini, harus secara individu bertanggung jawab atas kejahatan itu.

2. Posisi resmi dari setiap orang yang dituduh, apakah sebagai Kepala Negara atau

Pemerintah atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung jawab, tidak akan membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab pidana atau mengurangi hukuman.

3. Fakta bahwa salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam artikel 2 sampai 5

dari Statuta ini dilakukan oleh seorang bawahan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana jika ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahan itu mau melakukan tindakan seperti atau telah melakukannya dan atasan tidak mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan tersebut atau untuk menghukum pelakunya.

4. Kenyataan bahwa seorang terdakwa bertindak sesuai dengan perintah dari

Pemerintah atau dari atasan tidak akan membebaskannya dari tanggung jawab pidana, tetapi dapat dipertimbangkan dalam mitigasi hukuman jika Pengadilan Internasional menentukan bahwa keadilan sehingga membutuhkan.

Seperti yang telah disebutkan di latar belakang atau pendahuluan dalam skripsi ini

bahwa ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan

suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (―The Rome Statute of the

139

Statuta International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dapat diunduh pada http://www.icty.org/x/file/Legal%20Library/Statute/statute_sept09_en.pdf

140

(14)

International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda).

ICC berdasarkan Statuta Roma 1998141 juga dibentuk untuk memutuskan rantai

kekebalan hukum atau impunity bagi para pelaku yang melakukan kejahatan berdasarkan

statuta ini. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan atau Preumbule Statuta Roma 1998, yaitu

Determined to put an end to impunity for the perpetrators of these crimes and thus to

contribute to the prevention of such crimes,..‖.

Dalam memerangi impunity tersebut, ICC berdasarkan Statuta Roma 1998 menganut

prinsip tanggung jawab individu agar siapapun pelakunya, baik itu kepala negara maupun

pejabat, dapat diadili dan dihukum atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC

yang dilakukan individu tersebut. Pengaturan tanggung jawab individu dalam Statuta Roma

1998 dapat kita lihat pada Pasal 25 Statuta Roma 1998.

Pasal 25 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa, :

Individual criminal responsibility

1. The Court shall have jurisdiction over natural persons pursuant to this Statute.

2. A person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall be individually responsible and liable for punishment in accordance with this Statute. 3. In accordance with this Statute, a person shall be criminally responsible and liable for

punishment for a crime within the jurisdiction of the Court if that person:

(a) Commits such a crime, whether as an individual, jointly with another or through another person, regardless of whether that other person is criminally responsible;

(b) Orders, solicits or induces the commission of such a crime which in fact occurs or is attempted;

(c) For the purpose of facilitating the commission of such a crime, aids, abets or otherwise assists in its commission or its attempted commission, including providing the means for its commission;

(15)

purpose involves the commission of a crime within the

(f) Attempts to commit such a crime by taking action that commences its execution by means of a substantial step, but the crime does not occur because of circumstances independent of the person's intentions. However, a person who abandons the effort to commit the crime or otherwise prevents the completion of the crime shall not be liable for punishment under this Statute for the attempt to commit that crime if that person completely and voluntarily gave up the criminal purpose.

4. No provision in this Statute relating to individual criminal responsibility shall affect the responsibility of States under international law.

Pada Pasal 25 Statuta Roma 1998 dapat kita ketahui bahwa prisip tanggung jawab

individu diatur dalam Statuta Roma 1998, yaitu :

1. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 1 dan 4, Mahkamah Pidana

Internasional memiliki kewenangan atau yurisdiksi hanya terhadap individu atau

person bukan negara,sehingga dalam hal ini hanya individu yang dapat dikenakan tanggung jawab. Individu tidak dapat berlindung dibalik negara dan tanggung

jawab individu tersebut tidak dapat dialihkan menjadi tanggung jawab negara.

Individu harus bertanggung jawab secara individual terhadap perbuatannya.

2. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 2, individu hanya dapat dapat

dikenakan tanggung jawab dan dihukum atas kejahatan-kejahatan internasional

yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan-kejahatan

internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat kita

lihat pada Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998 yaitu, kejahatan genosida, kejahatan

terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

3. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Seseorang atau individu yang

(16)

internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, apabila

individu tersebut :

a) Berdasarkan Huruf a Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Melakukan kejahatan, baik itu sendiri, bersama-sama dengan orang lain,

ataupun melalui orang lain. Dalam hal ini individu tersebut harus

bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya, walaupun

individu tersebut melakukannya bersama orang lain ataupun dalam

perantaraan melalui orang lain. Mahkamah Pidana Internasional tidak

mengenal tanggung jawab kolektif atau bersama dan tanggung jawab

individu tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Individu harus

bertanggung jawab secara individual atas kejahatan yang diperbuatanya

sesuai dengan perannya dalam melakukan kejahatan tersebut.

b) Berdasarkan Huruf b Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Memerintahkan, mengusahakan, mendorong dilakukannya kejahatan atau

percobaan kejahatan dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dapat

dihukum.

c) Berdasarkan Huruf c Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Mempermudah terjadinya kejahatan atau percobaan dengan cara

membantu, kerja sama atau persengkongkolan, dan juga memberikan

sarana dan fasilitas untuk melakukan kejahatan.

d) Berdasarkan Huruf d Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Memberikan kontribusi bagi terjadinya kejahatan atau percobaan yang

dilakukan oleh sekelompok orang atas tujuan bersama. Kontribusi tersebut

harus dilandasi dengan kesengajaan dan dilakukan dengan tujuan untuk

(17)

karena dilakukan berdasarkan pengetahuan atas niat dari kelompok tersebut

untuk melakukan kejahatan.

e) Berdasarkan Huruf e Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Khusus untuk kejahatan genosida, secara langsung atau tidak langsung

mengahasut atau membujuk orang lain melakukan genosida.

f) Berdasarkan Huruf f Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3

Walaupun kejahatan tersebut tidak terjadi, individu tersebut tetap dapat

dihukum dan dikenakan tanggung jawab individu kecuali individu tersebut

benar-benar secara sukarela dan kesadaran menarik diri atau meninggalkan

dari tujuan terwujudnya kejahatan tersebut dengan cara mencegah

terwujudnya kejahatan tersebut.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaturan tanggung

jawab individu dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 25 Statuta Roma

1998 yang pada intinya menyatakan bahwa siapapun yang dengan salah satu atau lebih dari

cara-cara berikut: melakukan; memerintahkan; membantu; bekerja sama; memberikan fasilitas

dan atau menghasut; baik secara pribadi maupun berkelompok; pada kejahatan internasional

yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan

terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, dapat dikenakan tanggung

(18)

BAB IV

PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DALAM

PENGHANCURAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK

BERSENJATA DI MALI

A. Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Sebagai Kejahatan Perang

―Perang‖ tampaknya sudah menjadi kata yang umum dan lazim dipergunakan secara

luas dalam berbagai konteks situasi. Namun, sebagai sebuah terma hukum internasional, ada

pemahaman spesifik tentang perang. Meski begitu, sampai saat ini tidak ada defenisi spesifik

tentang perang yang diberikan oleh norma hukum internasional. Dengan demikian, sejauh ini

defenisi tentang perang lebih banyak bersumber dari pendapat-pendapat akademisi dengan

mempertimbangkan praktik negara-negara.142

Oppenheim berpendapat bahwa perang adalah, ―…a contention between two or more

States through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions of peace as the victor pleases.‖ Seorang ahli hukum internasional yang lain, Dinstein dengan berlandaskan defenisi perang oleh

Oppenheim tersebut, berpendapat bahwa perang memiliki unusr-unsur sebagai berikut :143

a. Ada permusuhan di antara setidaknya dua negara;

b. Ada penggunaan angkatan bersenjata oleh negara-negara yang terlibat;

c. Ada tujuan untuk mengalahkan negara yang menjadi musuh

d. Tujuan mengalahkan musuh secara simetris ada pada negara-negara yang terlibat

Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian perang belum didefenisikan secara

mutlak dalam hukum internasional. Defenisi perang seringkali dimaknai secara sempit, yaitu

bahwa perang hanya melibatkan negara-negara dalam konflik bersenjata antar negara.

