BAB III
TANGGUNG JAWAB INDIVIDU MENURUT STATUTA ROMA 1998
A. Individu sebagai Subjek Hukum Internasional
Prof.Dr. Boer Mauna dalam bukunya HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian,
Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, halaman satu, mengatakan bahwa : ―Pada
umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan
subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.‖112
Hukum internasional (international law) atau hukum internasional publik (public
international law) merupakan istilah yang lebih populer digunakan saat ini dibandingkan
istilah Hukum Bangsa-Bangsa (law of nations), hukum antarnegara (Inter state law). Dua
istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Hukum
internasional saat ini tidak hanya mengatur hubungan antarbangsa atau antarnegara saja.
Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek
negara tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum
internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, perusahaan transnasional, vatican,
belligerency, merupakan contoh –contoh subjek non negara.113 Drs. T. May Rudy, S.H., dalam bukunya Hukum Internasional 1 juga mengatakan bahwa subjek hukum internasional terdiri
atas Negara, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional,
Individu , Pemberontak dan pihak dalam sengketa ( belligerent ).114
112
Prof.Dr. Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT ALUMNI, Bandung, 2011, Hal. 1
113
Sefriani, S.H., M.Hum., HUKUM INTERNASIONAL : SUATU PENGANTAR, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal.2
114
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.,
yaitu manusia dan badan hukum.115 Sebagai subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia
mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum.116 Subjek hukum
internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional.117
Secara umum subjek hukum adalah pembawa atau pendukung hak dan kewajiban
dalam hukum. Dalam hukum internasional, manusia atau individu merupakan salah satu
subjek hukum internasional. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia atau individu sebagai
subjek hukum internasional memiliki hak dan kewajiban dalam lingkup hukum internasional.
Sering orang bertanya apakah individu juga dapat dianggap sebagai subjek hukum
internasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat dua konsep yang saling berbeda.
Dengan merujuk pada praktek internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya
pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara
dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Menurut pendapat mereka hanya negaralah yang merupakan subjek hukum internasional dan
bukan individu.118
Sebaliknya ada juga yang berpendapat terutama Prof. Georges Scelle, pakar hukum
kenamaan dari Prancis bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional.
Para pendukung doktrin ini mendasarkan pandangannya bahwa bukankah tujuan akhir dari
pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu dia mendapatkan
perlindungan internasional. Suatu konvensi internasional yang ditandatangani oleh sejumlah
115
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., HUKUM PERDATA dalam SISTEM HUKUM NASIONAL, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hal. 40
116
Prof. Drs. C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., PENGANTAR ILMU HUKUM INDONESIA, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2011, Hal.99
117
T. May Rudy, Op. Cit., Hal.2 118
negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah
bebas, tidak lain berarti sebagai pemberian kebebasan kepada individu-individu, para
pedagang, pemilik kapal, untuk menggunakan sungai tersebut bagi keperluan usaha mereka.
Jadi keseluruhan dari ketentuan internasional mengenai pelayaran menyangkut
individu-individu. Ada juga naskah yang mengatur secara langsung keadaan individu seperti
konvensi-konvensi mengenai tawanan perang (Konvensi-konvensi-konvensi Den Haag ) yang mengatur perang
dan Konvensi-Konvensi Palang Merah yang semuanya mempunyai tema yang sama yaitu
perlindungan terhadap individu-individu yang lemah, menderita sakit, tidak bersenjata, dan
lain-lainnya. Tidaklah dapat disangkal bahwa perlindungan terhadap individu ini merupakan
tema umum dari pengaturan-pengaturan internasional dan keseluruhan ketentuan-ketentuan
hukum.119
Dalam hukum internasional, ada pakar atau ahli yang berpendapat bahwa satu-satunya
subjek hukum internasional adalah negara. Berlawanan dengan pendapat tersebut, ada
pendapat lain yang menyatakan bahwa subjek hukum internasional hanyalah individu. Hal ini
didasarkan pada tujuan akhir dari hukum internasional adalah untuk kepentingan dan
perlindungan individu. Perbedaan pendapat tersebut, bukan berarti untuk saling menjatuhkan
atau saling menyalahkan pendapat yang lain. Perbedaan pendapat tersebut justru membuat kita
dapat saling melihat kelebihan maupun kelemahan pendapat-pendapat tersebut sehingga
hukum internasional dapat dikembangkan lebih baik lagi. Pada perkembangan selanjutnya,
bahkan bukan hanya negara dan individu saja yang menjadi subjek hukum internasional,
namun juga Organisasi Internasional, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, dan
Pemberontak ( belligerent ).
Dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad
XX, meningkatnya hubungan kerja sama dan kesalingtergantungan antar negara,
119
menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi,
munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang sangat banyak telah
menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum
internasional bukan saja mengatur hubungan antarnegara, tetapi juga subjek-subjek hukum
lainnya seperti organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional dan
gerakan-gerakan pembebasan nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu hukum internasional
juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara.120
Memang benar bahwa banyak ketentuan internasional yang menyangkut
individu-individu baik dalam bentuk keuntungan-keuntungan yang diberikan maupun
kewajiban-kewajiban yang harus mereka laksanakan. Namun demikian tidak berarti bahwa
individu-individu secara otomatis merupakan subjek hukum internasional karena dalam banyak hal,
negara bertindak sebagai layar antara mereka dan hukum internasional.121 Menyangkut
individu, perkembangan menunjukkan bahwa dewasa ini individu merupakan subjek hukum
internasional (dalam arti yang terbatas) di samping negara. Sebagai subjek hukum, individu
memiliki hak dan kewajiban tertentu dalam hukum internasional. Adalah fakta yang tidak
dapat disangkal bahwa pada saat ini individu dapat dimintai pertanggungjawaban di forum
internasional atas tindakan-tindakannya. 122 Hal tersebut menunjukkan bahwa memang
individu diakui sebagai subjek hukum internasional, namun dalam artian yang terbatas yaitu
sepanjang individu tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban di forum internasional atas
tindakan-tindakannya.
