• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Hukum PT. Indocare Pacific Cabang Medan Terhadap Konsumen Barang Ecocare yang Memiliki Cacat Produk Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN EKSISTENSI PT. INDOCARE PACIFIC CABANG MEDAN A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha dan Hukum Perlindungan Konsumen

Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun yang lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus tentang perlindungan konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sesuai dengan perkembangan itu, berbagai negara telah menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan konsumen.38

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda). Secara harafiah, arti kata consumer adalah

lawan dari arti kata produsen, yaitu “setiap orang yang menggunakan barang”. Tujuan dari penggunaan barang atau jasa yang akan menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, kata consumer diartikan sebagai “pemakai atau konsumen”.39

Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai “A person who

buy goods or service for personal, family, or household use, with no intention or

resale, a natural person who use products for personal rather than business

38

Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas” dalam buku Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 22.

39

(2)

purpose”.40 Textbook on Consumer Law menyatakan “Consumer is one who

purchase goods or service”. Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan

“Konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan, dan sebagainya”.41

Dari definisi tersebut dihendaki bahwa konsumen adalah “setiap orang atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak sebagai produsen, pelaku usaha dan/atau pebisnis”.42

Hukum positif Indonesia yang ada sampai pada tahun 1999, belum mengenal istilah konsumen. Akan tetapi, hukum positif Indonesia berusaha untuk menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Berbagai penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen, walaupun belum memiliki ketegasan dan kepastian tentang hak-hak konsumen.43

Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang menggunakan istilah “setiap orang” untuk pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat jasa kesehatan dalam konteks konsumen. Istilah ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 46.

40

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minnesota : West Publishing, 2004), hal. 335.

41

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), hal. 521.

42

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Kencana, 2013), hal. 15.

43

(3)

Istilah“masyarakat” yang disebutkan dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 21 juga mengacu kepada konsumen.44

Berbagai pengertian tentang “konsumen” dikemukakan agar dapat mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Pengertian tersebut dapat ditemukan dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.45

Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu : “Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali”.46

Pengertian konsumen dalam naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan RI, yaitu : “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.47

Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan

44 Ibid. 45

Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 19.

46

Ibid., hal. 20. 47

(4)

pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh yang sama dengan pemakai. Sementara itu di Eropa, dikemukakan pengertian konsumen berdasarkan Product Liability Directive sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan directive tersebut, yang berhak menuntut kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat.48

Di Belanda, oleh Hondius disimpulkan bahwa arti konsumen adalah “pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa”49, sedangkan di Spanyol, pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, yaitu “konsumen bukan hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai akhir”.50

Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan mengambil pengertian yang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda yaitu “Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”. Sementara itu, Anderson dan Krumpt menyatakan kesulitannya untuk merumuskan definisi konsumen. Akan tetapi, para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah “Pemakai akhir dari benda dan/atau jasa yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha”.51

48

Nurhayati Abbas, Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya, (Ujungpandang : Elips Project, 1996), hal. 13. dalam Ibid., hal. 21.

49

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal. 3.

50

Ibid., hal. 4. 51

(5)

Terdapat tiga pengertian konsumen yang ingin mendapat perlindungan, yaitu :52

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 53 Pengertian konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 yang menyatakan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.54

Unsur-unsur definisi konsumen yaitu :55

a. Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa.56

52

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor : Gahlia Indonesia, 2008), hal. 10.

53 Ibid. 54

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1, Angka 2.

55

Shidarta, Op. Cit., hal. 4-9.

56

Ibid., hal. 27.

(6)

memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, hanyalah orang alami atau manusia.57

b. Pemakai

Sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kata pemakai merujuk pada konsumen akhir (ultimate consumer). Dalam hal ini penggunaan istilah “pemakai” menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Konsumen memang tidak sekadar pembeli (buyer) tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting dalam terjadinya suatu transaksi konsumen berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

c. Barang dan/atau Jasa

Saat ini, kata “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

d. Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Hal ini tercantum juga dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 9 ayat 1 huruf e. Namun dalam perkembangan perdagangan yang makin kompleks saat ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi.

e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.

