• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proposal Robby

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proposal Robby"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Proposal Penelitian

IDENTIFIKASI MUTU FISIK BERAS BERDASARKAN CIRI FISIK MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA (IMAGES PROCESSING) DAN

METODE MULTI-LAYER PERCEPTRONS (MLP)

Oleh:

ROBBY HARIYANTO 1405106010054

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM - BANDA ACEH

(2)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Beras (Oryza sativa L.) adalah sumber utama makanan untuk energi yang dikonsumsi

hampir setengah dari populasi dunia. Ini adalah sumber penting vitamin, unsur mineral dan

asam amino esensial (Sadeghi et al 2013). Karena ini adalah makanan pokok untuk melayani

banyak generasi dan berabad-abad di dunia, kebutuhan akan produksi dan konsumsinya

meningkat dari hari ke hari. Menurut sensus Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan

Bangsa-Bangsa (FAO), total produksi beras di dunia telah meningkat dari 570 juta ton pada

tahun 2002 menjadi 720 juta ton pada tahun 2012. Produksi padi di Aceh sendiri dari tahun

2012 sampai 2015 yaitu 1.788.738 ton, 1.956.940 ton, 1. 820.062 ton dan 2.331.046 ton

(BPS, 2016).

Beras yang ada di pasar berasal dari berbagai varietas. Perbedaan varietas beras

berkorelasi dengan mutu dan cita rasa (Singh et al. 2005, Correa et al. 2007). Karakter beras

penting diketahui untuk proses perakitan varietas baru (Rathi et al. 2010), penyimpanan,

penanganan, dan pengolahan lebih lanjut (Varnamkhasti et al. 2007). Pada industri beras

yang modern, identifikasi sifat fisik beras bermanfaat dalam aspek pengendalian mutu

(quality control) dan jaminan mutu (quality assurance). Konsumen tertentu menginginkan

jaminan mutu beras yang dikonsumsinya. Sifat fisik beras merupakan karakter yang

termudah dan tercepat untuk diidentifikasi.

Proses pemutuan beras sangat penting untuk dilakukan sebelum beras dipasarkan.

Sampai saat ini proses pemutuan beras masih dilakukan secara manual (visual) yang

dilakukan oleh para ahli yang berpengalaman, namun cara ini memiliki kelemahan : 1)

Adanya faktor subjektif dari pengamat (ahli); 2) Kondisi fisik dan psikologis pengamat yang

menyebabkan tidak konsistennya hasil pemutuan; dan 3) Waktu yang dibutuhkan untuk

proses pemutuan relatif lebih lama (Somantri at al., 2013). Berangkat dari permasalahan

tersebut dibutuhkan suatu alternatif cara pemutuan fisik beras yang lebih cepat, konsisten,

akurat dan mudah pengoperasiannya, sehingga dapat meningkatkan efisiensi kerja

identifikasi mutu fisik beras.

Penelitian identifikasi varietas beras menggunakan pengolahan citra digital menjadi

penting karena dapat digunakan sebagai dasar dalam mengidentifikasi varietas beras.

Manfaat penting yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah data hasil identifikasi dapat

(3)

akan dipasarkan, khususnya kemurnian varietas. Peningkatan kemampuan perangkat keras

dan perangkat lunak menyebabkan pengolahan citra digital juga banyak diterapkan untuk

mengukur atau mengidentifikasi biji-bijian selain beras seperti gandum, jagung, dan

lain-lainnya.

Pada penelitian sebelumnya yaitu “Identifikasi Mutu Fisik Beras Dengan Menggunakan Teknologi Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan”. Dimana pada

penelitian itu menggunakan 5 jenis varietas beras, yaitu Cirata, Inpari 13, Inpari 19, Way

apo buru dan muncul cilamaya (Somantri at al., 2013).

Pada penelitian sebelumnya, yaitu “Penentuan Kualitas Giling Beras Menggunakan Analisis Citra”. Dimana pada penelitian itu menggunakan varietas beras inpari 13 saja dan

menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN) (Somantri at al., 2014).