Kasus pertama menyangkut status individu sebagai subjek atau bukan dalam hukum
internasional menurut Alina Kaczorowska adalah Case Concerning Competence of the Courts
of Danzig, Advisory opinion dari Permanent Court of International Justice tahun 1928. Dalam
120120
Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit. , Hal. 669
121
Ibid., Hal. 670-671
122
kasus ini Danzig dan Polandia membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur
persyaaratan pekerjaaan bagi pejabat yang bekerja dalam perkeretaapian Danzig mempunyai
hak untuk menuntut penggantian klaim terhadap administrasi perkeretaapian Polandia. Dalam
kasus ini mahkamah menyatakan bahwa suatu perkecualian dari prinsip bahwa individu bukan
subjek hukum internasional dapat timbul apabila maksud dari para pihak dalam suatu
perjanjian adalah memang untuk memberikan hak dan kewajiban pada individu yang
bersangkutan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa menurut PJIC, pada dasarnya
treaties tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi individu kecuali apabila para pihak
perjanjian bermaksud demikian.123 Hal tersebut menunjukkan bahwa individu sudah diakui
sebagai subjek hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban namun hanya sebatas
jika para pihak perjanjian dalam hal ini negara yang memang menginginkannya dan
menyepakatinya.
Selanjutnya pasca perang dunia kedua dalam pengadilan ad hoc Nurenberg dan Tokyo
dinyatakan bahwa individu memiliki international personality, mampu menyandang hak dan
kewajiban yang diberikan hukum internasional padanya. Individu bertanggung jawab secara
pribadi, dapat dituntut di pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya
tanpa dapat berlindung dibalik negaranya.124
Dampak PD II yang menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan hukum
internasional, khususnya di bidang hukum pidana internasional. Di bidang ini muncul prinsip
pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi
individu yang melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kategori
kejahatan internasional. Individu yang melakukan kejahatan tersebut dapat dimintai
123
Sefriani, S.H., M.Hum.,, Op. Cit. Hal. 146
124
pertanggungjawaban di forum pengadilan internasional. Hal ini sekaligus merupakan
pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional.125
Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg
dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional mengenakan kewajiban dan
tanggung jawab terhadap para individu. Mereka memiliki kewajiban internasional melebihi
kepatuhan terhadap kewajiban yang dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar
hukum perang tidak dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari
negara, jika negara dalam mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya
menurut hukum internasional.126
Pengakuan secara terbatas terhadap individu sebagai subjek hukum internasional
mengalami perkembangan yang nyata sesudah Perang Dunia II. Dalam kerangka konstruksi
regional, Konvensi Eropa mengenai Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1959, Perjanjian Roma
1957 dan pada tingkat universal dengan diterimanya The International Convenant on Civil
and Political Rights (ICPR) dan The International Convenant on Economic Social and Cultural Rights (ICES) di tahun 1966 telah meningkatkan status individu yang bukan hanya
sebagai objek tetapi juga dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional.127
Peningkatan status individu ini makin lama makin bertambah nyata setelah terjadinya
pembunuhan massal, perbuatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang
dan pelanggaran-pelanggaarn berat HAM lainnya di berbagai tempat di dunia. Kejahatan
perang, kejahatan kemanusiaan dan perbuatan genosida yang terjadi di negara eks Yugoslavia
dari tahun 1992-1999 yang menewaskan sekitar 200.000 orang, kejahatan yang terjadi di
Kamboja selama selama rezim Pol Pot dari tahun 1975-1979 yang menelan korban sekitar
125
Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal.216
126
Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal 15
127
1.700.000 orang dan pada pembantaian suku minoritas Tutsi oleh suku mayoritas Hutu di
Rwanda yang menelan korban sekitar 800.000 jiwa di tahun 1994 telah memperkuat tekad
masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas dan menghukum para pelaku
berbagai kejahatan kemanusiaan tersebut. Untuk itu telah dibentuk Mahkamah Kriminal
Yugoslavia, Mahkamah Kriminal Rwanda, Sierra Leone dan Kamboja untuk mengadili dan
menghukum para penjahat kemanusiaan tersebut. Lahirnya Mahkamah Pidana Internasional
melalui Statuta Roma bulan Juli 1998 yang dapat mengadili para pelaku genosida, kejahatan
perang dan kejahatan terhadao kemanusiaan merupakan bukti nyata bahwa pada kasus-kasus
tertentu individu-individu pun telah dianggap subjek hukum internasional.128
Dari uraian-uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa individu merupakan subjek
hukum internasional dalam artian terbatas. Secara teori, hal ini dapat kita lihat dari adanya
konvensi-konvensi internasional yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap
individu. Secara praktik, dapat kita lihat dari putusan-putusan pengadilan internasional yang
menghukum individu sebagai pelaku kejahatan internasional. Namun, pengakuan individu
sebagai subjek hukum internasional adalah terbatas pada dimungkinkannya individu dituntut
di hadapan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas nama diri
sendiri terhadap kejahatan internasional yang dilakukannya.
B. Impunity dalam Hukum Internasional
Kata ―impunity‖ yang ada dalam bahasa Inggris ternyata tidak ditemukan padanannya
dalam bahasa Indonesia resmi, paling tidak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa kalangan, terutama para advokat Hak Asasi Manusia
(HAM) menggunakan kata impunitas sebagai padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata ini
sendiri juga tidak lazim digunakan publik luas dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Kata
128
―impunity‖ sendiri berasal dari bahasa Latin ―impunitas‖ yang berasal dari akar kata ―impune‖
yang artinya ‗tanpa hukuman‘129. Kata impunite atau impunity (impunitas, dalam serapan bahasa Indonesia) diasosiasikan dengan situasi pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang
diciptakan atau dipelihara oleh negara atau sebagai hasil dari runtuhnya kekuasaan di sebuah
negara dan pelbagai institusinya.130Secara umum impunitas dipahami sebagai ―tindakan yang
mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran (hak asasi manusia)‖ atau dalam kepustakaan umum diartikan sebagai ―absence of punishment‖. Dalam perkembangannya
istilah impunity digunakan hampir secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan
suatu proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap
berbagai tindakan illegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan.131
Seiring dengan kemajuan sistem hukum dan tata negara, definisi ―impunity‖ dalam
kerangka hukum internasional di sini adalah ―ketidakmungkinan –dejure atau de facto- untuk
membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan kriminal, sipil, administratif atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan, apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban mereka‖.132
Impunity dapat ditemukan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Latin, namun dalam
Bahasa Indonesia, impunity dikenal dengan istilah impunitas. Impunity atau impunitas dapat
129
Louis Joinet, MENOLAK IMPUNITAS-Serangkaian Prinsip perlindungan dan pemajuan HAK ASASI MANUSIA Melalui Upaya memerangi Impunitas Prinsip-prinsip hak korban,Edisi Terjemahan, KONTRAS, Jakarta, 2005, Hal. i
130
Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS: Media Kajian Kewarganegaraan, Vol 7 No 1, 2010, Hal. 17. Jurnal dapat diakses pada http://download.portalgaruda.org/article.php?article=307209&val=474&title=PENGADILAN%20HAK%20ASA SI%20MANUSIA%20DAN%20PELANGGENGAN%20BUDAYA%20IMPUNITAS
131
Genevieve Jacques Dalam Daniel Hutagalung, Negara dan Pelanggaran HAM Masa Lalu : Tuntutan Pertanggungjawaban versus Impunitas, Jurnal Dignitas, Vol. 3 (1) (2005), Hal. 8
132
kita artikan sebagai peniadaan hukum atau suatu keadaan tidak dihukumnya seseorang atas
kejahatan yang diperbuatnya. Kejahatan yang dilakukan dalam impunity biasanya adalah
kejahatan pelanggaran HAM dan juga kejahatan perang. Dalam hukum internasional, impunity
diartikan sebagai keadaan tidak mampunya negara menangkap, memeriksa, mengadili, bahkan
menghukum pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
dihadapan hukum.