142

Ari Siswanto Op. Cit., Hal. 146

143

(19)

Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori besar,

yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang tidak bersifat

internasional/non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat

internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan

denngan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau

yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah satunya adalah kelompok

bersenjata bukan negara (non-state armed group).144

Hal tersebut menunjukkan bahwa defenisi perang yang dimaknai secara sempit yaitu

konflik bersenjata antara negara melawan dengan negara, adalah salah satu dari wujud konflik

bersenjata berupa konflik bersenjata internasional. Secara luas, perang tidak hanya melibatkan

antara negara melawan negara. Tetapi perang juga dapat melibatkan antara negara melawan

bukan negara, contohnya perang saudara atau perang sipil dan perang negara melawan

pemberontak atau kelompok ekstrimis. Perang tersebut dapat dikategorikan sebagai konflik

bersenjata non-internasional. Sehingga, pemaknaan perang secara luas dapat disebut dengan

istilah konflik bersenjata yang terdiri dari konflik bersenjata internasional dan konflik

bersenjata non internasional.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang

menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal

250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan

bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu merugikan umat manusia, sehingga

kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan

ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan,

bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional moderen sebagai

144

(20)

suatu sistem hukum yang berdiri sendiri di mulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum

perang.145

Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut hukum perang, atau hukum

sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Atau

sama tuanya dengan perang itu sendiri. Umumnya aturan-aturan tentang perang itu termuat

dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Aturan –aturan ini antara lain terdapat dalam

ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam. Bahkan pada masa 3000-1500

SM ketentuan-ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia dan Mesir Kuno.

Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war).146

Sepanjang sejarah peradaban manusia, manusia selalu berusaha untuk

mempertahankan dirinya terhadap konflik dengan sesama manusia lainnya sehingga terjadilah

perang. Dikarenakan akibat-akibat perang yang sangat dahsyat dan merugikan umat manusia,

manusia lalu membuat pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang untuk

meminimalisir akibat perang tersebut. Pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang

menghasilkan hukum perang yang digunakan sebagai pedoman dalam berperang. Dalam

perkembangannya, istilah hukum perang mengalami perubahan dari hukum sengketa

bersenjata, hingga pada saat ini dikenal sebagai hukum humaniter internasional dan menjadi

cabang dari khasanah hukum internasional . Pemaknaan defenisi perang yang luas

mengakibatkan hukum humaniter internasional berlaku bagi tiap jenis konflik bersenjata, baik

itu konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional.

Hukum Humaniter Internasional sebagai cabang dari hukum internasional juga

memiliki sumber hukum yang sama dengan hukum internasional. Sumber Hukum Humaniter

Internasional dapat kita lihat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional yaitu

meliputi : perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary

145

Sulaiman Hamid, S.H. dan H. Bachtiar Hamzah, S.H., Hukum Humaniter Internasional, Penerbit USU Press, Medan, 1998, Hal.26

146

(21)

international law), prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law), yurisprudensi (judicial decisions) dan doktrin (doctrine) atau pendapat para ahli yang telah diakui

kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly qualified publicists).147

Substansi hukum humaniter internasional dapat dibedakan menjadi dua kelompok

utama yang saling berkaitan, yakni kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) dan

kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva). Secara substantif, Hukum Den Haag lebih

banyak berisi norma tentang perilaku dalam perang dan sarana serta cara yang diperbolehkan

dalam perang (conduct of war and permissible means and methods of war). Sementara itu,

