• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fonologi Bahasa Gayo: Suatu Analisis Fonologi Generatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fonologi Bahasa Gayo: Suatu Analisis Fonologi Generatif"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA,KONSEP, DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Penelitian Sebelumnya Terhadap Bahasa Gayo

Penelusuran kepustakaan menunjukkan bahwa bunyi-bunyi dalam bahasa nusantara (bahasa Gayo termasuk di dalamnya) telah disebut-sebut paling tidak sejak berkembangnya penelitian kebahasaan dengan teori linguistik bandingan (Linguistik Komparatif).

(2)

Berdasarkan tulisan Kridalaksana (1980) terhadap tata fonem Bahasa Gayo Lut dialek Bukit dan Cik hanya di bahas secara singkat karena hanya mendeskripsikan ihwal struktur bunyi dan hanya bersifat menginfentarisasi fonem vokal dan fonem konsonan.

Penelitian terhadap bahasa Gayo juga dilakukan oleh Baihaki dkk (1981). Penelitian ini dilakukan untuk melihat fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Gayo. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dari segi fonologi ditemukan 9 vokal, 1 vokal rangkap, 21 konsonan. Sementara dari sudut morfologi ditemukan 3 macam afiks, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran. Dari ketiga macam afiks yang ditemukan ini terdiri atas 10 awalan, 2 sisipan, dan 12 akhiran. Selain itu ditemukan awalan akhiran yang merupakan kesatuan yang utuh. Selanjutnya, dari sudut sintaksis ditemukan pembagian kalimat yaitu lagu kalimat, kalimat hukum DM, kalimat menurut jabatan, dan kalimat menurut maksudnya.

(3)

Penelitian tentang bahasa Gayo lainnya adalah Kata Tugas Bahasa Gayo oleh Ibrahim Makam dkk (1985). Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa dalam bahasa Gayo terdapat sembilan kelompok kata tugas dan yang masing-masing kelompok terdiri dari beberapa jenis dengan ciri semantik dan fungsinya sendiri pula. Dari sembilan kelompok kata tugas yang ditemukan, ternyata terdapat enam jenis kata depan, yaitu kata depan yang menyatakan asal, perbandingan, tempat, tujuan, arah, dan tentang. Terdapat dua jenis kata keterangan, yaitu kata keterangan waktu dan kata keterangan derjah. Dua belas jenis kata penghubung, empat jenis kata modal. Kata bilangan terdiri dari tiga jenis.

Jika ditinjau dari segi semantik, kata tugas tidak dapat berdiri sendiri. Sementara berdasarkan fungsinya kata tugas bahasa Gayo tidak dapat menduduki fungsi-fungsi pokok seperti, subjek, predikat, atau objek. Fungsi pokok itu diduduki oleh kata benda, kata kerja, dan kata sifat. Kata tugas berfungsi membantu kata baku dalam memperluas kalimat dasar dan menggabungkan pola-pola kalimat dalam berbagai cara. Sejalan dengan bahasa Indonesia, kata tugas bahasa Gayo juga sukar mengalami perubahan bentuk. Ini merupakan ciri dari kata tugas.

(4)

berdasarkan bentuk dasar kata sifat dan kata kerja. Proses afiksasi terdapat, prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, dan konfiksasi. Dari keempat afiksasi tersebut jenis konfiksasi yang paling berperan dalam proses pembentukan nomina bahasa Gayo. Makna gramatikal yang dihasilkan oleh proses afiksasi dalam pembentukan nomina bahasa Gayo cenderung bervariasi.

Tulisan lain, oleh Husna (2003) tentang Sistem Morfologi Verba Bahasa Gayo dialek Gayo Lut. Sesuai dengan tujuannya kajian ini melihat verba bahasa Gayo dari tiga ciri yaitu: (1) ciri semantik, (2) ciri morfologis, dan (3) ciri sintaksis. Dari kajian ini ditemukan bahwa ciri semantis verba bahasa Gayo ditemukan melalui proses penurunan kata, dimana verba tersebut terdeskripsi melalui perbuatan, proses dan keadaan. Ciri morfologis verba bahasa Gayo ditemukan pada verba yang muncul akibat proses morfologi. Ciri tersebut mencakup prefiks, sufiks, dan konfiks. Ciri sintaksis dilihat pada pemakaian dalam kalimat, klausa, dan frase yaitu berdasarkan fungsi dan posisinya. Berdasarkan fungsi, verba bahasa Gayo berfungsi sebagai predikat, penanda imperatif dan penanda interogatif. Berdasarkan posisi verba bahasa Gayo didahului kata penunjuk aspek, kata negasi dan kata penunjuk modalitas.

(5)

Tulisan lainnya oleh Yusradi (2010) tentang Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa masyarakat Gayo memiliki konsep, bentuk, dan muatan tutur tersendiri. Dalam perkembangannya, tutur tersebut kurang dipakai, bahkan cenderung mulai ditinggalkan. Hal tersebut dilatari oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang bersumber dari orang Gayo sebagai pengguna tutur. Tutur tidak diajarkan, tidak dipakai, dan tidak dipelajari. Faktor eksternal yang berasal dari luar yaitu, adanya pengaruh pemakaian bahasa Indonesia, perkawinan silang, interaksi budaya, pengaruh media, pendidikan dan pengaruh perkembangan informasi dan teknologi.

Tulisan lain bahasa Gayo oleh Eades (2005) tentang Grammatical of Gayo: Language of Aceh, Sumatera. Sesuai dengan tujuannya melihat bahasa Gayo dari segi (1) fonologi, (2) morfologi dan (3) sintaksis bahasa Gayo. Berdasarkan kajiannya dalam bidang fonologi di gambarkan bahwa terdapat 18 konsonan secara fonologis dalam bahasa Gayo yaitu /p, b, t, d, s, k, g, h, c, j, ny, ng, m, n, r, l, w, y/ dan 18 konsonan secara fonetis, yaitu [ p, b, t, d, s, k, h, t, d, , , m, n, r, l, w, y]. Sementara itu ditemukan 6 vokal yaitu /i, e, u, o, , a/.

Dari segi morfologi ditemukan kelas kata, dan segi sintaksis menemukan tentang frasa preposisi dalam bahasa Gayo.

(6)

segmen vokal dan konsonan secara fonemis saja belum sampai tingkat fonetis, kemudian belum memaparkan fitur-fitur distingtif serta belum menentukan proses-proses dan kaidah-kaidah fonologis yang terjadi dalam bahasa Gayo. Dalam deskripsi fonetis realisasi asal fonem belum dilakukan secara komprehensif. Maka dapat dipastikan kajian yang akan dilakukan ini lebih mendalam dari kajian sebelumnya. Tetapi kajian yang telah dilakukan sebelumnya akan tetap menjadi acuan terhadap kajian ini.

2.1.2 Penelitian Fonologi Generatif Terhadap Bahasa-Bahasa Lain di Indonesia

Kepustakaan yang terkait dengan penelitian Fonologi Generatif (teori yang diterapkan pada kajian fonologi bahasa Gayo ini) dimulai sekitar tahun 70-an. Penelitian tersebut dipelopori oleh Chomsky dan Halle (1968) terhadap bahasa Inggris dengan judul The Sound Pattern of English. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa keanekaragaman lahiriah bentuk fonologis memiliki bentuk dasar (underlying form). Misalnya, kata bahasa Inggris absorb dan absorption

memiliki bentuk dasar yang “disimpan” dalam leksikon sebagai /bz:b+n/,

tetapi dilafalkan sebagai /bz+pn/ sehingga diperlukan kaidah fonologis

(7)

seperangkat satuan atau seperangkat varian dari sebuah satuan (Schane,1973), kaidah fonologis merupakan penetapan secara tepat persyaratan terjadinya proses fonologis (Schane,1992:62), sementara bentuk turunan (derived form) adalah bentuk yang berasal dari bentuk dasar setelah mengalami pelbagai proses. Bentuk turunan baru terbentuk dari bentuk dasar setelah melewati satu atau lebih proses, seperti proses perubahan, penambahan, pelesapan, atau proses penggantian (Schane, 1973).