Terdapat empat faktor yang memelihara kelangsungan impunitas. Yakni, faktor
kekuasaan, faktor hukum, faktor budaya, dan faktor hubungan internasional yaitu133 :
1. Faktor Kekuasaan (power factor)
Tidak dihukumnya pelaku kejahatan HAM (impunitas) dapat disebabkan oleh karena yang bersangkutan adalah orang kuat atau dekat penguasa yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat saja disalahgunakan untuk melindungi orang tersebut dari jerat hukum.
2. Faktor Hukum (legal factor)
Faktor hukum dapat juga berperan merawat praktek impunitas. Lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya peraturan hukum membuat pelaku impunitas enggan untuk diadili dan tidak memiliki dasar hukum untuk diadili.
3. Faktor Budaya
Faktor budaya seperti budaya feodal membuat masyarakat tidak kritis, apatis dan pesimis terhadap praktek impunitas.
4. Faktor Hubungan Internasional
Kurangnya implementasi perjanjian-perjanjian internasional dan lemahnya tekanan internasional atas sebuah pelanggarana HAM turut menyebabkan lemahnya itikad negara untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM tersebut. Diperlukan pengawasan internasional untuk mencegah praktek impunitas.
Praktek impunitas ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya adalah gagalnya
Negara-negara Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana yang direkomendasikan
oleh Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas
keputusan AS, berbagai pengadilan pura-pura yang mengadili serdadu-serdadu rendah dengan
hukuman yang ringan dan melawan hari nurani keadilan masyarakat.134
133
Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS: Media Kajian Kewarganegaraan,Vol 7 No 1, 2010, Hal 11.
134
Dapat kita lihat bahwa impunitas telah terjadi sangat lama dan sering dilakukan oleh
raja dan juga orang yang dekat dengan raja atau penguasa. Hal ini karena kekuasaan yang
mereka miliki sehingga sangat susah menyeret mereka ke pengadilan. Tentu hal ini menyalahi
hukum karena semua dihadapan hukum adalah sama (equality before the law), sehingga
siapapun yang bersalah harus dihukum terlepas dari apapun status maupun jabatannya. Tidak
ada pengistimewaan dalam hukum, siapapun orangnya, baik itu presiden, hakim, pedagang,
petani, dan lain sebagainya, dihadapan hkuum adalah sama.
C. Pengaturan Tanggung Jawab Individu berdasarkan Statuta Roma 1998
Untuk memerangi impunity atau impunitas, maka dunia internasional membuat
pengadilan internasional. Dengan adanya pengadilan internasional, maka lahirlah prinsip
tanggung jawab individu untuk memerangi impunity sekaligus penguatan pengakuan individu
sebagai subjek hukum internasional walaupun secara terbatas. Dengan adanya tanggung jawab
individu maka pelaku kejahatan internasional siapapun orangnya, walaupun kepala negara
atau penguasa, dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui
pengadilan internasional.
Upaya untuk mengadili para penjahat perang setelah PD II kemudian dinyatakan
dalam Perjanjian London (London Agreement) yang dibuat oleh empat negara sekutu
(Amerika, Inggris, Prancis dan Uni Soviet) pada tanggal 8 Agustus 1945. Selanjutnya, hal
tersebut diwujudkan melalui pembentukan dua Pengadilan Militer Internasional (International
Military Tribunal) di Nuremberg (1945) dan Tokyo (1946) untuk mengadili penjahat perang
yang utama.135
Pengadilan Nuremberg telah menjatuhkan pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa,
pidana seumur hidup atas tiga orang terdakwa dan pidana penjara dengan lamanya pidana
yang bervariasi atas empat orang terdakwa, dan dibebaskan untuk tiga orang terdakwa. Selain
dari itu, menetapkan enam organisasi yang terlibat di dalam PD II sebagai organisasi
kejahatan dan membebaskan dua organisasi tuduhan. Adapun pengadilan Tokyo telah
menjatuhi pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa dan 16 orang terdakwa dijatuhi pidana
semumur hidup serta pidana penjara dengan variasi lamanya pidana terhadap dua orang
terdakwa.136 Dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep
individual criminal responsibility
.
137Prinsip tanggung jawab individu dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional
Nuremberg, dapat kita lihat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer
Internasional Nuremberg138. Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg,
adalah :
―The Tribunal established by the Agreement referred to in Article 1 here of for the trial and punishment of the major war criminals of the European Axis countries shall have the power to try and punish persons who, acting in the interests of the European Axis countries, whether as individuals or as members of organizations, committed any of the following crimes. The following acts, or any of them, are crimes coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual
responsibility: crimes against peace…; war crimes…;crimes against humanity…;. Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or
execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible for all acts performed by any persons in execution of such plan.‖
Terjemahan Bebas : Diakses pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 01:21 WIB.