Pada penelitian sebelumnya, yaitu “Identifikasi Varietas Berdasarkan Warna dan

Tekstur Permukaan Beras Menggunakan Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Syaraf

Tiruan”. Dimana pada penelitian itu menggunakan 3 varietas beras, yaitu Basmati, Inpari 1,

Sintanur (Adnan at al., 2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi beras dari beberapa varietas, yaitu

Ciherang, Sanbei dan Sigupai menggunakan analisis warna, bentuk dan tekstur berdasarkan

metode pengolahan citra digital. Kombinasi analisis warna dan tekstur ini kemudian

digunakan sebagai parameter masukan dan diolah lebih lanjut menggunakan metode

Multi-Layer Perceptrons (MLP) untuk menentukan parameter masukan dengan tingkat akurasi

paling tinggi.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dijadikan obyek penelitian dalam tugas akhir ini adalah sebagai

berikut:

1. Apakah mutu beras dapat ditentukan dengan menggunakan teknologi images processing

berdasarkan sifat fisiknya?

2. Bagaimana mengidentifikasi pemutuan beras berdasarkan warna RGB, ukuran, bentuk ?

3. Apakah sama hasil mutu tiap varietas beras yang menggunakan teknologi images

(4)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan tingkat pemutuan beras dengan

berdasarkan aspek warna, bentuk dan ukuran menggunakan pengolahan citra dan metode

Multi-Layer Perceptrons (MLP).

Tujuan yang lebih khusus adalah:

1. Mengembangkan algoritma pengolahan citra untuk melakukan analisis parameter visual

beras menggunakan kamera.

2. Menentukan hubungan tingkat mutu dengan parameter visual beras berdasarkan

pengolahan citra.

3. Memberikan solusi alternatif untuk analisis kualitas yang meminimalkan waktu dan

biaya yang diperlukan.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi:

1. Penelitian ini dilakukan pada beras varietas Ciherang, Sigupai dan Sanbei.

2. Pengukuran dilakukan menggunakan Images Processing dengan Metode

Multi-Layer Perceptrons (MLP)

3. Pengolahan data menggunakan aplikasi halcon

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membangun sebuah system

aplikasi perangkat lunak komputer yang dapat melakukan pemutuan fisik beras dengan

menggunakan teknik pengolahan citra digital khususnya metode Multi-Layer Perceptrons

(MLP). Manfaat lain dari penelitian ini adalah menghasilkan alat bantu dalam bidang

pertanian dan perdagangan terutama bagi inspektur pemeriksa untuk mengklasifikasi

(5)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Beras

Beras adalah hasil utama yang diperoleh dari proses penggilingan gabah padi hasil

tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau

sebagian lembaga dan lapisan berkatulnya telah dipisahkan baik berupa beras utuh, beras

kepala, beras patah, maupun menir (SNI 6128:2015).

Menurut Tjitrosoepomo 2004, klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut.

Regnum : Plantae

Setiap negara memiliki standar mutu beras yang ditetapkan sesuai dengan

kepentingannya. Di Indonesia, standar mutu beras tercantum dalam SNI 6128:2015, yang

berlaku untuk beras giling. Komponen mutu di dalamnya mencakup persyaratan umum yang

bersifat kualitatif dan persyaratan khusus yang bersifat kuantitatif.

Berdasarkan SNI 6128:2015 secara umum beras harus bebas hama dan penyakit,

bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya, bebas dari campuran dedak dan bekatul, bebas

dari bahan kimia yang membahayakan dan merugikan konsumen. Persyaratan kuantitatif

(6)

2 Kadar air (maks) (%) 14 14 14 15

Beras utuh merupakan butir beras yang tidak ada patah sama sekali. Beras kepala

merupakan butir beras dengan ukuran lebih besar atau sama dengan 0,8 bagian dari butir

beras utuh. Butir patah merupakan butir beras dengan ukuran lebih besar dari 0,2 sampai

dengan lebih kecil 0,8 bagian dari butir beras utuh. Butir menir merupakan butir beras

dengan ukuran lebih kecil dari 0,2 bagian butir beras utuh (SNI 6128:2015).

Kualitas mutu fisik beras seperti derajat sosoh, butir patah, butir utuh, butir menir

dipengaruhi oleh penanganan pasca panen. Sebetulnya tidak hanya penanganan penurunan

kualitas hasil panen, tetapi juga faktor-faktor lain sebelum panen tersebut dilakukan. Seperti

misalnya sifat genetika dari varietas yang ditanam, mudah rebah atau tidak, mudah rontok

atau tidak dan sebaga inya, perlakuan agronomik sebelum tanam, seperti umur bibit di

pesemaian, kondisi lingkungan dan lain sebagainya (Sulardjo, 2014).