Lapoliwa (1991) merupakan perintis penelitian bahasa Indonesia dalam bidang kajian Fonologi Generatif. Lapoliwa (1981) penelitiannya yang berjudul Fonologi Bahasa Indonesia: Suatu Pendekatan Generatif. Lapoliwa (1981) menemukan dalam bahasa Indonesia mempunyai 23 bunyi konsonan dan 6 vokal. Ada 12 ciri pembeda untuk membedakan 29 segmen itu, yaitu [konsonantal], [silabis], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [kontinuan], dan, [tekanan]. Ada 27 kaidah fonologis, yaitu kaidah degiminasi, pelesapan trill, penyisipan glottal stop, realisasi glottal stop dari /k/, pelesapan /h/, despirantisasi (naturalisasi) /f/, naturalisasi /h/, pengedepanan (naturalisasi) /s/, naturalisasi /x/, penyisipan schwa, pelesapan nasal dan asimilasi, penyatuan konsonan, pelesapan dua segmen pertama dari /mn/, pelemahan vokal,

(8)

rangkaian konsonan s-t, s-l, k-t, k-s, k-d, k-n, k-l, k-r, k-z, p-t, t, k, s, b, h-l, h-y, h-w, s-h, m-r, m-h-l, l-m, dan b-r dan rangkaian vokal i-a, i-u, i-o, a, e, u-u, a-, a-u-u, a-e, a-a, o-a.

Selanjutnya Pastika (1990) melakukan penelitian tentang Fonologi Generatif Bahasa Bali. Penelitian ini terdiri ruas asal (konsonan dan vokal), karakterisasi ruas asal dalam ciri pembeda, syarat struktur morfem, kaidah-kaidah fonologi, dan kaidah-kaidah berurutan. Hasil temuannya menunjukkan bahwa bahasa Bali memiliki 24 ruas asal (konsonan dan vokal). Kedua puluh empat ruas asal itu memerlukan 15 ciri pembeda dalam penggambaran karakteristiknya. Selain itu, ditemukan pula 23 rangkaian dua konsonan dan 17 rangkaian dua vokal. Dalam hal kaidah fonologi ditemukan 17 kaidah yang sebagian merupakan kaidah beurutan.

Kulla Lagousi meneliti bahasa Bugis (1992) berjudul Pola Bunyi Bahasa Bugis Ditinjau dari Pendekatan Fonologi Transformasi Generatif. Dalam penelitian ini Kulla menemukan hal-hal sebagai berikut, pertama, ruas-ruas asal bahasa Bugis yang membentuk syarat stuktur morfem terdiri atas /p, t, k, b, d, g, c, j, m,n, , ŋ ,l,r,s,h,  , w, y, i, e,  , u, o, a/. Ruas  dan ŋ terletak pada posisi akhir

(9)

[sonoran], sedangkan untuk fitur golongan cara ditemukan yaitu, [malar], [pelepasan tak segera], [kasar], [nasal], [lateral], dan untuk fitur golongan pengucapan ditemukan yaitu, [anterior], [koronal], untuk fitur tubuh lidah dan bentuk bibir ditemukan [bulat], [belakang], dan sebagai fitur tambahan ditemukan [bersuara]. Ketiga, bahasa bugis mengenal empat jenis proses fonologis, yaitu asimilasi, struktur suku kata, pelemahan dan penguatan dan, netralisasi. Keempat, varian morfem imbuhan dalam bahasa Bugis yang beraneka ragam

dikelompokkan ke dalam berbagai bentuk asal, seperti /maŋ-/, /paŋ-/, /taŋ-/, /tŋ

-/, /siŋ-/, dan /-ŋ/. Kelima, tekanan utama bahasa Bugis lebih lazim terletak pada

peultimat daripada posisi lainnya dalam kata. Jika ada peredaran tekanan utama, karena pengaruh morfem yang mengikutinya, maka tekanan utama itu selalu bergeser ke belakang.

Adnyana (1995) meneliti Kaidah-kaidah Fonologi Bahasa Bajo: Sebuah Kajian Transformasi Generatif di Lombok Timur. Dalam penelitian ini ditemukan secara fonemis ada 24 segmen (vokal dan konsonan) dan secara fonetis ada 27 segmen. Diperlukan 15 ciri pembeda dan 18 kaidah dalam pembentukan bentuk turunan. Diantara kaidah tersebut ditemukan pula 3 macam kaidah yang berurutan.

(10)

pembeda untuk membedakan 28 segmen fonologis, yaitu [konsonantal], [silabis], [sonoran], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [lateral], [malar], [pelepasan tak segera], [bersuara], dan, [tegang]. Ada 5 kaidah fonologi yang ditemukan, yaitu kaidah pelesapan /e/, penyuaraan /h/, pengenduran vokal, penambahan semi vokal, dan penempatan tekanan. Dalan penelitian ini juga ditemukan sejumlah rangkaian vokal dan konsonan yaitu, a-u, a-i, a-e, a-o, i-a, i-u, i-o, i-i, u-i-a, u-i, e-i-a, e-i, e-u, e-e, o-i-a, o-i, o-u, o-e, sebagai rangkaian vokal. m-p, m-b, n-t, n-d, ŋ-g, n-t, r-d, r-m, r-t, r-k, s-t, k-s, k-l, k-r, k-f, p-r, m-r, b-r, dan f-r.

(11)

penempatan tekanan. Dalam penelitia Sudana ditemukan rangkaian vokal i-a, a-i, a-e, a-u, a-o, e-a, e-o, e-i, u-a, u-i, u-e, o-a, o-u, o-e, o-i, dan rangkaian kosonan m-b, m-p, n-c, n-d, n-j, n-t, ŋ-g, ŋ-k.

Mulyani (1998) dalam penelitian yang berjudul Ayat Fasif Bahasa Melayu Dialek Deli Medan: Suatu Tinjauan Transformasi Generatif. Penelitian ini hanya mengkaji aspek sintaksis transformasi generatifnya. Penelitian ini menemukan ayat (kalimat) pasif, (1) yaitu ayat pasif dengan imbuhan kata kerja pasif di-, (2) ayat pasif dengan kata kerja pasif ber-, ‘ber’, dan ayat pasif dengan imbuhan kata kerja pasif ke-…-an. (3) Ayat pasif dengan perkataan kene ‘kena’ (4) ayat pasif dengan kata ganti diri. Sedangkan frase ditemukan dua jenis, yaitu (1) Frase kerja (FK) transitif dan frase kerja (FK) inti.

Marthini (1999) melakukan penelitian terhadap Fonologi Bahasa Osing di Melaya Jembrana: Sebuah Kajian Transformasi Generatif. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa secara fonemis mempunyai 27 segmen vokal dan konsonan, secara fonetis 31 segmen vokal dan konsonan karena segmen /i, u, e, o/ dapat mengalami proses pengenduran. Ditemukan 15 ciri pembeda untuk membedakan 27 segmen fonologis, yaitu [consonantal], [silabis], [sonoran], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah],[belakang], [bulat], [nasal], [lateral], [malar], [pelepasan tak segera], [bersuara], dan [tegang]. Ditemukan juga 10 kaidah fonologi, yaitu kaidah pengenduran vokal, perendahan vokal, pelesapan obsrtuen,

penyisipan /k/, penyisipan /ŋ/, penyisipan vokal /a/, penguatan /o/, pelemahan

(12)

ditemukan juga rangkaian segmen vokal, a-i, a-a, a-u, a-o, i-a, u-a, o-i dan rangkaian konsonan b-l, b-r, m-p, n-d, n-t, n-c, n-j, ŋ-k, ŋ-g, ŋ-s, r-l, r-k, s-r, s-k, k-l, k-r, k-s, g-l, dan g-r.