138
Pengadilan didirikan oleh Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 perjanjian untuk melakukan sidang dan memberi hukuman dari para penjahat perang utama dari negara-negara Eropa Axis, yang mana pengadilan akan memiliki kekuatan untuk memeriksa dan menghukum orang-orang yang bertindak dalam Negara-negara Eropa Axis, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi, melakukan suatu kejahatan berikut. Semua tindakan-tindakan berikut, atau salah satu dari kejahatan berikut, adalah kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan yang harus ada tanggung jawab
individu: kejahatan terhadap perdamaian…; kejahatan perang…; kejahatan terhadap
kemanusiaan…;. Pemimpin, penyelenggara, penghasut dan anak buah yang berpartisipasi dalam perumusan atau pelaksanaan rencana umum atau konspirasi untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut bertanggung jawab untuk semua tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksanaan rencana tersebut.
Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, adalah :
―The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment.‖
Terjemahan Bebas :
Posisi resmi terdakwa, apakah sebagai Kepala Negara atau penanggung jawab atau para pejabat di Departemen Pemerintah, tidak akan dianggap sebagai membebaskan mereka dari tanggung jawab atau hukuman yang meringankan.
Tanggung jawab individu dapat kita lihat dari pasal-pasal tersebut yaitu dalam Pasal 6
disebutkan bahwa pelaku kejahatan terhadap tiga jenis kejahatan yaitu kejahatan terhadap
perdamaain, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut
pertanggungjawabannya melalaui pengadilan internasional yaitu Pengadilan Militer
Internasional Nurenberg. Tangggung jawab individu tersebut juga dikuatkan dalam pasal 7
yaitu siapapun orangnya atau apapun jabatan yang diemban individu, baik kepala negara atau
pejabat, yang melakukan kejahatan tersebut harus dihukum dan tidak berhak memperoleh
keringanan hukuman.
Dalam perkembangannya, prinsip tanggung jawab individu diterapkan juga ke dalam
berbagai pengadilan internasional. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Statuta Pengadilan
Former Yugoslavia139atau ICTY dan Pasal 6 Statuta Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc
untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda140atau ICTR, yaitu
1. A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in articles 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime.
2. The official position of any accused person, whether as Head of State or Government or as a responsible Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate punishment.
3. The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.
4. The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of a superior shall not relieve him of criminal responsibility, but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice so requires.
Terjemahan Bebas :
1. Seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan, berkomitmen atau
membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan dimaksud dalam artikel 2 sampai 5 dari Statuta ini, harus secara individu bertanggung jawab atas kejahatan itu.
2. Posisi resmi dari setiap orang yang dituduh, apakah sebagai Kepala Negara atau
Pemerintah atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung jawab, tidak akan membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab pidana atau mengurangi hukuman.
3. Fakta bahwa salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam artikel 2 sampai 5
dari Statuta ini dilakukan oleh seorang bawahan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana jika ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahan itu mau melakukan tindakan seperti atau telah melakukannya dan atasan tidak mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan tersebut atau untuk menghukum pelakunya.
4. Kenyataan bahwa seorang terdakwa bertindak sesuai dengan perintah dari
Pemerintah atau dari atasan tidak akan membebaskannya dari tanggung jawab pidana, tetapi dapat dipertimbangkan dalam mitigasi hukuman jika Pengadilan Internasional menentukan bahwa keadilan sehingga membutuhkan.
Seperti yang telah disebutkan di latar belakang atau pendahuluan dalam skripsi ini
bahwa ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan
suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (―The Rome Statute of the
139
Statuta International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dapat diunduh pada http://www.icty.org/x/file/Legal%20Library/Statute/statute_sept09_en.pdf
140
International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda).
ICC berdasarkan Statuta Roma 1998141 juga dibentuk untuk memutuskan rantai
kekebalan hukum atau impunity bagi para pelaku yang melakukan kejahatan berdasarkan
statuta ini. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan atau Preumbule Statuta Roma 1998, yaitu
―Determined to put an end to impunity for the perpetrators of these crimes and thus to
contribute to the prevention of such crimes,..‖.
Dalam memerangi impunity tersebut, ICC berdasarkan Statuta Roma 1998 menganut
prinsip tanggung jawab individu agar siapapun pelakunya, baik itu kepala negara maupun
pejabat, dapat diadili dan dihukum atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC
yang dilakukan individu tersebut. Pengaturan tanggung jawab individu dalam Statuta Roma
1998 dapat kita lihat pada Pasal 25 Statuta Roma 1998.
Pasal 25 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa, :
Individual criminal responsibility
1. The Court shall have jurisdiction over natural persons pursuant to this Statute.
2. A person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall be individually responsible and liable for punishment in accordance with this Statute. 3. In accordance with this Statute, a person shall be criminally responsible and liable for
punishment for a crime within the jurisdiction of the Court if that person:
(a) Commits such a crime, whether as an individual, jointly with another or through another person, regardless of whether that other person is criminally responsible;
(b) Orders, solicits or induces the commission of such a crime which in fact occurs or is attempted;
(c) For the purpose of facilitating the commission of such a crime, aids, abets or otherwise assists in its commission or its attempted commission, including providing the means for its commission;
purpose involves the commission of a crime within the
(f) Attempts to commit such a crime by taking action that commences its execution by means of a substantial step, but the crime does not occur because of circumstances independent of the person's intentions. However, a person who abandons the effort to commit the crime or otherwise prevents the completion of the crime shall not be liable for punishment under this Statute for the attempt to commit that crime if that person completely and voluntarily gave up the criminal purpose.
4. No provision in this Statute relating to individual criminal responsibility shall affect the responsibility of States under international law.
Pada Pasal 25 Statuta Roma 1998 dapat kita ketahui bahwa prisip tanggung jawab
individu diatur dalam Statuta Roma 1998, yaitu :
1. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 1 dan 4, Mahkamah Pidana
Internasional memiliki kewenangan atau yurisdiksi hanya terhadap individu atau
person bukan negara,sehingga dalam hal ini hanya individu yang dapat dikenakan tanggung jawab. Individu tidak dapat berlindung dibalik negara dan tanggung
jawab individu tersebut tidak dapat dialihkan menjadi tanggung jawab negara.
Individu harus bertanggung jawab secara individual terhadap perbuatannya.
2. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 2, individu hanya dapat dapat
dikenakan tanggung jawab dan dihukum atas kejahatan-kejahatan internasional
yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan-kejahatan
internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat kita
lihat pada Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998 yaitu, kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
3. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Seseorang atau individu yang
internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, apabila
individu tersebut :
a) Berdasarkan Huruf a Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Melakukan kejahatan, baik itu sendiri, bersama-sama dengan orang lain,
ataupun melalui orang lain. Dalam hal ini individu tersebut harus
bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya, walaupun
individu tersebut melakukannya bersama orang lain ataupun dalam
perantaraan melalui orang lain. Mahkamah Pidana Internasional tidak
mengenal tanggung jawab kolektif atau bersama dan tanggung jawab
individu tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Individu harus
bertanggung jawab secara individual atas kejahatan yang diperbuatanya
sesuai dengan perannya dalam melakukan kejahatan tersebut.
b) Berdasarkan Huruf b Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Memerintahkan, mengusahakan, mendorong dilakukannya kejahatan atau
percobaan kejahatan dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dapat
dihukum.
c) Berdasarkan Huruf c Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Mempermudah terjadinya kejahatan atau percobaan dengan cara
membantu, kerja sama atau persengkongkolan, dan juga memberikan
sarana dan fasilitas untuk melakukan kejahatan.
d) Berdasarkan Huruf d Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Memberikan kontribusi bagi terjadinya kejahatan atau percobaan yang
dilakukan oleh sekelompok orang atas tujuan bersama. Kontribusi tersebut
harus dilandasi dengan kesengajaan dan dilakukan dengan tujuan untuk
karena dilakukan berdasarkan pengetahuan atas niat dari kelompok tersebut
untuk melakukan kejahatan.
e) Berdasarkan Huruf e Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Khusus untuk kejahatan genosida, secara langsung atau tidak langsung
mengahasut atau membujuk orang lain melakukan genosida.
f) Berdasarkan Huruf f Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3
Walaupun kejahatan tersebut tidak terjadi, individu tersebut tetap dapat
dihukum dan dikenakan tanggung jawab individu kecuali individu tersebut
benar-benar secara sukarela dan kesadaran menarik diri atau meninggalkan
dari tujuan terwujudnya kejahatan tersebut dengan cara mencegah
terwujudnya kejahatan tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaturan tanggung
jawab individu dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 25 Statuta Roma
1998 yang pada intinya menyatakan bahwa siapapun yang dengan salah satu atau lebih dari
cara-cara berikut: melakukan; memerintahkan; membantu; bekerja sama; memberikan fasilitas
dan atau menghasut; baik secara pribadi maupun berkelompok; pada kejahatan internasional
yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, dapat dikenakan tanggung
BAB IV
PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DALAM
PENGHANCURAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK
BERSENJATA DI MALI
A. Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Sebagai Kejahatan Perang
―Perang‖ tampaknya sudah menjadi kata yang umum dan lazim dipergunakan secara
luas dalam berbagai konteks situasi. Namun, sebagai sebuah terma hukum internasional, ada
pemahaman spesifik tentang perang. Meski begitu, sampai saat ini tidak ada defenisi spesifik
tentang perang yang diberikan oleh norma hukum internasional. Dengan demikian, sejauh ini
defenisi tentang perang lebih banyak bersumber dari pendapat-pendapat akademisi dengan
mempertimbangkan praktik negara-negara.142
Oppenheim berpendapat bahwa perang adalah, ―…a contention between two or more
States through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions of peace as the victor pleases.‖ Seorang ahli hukum internasional yang lain, Dinstein dengan berlandaskan defenisi perang oleh
Oppenheim tersebut, berpendapat bahwa perang memiliki unusr-unsur sebagai berikut :143
a. Ada permusuhan di antara setidaknya dua negara;
b. Ada penggunaan angkatan bersenjata oleh negara-negara yang terlibat;
c. Ada tujuan untuk mengalahkan negara yang menjadi musuh
d. Tujuan mengalahkan musuh secara simetris ada pada negara-negara yang terlibat
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian perang belum didefenisikan secara
mutlak dalam hukum internasional. Defenisi perang seringkali dimaknai secara sempit, yaitu
bahwa perang hanya melibatkan negara-negara dalam konflik bersenjata antar negara.
142
Ari Siswanto Op. Cit., Hal. 146
143
Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori besar,
yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang tidak bersifat
internasional/non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat
internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan
denngan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau
yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah satunya adalah kelompok
bersenjata bukan negara (non-state armed group).144
Hal tersebut menunjukkan bahwa defenisi perang yang dimaknai secara sempit yaitu
konflik bersenjata antara negara melawan dengan negara, adalah salah satu dari wujud konflik
bersenjata berupa konflik bersenjata internasional. Secara luas, perang tidak hanya melibatkan
antara negara melawan negara. Tetapi perang juga dapat melibatkan antara negara melawan
bukan negara, contohnya perang saudara atau perang sipil dan perang negara melawan
pemberontak atau kelompok ekstrimis. Perang tersebut dapat dikategorikan sebagai konflik
bersenjata non-internasional. Sehingga, pemaknaan perang secara luas dapat disebut dengan
istilah konflik bersenjata yang terdiri dari konflik bersenjata internasional dan konflik
bersenjata non internasional.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang
menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal
250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan
bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu merugikan umat manusia, sehingga
kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan
ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan,
bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional moderen sebagai
144
suatu sistem hukum yang berdiri sendiri di mulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum
perang.145
Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut hukum perang, atau hukum
sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Atau
sama tuanya dengan perang itu sendiri. Umumnya aturan-aturan tentang perang itu termuat
dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Aturan –aturan ini antara lain terdapat dalam
ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam. Bahkan pada masa 3000-1500
SM ketentuan-ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia dan Mesir Kuno.
Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war).146
Sepanjang sejarah peradaban manusia, manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan dirinya terhadap konflik dengan sesama manusia lainnya sehingga terjadilah
perang. Dikarenakan akibat-akibat perang yang sangat dahsyat dan merugikan umat manusia,
manusia lalu membuat pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang untuk
meminimalisir akibat perang tersebut. Pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang
menghasilkan hukum perang yang digunakan sebagai pedoman dalam berperang. Dalam
perkembangannya, istilah hukum perang mengalami perubahan dari hukum sengketa
bersenjata, hingga pada saat ini dikenal sebagai hukum humaniter internasional dan menjadi
cabang dari khasanah hukum internasional . Pemaknaan defenisi perang yang luas
mengakibatkan hukum humaniter internasional berlaku bagi tiap jenis konflik bersenjata, baik
itu konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional.