57

(7)

f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mempertegas hanya kepada konsumen akhir. Penegasan ini sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal istilah konsumen atau consument.58Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen yaitu pembeli (koper)diatur dalam pasal 1457–1540 KUH Perdata, penyewa (hurder) diatur dalamPasal 1548– 1600 KUH Perdata, penitip barang (bewarrgever) diatur dalamPasal 1694–1739 KUH Perdata, peminjam (verbruiklener) diatur dalam Pasal 1754– 1769 KUH Perdata, dan sebagainya. Sementara itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ditemukan istilah tertanggung (verzekerde) diatur dalam Pasal 246–308 Buku I KUH Dagang dan penumpang (opvarende)diatur dalam Pasal 341– 394 Buku II KUH Dagang.59

Adapun pihak lain selain konsumen yang memiliki peranan penting dan berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen adalah pelaku usaha dan pemerintah. Istilah pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat undang-undang yang lebih lazim dikenal dengan istilah pengusaha.60

58

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 62.

59

Zulham, Op. Cit., hal. 14.

60

(8)

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut kelompok besar kalangan pelaku ekonomi yang terdiri dari tiga kelompok pelaku usaha sebagai berikut :61

a. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya.

b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya.

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko,

supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, dokter, usaha angkutan

(darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

Berdasarkan Pasal 3 Product Liability Directive, pengertian “produsen” meliputi :62

a. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya.

b. Produsen barang mentah atau komponen suatu produk.

c. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.

61 Ibid. 62

Agus Brotosusilo, makalah “Aspek-Aspek Perlindungan terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia”, dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum (Jakarta : YLKI-USAID, 1998), hal. 46. dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.

(9)

Pengertian yang luas tentang pelaku usaha juga terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut : 63

Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

64

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Selain istilah-istilah yang telah dibahas sebelumnya, terdapat lagi istilah lain seperti hukum perlindungan konsumen. Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan pengertian tentang hukum perlindungan konsumen, tetapi hanya dijelaskan pengertian tentang perlindungan konsumen itu sendiri.

65

63

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1, Angka 3.

64

Az. Nasution, Op. Cit., hal. 17.

65

(10)

Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Hukum (perlindungan) konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukum. Hukum konsumen hanya ranting kecil dari pohon hukum, yaitu merupakan bagian dari jangkauan dari hukum dagang yang tercakup dalam bagian III dari hukum dagang dengan cabang besarnya hukum dagang. 66

Secara umum, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni : “… rules of law which

recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure

that weakness is not unfairly exploited”. 67

Ada sarjana yang berpendapat hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu. Misalnya, Az. Nasution berpendapat bahwa :68

Adapun pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen “Hukum konsumen memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup”.

66

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 22.

67

R. Lowe, Commercial Law, (London : Sweet & Maxwell, 1983), hal. 23 dalam Shidarta, Op. Cit., hal. 9.

68

(11)

dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.69

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Pada dasarnya, hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Dimana materi pembahasannya meliputi bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. 70

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. 71

2. Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen

Sebenarnya, sebelum Indonesia merdeka sudah ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Beberapa peraturan yang

69

Janus Sidabalok, Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti : 2010), hal. 46.

70 Ibid. 71

(12)

berkaitan dengan perlindungan konsumen pada zaman Hindia-Belanda, antara lain:72

a. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 Nomor 214,

b. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S. 1931 Nomor

28,

c. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo. S.

1927-449, jo. S. 1940-14 dan 450,

d. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509,

e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143,

f. VerpakkingsOrdonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935 Nomor 161,

g. Ordonanntie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.

1936-671,

h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat

Keras), S. 1937-641,

i. Bedrijfsrelementerings Ordonanntie (Ordonansi Penyaluran Perusahaan), S. 1938-86,

j. Ijkodonnantie (Ordonansi Tera), S.1949-175,

k. Gevaarlijke Stoffen Ordonanntie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya),

S. 1949-377, dan

l. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonanntie, S.1955-660.

Selain itu, terdapat pula beberapa ketentuan yang memberikan perlindungan konsumen, yaitu :73

a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Buku III tentang Perikatan.

b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang), tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim, dan sebagainya.

c. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), tentang pemalsuan, penipuan, persaingan curang, pemalsuan merek, dan sebagainya.

d. Dalam hukum adat, seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat yang tidak berorientasi pada konflik, yang memposisikan setiap warganya untuk saling menghormati sesamanya, prinsip terang pada pembuatan transaksi (khususnya transaksi tanah) yang mengharuskan hadirnya kepala adat/kepala desa dalam transaksi tanah, dan prinsip adat lainnya.

72

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 18.