Hendrina (2001) melakukan penelitian terhadap bahasa Sumba dengan judul Representasi Fonologis dan Fonetis Bahasa Sumba: Sebuah Analisis Fungsional. Berdasarkan penelitiannya Hendrina menemukan 24 segmen asal (vokal dan konsonan) secara fonemis dan 29 segmen secara fonetis. Sebagai ciri pembeda ada 14, yaitu [consonantal], [silabis], [sonorann], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [malar], [pelepasan tek segera], [bersuara]. Dalam penelitian ini hanya ditemukan rangkaian segmen vokal saja, yaitu i-u, i-a, u-a, u-i, e-u, e-i, o-i, a-i, a-u. selain itu ditemukan juga 5 kaidah fonologi, yaitu kaidah penyisipan semi vokal, pengulangan suku kata, pengenduran vokal, perubahan vokal, dan penempatan tekanan.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Suparwa (2007) dengan judul Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan Posleksikal. Dalam penelitian ini menemukan bahasa Melayu Loloan Bali memiliki sistem 6 segmen vokal fonemis yang terdistribusi secara simetris; dua vokal depan tinggi dan sedang, dua vokal tengah sedang bawah, serta dua vokal belakang tinggi dan sedang. Keenam vokal itu dapat terealisasi ke dalam 10 segmen fonetik. Keenam vokal tersebut adalah /i, u, e, , o, a/ dan memiliki realisasi fonetik [i, u, e, , o,

(13)

fonologis yang berupa variasi bebas antar alofon. Vokal sedang-depan dan belakang (/e/, /o/) bervariasi bebas dalam lafal dengan alofonnya ([], [฀]) pada posisi suku terbuka, seperti pada kata reken [rekn] [rkn] ‘hitung’ atau ‘toko

(14)

Kajian fonologi yang telah dilakukan itu dapat memperkaya khazanah penerapan teori Fonologi Generatif, khususnya pada bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu menjadi penting karena teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian pada bahasa Inggris saja. Kajian tersebut akan dapat merumuskan, antara lain, bunyi-bunyi yang khas pada bahasa tertentu; jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran bunyi-bunyi bahasa Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam penggambaran realisasi bentuk asal dan turunannya. Demikian juga dengan kajian fonologi terhadap bahasa Gayo sangat penting dilakukan mengingat fenomena bahasa Gayo yang belum memiliki sistem tulisan tersendiri.

2.2 Konsep

Konsep-konsep yang digunakan dalam kajian ini berkisar pada konsep yang berhubungan dengan teori Fonologi Struktural dan Fonologi Generatif. Berikut ini adalah uraian yang berisi tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penerapan teori tersebut.

2.2.1 Fonologi Struktural

(15)

2.2.2 Aliran Praha

Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882-1945). Tokoh-tokohnya adalah Nikolai S. Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Pengaruh mereka sangat besar di sekitar tahun tiga puluhan, terutama bidang fonologi.

Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari bunyi-bunyi tersebut dalam suatu sistem (Chaer, 1994 : 351).

Struktur bunyi dijelaskan dengan memakai kontras atau oposisi. Ukuran untuk menentukan apakah bunyi-bunyi ujaran itu beroposisi atau tidak adalah makna. Perbedaan bunyi yang tidak menimbulkan perbedaan makna adalah tidak distingtif. Artinya, bunyi-bunyi tersebut tidak fonemis. Sedangkan yang menimbulkan perbedaan makna adalah distingtif; jadi bunyi-bunyi tersebut bersifat fonemis. Dalam bahasa Indonesia bunyi /l/ dan /r/ adalah dua fonem yang berbeda, sebab terdapat oposisi di antara keduanya seperti tampak pada pasangan kata lupa dan rupa.

Dari sejumlah tokoh aliran Praha di atas kajian Trubetzkoy memberikan pandangan terhadap teori fonologi struktural seperti berikut ini:

(16)

2. Pandangan terhadap unsur bunyi atau fonem. Pandangan ini beranggapan bahwa fonem adalah unsur bahasa yang paling kecil dan memiliki sifat yang konkret.

3. Sebagian dari bunyi bahasa tidak semestinya dapat disamakan denga fonem.

4. Nilai yang berbeda dari fonetik bagi suatu bahasa dianggap sebagai nadi bagi teori fonologi aliran Praha.

2.2.3 Konsep Generatif

(17)

Konsep Chomsky berdasarkan pendekatan linguistik generatif tersebut memberi tempat pada pemahaman tentang bahasa yang kreatif. Kreativitas atau produktivitas merupakan ciri bahasa yang universal. Keuniversalan linguistik itu dapat dikeluarkan dari tata bahasa suatu bahasa tertentu karena dapat dikenali dari teori umum tata bahasa (Chomsky, 1965; Silitonga, 1976 : 121).

Sifat analisis generatif tersebut akan memberikan warna analisis bahasa (khususnya fonologi) yang dinamis, tidak statis. Analisis fonologi tidak hanya mendeskripsikan polanya, tetapi juga proses-proses perubahan segmen akibat dari interaksi segmen dengan lingkunganya, baik lingkungan fonologis maupun non fonologisnya. Kedua perubahan bunyi tersebut (lingkungan fonologis dan non fonologis) sering tidak dijelaskan secara eksplisit dalam analisis fonologi, tetapi kadang-kadang informasi seperti itu diperlukan.

2.2.4 Kompetensi dan Performansi

(18)

ujaran sesungguhnya sebagai lawan bahasa. dalam hal ini performansi merupakan cara kompetensi linguistik dipergunakan di dalam pembentukan dan pemahaman ujaran, di dalam produksi dan komprehensi ujaran atau speech (Palmatier, 1972 : 121). Dalam tata bahasa generatif ini, maka yang menjadi objeknya adalah kemampuan.

Konsep pemilahan dua tingkatan bahasa oleh Chomsky tersebut, secara operasional, di dalam Fonologi Generatif terlihat dalam pembedaan antara representasi dasar dan representasi turunan. Fonologi Generatif membedakan dua tingkat representasi struktur fonologi, baik morfem, kata, frasa, maupun kalimat, yaitu representasi dasar dan representasi fonetik (Kenstowichz, 1979 : 32). Maka adalah tugas kaidah-kaidah fonologis yang kemudian membangun komponen fonologi dari tata bahasa bertugas untuk mengubah representasi dasar dari suatu uaraian dan menghubungkannya dengan representasi fonetik. Dengan demikian, representasi fonetik suatu kalimat dari struktur permukaan ditarik dari representasi dasarnya dengan memakai rumus-rumus atau kaidah-kaidah fonologis.

(19)

Tabel 2.1 Alofon /t/ dalam Bahasa Inggris yang ter-flap nasal merupakan lambang dari Kenstowicz (1994 : 66).

Untuk dapat menjelaskan bentuk-bentuk alofon tersebut di atas, diperlukan kaidah-kaidah sistematis sebagai mediator antara bentuk abstrak /t/ dengan alofon-alofonnya.

2.2.5 Bentuk Dasar dan Bentuk Turunan

(20)

fonem (Chomsky dan Halle, 1968 : 11; Lapoliwa, 1981 : 11). Segmen fonologis sering diistilahkan dengan bentuk dasar atau bentuk asal.

Bentuk dasar ( underlying form) disingkat Bd, tidak merupakan satuan dasar dalam fonologi generatif karena satuan dasar yang sesungguhnya adalah ciri pembeda (Harms, 1968 : 1; Chomsky dan Halle, 1968 : 64; Schane, 1973 : 24; Hyman, 1975 : 24 - 25).

Bentuk Dasar adalah satuan dasar hipotesis yang dianggap merupakan titik landasan untuk menguraikan atau menurunkan seperangkat satuan atau seperangkat varian dari sebuah satuan (Schane, 1973). Bentuk turunan (derived form) disingkat Bt, bentuk turunan adalah bentuk yang berasal dari Bd setelah mengalami pelbagai proses. Bentuk turunan baru terbentuk dari bentuk dasar setelah melewati satu atau lebih proses, seperti proses perubahan, penambahan, pelesapan, atau proses penggantian (Shcane, 1973).

Di dalam fonologi generatif digunakan Bd yang abstrak berdasarkan beberapa pertimbangan, (1) suatu morfem yang bervariasi digambarkan dengan satu Bd, peneliti telah memberikan suatu bentuk yang khas kepada suatu morfem yang khas pula, (2) kaidah-kaidah yang mengubah Bd menjadi Bt, yang menandai dengan tegas proses-proses suatu bahasa, dan (3) Bt yang langsung mengemukakan beberapa perwujudan morfem yang fonetis (Schane, 1973 : 74 - 75).