Hukum Jenewa lebih banyak memuat perlindungan terhadap korban perang yang berada

dalam penguasaan musuh (protection of war victims in enemy hands). Secara konsisten,

substansi kedua kelompok norma tersebut sejalan dengan tujuan utama hukum humaniter

internasional, yakni untuk memanusiawikan perang/konflik bersenjata.148

Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa sumber hukum humaniter

internasional terdapat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum

humaniter internasional tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yakni

kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) yang mengatur tentang cara-cara

berperang dan kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva) yang mengatur tentang

perlindungan korban perang. Adapaun, Hukum Humaniter Internasional dibuat bukanlah

untuk meniadakan perang atau konflik bersenjata melainkan untuk memanusiawikan perang

atau meminimalisir korban dan kerugian perang atau konflik bersenjata.

Secara sederhana, ―kejahatan perang‖ berpangkal dari tindakan yang melanggar hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata. Istilah ―kejahatan perang‖ sendiri sebenarnya agak menyesatkan. Kata ―perang‖ dalam istilah itu bisa mengarahkan orang untuk

menganggap bahwa kejahatan perang hanya dapat terjadi dalam kondisi perang yang dimaknai

147

Audrey Sujatmoko, Op. Cit., hal. 169

148

(22)

secara sempit, yakni konflik bersenjata internasional (antar negara) yang berskala luas.

Padahal, konsep ―perang‖ yang tidak mengalami banyak perkembangan berbanding terbalik dengan konsep ―hukum perang‖ yang mengalami banyak perkembangan yang sampai pada

akhirnya berkembang menjadi hukum humaniter internasional yang mana tidak hannya

mengatur konflik bersenjata internasional saja, tapi juga mengatur konflik bersenjata

non-internasional. Sehingga, dengan pemahaman tersebut , istilah ―kejahatan perang‖ lebih tepat dipahami bukan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perang (dalam arti sempit),

melainkan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.149

Hal tersebut menunjukkan, bahwa kejahatan perang tidak cocok dipahaami hanya

sebagai pelanggaran hukum perang dalam arti sempit yang hanya melibatakan negara

melawan negara atau konflik bersenjata internasional saja. Kejahatan perang, harus dipahami

secara luas, tidak hanya pelanggaran dalam konflik bersenjata internasional, tapi juga

pelanggaran dalam konflik bersenjata non-internasional. Sehingga, pada intinya, dapat

dikatakan bahwa kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter

internasional.

Kejahatan perang adalah salah satu dari kejahatan internasional yang menjadi

yurisdiksi atau kewenangan ICC. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma

1998 yang menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang menjadi yuridiksi ICC adalah

kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Pengaturan kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 8

Statuta Roma 1998 sebagaimana disebutkan bahwa :

1. Mahkamah mempunyai jurisdiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya

apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.

2. Untuk keperluan Statuta ini, ―kejahatan perang‖ berarti:

(a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949,

yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau

149

(23)

milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan:

(i) Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar;

(ii) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk

percobaan biologis;

(iii) Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius

terhadap badan atau kesehatan;

(iv) Perusakan meluas dan perampasan hak-milik, yang tidak

dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan;

(v) Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang

dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu Angkatan Perang lawan;

(vi) Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau

orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil;

(vii) Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah;

(viii) Menahan sandera.

(b) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan

dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatan-perbuatan berikut ini:

(i) Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk

sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu;

(ii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu,

objek yang bukan merupakan sasaran militer;

(iii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi,

material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada objek-objek sipil berdasarkan hukum internasional mengenai sengketa bersenjata;

(iv) Secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa

serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka-panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi;

(v) Menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa,

perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan objek militer;

(vi) Membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan

senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah menyerahkan diri atas kemauannya sendiri;

(vii) Memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau

(24)

(viii) Pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu sendiri maupun ke luar wilayah tersebut;