73

(13)

Pada dasarnya, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, karena sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen telah ada beberapa Undang-Undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen yang belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen, antara lain :74

a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-Undang ;

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene ;

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah ;

d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal ; e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

Perusahaan ;

f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri ;

g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement

Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia) ;

h. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ;

i. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten ;

j. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek ;

k. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran ;

l. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan ; m. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas ; n. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil ;

o. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan ;

74

(14)

p. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ;

q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ;

r. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan ;

s. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian ;

t. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta ;

Selain itu, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang dapat dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum perlindungan konsumen, yaitu :75

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juni 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

d. Keputusan Presiden Rakyat Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.

e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

g. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 418/MPP/KEP/4/2002 Tanggal 30 April 2002 tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen.

h. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 480/MPP/KEP/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan

75

(15)

Perdagangan Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

i. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.

Perkembangan di bidang perlindungan konsumen baru terjadi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. Undang-Undang ini masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. Undang-Undang ini merupakan hasil dari hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimana hak itu tidak pernah digunakan sejak Orde Baru berkuasa pada 1966.76

3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Sebelum membahas mengenai hak dan kewajiban para pihak, maka terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian hak dan kewajiban itu sendiri. Hukum mengatur peranan dari para subjek hukum berupa hak dan kewajiban. Pengertian hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, sedangkan pengertian kewajiban adalah suatu peran yang bersifat imperatif artinya harus dilaksanakan. Hubungan antara hak dan kewajiban saling berhadapan dan berdampingan karena di dalam hak terdapat kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak menyalahgunakan haknya.77

76

Shidarta, Op. Cit., hal. 52.

77

(16)

Pada dasarnya, hak dan kewajiban lahir karena adanya hubungan hukum. Sehingga jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka harus kembali kepada undang-undang. Undang-undang dalam kajian hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum satu dan yang lainnya. 78

Secara umum, ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui secara internasional, yaitu : 79

a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari segi pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Berkaitan dengan hal ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Oleh karena itu, pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku produsen yang berdampak dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen.

b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif yang dimiliki konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Apabila tanpa ditunjang hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan berarti.Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, sehingga hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen.

c. Hak untuk memilih (the right to choose)

Hak ini memiliki arti yang sangat fundamental bagi konsumen jika dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan atau informasi mengenai suatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan secara lengkap dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.

78

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 25.

79

(17)

d. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, setiap keluhan maupun harapan konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh produsen harus didengar.

YLKI menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sehingga keseluruhan dari hak tersebut dikenal sebagai “Panca Hak Konsumen”.80

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Bab III Pasal 4 terdapat hak-hak konsumen antara lain : 81

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa ;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan ;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa ;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan ;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen ;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

80

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 31.

81

(18)

Hak-hak di atas merupakan penjabaran dari Pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia.82

Di samping hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adapun dua hak konsumen yang berkaitan dengan pertanggungjawaban produk, antara lain : 83

a. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang baik serta aman.

Dengan adanya hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk yang dibelinya sering kali diperdaya oleh pelaku usaha.

b. Hak untuk mendapat kerugian.

Jika barang yang dibelinya itu terdapat cacat, rusak, atau telah membahayakan konsumen, maka ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Akan tetapi, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk barang yang terdapat cacat atau rusak, harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka dengan kondisi tersebut, tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang dibelinya.

Selain memperoleh hak, konsumen juga memiliki kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 5, yaitu : 84

a. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan ; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa ;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati ;

82

Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 24.

83

Ibid., hal. 51. 84

(19)

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Menurut Hans W. Miclitz, secara garis besar perlindungan konsumen dapat ditempuh dengan dua model kebijakan, yaitu : 85

a. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).

b. Kebijakan kompensantoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan).

Sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi konsumen serta untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha diberikan juga hak dan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.86

Adapun hak pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain : 87

a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ; b. Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad

tidak baik ;

c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen ;

d. Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

85

Shidarta, Op. Cit., hal. 49.

86

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 33.

87

(20)

Selain itu, dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur mengenai kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut :88

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan ;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku ;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan ;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, adapun kegiatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan pelaku usaha seperti yang tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu : 89

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan ;

Ayat (1) :

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut ;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya ;

88

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 7.

89

(21)

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut ;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengelolaan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut ;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut ;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat ;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2) :

Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

Ayat (3) :

Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi lengkap dan benar.