(21)
(22)

/w/  /was/ ’dalam’

/y/  /iyo/ ’sore’

2.2.6 Fitur Pembeda (Distingtive Features)

Setiap benda mempunyai ciri-ciri yang membuat benda itu dapat dikenal. Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh benda X yang membedakannya dari semua benda-benda lain sejenisnya. Kita misalnya dapat mengenal bunyi-bunyi bahasa berdasarkan ciri-cirinya. Ciri-ciri yang khusus dalam sebuah bahasa yang dapat membedakannya dengan bahasa lain itu disebut fitur-fitur distingtif dalam kajian fonologi. Konsep fitur sangat penting dalam kajian Fonologi Generatif karena fitur merupakan unit dasar analisisnya. Fitur-fitur pembentuk segmen fonetik mencerminkan instruksi-instruksi mental yang menunjukkan kerja alat-alat ucap dalam memproduksi bunyi (Postal, 1968 : 273).

(23)

atau fitur tiap segmen. Misalnya, hubungan segmen p,b,d dan n dapat dilihat dalam daftar berikut ini (Schane, 1992 : 3).

p b d n

labial labial dental dental hambat hambat hambat nasal tak bersuara bersuara bersuara bersuara

Gambar di atas mempelihatkan bahwa p dan b berhubungan dalam labial, sementara d dan n berhubungan dalam dental. Selanjutnya, p,b,dan d berhubungan dengan hambat, sedangkan b,d dan n berhubungan dalam bersuara. Secara ideal, fitur-fitur yang sesuai harus memenuhi tiga fungsi, yaitu (1) fungsi fonetis, (fitur itu mampu memerikan fonetik sistematis) (2) fungsi fonemis, (fitur itu berguna untuk membedakan unsur leksikal, dan (3) fitur itu mampu menetapkan kelas wajar (segmen sebagai kelompok yang mengalami proses fonologis yang sama (Schane, 1992 : 27). Selanjutnya, fitur tersebut dibedakan atas dua macam, yaitu fitur yang berpasangan (biner) dan fitur yang mewakili nilai pada skala. Misalnya, fitur untuk kelas vokal adalah [+ silabis], [+ sonoran], dan [- konsonantal]. Berkaitan dengan jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran fonologi bahasa Melayu (Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam) sebanyak tiga belas buah (Simanjuntak, 1990 : 96).

(24)

mendaftarkan ciri-ciri (Schane, 1973 : 41; Chomsky dan Halle, 1968 : 165). Suatu rincian dalam posisi tertentu pada matriks di atas ini menunjukkan apakah segmen itu memiliki ciri tersebut (+) atau tidak (-). Suatu posisi yang kosong berarti ciri itu tidak berkaitan dengan segmen itu. Perbedaan utama dalam representasi fonologis dan representasi fonetis dengan menggunakan sistem ciri distingtif adalah representasi fonologis tidak perlu semua ciri dispesifikasikan untuk semua segmen, sedangkan untuk representasi fonetis harus lengkap. Pada tataran fonetis kosong artinya ciri itu tidak relevan. Pada tataran fonologis kosong bisa berarti terduga (rendundan) +, - atau tidak relevan. Pada tataran representasi fonologis ciri-ciri berlimpah (dapat diduga) tidak perlu dispesifikasi (ini ditampung pada kaidah ciri-ciri berlimpah segmen)

Tabel 2.2 Matriks Ciri Pembeda Kata aka dan aku

Ciri /a k a/ ’kakak’ /a k u/ ’saya’

(25)

yang pengelompokkannya secara sewenang-wenang (Kenstowich dan Kisserbert, 1979 : 240). Selain itu, penggunaan ciri-ciri pembeda menungkinkan pula adanya penjelasan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada Bd menjadi Bt.

Ciri pembeda yang dikemukakan oleh Schane ada enam. Pertama, ciri-ciri golongan utama yang meliputi silabis, sonoran, dan konsonan. Kedua, ciri-ciri cara artikulasi yang meliputi malar (kontinuan), pelepasan tertunda (pelepasan tidak segera), kasar (strident), nasal, dan lateral. Ketiga, ciri-ciri tempat artikulasi yang meliputi anterior dan koronal. Keempat, ciri-ciri punggung lidah yang meliputi tinggi, rendah, belakang, dan ciri bentuk bibir yang meliputi bulat dan tidak bulat. Kelima, ciri-ciri tambahan yang meliputi tegang, bersuara, beraspirasi, dan hambat. Keenam ciri-ciri prosodi. Dari keenam ciri-ciri yang disebutkan di atas hanya lima ciri yang akan menjadi fokus kajian ini.

2.2.6.1. Ciri-ciri Kelas Utama

Ciri-ciri kelas utama ditentukan oleh tiga hal: (1) kemampuan menjadi puncak kenyaringan, (2) kenyaringan segmen yang bersangkutan, dan (3) jenis penyempitan yang terjadi di dalam rongga mulut. Ketiga hal di atas berkaitan dengan ciri silabis, sonoran, dan konsonantal.

Ciri-ciri silabis menggambarkan suatu segmen dalam struktur suku kata. Pada umumnya, vokal-vokal bersifat [+silabis] dan konsonan [-silabis]. Di samping itu, ciri ini juga digunakan untuk membedakan bunyi-bunyi nasal dan alir yang silabis dan tidak silabis (Schane, 1973 : 26)

(26)

meliputi hentian, frikatif, luncuran laringal adalah [-sonoran] (Schane, 1973 : 26; Hyman, 1975 : 42; Lass, 1984 : 83).

Ciri-ciri konsonantal menggambarkan penyempitn yang terjadi di dalam rongga mulut, baik penyempitan total maupun pergeseran. Bunyi-bunyi hentian, frikatof, afrikat, nasal dan alir bersifat [+konsonantal], sedangkan luncuran laringal [-konsonantal] karena pada saat mengucapkan bunyi ini tidak adanya penyempitan dalam rongga mulut (Schane, 1973 : 26 - 27; Hyman, 1975 : 42-43; Lass, 1984 : 83).

2.2.6.2 Ciri-ciri Cara Artikulasi

Ciri-ciri cara artikulasi meliputi malar (continuant), pengelepasan tertunda (delayed realease), kasar, nasal, dan lateral. Bunyi [+malar] merupakan bunyi yang udaranya ke luar terus-menerus. Obstruen yang bersifat [+malar] adalah frikatif, sedangkan, hentian, dan afrikat bersifat [-malar]

Afrikat bersifat pelepasan tertunda [+pelepasan tertunda], sedangkan hentian bersifat [-pelepasan tertunda]. Bunyi afrikat yang bergeser dan beberapa frikatif dapat digolongkan bersifat [+kasar] karena udara yang keluar menyentuh gigi atau uvula sehingga bunyinya lebih kasar. Jadi, f,v,s,z bersifat [+kasar], sedangkan  dan  bersifat [-kasar]. Bunyi nasal bertentangan dengan bunyi alir,

yaitu sebagai [+nasal] bertentangan dengan [-nasal]. Bunyi alir dan lateral saling bertentangan sebagai [+lateral] dan [-lateral].

(27)

Ciri-ciri tempat artikulasi ini digolongkan atas empat tempat yang mendasar, yaitu labial, dental, palatoalveolar, dan velar. Namun, keempat tempat artikulasi ini tercakup ke dalam dua ciri pembeda yaitu, anterioar dan koronal yang didasarkan apakah penyempitan dari alveolum ke depan (konsonan anterior) atau terletak di belakang alveolum (konsonan tidak anterior). Disamping itu, apakah artikulator berupa daun lidah (koronal) atau tidak (tidak koronal) (Schane, 1973 : 29; hyman, 1975 : 47-48).

2.2.6.4 Ciri-ciri Batang Lidah

Dalam penggolongan vokal digunakan sifat depan-belakang dan sifat bulat-hampar (Schane, 1973 : 30) sehingga vokal mempunyai ciri pembeda [tinggi], [belakang], dan [bulat] (Lass, 1984 : 80). Semivokal mirip dengan vokal tinggi, kecuali pada nilai ciri silabis. Oleh karena itu, ciri tinggi, belakang, dan bulat dapat membedakan berbagai semivokal. Disamping itu, ciri-ciri pembeda tinggi belakang dapat dipakai untuk membedakan konsonan, misalnya konsonan-konsonan yang [-anterior] dan [-koronal].