Hukum Humaniter Internasional sebagai cabang dari hukum internasional juga
memiliki sumber hukum yang sama dengan hukum internasional. Sumber Hukum Humaniter
Internasional dapat kita lihat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional yaitu
meliputi : perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary
145
Sulaiman Hamid, S.H. dan H. Bachtiar Hamzah, S.H., Hukum Humaniter Internasional, Penerbit USU Press, Medan, 1998, Hal.26
146
international law), prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law), yurisprudensi (judicial decisions) dan doktrin (doctrine) atau pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly qualified publicists).147
Substansi hukum humaniter internasional dapat dibedakan menjadi dua kelompok
utama yang saling berkaitan, yakni kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) dan
kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva). Secara substantif, Hukum Den Haag lebih
banyak berisi norma tentang perilaku dalam perang dan sarana serta cara yang diperbolehkan
dalam perang (conduct of war and permissible means and methods of war). Sementara itu,
Hukum Jenewa lebih banyak memuat perlindungan terhadap korban perang yang berada
dalam penguasaan musuh (protection of war victims in enemy hands). Secara konsisten,
substansi kedua kelompok norma tersebut sejalan dengan tujuan utama hukum humaniter
internasional, yakni untuk memanusiawikan perang/konflik bersenjata.148
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa sumber hukum humaniter
internasional terdapat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum
humaniter internasional tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yakni
kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) yang mengatur tentang cara-cara
berperang dan kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva) yang mengatur tentang
perlindungan korban perang. Adapaun, Hukum Humaniter Internasional dibuat bukanlah
untuk meniadakan perang atau konflik bersenjata melainkan untuk memanusiawikan perang
atau meminimalisir korban dan kerugian perang atau konflik bersenjata.
Secara sederhana, ―kejahatan perang‖ berpangkal dari tindakan yang melanggar hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata. Istilah ―kejahatan perang‖ sendiri sebenarnya agak menyesatkan. Kata ―perang‖ dalam istilah itu bisa mengarahkan orang untuk
menganggap bahwa kejahatan perang hanya dapat terjadi dalam kondisi perang yang dimaknai
147
Audrey Sujatmoko, Op. Cit., hal. 169
148
secara sempit, yakni konflik bersenjata internasional (antar negara) yang berskala luas.
Padahal, konsep ―perang‖ yang tidak mengalami banyak perkembangan berbanding terbalik dengan konsep ―hukum perang‖ yang mengalami banyak perkembangan yang sampai pada
akhirnya berkembang menjadi hukum humaniter internasional yang mana tidak hannya
mengatur konflik bersenjata internasional saja, tapi juga mengatur konflik bersenjata
non-internasional. Sehingga, dengan pemahaman tersebut , istilah ―kejahatan perang‖ lebih tepat dipahami bukan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perang (dalam arti sempit),
melainkan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.149
Hal tersebut menunjukkan, bahwa kejahatan perang tidak cocok dipahaami hanya
sebagai pelanggaran hukum perang dalam arti sempit yang hanya melibatakan negara
melawan negara atau konflik bersenjata internasional saja. Kejahatan perang, harus dipahami
secara luas, tidak hanya pelanggaran dalam konflik bersenjata internasional, tapi juga
pelanggaran dalam konflik bersenjata non-internasional. Sehingga, pada intinya, dapat
dikatakan bahwa kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter
internasional.
Kejahatan perang adalah salah satu dari kejahatan internasional yang menjadi
yurisdiksi atau kewenangan ICC. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma
1998 yang menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang menjadi yuridiksi ICC adalah
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Pengaturan kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 8
Statuta Roma 1998 sebagaimana disebutkan bahwa :
1. Mahkamah mempunyai jurisdiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya
apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.
2. Untuk keperluan Statuta ini, ―kejahatan perang‖ berarti:
(a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949,
yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau
149
milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan:
(i) Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar;
(ii) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk
percobaan biologis;
(iii) Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius
terhadap badan atau kesehatan;
(iv) Perusakan meluas dan perampasan hak-milik, yang tidak
dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan;
(v) Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang
dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu Angkatan Perang lawan;
(vi) Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau
orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil;
(vii) Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah;
(viii) Menahan sandera.
(b) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan
dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatan-perbuatan berikut ini:
(i) Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk
sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu;
(ii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu,
objek yang bukan merupakan sasaran militer;
(iii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi,
material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada objek-objek sipil berdasarkan hukum internasional mengenai sengketa bersenjata;
(iv) Secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa
serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka-panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi;
(v) Menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa,
perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan objek militer;
(vi) Membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan
senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah menyerahkan diri atas kemauannya sendiri;
(vii) Memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau
(viii) Pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu sendiri maupun ke luar wilayah tersebut;
(ix) Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang
digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh bahwa tempat tersebut bukan objek militer;
(x) Membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang
bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut;
(xi) Membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk
pada bangsa atau angkatan perang lawan;
(xii) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para
tawanan;
(xiii) Menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau
penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang yang tak dapat dihindarkan;
(xiv) Menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya
dalam suatu pengadilan hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak lawan;
(xv) Memaksa warga negara dari pihak yang bemusuhan untuk ambil bagian
dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negaranya sendiri, bahkan kalau mereka berada dalam dinas lawan sebelum dimulainya perang;
(xvi) Menjarah kota atau tempat, bahkan apabila tempat tersebut dikuasai
lewat serangan;
(xvii) Menggunakan racun atau senjata yang dibubuhi racun;
(xviii) Menggunakan gas yang menyesakkan napas, beracun atau lain-lain dan
semua cairan, bahan atau peralatan yang serupa;
(xix) Menggunakan peluru yang melebar atau menjadi rata dengan mudah di
dalam badan seseorang, seperti misalnya peluru dengan selongsong keras yang tidak seluruhnya menutupi intinya atau yang ditusuk dengan torehan;
(xx) Menggunakan senjata, proyektil dan material serta metode peperangan
(xxi) Melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia;
(xxii) Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
kehamilan paksa, sebagaimana didefinisikan dalam pasal 7, ayat 2(f), sterilisasi yang dipaksakan, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa;
(xxiii) Memanfaatkan kehadiran seorang sipil dan orang lain yang dilindungi
untuk menjadikan beberapa tempat, daerah atau pasukan militer tertentu kebal terhadap operasi militer;
(xxiv) Secara sengaja menujukan serangan terhadap gedung, material, satuan
dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana yang jelas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
(xxv) Secara sengaja memanfaatkan kelaparan orang-orang sipil sebagai suatu
metode peperangan dengan memisahkan mereka dari objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk secara sadar menghambat pengiriman bantuan sebagaimana ditetapkan berdasarkan Konvensi Jenewa;
(xxvi) Menetapkan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur
lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertikaian.