2.3 Images Processing

2.3.1 Definisi Images Processing

Citra merupakan suatu representasi kemiripan atau imitasi dari suatu obyek atau

benda. Citra digital merupakan gambar dua dimensi yang dihasilkan dari gambar/citra

analog dua dimensi yang kontinu menjadi gambar/citra diskrit (digital) melalui proses

sampling dan kuantisasi. Citra kontinu (analog) diperoleh dari sistem optik yang menerima

sinyal analog, seperti mata manusia dan kamera analog. Sampling merupakan proses

digitalisasi terhadap citra kontinu menggunakan alat pemindai atau kamera digital dengan

cara mengambil nilai diskrit koordinat ruang (x,y) dengan melewatkan citra melalui grid

(celah). Sedangkan kuantisasi merupakan proses pengelompokkan nilai tingkat keabuan

citra kontinu ke dalam beberapa level atau merupakan proses membagi skala keabuan

menjadi G buah level yang dinyatakan dengan suatu harga bilangan bulat (integer) (Sujito,

(7)

Berdasarkan hasil sampling dan kuantisasi, citra digital disusun dari sekumpulan titik

dalam matrik M baris dan N kolom. Setiap pasangan indeks baris dan kolom dalam matrik

tersebut menyatakan suatu titik pada citra. Setiap titiknya memiliki nilai yang menyatakan

nilai kecerahan titik tersebut. Titik-titik pada citra dinamakan sebagai elemen citra atau pixel

(picture elemen). Citra digital sebagai fungsi intensitas cahaya dua-dimensi f(x,y) dimana x

dan y menunjukkan koordinat spasial, dan nilai f pada suatu titik (x,y) sebanding dengan

brightness (gray level) dari citra di titik tersebut. Citra digital dapat dideskripsikan seperti

berikut (Kadir, 2013).

Gambar 1. Representasi Citra Digital dan Nilai Kecerahan Pixel Penyusun

Citra digital dapat mengalami penurunan kualitas karena adanya derau (noise). Derau

merupakan gambar atau sekumpulan pixel yang mengganggu kualitas citra. Derau dapat

disebabkan oleh gangguan fisik (optik) pada alat akuisisi maupun secara disengaja akibat

proses pengolahan yang tidak sesuai. Salah satu contoh derau adalah bintik gelap dan terang

yang muncul secara acak yang menyebar pada citra maupun latar belakangnya. Bintik acak

ini disebut dengan derau salt & pepper. Perbaikan citra yang mengalami penurunan kualitas

karena adanya derau, dapat dilakukan dengan cara memanipulasi dan memodifikasi citra

dengan berbagai cara. Perbaikan citra semacam ini disebut dengan istilah pengolahan citra

digital (Adnan, 2013).

Menurut (Mahale at al 2014), cara sederhana dari Images processing meliputi

gambar diambil menggunakan kamera warna. Gambar minimal harus berukuran 640 X 380

(8)

menyimpan gambar pada algoritma pengolahan citra desktop diterapkan di atasnya.

Kemudian dilanjutkan berdasarkan metode apa yang ingin diginakan.

Citra digital dapat dikuantifikasi menggunakan aplikasi pengolahan citra digital

untuk mendapatkan data warna yang meliputi R, G, B dan data tesktur beras yang meliputi

ASM, kontras, korelasi, IDM, dan entropi yang digunakan sebagai parameter masukan

(Adnan, 2013).

2.3.2 Format Citra Digital

Menurut Sujito dan Yunus (2016), terdapat 3 (tiga) jenis citra yang umum digunakan dalam

pengolahan citra digital. Ketiga jenis citra tersebut yaitu:

1. Citra berwarna

Citra berwarna, atau biasa dinamakan citra RGB, merupakan jenis citra yang

menyajikan warna dalam bentuk komponen warna R (red/merah), G (green/hijau), dan B

(blue/biru). Setiap titik atau pixel pada citra warna memiliki nilai warna yang dinyatakan

dalam nilai parameter R, G dan B. Setiap parameter warna menggunakan 8 bit yang nilainya

berkisar antara 0 sampai dengan 255.

2. Citra berskala keabuan (grayscale)

Citra berskala keabuan (grayscale) merupakan citra yang direpresentasikan dengan

nilai gradasi dari warna hitam ke warna putih. Gradasi warna dalam citra grayscale

menghasilkan efek warna abu-abu. Warna keabuan dinyatakan dengan nilai intensitasnya

yang berkisar antara 0 sampai dengan 255. Nilai 0 menyatakan hitam pekat dan nilai 255

menyatakan putih terang.