Ayat (4) :

Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Secara garis besar, larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 larangan pokok, yaitu : 90

a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.

90

(22)

b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan akurat, yang menyesatkan konsumen.

Selanjutnya, dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dirinci lebih jelas kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sebagai berikut :91

a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu ;

Ayat (1) :

Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :

b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru ;

c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu ;

d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi ;

e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia ;

f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi ;

g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu ; h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu ;

i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain ;

j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap ;

k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Ayat (2) :

Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksuda pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.

Ayat (3) :

Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan suatu barang dan/atau jasa tersebut.

91

(23)

Adapun faktor-faktor yang dapat membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen walaupun kerusakan timbul akibat cacat produk, yaitu apabila : 92

a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan ; b. Cacat timbul di kemudian hari ;

c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen ;

d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi ;

e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

4. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen

Secara umum, hubungan antara pelaku usaha (produsen) dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan itu terjadi karena para pihak saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi antara pihak yang satu dengan yang lainnya. 93

Hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang tercipta secara individual dipengaruhi oleh berbagai keadaan, antara lain : 94

a. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu ; b. Penawaran dan syarat perjanjian ;

c. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya ; d. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.

Hubungan antara konsumen dan produsen adalah timbal balik. Konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan. Hal ini dapat dilihatbahwa usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik bila

92

Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 42.

93

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 9.

94

(24)

konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat. 95

Secara garis besar, dalam pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain, ada dua kelompok pihak yang terlibat, yaitu : 96

a. Kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa Pada umumnya, pihak ini berlaku sebagai :

1) Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor) ;

2) Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen) ; 3) Penyalur barang atau jasa

b. Kelompok konsumen

Pihak ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu :

1) Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial) ;

2) Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (tujuan nonkomersial).

Secara umum, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen dapat dibagi menjadi dua, antara lain :97

a. Hubungan langsung

Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen terikat secara langsung dengan perjanjian.

b. Hubungan tidak langsung

Dimana hubungan antara produsen dengan konsumen tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena ada pihak lain diantara konsumen dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kepada produsen yang tidak memiliki hubungan perjanjian dengan dirinya. Untuk menuntut produsen pada hubungan ini dapat dilakukan dengan alasan produsen telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan adanya kesalahan produsen.

95

Ibid., hal. 12. 96

Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 33.

97

(25)

Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari penyelesaian. Dalam praktik sehari-hari, terjadi beberapa tahap transaksi konsumen sebagai berikut : 98

a. Tahap Pra-Transaksi Konsumen

Pada tahap ini, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman, pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa kebutuhannya dapat diperoleh, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta pertimbangan fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan. Informasi tentang barang atau jasa memiliki peranan penting pada tahap ini. Informasi yang bertanggung jawab (informative information) merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi dalam kebutuhan hidupnya. Keputusan konsumen mengenai pilihan barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice) sangat tergantung pada kebenaran dan pertanggungjawaban informasi yang disediakan oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan barang atau jasa konsumen.

b. Tahap Transaksi Konsumen

Pada tahap ini, transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa menyewa barang telah terjadi. Syarat peralihan kepemilikan, cara-cara pembayaran atau hak dan kewajiban merupakan hal-hal pokok bagi konsumen.

c. Tahap Purna-Transaksi Konsumen

Pada tahap ini, transaksi telah terjadi dan pelaksanaan telah diselenggarakan. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan atau mulai dinikmati kemudian, ternyata tidak sesuai dengan deskripsi oleh produsen, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya, atau jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap ini. Dalam hal asal produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sesungguhnya sudah termasuk masalah pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk.

98

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada

(26)

5. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang dapat memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar yang kuat. 99

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada lima asas perlindungan konsumen, yaitu : 100

a. Asas Manfaat

Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi untuk memberikan kepada masing-masing pihak, yaitu produsen dan konsumen apa yang menjadi hak mereka masing-masing. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa. 101

b. Asas Keadilan

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki dengan melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen, konsumen dan pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 102 c. Asas Keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku

99

Happy Susanto, Op. Cit., hal. 17.

100 Ibid.

101

Janus Sidabalok, Op. Cit., hal. 32.

(27)

usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara. 103

d. Asas Keamanan atau Keselamatan Konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatana barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan produknya. 104

e. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum sehingga memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya, undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya. 105

Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tercantum tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut : 106

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang atau jasa.