2.2.6.5 Ciri-ciri Tambahan

(28)

2.2.7 Persyaratan Struktur Morfem.

Syarat-syarat struktur morfem pada mulanya disebut kaidah-kaidah redundansi leksikal yang juga disebut kaidah-kaidah struktur morfem (Harms, 1968 : 88-89). Namun para pakar fonologi generatif mengangap penggunaan istilah kaidah-kaidah struktur morfem tidak tepat dan sebagai gantinya digunakan istilah syarat struktur morfem (Hyman, 1975 : 110). Oleh Schane, syarat-syarat struktur morfem ini disebut sebagai syarat-syarat-syarat-syarat ciri-ciri berlimpah. Setiap segmen mempunyai nilai yang dinyatakan untuk setiap cirinya. Beberapa nilainya dapat diduga berdasarkan nilai atau ciri yang lain. Hal seperti ini disebut sebagai ciri-ciri berlimpah sehingga matriks dapat mengandung sejumlah ciri-ciri berlimpah (Schane,1973 : 35-40). Sebuah fitur segmen dikatakan berlimpah apabila kehadirannya tidak perlu di dalam mengidentifikasikan segmen tersebut karena fitur tersebut sudah dapat diduga berdasarkan kaidah fitur lainnya. Fitur berlimpah penting untuk membuat rujukan ke kelas wajar, sedangkan fitur tidak berlimpah bersifat distingtif.

Stanley membedakan syarat-syarat struktur morfem atas tiga, yaitu (1) syarat-syarat jika- maka, (2) syarat-syarat positif, dan (3) syarat-syarat negatif. Syarat-syarat jika-maka dibedakan atas dua, yaitu syarat-syarat jika-maka untuk segmen, dan syarat-syarat jika-maka untuk rangkaian segmen. Syarat-syarat positif di bedakan atas dua, yaitu (1) afiks dan (2) morfem pangkal (Hyman, 1975 : 110-112).

(29)

segmen-segmen. Syarat-syarat jika-maka untuk rangkaian segmen bermanfaat untuk mendapatkan gambaran mengenai rangkaian atau kombinasi segmen yang dibolehkan dalam suatu morfem bahasa tertentu.

Syarat-syarat positif bermanfaat untuk mendapatkan pola kanonik suku kata dari bahasa asal morfem. Pola-pola ini memberi informasi tentang pembatasan umum dari rangkaian segmen (konsonan dan vokal) dalam gambaran fonologis kata-kata atau ciri leksikal. Dalam kajian ini, syarat-syarat negatif tidak akan diterapkan, karena syarat-syarat ini dapat diganti dengan syarat-syarat jika-maka (Schachter dan Fromklin (dalam Hyman, 1975 : 112).

Bahasa Gayo mempunyai empat pola kanonik suku kata. Masing-masing suku kata disertai sebuah vokal, baik sebagai pembuka atau pengiring konsonan. Tetapi ada juga sebuah suku kata yang hanya terdiri dari satu vokal saja. Berikut pola kanonik suku kata tersebut.

a. V : /a – ra/ ’ada’

/i - la/ ’merah’

/u - rn/ ’hujan’

b. VK : /am- pa/ ’padi kosong’

/an – tak/ ’makan’

/u - ke/ ’rimbang’

c. KV : /si/ ’mana’

/ko – nol/ ’duduk’

/km - p/ ’cucu’

d. KVK : /r฀m/ ’padi’

/tu - ln/ ’tulang’

(30)

2.2. 8 Proses-Proses Fonologis

Proses fonologis merupakan morfem-morfem yang bergabung untuk membentuk kata, segmen-segmen dari morfem-morfem yang berdekatan berjejeran dan kadang-kadang mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam lingkungan yang bukan berupa pertemuan dua morfem misalnya posisi awal kata dan akhir kata, atau hubungan antara segmen dengan vokal bertekanan.

Secara garis besar proses fonologis terbagi menjadi empat kategori: asimilasi, struktur silabel, pelemahan dan penguatan, dan netralisasi (Schane, 1973 : 49-61). Dalam proses asimilasi, sebuah segmen mendapat ciri-ciri dari segmen yang berdekatan. Konsonan mungkin mengambil ciri-ciri dari vokal dan sebaliknya, konsonan yang satu bisa mempengaruhi yang lain, atau vokal yang satu bisa mempengaruhi yang lain. Dalam proses asimilasi sangat penting dan berpengaruh pada kata. Secara rinci proses asimilasi terbagi empat, yaitu, (1) konsonan berasimilasi dengan ciri vokal, (2) vokal berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan (3) konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri-ciri-ciri konsonan, dan (4) vokal berasimilasi dengan ciri-ciri vokal (Schane, 1992 : 51).

Proses-proses struktur suku kata mempengaruhi distribusi relatif antara konsonan dan vokal dalam kata. Proses ini ada sembilan, yaitu (1) pelesapan konsonan, (2) pelesapan vokal, (3) penyisipan konsonan, (4) penyisipan vokal, (5) penggabungan vokal, (6) perpaduan konsonan, (7) penggabungan konsonan atau vokal, (8) perubahan kelas utama, dan (9) metatesis (Schane, 1992 : 54-62).

(31)

disebabkan oleh segmen yang menduduki posisi lemah dalam silabel itu. Dalam proses pelemahan dan penguatan secara dapat dibedakan atas: (1) sinkop dan apokop, dan (2) pengurangan vokal yang dialami oleh vokal-vokal lemah. Penguatan dapat dibedakan atas diftongisasi dan pergeseran vokal yang dialami oleh vokal-vokal kuat, yakni vokal-vokal tegang atau bertekanan.

Netralisasi adalah proses yang membedakan fonologisnya dihilangkan dalam lingkungan tertentu. Proses netralisasi terbagi atas netralisasi konsonan dan netralisasi vokal.

2.2.9 Kaidah-kaidah Fonologis

Kaidah sebenarnya adalah penetapan secara tepat persyaratan terjadinya proses fonologis (Schane, 1992 : 62). Kaidah tersebut dapat dinyatakan dengan bahasa sehari-hari atau dapat pula dinyatakan dengan suatu notasi formal. Hal ini penting karena notasi harus cocok untuk mengungkapkan jenis-jenis proses yang terjadi dalam fonologi dan untuk mencakup generalisasi yang ditemukan di situ.

Dalam Fonologi Generatif dikenal empat macam kaidah fonologis (Schane, 1992 : 65). Keempat macam kaidah itu adalah :

(3) kaidah perubahan ciri.

(4) kaidah pelesapan dan penyisipan (5) kaidah permutasi dan perpaduan, dan (6) kaidah variabel

(32)

penglepasan tidak segera] merujuk ke konsonan afrikat). Kelas konsonan dan kelas vokal dilambangkan dengan K dan V. Penanda lain + dipakai untuk menyatakan batas morfem, # dipakai untuk menyatakan batas kata, dan // dipakai untuk batas frasa. Sementara simbol 0 (nol) sebagai kaidah penyisipan jika simbol itu muncul di sebelah kiri tanda panah atau untuk pelesapan jika simbol itu muncul di sebelah kanan tanda panah (Schane, 1992; Hyman, 1975; Kenstowicz, 1994).

Untuk menyatakan jumlah minimum dan maksimum gugus segmen silabel digunakan angka subskrip dan superskrip. Misalnya K2o berarti nol, satu, dan maksimum dua konsonan. Pembatasan mengenai batas atas dapat juga diungkapkan melalui notasi tanda kurung, seperti K1 o = (K), K2 o = (K)(K), dan K2 1 = K (K). Untuk menggambarkan perubahan-perubahan segmen dalam suatu bahasa juga bisa digunakan notasi formal, fitur pohon, matriks dan lain-lain (Schane, 1992; dan Kenstowicz, 1994).

(33)

Berikut ini adalah sebuah contoh kaidah fonologis yang berlaku dalam bahasa Hanunoo di Filipina (data Schane, 1992 : 47).

K

  - kons / V +V + malar

Kaidah tersebut mengatakan bahwa dalam bahasa Hanunoo (Filipina), sebuah konsonan /h/ disisipkan untuk memisahkan gugus vokal. contoh itu terlihat pada data jika sufiks –i ditambahkan pada kata dasar.

upat ‘empat’  upati ‘jadikan empat’

unum ‘enam’  unumi’ ‘jadikan enam’

pusa ‘satu’  usahi ‘jadikan satu’

Tulu ‘tiga’  tuluhi ‘jadikan tiga’

Data bahasa Hanunoo di atas memperlihatkan bahwa penambahan bunyi /h/ terjadi pada kata dasar yang berakhir dengan vokal. Ketika kata dasar yang berakhir dengan vokal tersebut ditambah sufiks –i, terjadilah gugus vokal antarmorfem yang tidak diizinkan dalam bahasa tersebut sehingga muncul epentesis /h/.