(c) Dalam hal suatu sengketa bersenjata yang bukan merupakan suatu persoalan
internasional, pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi empat Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu, salah satu dari perbuatan berikut ini yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam pertikaian, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan di luar pertempuran karena menderita sakit, luka, ditahan atau suatu sebab lain:
(i) Kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya pembunuhan dari
segala jenis, pemotongan anggota tubuh (mutilasi), perlakuan kejam dan penyiksaan;
(ii)Melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya perlakuan yang
mempermalukan dan merendahkan martabat; (iii)Menahan sandera;
(iv)Dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya hukuman mati tanpa
keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang ditetapkan secara reguler, yang menanggung semua jaminan hukum yang pada umumnya diakui sebagai tak terelakkan.
(d) Ayat 2 (c) berlaku bagi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional
dan dengan demikian tidak berlaku bagi keadaan-keadaan kekacauan dan ketegangan dalamnegeri, seperti misalnya huru-hara, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain yang sama sifatnya.
(e) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam
(i) Secara sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap masing-masing penduduk sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian;
(ii)Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan
angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
(iii)Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada orang- orang dan objek-objek sipil berdasarkan hukum perang;
(iv)Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang
digunakan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dikumpulkan, dengan syarat bahwa hal-hal tersebut bukan sasaran militer;
(v) Menjarah suatu kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai lewat
serangan;
(vi)Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
kehamilan paksa, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7, ayat 2(f), sterilisasi yang dipaksakan, dan suatu bentuk lain kekerasan seksual yang juga merupakan pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi empat Konvensi Jenewa;
(vii) Memberlakukan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur
lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakannya untuk ikut serta secara aktif dalam pertikaian;
(viii) Mengatur perpindahan penduduk sipil dengan alasan yang berkaitan
dengan sengketa, kecuali kalau keamanan orang-orang sipil tersebut terancam atau alasan militer yang amat penting menuntutnya;
(ix)Membunuh atau melukai secara curang seorang lawan tempur;
(x) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal kepada tawanan;
(xi)Menempatkan orang-orang yang berkuasa dari pihak lain dalam sengketa
itu sebagai sasaran mutilasi atau pemotongan anggota tubuh secara fisik atau percobaan medis atau suatu jenis percobaan ilmiah yang tidak dapat dibenarkan oleh perlakuan medis, perawatan gigi atau rumah sakit dari
orang yang bersangkutan ataupun tidak melaksanakan demi
kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau menimbulkan bahaya serius terhadap kesehatan dari orang atau orang-orang tersebut;
(xii) Menghancurkan atau merampas hak milik dari seorang lawan kecuali
kalau penghancuran atau perampasan tersebut sangat dituntut oleh kebutuhan dari sengketa tersebut;
(f) Ayat 2(e) berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional
3. Tidak ada dalam ayat 2(c) dan (d) akan mempengaruhi tanggung jawab suatu Pemerintah untuk mempertahankan atau menetapkan kembali hukum dan ketertiban dalam Negara atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas teritorial dari Negara tersebut, dengan semua sarana yang sah.
Berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998 kita dapat melihat bahwa pengaturan
kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 berlaku dalam konflik bersenjata internasional dan
konflik bersenjata non-internasional. Selain itu secara ringkas kita dapat membagi kejahatan
perang dalam Statuta Roma 1998 menjadi 4 bagian atau kriteria yaitu terdiri dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan ketentuan-ketentuan-ketentuan-ketentuan
yang terdapat di dalam hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata, baik yang bersifat
internasional maupun non-internasional.
Dengan kriteria-kriteria tersebut Berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998, Statuta
Roma 1998 mengenal empat kategori kejahatan perang, sebagaimana ditampilkan dalam tabel
berikut150 :
TABEL 1.2. Kategori Kejahatan Perang Berdasarkan Statuta ROMA 1998
SENGKETA BERSENJATA INTERNASIONAL SENGKETA BERSENJATA NON-
INTERNASIONAL
Kategori I
Pelanggaran serius terhadap
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Pasal 8 ayat 2 huruf a Statuta Roma 1998)
Kategori III
Pelanggaran serius terhadap common article
3 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Pasal 8 ayat 2 huruf c Statuta Roma 1998)
Kategori II
Pelanggaran serius terhadap hukum dan
kebiasaan dalam konflik bersenjata
internasional (Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta Roma 1998)
Kategori IV
Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata non-internasional (Pasal 8 ayat 2 huruf e Statuta Roma 1998)
Secara umum, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat
dikategorikan sebagai kejahatan perang. Seperti yang telah diuraikan dalam bab 2 tentang
kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata bahwa berdasarkan Hukum Humaniter
Internasional melalui konvensi-konvensi internasional, benda budaya dipersamakan dengan
obyek sipil sepanjang tidak dipergunakan untuk kepentingan militer. Oleh karena itulah,
150
benda budaya dilindungi dan tidak boleh diserang atau dijadikan target serangan dalam
konflik bersenjata. Pelanggaran terhadap ketentuan hukum humaniter internasional tersebut
adalah merupakan kejahatan perang.
Statuta Roma 1998 juga memiliki pengaturan tentang kejahatan perang yang seperti
sudah dijelaskan, diatur dalam Pasal 8 Statuta Roma 1998. Secara khusus berdasarkan Statuta
Roma 1998, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata juga dikategorikan sebagai
kejahatan perang, yaitu :
1. Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta Roma 1998 yaitu Pelanggaran serius terhadap hukum
dan kebiasaan dalam konflik bersenjata internasional, dimana penghancuran benda
budaya dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat kita lihat dari:
(a) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ii bahwa kejahatan perang berarti secara sengaja
melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu objek yang bukan
merupakan sasaran militer. Berdasarkan hukum humaniter internasional,
kedudukan benda budaya adalah sebagai objek sipi. Penyerangan secara
sengaja yang ditujukan kepada benda budaya yang merupakan objek sipil dapat
membuat benda budaya tersebut rusak dan hancur. Sehingga dalam konflik
bersenjata internasional, jika benda budaya dalam kedudukannya sebagai objek
sipil diserang, maka hal tersebut adalah kejahatan perang.