3. Citra biner.

Citra biner merupakan citra yang setiap piksel dinyatakan dengan nilai 0 atau 1. Nilai

0 menyatakan warna hitam pekat dan nilai 1 menyatakan warna putih terang (tidak mengenal

gradasi warna keabuan). Citra jenis ini banyak dipakai dalam pemrosesan citra tertentu,

misalnya untuk kepentingan memperoleh tepi bentuk, jumlah, keliling dan luasan suatu

objek dalam suatu citra.

2.3.3 Thresholding

Thresholding, yaitu proses pemisahan citra berdasarkan batas nilai tertentu. Proses

tersebut akan mengubah warna menjadi citra biner. Tujuan proses thresholding adalah untuk

(9)

Salah satu metode yang sering digunakan dalam pengolahan citra digital atau image

processing adalah thresholding citra. Thresholding citra adalah suatu metode yang

digunakan untuk memisahkan antara obyek dan backgroundnya. Thresholding merupakan

teknik yang sederhana dan efektif untuk segmentasi citra. Proses thresholding sering disebut

dengan proses binerisasi. Pada beberapa aplikasi pengolahan citra, terlebih dahulu dilakukan

threshold terhadap citra gray level untuk dapat menjadi citra biner (citra yang memiliki nilai

level keabuan 0 atau 255) (Shu-kai, 2007). Sebuah citra hasil proses thresholding dapat

disajikan dalam histogram citra untuk mengetahui penyebaran nilai-nilai intensitas piksel

pada suatu citra/bagian tertentu dalam citra sehingga untuk citra bimodal, histogram dapat

dipartisi dengan baik (segmentasi objek dengan background) dan dapat ditentukan nilai

threshold-nya.

2.4 Multi-layer Perceptron (MLP)

Jaringan multi-layer perceptron (MLP) merupakan salah satu model jaringan syaraf

tiruan (JST) yang memiliki bobot acak dari pelatihan backpropagation (BP) (Rahardiani et

al 2017). Multilayer Perceptron adalah topologi paling umum dari Jaringan Saraf Tiruan, di

mana perceptron-perceptron terhubung membentuk beberapa lapisan (layer). Sebuah MLP

mempunyai lapisan masukan (input layer), minimal satu lapisan tersembunyi (hidden layer),

dan lapisan luaran (output layer). Arsitektur JST ditunjukkan pada Gambar 2 (Negnevitsky,

2005).

(10)

Multi-layer Perceptron (MLP) jaringan saraf digunakan untuk analisis ukuran,

bentuk, dan jenis varietas sampel beras. Tiga belas ciri morfologi yang ditetapkan sebagai

variabel input untuk jaringan saraf sedangkan variabel keluaran yang baik ukuran, bentuk,

atau berbagai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem veloped de- mampu

mengidentifikasi ukuran sampel biji-bijian dan bentuk dengan akurasi rata-rata keseluruhan

98,76 dan 96,67%, masing-masing (Mousavi Rad et al. 2012).

Metode yang paling banyak digunakan dalam pembelajaran atau pelatihan MLP

adalah propagasi balik (back-propagation). Terdapat empat langkah yang harus dilakukan

dalam metode ini yaitu inisialisasi (initialization), aktivasi (activation), pelatihan bobot

(weight training), dan iterasi (iteration). Pada langkah inisialisasi, nilai awal bobot dan

ambang batas (threshold) ditentukan secara acak namun dalam batasan tertentu. Pada

tahapan aktivasi, diberikan masukan dan nilai keluaran yang diharapkan (desired output).

Proses penyesuaian bobot terjadi pada tahap pelatihan bobot, nilai luaran sebenarnya (actual

output) dibandingkan dengan desired output dan dilakukan penyesuaian bobot. Langkah

kedua dan ketiga diulangi sampai dengan tercapai kondisi yang ditentukan (Purwaningsih,

2016).

Algoritma MLP merupakan algoritma yang mengadopsi cara kerja jaringan saraf

pada makhluk hidup. Algoritma ini terkenal handal karena proses pembelajaran yang mampu

dilakukan secara terarah. Pembelajaran algoritma ini dilakukan dengan pengupdatean bobot

balik (back propagation). Penetapan bobot yang optimal akan berujung pada hasil prediksi

yang tepat (Setiadi, 2012).