Dalam Bahasa Gayo sebuah konsonan /r/ disisipkan untuk memisahkan gugus vokal. Contoh itu terlihat pada data jika prefiks – be ditambahkan pada kata dasar.

aba ’abang’  braba ’memanggil abang’ ama ‘bapak’’  brama ‘memanggil bapak’

(34)

Dalam Bahasa Gayo diatas memperlihatkan bahwa penambahan bunyi /r/ terjadi diantara prefiks -b dan kata dasar. Ketika kata dasar dimulai dengan vokal di awal, ditambah prefiks -b, terjadilah gugus vokal yang tidak diizinkan didalam bahasa tersebut sehingga terjadilah epentesis /r/.

Kaidah fonologis merupakan representasi dari adanya proses-proses fonologis yang terjadi dalam sebuah bahasa. kaidah-kaidah tersebut dirumuskan berdasarkan adanya proses fonologis, baik sebagai akibat pertemuan dua atau lebih morfem maupun pengaruh dari segmen yang berdekatan.

2.3 Kerangka Teori

Kerangka teori yang mendasari teori Fonologi Generatif adalah teori yang pertama sekali digagas oleh Noam Chomsky dan Morris Halle (1968) dalam bukunya The Sound Pattern of English. Teori yang diacu dalam kajian ini adalah teori Fonologi Generatif oleh Schane (1973; diterjemahkan kedalam bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia tahun 1992). Jika teori Schane telah mengacu pada berbagai macam bahasa sehingga lebih meyakinkan bahwa teori tersebut dapat digunakan dalam analisis bahasa Gayo.

(35)

Bidang artikulasi banyak dibantu oleh Ladefoged (1982) dalam bukunya A Course in Phonetics. Bidang analisis suku kata banyak diikuti oleh pandangan Gussman (2002) dalam bukunya Phonology Analisys and Theory. Sementara mengenai penggambaran fitur dibantu oleh Simanjuntak (1990) dalam bukunya Teori Fitur Distingtif dalam Fonologi Genaratif.

Berdasarkan uraian di atas bahwa kajian ini berusaha membahas fonologi bahasa Gayo, teori yang diikuti tetap teori Fonologi Generatif (standar). Akan tetapi, teori tersebut juga dilengkapi dengan pandangan-pandangan yang relevan dengan fenomena fonologis yang ditemukan di lapangan.

Sesuai dengan pandangan mendasar yang diikuti dalam kajian ini, bahwa bahasa lisan, bunyi menyampaikan makna, dan makna diwujudkan melalui bunyi bahasa (Schane, 1992 : 1). Teori Fonologi Generatif tidak berkembang secara terpisah dari bidang bahasa yang lain, tetapi merupakan bagian dari teori komprehensif bahasa yang disebut gramatika transformasional grammar. Hal itu terlihat jelas dinyatakan oleh Chomsky (1965) dalam Aspect of the Theory of Syntax. Secara khusus hubungan fonologi dan sintaksis dibicarakan oleh Sharon Inkelas dan Draga Zec (1990) dalam buku The Phonology-Syntax Connection.

(36)

2.3.1 Sejarah Teori Fonologi Generatif

Perkembangan teori Fonologi Generatif sebenarnya berawal dari gagasan Chomsky pada tahun (1957a), dalam bukunya Syntactic Structure tercetus gagasan baru dalam bidang linguistik yang kemudian dikenal sebagai inovasi dari teori struktural, kemudian diperkembangkan karena adanya kritik dan saran dari berbagai pihak, di dalam buku Chomsky yag kedua yang berjudul Aspect of th Theory of Syntax pada tahun 1965. Teori itu selanjutnya dikenal dengan sebutan Teori Generatif Transformasi. Dalam buku berikutnya yaitu, Fundamentals of Language (1957b), Chomsky menjelaskan gagasannya dalam hal fonologi yang sekarang terkenal sebagai teori Fonologi Generatif Transformasi atau Fonologi Transformasi Generatif.

Uraian tentang Fonologi Generatif lebih terperinci kemudian ditulis oleh Halle dua tahun berikutnya dalam buku yang berjudul The Sound Pattern of Russian (1959). Sejak itu kemudian terbit beberapa karya baru yang makin mengukuhkan teori Fonologi Generatif.

(37)

Tahun 1990-an muncul lagi teori baru yang dikenal dengan Teori Optimalitas (Optimality Theory). Teori ini digagas oleh Prince dan Smolensky lewat karyanya yang berjudul Optimality Theory: Constraint Interaction in Generative Grammar (1993). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rocca dan Johnson (1999 : xv) bahwa teori Optimalitas adalah teori Fonologi Genetarif. Perbedaanya adalah teori sebelumnya memakai kaidah untuk penjelasan sementara teori Optimalitas menggunakan pembatas. Untuk kajian ini, yang dipakai sebagai rujukan adalah teori Fonologi Generatif dari Sanford A. Schane

(1973) atau disebut juga Teori Fonologi Generatif “Standar” yang diterjemahkan

ke dalam dua bahasa yaitu dalam bahasa Indonesia oleh Kentjanawati G. (1992) dan bahasa Malaysia oleh Zaharani Ahmad dan Nor Hashimah Jalaludin (1992) dari buku aslinya Generative Phonology.

Pemakaian buku Schane (1973, 1992) tersebut dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Schane pada prinsipnya menerima Fonologi Generatif Chomsky dan Halle diterima juga dengan cukup baik oleh ahli-ahli Transformasi Generatif lain (Simanjuntak, 1990 : 46-48, Chaiyanara, 2007 : 155-157).

(38)

Teori Chomsky terus-menerus mengalami penyempurnaan, yaitu model Syntactic Structures (1957), Standard Theory (1965), Revised standard Theory

1970’an), dan Government and Building (1980’an), pandangan para linguis

generatif tentang komponen dalam tata bahasa tetap terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen fonologi (Palmatier, 1972 ; Chomsky, 1975).

2.3.2 Kerangka Dasar Transformasi Generatif

Bahwa tujuan utama dari pemaparan teori linguistik dalam “Syntactic Structures” adalah pada dasarnya menggambarkan sintaksis dalam bentuk kaidah-kaidah grammatikal yang mendasari pembentukan kalimat-kalimat tunggal maupun kalimat luas. Dalam teori standar yang dikemukakan pada tahun 1965 tujuan itu lebih diperluas sehingga teori ini mampu menjelaskan hubungan-hubungan linguistik yang terdapat antara sistem bunyi dan sistem makna. Dalam usaha mencapai tujuan makna itu tata bahasa itu harus mempunyai tiga komponen yaitu:

(a) komponen sintaksis yang menghasilkan dan menggambarkan strukutr kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.

(b) Komponen fonologi yang menggambarkan struktur bunyi dari struktur-struktur yang dihasilkan oleh komponen sintaksis, dan

(39)

Dari ketiga komponen yang disebutkan di atas jelas kelihatan bahwa komponen sintaksis itu merupakan pusat tata bahasa tersebut, sedangkan komponen fonologi dan komponen semantik hanya bersifat interpretatif atau bersifat menafsirkan. Denga kata lain, komponen sintaksislah yang menghasilkan semua kalimat sedangkan kedua komponen lainnya hanya menggambarkan bunyi dan arti kalimat yang dihasilkan. Komponen fonologi dan komponen semantik tidak menghasilkan kalimat.

Agar kedua komponen yang disebutkan di atas dapat memberikan tafsiran fonologi dan tafsiran semantik, maka komponen sintaksis itu harus mempunyai dua jenis struktur untuk setiap kalimat yaitu:

(a) struktur dalam yang menentukan tafsiran semantik, dan (b) struktur permukaan yang menentukan tafsiran fonetik.

Kedua struktur itu mempunyai bentuk yang berbeda. Struktur permukaan ditentukan oleh hasil pemakaian yang biasa disebut dengan transformasi gramatikal, sedangkan struktur dalam merupakan struktur dasar. Jadi komponen sintaksis harus menghasilkan struktur dalam dan struktur permukaan untuk setiap kalimat dalam menghubungkan kedua struktur tersebut.