(28)

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

B. Eksistensi PT. Indocare Pacific Cabang Medan 1. Profil PT. Indocare Pacific Cabang Medan

PT. Indocare Pacific memulai perusahaannya pada tanggal 7 Juli 2007 di bidang jasa pendukung (support services) terutama pada hygiene service di toilet. PT. Indocare Pacific awalnya hanya memiliki 5 cabang di Indonesia, yaitu dua di Jakarta dan masing-masing di Bandung, Yogayakarta, dan Semarang. PT. Indocare Pacific berkantor pusat di Grand Slipi Tower Suite AL 36th Floor Jl. S.

Parman Kav. 22-24 Jakarta. Sementara itu, PT. Indocare Pacific Cabang Medan beralamat di Jl. H. M. Said (D/H Jl.Durian) No. 23 C Medan, Sumatera Utara.107

PT. Indocare Pacific memproduksi produk Ecocare yang kemudian mendapat banyak perhatian dari kalangan pengusaha yang peduli terhadap kebersihan dan kesehatan di tempat usahanya. PT. Indocare Pacific

107

PT. Indocare Pacific, diakses dari

(29)

berdiridilatarbelakangi dengan pemikiran untuk memberikan kenyamanan pada ruang kerja, toilet dan sekitarnya sehingga produktivitas kerja tidak terganggu.108

Lambang dari produk Ecocare sendiri menyiratkan kepedulian terhadap lingkungan. Dimana gambar daun hijau yang segar melambangkan vitalitas kehidupan manusia. Kemudian, penggunaan warna hijau mengacu pada lingkungan yang segar, sedangkan warna biru mewakili sifat sanitasi produk yang memelihara lingkungan.109

2. Produk-Produk PT. Indocare Pacific Cabang Medan

Secara garis besar, produk-produk Ecocare yang diproduksi PT. Indocare Pacific terbagi atas :

a. Produk Premium

Secara umum, yang membedakan antara produk premium dengan produk standar adalah dari segi desain unit produk dan dari segi harga. Namun, dari segi kualitas dan pelayanan, konsumen produk premium dan produk standar Ecocare mendapat hak dan layanan yang sama. Kemudian, produk premium Ecocare ini terdiri dari :110

108

PT. Indocare Pacific, diakses dari

2016 pukul 21.40

109

PT. Indocare Pacific, diakses dari

2016 pukul 21.45

110

PT. Indocare Pacific, diakses dari

(30)

1) Eco Digital Sanitizer

Suatu produk dari Ecocare yang membantu membasmi masalah bau kurang sedap akibat dari perkembangbiakan bakteri di sekitar toilet. Cara kerja produk ini menggunakan sistem Auto

Digital Electronic Device yang mengontrol pengeluaran cairan

pembersih sesuai kebutuhan. Kelebihan dari produk ini terletak pada komposisi kimiawi cairan pembersih yang tidak merusak pipa toilet dan aman bagi kesehatan manusia.

2) Ecocare Water-Based Freshener

Produk dari Ecocare ini memastikan partikel udara akan tetap bersih, segar, dan aman bagi kesehatan manusia. Salah satu produk premium ini didesain dengan tampilan unit yang slim dan elegan.

3) Ecocare Microbust Freshener

Salah satu produk premium Ecocare ini bekerja dengan sistem spray otomatis sesuai interval waktu, yang akan mengeluarkan aroma segar dari aromatherapi yang aman bagi kesehatan manusia.

4) Ecocare Foam Soap Dispenser

Produk Ecocare ini adalah sebuah unit pembersih tangan dimana produk ini berfungsi menampung sabun pencuci tangan. Keunggulan produk ini terletak pada sabunnya yang menghemat air untuk membilasnya.

b. Produk Standar

Pada umumnya, produk-produk Ecocare yang sering ditemukan pada tempat-tempat umum merupakan produk standar Ecocare. Produk-produk standar ini sering dipilih oleh konsumen karena harga dari produk standar yang lebih murah dari produk premium dengan kualitas yang hampir sama dengan produk premium. Adapun produk-produk standar Ecocare terdiri atas :111

111

PT. Indocare Pacific, diakses dari

(31)

1) Ecocare Sanitizer

Produk Ecocare ini berfungsi untuk menghambat berkembangnya bakteri dalam kloset. Unit ini bekerja secara otomatis setiap kali dilakukan pengguyuran sehingga menciptakan ruang toilet yang higienis.