MLP terdiri dari input layer, satu atau lebih hidden layer, dan output layer. Berikut

penjelasan masing-masing layer: (Vercellis, 2009)

a. Input layer

Input layer untuk menerima nilai masukan dari tiap record pada data. Jumlah simpul

input sama dengan jumlah variabel prediktor.

b. Hidden layer

Hidden layer mentransformasikan nilai input di dalam network. Tiap simpul pada

hidden layer terhubung dengan simpul-simpul pada hiden layer sebelumnya atau dari

simpul-simpul pada input layer dan ke simpul-simpul pada hidden layer berikutnya atau ke

simpul-simpul pada output layer. Jumlah hidden layer bisa berapa saja.

(11)

Garis yang terhubung dengan Output layer berasal dari hidden layer atau input layer

dan mengembalikan nilai keluaran yang bersesuaian dengan variable prediksi. Keluaran dari

output layer biasanya merupakan nilai floating antara 0 sampai 1 (Kusrini & Luthfi, 2009).

Langkah pembelajaran dalam algoritma backpropagation adalah sebagai berikut

(Myatt, 2007):

1. Inisialisasi bobot jaringan secara acak (biasanya antara -0.1 sampai 1.0)

2. Untuk setiap data pada data training, hitung input untuk simpul berdasarkan nilai

input dan bobot jaringan saat itu

3. Berdasarkan input dari langkah dua, selanjutnya membangkitkan output untuk

simpul menggunakan fungsi aktifasi sigmoid

4. Hitung nilai Error antara nilai yang diprediksi dengan nilai yang sesungguhnya

5. Setelah nilai Error dihitung, selanjutnya dibalik ke layer sebelumnya

(backpropagated). Untuk menghitung nilai Error pada hidden layer

6. Nilai Error yang dihasilkan dari langkah sebelumnya digunakan untuk memperbarui

(12)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Juni 2018. Tempat pelaksanaan

penelitian di Laboratorium Instrumentasi dan Energi, Program Studi Teknik Pertanian,

Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kamera penangkap citra,

komputer, dan alat peraga serta software jenis Halcon. Bahan yang digunakan pada

penelitian ini adalah beras jenis varietas Ciherang, Sanbei dan Sigupai

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Persiapan Bahan

Masing-masing varietas beras ini dilakukan sortasi untuk memisahkan beras menjadi

beberapa kriteria, yaitu butir utuh, beras kepala, butir menir, butir patah, butir merah, butir

kuning, butir gabah dan benda asing.

Tabel 2. Definisi untuk masing-masing kriteria mutu fisik beras

No Mutu Fisik Keterangan

1 Beras utuh Butir beras yang tidak ada patah sama sekali

2 Beras Kepala Butir beras dengan ukuran lebih besar atau sama dengan 0,8 bagian

dari butir beras utuh

3 Butir patah Butir beras dengan ukuran lebih besar dari 0,2 sampai dengan lebih

kecil 0,8 bagian dari butir beras utuh

4 Butir menir Butir beras dengan ukuran lebih kecil dari 0,2 bagian butir beras utuh

5 Butir kuning Beras yang berwarna kuning, kuning kecoklat-coklatan dan kuning

semu akibat proses fisik atau aktifitas mikroorganisme 6 Butir gabah Butir padi yang sekamnya belum terkelupas

7 Benda asing Benda-benda selain beras

(13)

Gambar 3. Bagian-bagian beras (SNI 6128:2008)

3.3.2 Pengambilan Gambar

Peralatan yang digunakan adalah webcam, kotak pengambilan citra, lampu PL 5 watt

2 buah, dan seperangkat komputer. Jarak kamera dengan objek adalah 20 cm. Sejumlah butir

beras diletakkan di atas background dan diatur supaya tidak terjadi tumpang tindih, kamera

diletakkan tegak lurus dengan bahan uji disertai penerangan yang memadai, terlihat pada

Gambar 4.

.

Gambar 4. Peralatan pengolahan citra digital untuk identifikasi mutu fisik beras

(14)

3.3.3 Pengolahan Citra

Setelah diperoleh gambar kemudian dilakukan pengolahan citra untuk mendapatkan

parameter yang diperlukan baik untuk proses training maupun proses validasi. Proses

training ini dilakukan terus menerus hingga tercapai data input optimal dan data input yang

sudah dicapai tersebut digunakan sebagai bahan untuk sistem pemrograman aplikasi.