(40)

berbeda pula. Sub komponen transformasi menghasilkan kalimat-kalimat, termasuk struktur permukaan, dari struktur yang dihasilkan oleh dasar komponen sintaksis, komponen sintaksis itu juga memiliki leksikon yang memuat semua morfem yang terdapat dalam bahasa yang bersangkutan. Leksikon inilah yang mengisi struktur yang telah dihasilkan oleh dasar tersebut.

Berikut ini adalah penggambaran komponen-komponen tata bahasa generatif transformasi model standar Chomsky.

Bagan 2.3 Komponen-komponen Tata Bahasa menurut Transformasi Generatif Model Standar (Silitonga, 1988 : 68)

(41)

2.3.3 Komponen Sintaksis Generatif

Komponen sintaksis adalah komponen sentral dalam gramatika transformasional. Dengan mempergunakan aturan struktur frasa (phrase structure rules), komponen sintaktik menggenerasikan (to generate) struktur batin yang

mempresentasikan makna kalimat. Hasil penerapan aturan struktur frasa tersebut bisa dikenai aturan transformasi untuk mengubahnya menjadi kalimat lain. Keluaran dari komponen sintaksis tanpa transformasi dinamakan struktur batin, sedangkan keluaran setelah transformasi dinamakan struktur lahir.

(42)

2.3.3.1 Struktur Frase

Komponen sintaksis terdiri dari 2 jenis sistem kaidah yaitu kaidah-kaidah dan kaidah-kaidah transformasi. Kaidah-kaidah struktur frase terdiri dari 2 jenis kaidah penulisan kembali dan kaidah sub-kategorisasi karena kaidah itu membentuk atau menambah ciri-ciri sintaksis untuk membedakan anggota kategori tertentu dari yang lain.

Contoh berikut ini adalah kaidah struktur frasa dari kalimat Pemuda itu harus mengawini gadis itu.

K  FN[S] FV[P] FN[O] FV  (KB) V

FN  N (Pen) V  mengawini N  Pemuda, gadis KB  harus

Pen  itu

Kalimat dengan kaidah struktur frasa tersebut dapat diturunkan dalam diagram pohon sebagai berikut:

K

FN[S] FV FN[O]

N PEN KB V N PEN

pemuda itu harus mengawini gadis itu

[ pmuda itu hars mawini gadis

itu]

(43)

Struktur lahir kalimat diproses oleh komponen fonologi, sehingga menghasilkan gambaran fonetik yang juga disebut realisasi fonetis (Chomsky dan Halle, 1968 : 13). Untuk itu, komponen fonologi dari tata bahasa generatif menemukan bentuk kalimat yang dibangun oleh kaidah sturktur frasa. Struktur batin diproses oleh komponen semantik untuk menghasilkan gambaran semantik.

2.3.3.2 Leksikon

Salah satu perubahan yang telah dilakukan dalam teori standar ialah terpisahnya leksikon dari struktur frase. Ini berarti bahwa kata atau morfem tidak lagi merupakan hasil pemakaian kaidah struktur frase. Leksikon merupakan daftar

kata atau morfen yang biasanya disebut ‘formatif’ yang memuat ciri-ciri fonologis dan ciri-ciri sintaksis. Ciri ciri sintaksis tersebut adalah ciri kategori grammatikal, ciri subkategorisasi pekakonteks, ciri sintaksis bawaan, dan ciri seleksi (Silitonga, 1988 : 88). Ciri-ciri tersebut dijelaskan di bawah ini:

(a) Ciri kategori gramatikal

Setiap formatif harus ditandai dengan simbol kategori seperti [+ N] untuk nomina, [+ untuk V] untuk verba, [+A] untuk ajektiva, dan [+P] untuk preposisi.

(b) Ciri subkategorisasi peka-konteks

(44)

(c) Ciri sintaksis bawaan

Ciri yang termasuk dalam jenis ini adalah ciri-ciri seperti: [+hidup], [+manusia], [+ abstrak]. Dengan demikian bahwa ciri bawaan ini tidak terbatas.

(d) Ciri seleksi

Ciri yang keempat ini tidak hanya menyangkut satu formatif tetapi gabungan nomina dan verba. Verba seperti merisaukan mengharuskan nomina yang hidup sebagai objeknya, sedangkan verba mengatakan mengharuskan manusia sebagai subjek. Ciri seleksi untuk verba merisaukan digambarkan sebagai [---+ hidup], sedangkan untuk verba mengatakan [+ manusia---]. Berikut bagan kajian sintaksis Generatif tersebut.

Bagan 2.4 Komponen Sintaksis Generatif

KOMPONEN SINTAKSIS I. Sub Komponen Dasar

II. Sub Komponen Transformasi

Struktur Lahir

a. Kaidah Pencabangan

b. Kaidah Sub Kategori Sasi

(45)

2.3.3.3 Komponen Fonologi Generatif

Dalam teori standar yang dihasilkan oleh komponen sintaksis merupakan masukan untuk kaidah-kaidah komponen fonologi yang berfungsi memberikan representasi fonetik kalimat dengan mengubah atau menambah keterangan fonetik yang terdapat dalam morfem.

Chomsky dan Halle (1968 : 9) menyatakan bahwa komponen fonologi sebagai the system of rules that applies to a (syntactic) surface structure and assigns to it a certain phonetics representation drawn from the universal class

provided by general linguistic theory. Dapat dikatakan bahwa fonologi generatif

mempunyai fungsi menguraikan tiap kalimat diucapkan atau dibunyikan. Fonologi, seperti semantik, sebagai komponen penafsir sintaksis, bertugas menjabarkan urutan morfem dalam struktur lahir menjadi representasi fonetik, yaitu deskripsi fonetik untuk tiap morfem sehingga struktur lahir itu dapat diucapkan oleh penutur bahasa. Dengan kata lain, fonologi bertugas mewujudkan representasi fonetik tiap-tiap kalimat. Representasi fonetik bersifat universal sehingga berlaku untuk setiap penutur (Suparwa, 2007 : 58-59) .

(46)

Bagan 2.5 Komponen Fonologi dalam Tata Bahasa Transformasi Generatif (Chomsky dan Halle, 1968 : 11: Simanjuntak, 1990 : 8)

(3) (Struktur Permukaan Fonetik)

Rumus-rumus Fonologi (Komponen Fonologi)

(Struktur Permukaan Fonologi)

(2) (Representasi Fonem Sistematik)

Rumus-rumus Penyesuaian Kembali

(1) (Struktur Permukaan Sintaksis)

(Melalui Rumus Penyisipan Leksikon dan Komponen Transformasi)

Bagan 2.5 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Representasi leksikon (atau struktur permukaan sintaksis) adalah rangkaian formatif leksikon dan formatif tata bahasa. representasi leksikon dari satu formatif tidaklah hanya merupakan daftar kata-kata, tetapi lebih rumit lagi yang mempunyai tiga set fitur. Ketiga set fitur itu adalah (a) fitur sintaksis yang diperlukan oleh komponen sintaksis, (b) fitur semantik yang diperlukan oleh komponen semantik, dan (c) fitur fonologi yang biasanya diperlukan oleh komponen fonologi. Kumpulan atau

Representasi Fonetik

Representasi Fonologi

Representasi Leksikon

Representasi Sintaksis

(47)

secara berurutan tiap vokal atau konsonan atau gabungan keduanya diucapkan atau dibunyikan. Misalnya, matrik untuk kata mana menunjukkan bahwa (1) bunyi pertama adalah konsonan bibir sengau bersuara, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara menutup kedua bibir dan merendahkan langit-langit lunak (velum) untuk mengarahkan udara seluruhnya melalui hidung dan pada waktu yang bersamaan menggetarkan pita suara. (2) bunyi kedua adalah bunyi vokal bersuara yang dibentuk di bagian tengah mulut sambil mengetarkan pita suara; (3) bunyi ketiga adalah konsonan ujung lidah-gusi (apiko-alveolar) sengau bersuara, yaitu bunyi yang dibentuk dengan menekankan ujung lidah kepada gusi untuk menahan arus udara dan pada waktu yang sama merendahkan langit-langit lunak untuk mengalirkan udara melalui hidung sambil menggetarkan pita suara; dan (4) bunyi terakhir adalah bunyi vokal yang bersuara yang dibentuk di bagian tengah mulut sambil mengetarkan pita suara.