(b) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka iv pada intinya menyebutkan bahwa secara
sengaja melakukan serangan dimana telah diketahui efek serangan tersebut
dapat mengakibatkan kerugian-kerugian terhadap orang sipil dan objek sipil.
Walaupun serangan tidak ditujukan kepada benda budaya sebagai objek sipil
sekalipun, jika efek serangannya sebelumnya sudah diketahui akan
mengakibatkan kerugian berupa kerusakan dan kehancuran pada benda budaya
tersebut adalah kejahatan perang. Secara ringkas dapat dikatakan penghancuran
benda budaya yang disebabkan efek dari serangan yang terlalu besar dan tidak
perlu dalam konflik bersenjata internasional dapat dikategorikan sebagai
kejahatan perang.
(c) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka v pada intinya menyebutkan bahwa menyerang
atau membom dengan sarana apapun, kota-kota, desa perumahan atau gedung
yang bukan merupakan objek militer adalah merupakan kejahatan perang.
Menyerang dan membom suatu daerah atau gedung yang bukan merupakan
objek militer dapat menghancurkan benda budaya yang berada dalam daerah
atau gedung tersebut, sehingga tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
kejahatan perang.
(d) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ix pada intinya menyebutkan bahwa secara
sengaja melakukan serangan terhadap gedung keagamaan, pendidikan,
kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah dan rumah sakit sepanjang
bukan objek milter dalam konflik bersenjata internasional adalah suatu
kejahatan perang. Hal tersebut menjadi penegasan terhadap penghancuran
benda budaya dalam konflik bersenjata internasional adalah merupakan
kejahatan perang. Secara langsug, pasal tersebut menyebutkan sepanjang bukan
objek militer, contoh-contoh benda budaya seperti gedung-gedung untuk
keagamaan, pendidikan, kesenian dan monumen bersejarah yang diserang
secara sengaja dalam konflik bersenjata internasional dapat dikategorikan
sebagai kejahatan perang.
2. Pasal 8 ayat 2 huruf e Statuta Roma 1998 yaitu pelanggaran serius terhadap hukum
dan kebiasaan dalam konflik bersenjata non-internasional. Penghancuran benda
kejahatan perang, yaitu berdasarkan Pasal 8 ayat 2 huruf e angka iv Statuta Roma 1998
yang menyebutkan bahwa secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung
keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah dan
rumah sakit sepanjang bukan objek atau sasaran militer dalam konflik bersenjata
internasional adalah suatu kejahatan perang. Dapat kita lihat bahwa pasal ini sama
persis dengan Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ix Statuta Roma 1998. Hal ini karena
memang pasal-pasal tersebut sama-sama mengkategorikan penghancuran benda
budaya sebagai kejahatan perang. Walaupun ketentuan penghancuran benda budaya
sebagai kejahatan perang dalam konflik bersenjata non-internasional lebih sedikit
ketimbang dalam konflik bersenjata internasional, secara substansi efeknya tetap sama,
yaitu sebagai upaya untuk melindungi benda budaya dalam konflik bersenjata. Dalam
konflik bersenjata non-internasional, menyerang benda-benda budaya seperti
gedung-gedung yang ditujukan untuk keagamaan, pendidikan, kesenian, monumen bersejarah
sepanjang bukan objek atau sasaran militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan
perang.
Berdasarkan Pasal 8 ayat 2 Statuta Roma 1998 tersebut diatas dapat kita ketahui
bahwa dalam Statuta Roma 1998, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat
dikategorikan sebagai kejahatan perang yang berlaku pada konflik bersenjata internasional
dan konflik bersenjata non-internasional. Penghancuran benda budaya dalam konflik
bersenjata internasional dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat dilihat pada Pasal 8 ayat
2 huruf b angka ii, iv, v, ix Statuta Roma 1998. Sedangkan, penghancuran benda budaya
dalam konflik bersenjata non-internasional dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat
dilihat pada Pasal 8 ayat 2 huruf e angka iv Statuta Roma 1998 .
Berdasarkan uraian-urian diatas, dapat kita simpulkan bahwa penghancuran benda
umum berdasarkan hukum humaniter internasional maupun secara khusus berdasarkan Statuta
Roma 1998. Dengan dikategorikannya penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata
sebagai kejahatan perang oleh Statuta Roma 1998, maka pelaku atau individu yang melakukan
penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata baik konflik bersenjata internasional
maupun konflik bersenjata non-internasional dapat dituntut, diadili dan dihukum oleh
Mahkamah Pidana Internasional atau ICC.
B. Latar Belakang Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata di Mali
Republik Mali (bahasa Perancis: République du Mali) adalah suatu negara beribukota
Bamako yang terletak di benua Afrika bagian barat. Negara terbesar kedua di Afrika Barat ini
berbatasan dengan Aljazair di sebelah utara, Niger di timur, Burkina Faso dan Pantai Gading
di selatan, Guinea di barat daya, serta Mauritania di barat. Perbatasannya di sebelah utara
memanjang ke tengah gurun Sahara.151 Republik Mali berdiri pada tanggal 22 September 1960
setelah merdeka dari jajahan negara Perancis. Republik Mali memiliki luas wilayah 1,24 juta
km², luas daratan 1,22 juta km², dan luas Perairan 20.000 km². Negara Mali yang memiliki
iklim Sub tropis dan tropis ini, terdiri dari 8 wilayah, yaitu Gao, Kayes, Kidal, Koulikoro,
Mopti, Segou, Sikasso, dan Timbuktu atau Tombouctou . Negara Mali memiliki jumlah
penduduk 12.324.029 jiwa (per Juli 2008) dan dihuni oleh berbagai macam suku atau etnis
yang terdiri dari Mande (50% terdiri dari Bambara, Malinke, Soninke), Peul (17%), Voltaic
(12%), Songhai (6%), Tuareg dan Moor (10%) dan etnis-etnis lainnya sekitar (5%). Agama
yang paling banyak dianut adalah Islam (90%), Kristen (1%) dan kepercayaan setempat (9%).
Mali memiliki banyak sumber daya alam yang terdiri dari Emas, fosfat, kaolin, garam,
limestone, uranium, hydropower, serta cadangan bauksit, bijih besi, mangaan,timah, tembaga,
151