Proses pengolahan citra dimulai dengan tahapan thresholding, yaitu proses

pemisahan citra berdasarkan batas nilai tertentu. Proses tersebut akan mengubah warna

menjadi citra biner. Tujuan proses thresholding adalah untuk membedakan objek dengan

latar belakangnya. Tahap selanjutnya adalah proses penghitungan nilai-nilai parameter

antara lain R, G, B, RGB rata-rata (color value), luas, keliling, panjang, hue (corak),

saturation (kejenuhan) dan intensity (HSI) dari tiap-tiap piksel citra beras, baik beras utuh,

beras kepala, butir patah, butir menir, maupun gabah.

a. Pengukuran parameter RGB (red, green dan blue).

Paramater RGB diperoleh dari tiap-tiap pixel warna pada citra butir beras yang

merupakan nilai intensitas untuk masing-masing warna merah, hijau, dan biru. Nilai

rata-rata dari R, G dan B dijumlahkan untuk mendapatkan color value atau RGB rata-rata.

Model warna RGB dapat juga dinyatakan dalam bentuk indeks warna RGB dengan

rumus sebagai berikut :

=

�+�+�

... (1)

�� �

=

�+�+�

... (2)

=

�+�+�

... (3)

b. Pengukuran parameter luas, keliling dan panjang setiap butir beras.

Parameter luas, keliling dan panjang dari setiap butir beras diukur dengan mengubah

citra ke dalam bentuk hitam putih. Sedangkan luas obyek dihitung dengan cara menghitung

jumlah piksel yang berwarna putih. Dari pengukuran luas obyek ini didapatkan hasil sebaran

nilai luas obyek dari masing-masing ukuran butir beras. Keliling obyek ditentukan

berdasarkan jumlah piksel yang membatasi obyek dengan latar belakang. Prosedur

pelacakan piksel yang membatasi obyek dengan latar belakang dilakukan dengan cara

membandingkan warna piksel obyek dengan latar belakang. Piksel obyek berwarna putih

dan piksel latar belakang berwarna hitam, maka piksel-piksel putih yang berbatasan dengan

(15)

dari penjumlahan pikselpiksel terluar. Dari pengukuran keliling obyek ini didapatkan hasil

sebaran nilai keliling obyek dari masing-masing ukuran butiran beras.

Panjang obyek diperoleh dari pengukuran jarak pada masing-masing piksel terluar

terhadap piksel terluar yang lain dari obyek tersebut. Nilai jarak tersebut kemudian

dibandingkan untuk mencari jarak yang paling panjang. Penentukan panjang digunakan

metode jarak Euclidian. Jarak diperoleh dengan mengalikan jumlah piksel dengan ukuran

piksel. Hasil pengukuran panjang obyek akan diperoleh hasil sebaran nilai panjang obyek

dari masing-masing ukuran butir beras. Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur

panjang adalah:

� [ ], [ ] = √ − + − ... (4)

c. Penghitungan parameter hue (corak), saturation (kejenuhan) dan intensity

(intensitas).

Nilai parameter HSI (Hue, Saturation, Intensity) dihitung dengan persamaan (5), (6),

dan (7). Intensity dihitung dengan menjumlahkan nilai intensitas warna merah, hijau, dan

biru (RGB) setiap pixel dari citra sehingga diperoleh algoritma untuk citra abu-abu.

cos = �−�−�

√ �−� + �−� �−� ...(5)

= −�+�+�min , , � ...(6)

=�+�+� ...(7)

3.3.4 Penyusunan Model Multi-Layer Perceptron (MLP)

Arsitektur MLP yang dibangun terdiri dari tiga lapisan (layer), yaitu input layer,

hidden layer, dan output layer. Data yang digunakan sebagai masukan pada input layer

adalah data parameter yang berasal dari pengolahan citra, jumlah noda pada input layer

sebanyak 10 unit, yaitu berupa intensitas warna merah (R), hijau (G), biru (B), RGB

rata-rata (Color Value), luas, keliling, panjang, dan HSI. Output layer terdiri dari 7 unit yaitu,

butir utuh, beras kepala, butir menir, butir patah, butir merah, butir kuning, butir gabah dan

benda asing.. Sedangkan jumlah noda pada hidden layer adalah sebanyak (2*n)= 20 noda.

Data-data parameter yang dihasilkan pada pengolahan citra merupakan input dalam

jaringan syaraf tiruan. Algoritma yang digunakan dalam jaringan jaringan syaraf tiruan

adalah algoritma backpropagation dengan laju pembelajaran (learning rate) 0,3 dan Logistic

Const 0,5. Menurut Rich dan Knight (1983), algoritma pelatihan backpropagation adalah

(16)

1. Inisialisasi.

a. Normalisasi data input xi dan data target tk dalam range (0,1).

b. Seluruh pembobot (wij dan yjk) awal diberi nilai random antara -1,1.

c. Inisialisasi aktivasi thresholding unit, x0 = 1 dan h0 = 1.