Cara penggambaran tersebut tentu terlalu panjang dan ciri tiap formatif tidak dapat dilihat dengan segera. Oleh karena itu, Fonologi Generatif telah membuat formula untuk menggambarkan formatif tersebut dalam bentuk matriks. Hal itu dapat terlihat pada Tabel 2.5 berikut:

Tabel 2.6 Matriks Fonetik kata mana

(48)

Matriks di atas merupakan fitur-fitur fonetik dengan skala fisik dengan sejumlah nilai tertentu. Artinya fitur-fitur itu mempunyai fungsi pengklasifikasian bunyi. Nilai + (plus) menandakan bunyi tersebut memiliki fitur bersangkutan, sedangkan nilai - (minus) menandakan bunyi tersebut tidak memiliki fitur tersebut.

Selanjutnya, representasi fonologi ditentukan oleh (1) struktur permukaan sintaksis dan (2) perubahan-perubahan yang berlaku sebagai akibat pemakaian rumus-rumus penyesuaian kembali. Rumus-rumus tersebut bersifat teratur yang berisi proses-proses penukaran posisi segmen. Segmen-segmen fonologi dalam representasi fonologi terdiri atas fonem-fonem sistematik suatu bahasa. Akhirnya, representasi fonetik merupakan rangkaian segmen fonetik yang diatur secara memanjang. Jumlah fitur fonetik tersebut menunjukkan jumlah kemampuan alat-alat produksi bersangkutan. Dengan demikian, analisis Fonologi Generatif membedakan dua tataran bunyi yang signifikan untuk dibicarakan. Tataran tersebut adalah representasi fonetis sistematis dengan symbol […] dan tataran yang lebih abstrak, yaitu tataran representasi fonemis sistematis dengan simbol

/…/ (istilah sistematis digunakan untuk membedakannya dengan taksonomis atau

(49)

Bagan 2.7 Komponen Fonologi Transformasi Generatif BG

2.4 Perbedaan Antara Fonologi Sturktural Dan Fonologi Generatif

Seperti kita ketahui bahwa salah satu alasan ahli bahasa Aliran Transformasi Generatif tidak dapat menerima aliran struktural adalah pembagian unsur bahasa secara terpisah. Bagian-bagian tersebut misalnya, kajian fonologi terbatas pada bunyi, kajian tata bahasa terbatas pada sintaksis dan kajian kata terbatas pada tahap morfologi saja (Chaiyanara, 2007 : 157).

Pemisahan kajian ini menimbulkan permasalahan hakikat bahasa. Berdasarkan hal itu ahli bahasa transformasi generatif telah mengatasi kelemahan pandangan ahli bahasa aliran struktural dengan cara menyesuaikan batasan tahap bahasa. Hal ini dapat di lihat pada bagan berikut ini (Chaiyanara, 2004 : 6)

(50)

Bagan 2.8 batasan Kajian Fonologi Struktural dan Fonologi Generatif

FONOLOGI STRUKTURAL FONOLOGI GENERATIF

Bagan di atas adalah pandangan terhadap batasan kajian fonologi struktural dan fonologi generatif yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Ahli Fonologi Struktural memberi batasan tahap bahasa dengan tiga tahap, sementara ahli fonologi Generatif memberi batasan hanya pada dua tahap saja.

(2) Gabungan tahap morfologi dan fonologi dinamakan sebagai tahap morfofonemik

(3) Aliran struktural berawal dari tahap unsur yang paling kecil yaitu bunyi yang merupakan bidang fonologi, selanjutnya naik pada tahap yang lebih besar yaitu morfologi dan sintaksis

(4) Aliran Transformasi generatif berawal dari unsur yang paling besar dari atas yaitu sintaksis kepada unsur yang lebih kecil yaitu morfofonemik. Berdasarkan kajian kedua aliran tersebut dapat dijelaskan bahwa pemilihan kajian fonologi Generatif dalam menyelesaikan analisis bahasa Gayo adalah:

SINTAKSIS

MORFOLOGI

FONOLOGI MORFOFONEMIK

(51)

(1) Bahwa teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian bahasa Inggris saja. Namun teori tersebut dapat merumuskan, antara lain, bunyi-bunyi yang khas pada bahasa tertentu, jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran bunyi-bunyi bahasa di Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam penggambaran realisasi bentuk asal pada bentuk turunannya. Untuk itu, pembahasan yang lebih menyeluruh dan lebih mendalam tentang bahasa Gayo sangat relevan dilakukan dan hal itulah yang di kerjakan dalam kajian ini.

(2) Penelitian fonologi dalam beberapa kajian sebelumnya belum mendalam pada fonologi dinamis yang sebenarnya merupakan kekhasan analisis fonologi Generatif. Sehubungan dengan penelitian fonologi bahasa Gayo tersebut masih bersifat umum, tentu masih banyak aspek yang perlu diperdalam. Pertama, dalam deskripsi fonetis realisasi fonem belum dilakukan secara komprehensif. Oleh karena itu, belum tergambar dengan jelas alofon-alofon yang muncul beserta kaidah-kaidahnya sama sekali belum pernah dilakukan. Kedua, penggambaran fitur pembeda bahasa Gayo belum dilakukan sampai pada kaidah redundansinya, untuk itu, belum tergambar dengan jelas fitur-fitur yang diperlukan serta fitur yang melimpah apalagi fitur yang spesifik dan universal belum terdeskripsi. (3) Bahwa kita mempunyai kemampuan (kompetensi) untuk menerbitkan dan

memahami kalimat-kalimat baru yang tidak terbatas jumlahnya, dapat diterangkan oleh hakikat bahasa melalui teori transformasi generatif. (4) Bahwa teori transformasi generatif juga mampu menerangkan kemampuan

(52)

2.5 Kerangka Teoretis

Kerangka teoretis ini dimaksudkan sebagai representasi teori tentang Fonologi Bahasa Gayo merupakan seperangkat komponen yang secara reguler saling berkaitan untuk membentuk suatu totalitas atas fenomena kabahasaan yang akan diteliti. Kerangka teoretis yang berlandaskan teori fonologi generatif standar yang telah diuraikan pada kerangka teori dari kajian ini. Untuk lebih jelasnya, kerangka teori yang dimaksud dapat diperhatikan pada skema berikut ini.

Diagram 2.8 Kerangka Teoretis FONOLOGI BAHASA GAYO

FONOLOGI GENERATIF

Segmen BG Ciri-ciri Pembeda Pola Kanonik

Proses dan Kaidah Fonologis

Penetapan Ortografi -Syarat Struktur morfem

Gambar

Tabel 2.1 Alofon /t/ dalam Bahasa Inggris
Gambar di atas mempelihatkan bahwa p dan b berhubungan dalam labial,
Tabel  2.2 Matriks Ciri Pembeda Kata aka dan aku
Tabel 2.6 Matriks Fonetik kata mana

Referensi

Dokumen terkait

Billing internet ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi administrator dalam mengelola warung internet dan juga bagi user sehingga terjadi penghitungan biaya yang tepat

Diharapkan kehadiran saudara dengan membawa stempel perusahaan, dan bila saudara berhalangan hadir kemudian diwakilkan agar membuat surat kuasa yang ditandatangani diatas kertas

Dengan menggunakan aplikasi ini, pengguna diharapkan dapat mengakses kamus Inggris â Indonesia yang selalu ter-update karena pengelolaan database kosakata yang dilakukan secara

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/ Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi

Pemborong bertanggung jawab atas keamanan seluruh pekerjaan termasuk bahan-bahan bangunan dan perlengkapan instalasi di tapak, hingga kontrak selesai dan diterima

RINCIAN JUMLAH PEROLEHAN SUARA SAH SETIAP PARTAI POLITIK DAN CALON ANGGOTA DPRD PROVINSI SERTA PERINGKAT SUARA SAH CALON ANGGOTA DPRD PROVINSI DALAM PEMILU TAHUN 2014... BAMBANG

[r]

apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dan masa penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima secara obyektif oleh Panitia Pengadaan Barang