2) Ecocare Air Freshener

Produk ini bertujuan memberikan kesegaran serta kenyamanan udara. Unit ini bekerja dengan sistem rotasi, yaitu beroperasi 1 menit dan berhenti 2 menit.

3) Eco Liquid Soap Dispenser

Produk ini berfungsi mengeluarkan sabun pencuci tangan. Unit ini dilengkapi dengan sistem pengontrol volume sabun cair sehingga tidak akan menetes.

4) Ecocare LCD

Produk ini merupakan unit pengharum ruangan. Unit ini bekerja dengan pengaturan interval spray yang dikehendaki.

5) Ecocare Insect Killer

Produk ini merupakan unit pengusir lalat atau serangga.

6) Eco Hand Sanitizer

Produk ini bertujuan membersihkan tangan dengan tidak menggunakan air dan praktis dalam penggunaannya.

7) Ecocare Hand Dryer

Produk ini merupakan unit pengering tangan yang hemat daya listrik serta bertujuan mencegah pemborasan penggunaan kertas tisu.

8) Ecocare Autolid

Produk Ecocare ini berfungsi untuk melestarikan lingkungan sehat sehingga kloset akan bebas dari masalah tersumbat dan bau tidak sedap.

9) Ecocare Autosoap

Produk ini hampir sama dengan Eco Liquid Soap

Dispenser, yang membedakannya adalah pada produk ini sabun

akan keluar secara otomatis menggunakan sensor.

10)Ecocare Sanitary Bin

Produk ini hampir sama dengan Ecocare Autolid. Akan tetapi, pada produk ini harus menggunakan sentuhan kaki untuk membuka penutup produk.

11) Ecocare Doormats

(32)

Produk-produk Ecocare yang umumnya sering dijumpai adalah produk-produk Ecocare standar. Adapun, produk-produk-produk-produk yang sering digunakan oleh konsumen Ecocare, yaitu antara lain :

a. Ecocare Sanitizer b. Ecocare Air Freshener c. Eco Liquid Soap Dispenser d. Ecocare LCD

e. Ecocare Insect Killer f. Ecocare Hand Dryer g. Ecocare Sanitary Bin

Sebagian besar produk-produk Ecocare ditemukan di tempat umum, seperti di mall, gedung perkantoran, rumah sakit, dan sebagainya. Namun, merujuk pada pengertian konsumen pada Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.112

112

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 Angka 2.

Oleh karena itu, sasaran konsumen produk Ecocare yang akan dianalisa pada penulisan skripsi ini adalah rumah pribadi yang digunakan juga sebagai praktik dokter atau tempat kursus.

Secara umum, produk-produk Ecocare yang digunakan hampir sama, kecuali pada praktik dokter tidak menggunakan produk Ecocare Insect Killer dan

Ecocare Sanitary Bin. Kadangkala, ada konsumen yang meminta agar produk

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini sudah di era digital, perkembangan teknologi yang sudah semakin modern, maka untuk memudahkan dalam proses wawancara atau calon mahasiswa dalam memilih

c) Setelan proteksi saluran utama dari hubung pendek bila sirkit cabang itu disuplai oleh satu saluran utama yang juga menyuplai motor rotor lilit dengan arus pengenal beban penuh

Mikrostruktur kamaboko tanpa penambahan karaginan komersil (K(-)) (Gambar 6) terlihat matriks gel protein yang terbentuk seperti serabut yang kasar, hal ini disebabkan

Orang yang membuat ajaran agama menjadi sistem rasional akan terjebak pada ajaran panteisme yang, melihat Tuhan identik dengan alam, bahwa semua serba Tuhan,

Strategy Green Distribution on Supply Chain Management yang berfokus sustainability yang harus dijalankan perusahaan Otel Express dengan tujuan akhir memberikan dampak yang

Peserta yang akan berpartisipasi dalam kegiatan Festival Tumbilotohe II , Gorontalo 2002 berasal dari Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo serta

Malah, menjadi penempatan transit bagi pelatih sebelum ditetapkan balai berkhidmat, kawasan yang berkeluasan 76 hektar itu turut ditempatkan sebagai depoh

Pace dan Faules (2000, p. 168) yang mengatakan bahwa Iklim komunikasi organisasi merupakan gabungan dari persepsi-persepsi suatu evaluasi makro mengenai peristiwa