2. Aktivasi unit-unit dari input layer ke hidden layer dengan fungsi:

ℎ =

+ − ∑ ... (8)

dimana:

wij = pembobot w yang menghubungkan node unit ke-i pada input layer dengan noda

ke-j pada hidden layer.

3. Aktivasi unit-unit dari hidden layer ke output layer dengan fungsi:

= + −� ∑ ℎ ... (9)

dimana :

σ = Konstanta logistik (logistic contant).

vjk = Pembobot v yang menghubungkan node unit ke-j pada hidden layer dengan noda

ke-k pada output layer.

4. Menghitung error dari unit-unit pada output layer (δk) dan penyesuaiandengan bobot vjk

� = − � − ... (10)

5. Menghitung error dari unit-unit pada hidden layer (j) dan menyesuaikannya dengan

bobot Wij

� = ℎ − ℎ ∑ � ... (12)

= � � + �� ... (13)

6. Training set (learning) dihentikan jika yk mendekati tk Proses pembelajaran juga dapat

dihentikan berdasarkan error. Salah satu persamaan untuk nilai error adalah dengan

menggunakan Root Mean Square Error (RMSE).

� � = √∑� � −

(17)

����� % =∑

Keseluruhan proses ini dilakukan pada setiap contoh dari setiap iterasi sampai

sistemmencapai keadaaan optimum. Iterasimencakup pemberian contoh pasangan input dan

output, perhitungan nilai aktivasi danperubahan nilai pembobot.

3.3.5 Validasi Model

Validasi dilakukan sebagai proses pengujian kinerja jaringan terhadap contoh yang

belum diberikan selama proses training. Kinerja jaringan dapat dinilai berdasarkan nilai

RMSE (Root Mean Square Error) pada proses generalisasi terhadap contoh data

input-output baru, nilai RMSE dapat dinotasikan sebagai:

� � =√∑ �−

� =

� ... (16)

dimana :

p : nilai prediksi yang dihasilkan oleh jaringana

a : nilai target yang diberikan pada jaringan.

n : jumlah contoh data pada set data validasi

Proses validasi dilakukan dengan memasukkan nilai data contoh set input-output

yang diberikan selama proses training. Jika MLP telah berhasil selama proses pelatihan dan

(18)

Gambar 5. Diagram alir prosedur penelitian

START

Persiapan Bahan dan Sampel

Penentuan jarak kamera, penyinaran dan latar belakang

Sesuai?

Pengambilan citra

Penentuan parameter mutu fisik beras

Program pengolahan citra

R, G, B, Color value, Luas, Keliling, Panjang, HSI

Sesuai?

Training

Penentuan bobot

Validasi

Sesuai?

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan; suhartini dan B. Kusbiantoro. 2013. Identifikasi Varietas Berdasarkan Warna dan

Tekstur Permukaan Beras Menggunakan Pengolahan Citra Digital dan Jaringan

Syaraf Tiruan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. Merauke.

Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. 2016. Produktivitas Tanaman Padi dan Palawija Aceh.

Aceh.

Badan Standarisasi Nasional. (2008). SNI 6128. 2008. Beras. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. (2015). SNI 6128. 2015. Beras. Jakarta.

Correa, P.C., F.S.D. Silva, C. Jaren, P.C.A. Junior, and I. Arana. 2007. Physical and

mechanical properties in rice processing. Journal of Food Engineering 79: 137-142.

Kadir, A. dan A. Susanto. 2013. Teori dan Aplikasi Pengolahan Citra. Yogyakarta: Andi

Offset.

Kusrini, & Luthfi, E. T. (2009). Algoritma Data Mining. Yogyakarta: Andi Publishing.

Mousavi R. S., Akhlaghian T. F. and Mollazade K. (2012) Application of imperialist

competitive algorithm for feature selection: a case study on bulk rice classification.

Int J Comput Appl 40:41–48

Myatt, Glenn J. (2007). Making Sense of Data: A Practical Guide to Exploratory Data

Analysis and Data Mining. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Negnevitsky, M. 2005. Artificial Intelligence: A Guide to Intelligent Systems (2nd ed.).

Pearson Education.