(ix) Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang

digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh bahwa tempat tersebut bukan objek militer;

(x) Membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang

bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut;

(xi) Membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk

pada bangsa atau angkatan perang lawan;

(xii) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para

tawanan;

(xiii) Menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau

penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang yang tak dapat dihindarkan;

(xiv) Menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya

dalam suatu pengadilan hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak lawan;

(xv) Memaksa warga negara dari pihak yang bemusuhan untuk ambil bagian

dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negaranya sendiri, bahkan kalau mereka berada dalam dinas lawan sebelum dimulainya perang;

(xvi) Menjarah kota atau tempat, bahkan apabila tempat tersebut dikuasai

lewat serangan;

(xvii) Menggunakan racun atau senjata yang dibubuhi racun;

(xviii) Menggunakan gas yang menyesakkan napas, beracun atau lain-lain dan

semua cairan, bahan atau peralatan yang serupa;

(xix) Menggunakan peluru yang melebar atau menjadi rata dengan mudah di

dalam badan seseorang, seperti misalnya peluru dengan selongsong keras yang tidak seluruhnya menutupi intinya atau yang ditusuk dengan torehan;

(xx) Menggunakan senjata, proyektil dan material serta metode peperangan

(25)

(xxi) Melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia;

(xxii) Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,

kehamilan paksa, sebagaimana didefinisikan dalam pasal 7, ayat 2(f), sterilisasi yang dipaksakan, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa;

(xxiii) Memanfaatkan kehadiran seorang sipil dan orang lain yang dilindungi

untuk menjadikan beberapa tempat, daerah atau pasukan militer tertentu kebal terhadap operasi militer;

(xxiv) Secara sengaja menujukan serangan terhadap gedung, material, satuan

dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana yang jelas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;

(xxv) Secara sengaja memanfaatkan kelaparan orang-orang sipil sebagai suatu

metode peperangan dengan memisahkan mereka dari objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk secara sadar menghambat pengiriman bantuan sebagaimana ditetapkan berdasarkan Konvensi Jenewa;

(xxvi) Menetapkan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur

lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertikaian.

(c) Dalam hal suatu sengketa bersenjata yang bukan merupakan suatu persoalan

internasional, pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi empat Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu, salah satu dari perbuatan berikut ini yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam pertikaian, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan di luar pertempuran karena menderita sakit, luka, ditahan atau suatu sebab lain:

(i) Kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya pembunuhan dari

segala jenis, pemotongan anggota tubuh (mutilasi), perlakuan kejam dan penyiksaan;

(ii)Melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya perlakuan yang

mempermalukan dan merendahkan martabat; (iii)Menahan sandera;

(iv)Dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya hukuman mati tanpa

keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang ditetapkan secara reguler, yang menanggung semua jaminan hukum yang pada umumnya diakui sebagai tak terelakkan.

(d) Ayat 2 (c) berlaku bagi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional

dan dengan demikian tidak berlaku bagi keadaan-keadaan kekacauan dan ketegangan dalamnegeri, seperti misalnya huru-hara, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain yang sama sifatnya.

(e) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam

(26)

(i) Secara sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap masing-masing penduduk sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian;

(ii)Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan

angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;

(iii)Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada orang- orang dan objek-objek sipil berdasarkan hukum perang;

(iv)Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang

digunakan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dikumpulkan, dengan syarat bahwa hal-hal tersebut bukan sasaran militer;

(v) Menjarah suatu kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai lewat

serangan;

(vi)Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,

kehamilan paksa, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7, ayat 2(f), sterilisasi yang dipaksakan, dan suatu bentuk lain kekerasan seksual yang juga merupakan pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi empat Konvensi Jenewa;

(vii) Memberlakukan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur

lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakannya untuk ikut serta secara aktif dalam pertikaian;

(viii) Mengatur perpindahan penduduk sipil dengan alasan yang berkaitan

dengan sengketa, kecuali kalau keamanan orang-orang sipil tersebut terancam atau alasan militer yang amat penting menuntutnya;

(ix)Membunuh atau melukai secara curang seorang lawan tempur;

(x) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal kepada tawanan;

(xi)Menempatkan orang-orang yang berkuasa dari pihak lain dalam sengketa

itu sebagai sasaran mutilasi atau pemotongan anggota tubuh secara fisik atau percobaan medis atau suatu jenis percobaan ilmiah yang tidak dapat dibenarkan oleh perlakuan medis, perawatan gigi atau rumah sakit dari

orang yang bersangkutan ataupun tidak melaksanakan demi

kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau menimbulkan bahaya serius terhadap kesehatan dari orang atau orang-orang tersebut;

(xii) Menghancurkan atau merampas hak milik dari seorang lawan kecuali

kalau penghancuran atau perampasan tersebut sangat dituntut oleh kebutuhan dari sengketa tersebut;

(f) Ayat 2(e) berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional

(27)

3. Tidak ada dalam ayat 2(c) dan (d) akan mempengaruhi tanggung jawab suatu Pemerintah untuk mempertahankan atau menetapkan kembali hukum dan ketertiban dalam Negara atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas teritorial dari Negara tersebut, dengan semua sarana yang sah.

Berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998 kita dapat melihat bahwa pengaturan

kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 berlaku dalam konflik bersenjata internasional dan

konflik bersenjata non-internasional. Selain itu secara ringkas kita dapat membagi kejahatan

perang dalam Statuta Roma 1998 menjadi 4 bagian atau kriteria yaitu terdiri dari

ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan ketentuan-ketentuan-ketentuan-ketentuan

yang terdapat di dalam hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata, baik yang bersifat

internasional maupun non-internasional.

Dengan kriteria-kriteria tersebut Berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998, Statuta

Roma 1998 mengenal empat kategori kejahatan perang, sebagaimana ditampilkan dalam tabel

berikut150 :

TABEL 1.2. Kategori Kejahatan Perang Berdasarkan Statuta ROMA 1998

SENGKETA BERSENJATA INTERNASIONAL SENGKETA BERSENJATA NON-

INTERNASIONAL

Kategori I

Pelanggaran serius terhadap

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Pasal 8 ayat 2 huruf a Statuta Roma 1998)

Kategori III

Pelanggaran serius terhadap common article

3 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Pasal 8 ayat 2 huruf c Statuta Roma 1998)

Kategori II

Pelanggaran serius terhadap hukum dan

kebiasaan dalam konflik bersenjata

internasional (Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta Roma 1998)

Kategori IV

Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata non-internasional (Pasal 8 ayat 2 huruf e Statuta Roma 1998)

Secara umum, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat

dikategorikan sebagai kejahatan perang. Seperti yang telah diuraikan dalam bab 2 tentang

kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata bahwa berdasarkan Hukum Humaniter

Internasional melalui konvensi-konvensi internasional, benda budaya dipersamakan dengan

obyek sipil sepanjang tidak dipergunakan untuk kepentingan militer. Oleh karena itulah,

150

(28)

benda budaya dilindungi dan tidak boleh diserang atau dijadikan target serangan dalam

konflik bersenjata. Pelanggaran terhadap ketentuan hukum humaniter internasional tersebut

adalah merupakan kejahatan perang.

Statuta Roma 1998 juga memiliki pengaturan tentang kejahatan perang yang seperti

sudah dijelaskan, diatur dalam Pasal 8 Statuta Roma 1998. Secara khusus berdasarkan Statuta

Roma 1998, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata juga dikategorikan sebagai

kejahatan perang, yaitu :

1. Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta Roma 1998 yaitu Pelanggaran serius terhadap hukum

dan kebiasaan dalam konflik bersenjata internasional, dimana penghancuran benda

budaya dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat kita lihat dari:

(a) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ii bahwa kejahatan perang berarti secara sengaja

melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu objek yang bukan

merupakan sasaran militer. Berdasarkan hukum humaniter internasional,

kedudukan benda budaya adalah sebagai objek sipi. Penyerangan secara

sengaja yang ditujukan kepada benda budaya yang merupakan objek sipil dapat

membuat benda budaya tersebut rusak dan hancur. Sehingga dalam konflik

bersenjata internasional, jika benda budaya dalam kedudukannya sebagai objek

sipil diserang, maka hal tersebut adalah kejahatan perang.

(b) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka iv pada intinya menyebutkan bahwa secara

sengaja melakukan serangan dimana telah diketahui efek serangan tersebut

dapat mengakibatkan kerugian-kerugian terhadap orang sipil dan objek sipil.

Walaupun serangan tidak ditujukan kepada benda budaya sebagai objek sipil

sekalipun, jika efek serangannya sebelumnya sudah diketahui akan

mengakibatkan kerugian berupa kerusakan dan kehancuran pada benda budaya

(29)

tersebut adalah kejahatan perang. Secara ringkas dapat dikatakan penghancuran

benda budaya yang disebabkan efek dari serangan yang terlalu besar dan tidak

perlu dalam konflik bersenjata internasional dapat dikategorikan sebagai

kejahatan perang.

(c) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka v pada intinya menyebutkan bahwa menyerang

atau membom dengan sarana apapun, kota-kota, desa perumahan atau gedung

yang bukan merupakan objek militer adalah merupakan kejahatan perang.

Menyerang dan membom suatu daerah atau gedung yang bukan merupakan

objek militer dapat menghancurkan benda budaya yang berada dalam daerah

atau gedung tersebut, sehingga tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai

kejahatan perang.

(d) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ix pada intinya menyebutkan bahwa secara

sengaja melakukan serangan terhadap gedung keagamaan, pendidikan,

kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah dan rumah sakit sepanjang

bukan objek milter dalam konflik bersenjata internasional adalah suatu

kejahatan perang. Hal tersebut menjadi penegasan terhadap penghancuran

benda budaya dalam konflik bersenjata internasional adalah merupakan

kejahatan perang. Secara langsug, pasal tersebut menyebutkan sepanjang bukan

objek militer, contoh-contoh benda budaya seperti gedung-gedung untuk

keagamaan, pendidikan, kesenian dan monumen bersejarah yang diserang

secara sengaja dalam konflik bersenjata internasional dapat dikategorikan

sebagai kejahatan perang.

2. Pasal 8 ayat 2 huruf e Statuta Roma 1998 yaitu pelanggaran serius terhadap hukum

dan kebiasaan dalam konflik bersenjata non-internasional. Penghancuran benda

(30)

kejahatan perang, yaitu berdasarkan Pasal 8 ayat 2 huruf e angka iv Statuta Roma 1998

yang menyebutkan bahwa secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung

keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah dan

rumah sakit sepanjang bukan objek atau sasaran militer dalam konflik bersenjata

internasional adalah suatu kejahatan perang. Dapat kita lihat bahwa pasal ini sama

persis dengan Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ix Statuta Roma 1998. Hal ini karena

memang pasal-pasal tersebut sama-sama mengkategorikan penghancuran benda

budaya sebagai kejahatan perang. Walaupun ketentuan penghancuran benda budaya

sebagai kejahatan perang dalam konflik bersenjata non-internasional lebih sedikit

ketimbang dalam konflik bersenjata internasional, secara substansi efeknya tetap sama,

yaitu sebagai upaya untuk melindungi benda budaya dalam konflik bersenjata. Dalam

konflik bersenjata non-internasional, menyerang benda-benda budaya seperti

gedung-gedung yang ditujukan untuk keagamaan, pendidikan, kesenian, monumen bersejarah

sepanjang bukan objek atau sasaran militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan

perang.

Berdasarkan Pasal 8 ayat 2 Statuta Roma 1998 tersebut diatas dapat kita ketahui

bahwa dalam Statuta Roma 1998, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat

dikategorikan sebagai kejahatan perang yang berlaku pada konflik bersenjata internasional

dan konflik bersenjata non-internasional. Penghancuran benda budaya dalam konflik

bersenjata internasional dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat dilihat pada Pasal 8 ayat

2 huruf b angka ii, iv, v, ix Statuta Roma 1998. Sedangkan, penghancuran benda budaya

dalam konflik bersenjata non-internasional dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat

dilihat pada Pasal 8 ayat 2 huruf e angka iv Statuta Roma 1998 .

Berdasarkan uraian-urian diatas, dapat kita simpulkan bahwa penghancuran benda

(31)

umum berdasarkan hukum humaniter internasional maupun secara khusus berdasarkan Statuta

Roma 1998. Dengan dikategorikannya penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata

sebagai kejahatan perang oleh Statuta Roma 1998, maka pelaku atau individu yang melakukan

penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata baik konflik bersenjata internasional

maupun konflik bersenjata non-internasional dapat dituntut, diadili dan dihukum oleh

Mahkamah Pidana Internasional atau ICC.

B. Latar Belakang Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata di Mali

Republik Mali (bahasa Perancis: République du Mali) adalah suatu negara beribukota

Bamako yang terletak di benua Afrika bagian barat. Negara terbesar kedua di Afrika Barat ini

berbatasan dengan Aljazair di sebelah utara, Niger di timur, Burkina Faso dan Pantai Gading

di selatan, Guinea di barat daya, serta Mauritania di barat. Perbatasannya di sebelah utara

memanjang ke tengah gurun Sahara.151 Republik Mali berdiri pada tanggal 22 September 1960

setelah merdeka dari jajahan negara Perancis. Republik Mali memiliki luas wilayah 1,24 juta

km², luas daratan 1,22 juta km², dan luas Perairan 20.000 km². Negara Mali yang memiliki

iklim Sub tropis dan tropis ini, terdiri dari 8 wilayah, yaitu Gao, Kayes, Kidal, Koulikoro,

Mopti, Segou, Sikasso, dan Timbuktu atau Tombouctou . Negara Mali memiliki jumlah

penduduk 12.324.029 jiwa (per Juli 2008) dan dihuni oleh berbagai macam suku atau etnis

yang terdiri dari Mande (50% terdiri dari Bambara, Malinke, Soninke), Peul (17%), Voltaic

(12%), Songhai (6%), Tuareg dan Moor (10%) dan etnis-etnis lainnya sekitar (5%). Agama

yang paling banyak dianut adalah Islam (90%), Kristen (1%) dan kepercayaan setempat (9%).

Mali memiliki banyak sumber daya alam yang terdiri dari Emas, fosfat, kaolin, garam,

limestone, uranium, hydropower, serta cadangan bauksit, bijih besi, mangaan,timah, tembaga,

151

Gambar

TABEL 1.2. Kategori Kejahatan Perang Berdasarkan Statuta ROMA 1998

Referensi

Dokumen terkait

Adapun faktor yang dimaksud yaitu (1) apakah sarana dan prasarana angkutan sudah memadai, dalam rangka mengirim barang ke tujuan secara tepat waktu ( transportation ),

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan penerapan model kooperatif tipe TGT ( Teams Games Tournamnet ) pada siswa kelas XI

The Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Syrian Arab Republic shall establish a Joint Indonesian - Syrian Commission on Economic,

[r]

[r]

[r]

The writer wishes to express the highest gratitude to Allah SWT for the blessing with health and great power, so the writer can finish this final project entitled

Dehidrasi yang dilakukan yaitu dengan cara adsorbsi menggunakan molecular sieve 3A, silica gel, dan kombinasi dari molecular sieve 3A + silica gel. Dari percobaan adsorbsi dari