Purwaningsih, N. 2016. Penerapan Multilayer Perceptron Untuk Klasifikasi Jenis Kulit

(20)

Rahardiani, N. O., Wayan F. N., dan Indriati I. 2017. Optimasi Bobot Multi-Layer

Perceptron Menggunakan Algoritma Genetika Untuk Klasifikasi Tingkat Resiko

Penyakit Stroke. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer,

vol. 2, no. 8, p. 2352-2360, ISSN 2548-964X.

Rathi, S., R.N.S. Yadav, and R.N. Sarma. 2010. Variability in grain quality characters of

upland rice of Assam, India. Rice Science 17(4): 330-333.

Rich, E. and Knight, K. (1983). Artificial Intelligent. Second Edition. McGraw-Hill Inc.

Singapore.

Sadeghi M, Nasrnia E, Masoumi A, Hemmat A (2013) Head rice yield response to low and

high drying and tempering conditions. Int Agrophys 27:219–223.

Setiadi, A. 2012. Penerapan Algoritma Multilayer Perceptron Untuk Deteksi Dini Penyakit

Diabetes. Paradigma Vol. XIV. NO. 1.

Shu-Kai S., and Yen L. 2007. “A multi- level thresholding approach using a hybrid optimal

estimation algorithm”. Pattern Recognition Latters., vol. 28, pp. 662-669

Singh, N., L. Kaur, N.S. Sodhi, and K.S. Sekhon. 2005. Physicochemical, cooking and

textural properties of milled rice from diûerent Indian rice cultivars. Food Chemistry

89: 253–259.

Somantri, A. S., E. Darmawati., I. W. Astika. 2013. Identifikasi mutu fisik beras dengan

menggunakan teknologi pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan. Jurnal

Pascapanen. 10(2): 95-103.

Somantri, A. S., Miskiyah., Sigit N. 2014. Penentuan Kualitas Giling Beras Menggunakan

(21)

Sujito dan M. Yunus. 2016. Pemutuan Fisik Beras Dengan Teknik Pelabelan Flood Filling

Dan Pengukuran Parameter Rgb Citra Digital. Jurnal Informatika Merdeka Pasuruan

Vol.1, No.3. e-ISSN. 2503-1945

Sulardjo. 2014. Penanganan Pascapanen Padi. Magistra No. 88 Th. XXVI. ISSN 0215-9511

Tjitrosoepomo, Gembong.2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada

University Press: Yogyakarta

Varnamkhasti, M., G. Hossein, H. Mobli, A. Jafari, S. Rafiee, M. Heidarysoltanabadi, and

K. Kheiralipour. 2007. Some engineering properties of paddy (var. Sazandegi). Int.

J. Agri. Biol. 9(5): 763-766.

Vercellis, C. (2009). Business Intelligent: Data Mining and Optimizzation for Decision

Making. Southern Gate, Chichester, West Sussex, United Kingdom : John Wiley &

Gambar

Gambar 1. Representasi Citra Digital dan Nilai Kecerahan Pixel Penyusun
Gambar 2. Arsitektur JST
Tabel 2. Definisi untuk masing-masing kriteria mutu fisik beras
Gambar 3. Bagian-bagian beras (SNI 6128:2008)
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Setelah parameter hasil pengolahan citra didapat, data tersebut digunakan sebagai masukan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) untuk menentukan tingkat kematangan dengan menggunakan

Program identifikasi dengan media biometrik citra iris mata yang menggunakan Metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST) terdiri dari dua tahap, yaitu proses pelatihan

Identifikasi kata maju dan mundur dilakukan dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan yang sama dengan jaringan syaraf tiruan buat training dengan bobot yang digunakan adalah

Pada penelitian tersebut digunakan jaringan syaraf tiruan, keakuratan model JST yang paling ideal adalah menggunakan parameter hasil pengolahan citra sebagai data masukan

Setelah parameter hasil pengolahan citra didapat, data tersebut digunakan sebagai masukan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) untuk menentukan tingkat kematangan dengan menggunakan

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi plat nomor kendaraan berdasarkan wilayah menggunakan jaringan syaraf tiruan berbasis pengolahan citra digital, dengan mengambil

Pada penelitian tersebut digunakan jaringan syaraf tiruan, keakuratan model JST yang paling ideal adalah menggunakan parameter hasil pengolahan citra sebagai data masukan

Secara umum teknik yang digunakan untuk deteksi deteksi keberadaan objek lubang pada jalan raya ini dengan menggunakan pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan