• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMKESETARAANGENDERDALAMAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROBLEMKESETARAANGENDERDALAMAL"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah

PROBLEM KESETARAAN GENDER

DALAM AL-QUR’AN

Pada Mata Kuliah Teori Pendidikan Islam Kontemporer

Dosen:

Dr. Muhammad Anis, M.A

Oleh

Syarifan Nurjan, MA

PROGRAM STRATA TIGA (S3)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

DAFTAR ISI

A. Pendahuluan

B. Problem Kesetaraan Gender

B.1. Kesetaraan dalam Penciptaan

B.2. Kesetaraan dalam Hak Kenabian

B.3. Kesetaraan dalam Perkawinan

B.4. Kesetaraan dalam Kewarisan

B.5. Kesetaraan dalam Peran Publik

C. Penutup

(3)

PROBLEM KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN

A. Pendahuluan

Dalam dua dekade ini, feminisme mulai banyak dibicarakan di kalangan akademisi Indonesia, baik dalam tinjauan yang bersifat umum – terutama menyangkut hak-hak dan pemberdayaan perempuan – maupun yang dikaitkan dengan pemikiran Islam – terutama tentang penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah perempuan.

Banyaknya pembicaraan tentang feminisme ini didorong oleh keprihatinan terhadap realitas kecilnya peran perempuan dalam kehidupan sosial-ekonomi, apalagi politik dibandingkan dengan peran laki-laki. Peran-peran publik didominasi oleh laki-laki, sementara perempuan lebih banyak memainkan domestik, baik sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.

Dominasi laki-laki dalam peran publik dan domestikasi perempuan bukanlah hal yang baru, tetapi sudah berlangsung sepanjang perjalanan sejarah peradaban umat manusia. Oleh sebab itu tidak heran kalau kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sudah bersifat alami atau kodrati. Anggapan umum seperti itu ditolak oleh feminisme. Dalam feminisme, konsep seks dibedakan dengan gender. Perbedaan-perbedaan biologis dan fisiologis adalah perbedaan seks, sedangkan yang menyangkut fungsi, peran, hak, dan kewajiban adalah konsep gender. Yang kodrati, alami, hanya seks bukan gender. Gender adalah hasil konstruksi sosial-kultural sepanjang sejarah kehidupan manusia. Bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan lain-lain adalah konsep gender hasil konstruksi sosial dan kultural, bukan kodrati atau alami (Mansour Fakih, 1996: 8-9).

Konstruksi gender dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor: sosial, kultural, ekonomi, politik, termasuk penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Feminisme mengkaji secara kritis berbagai macam konstruksi gender yang ada dan berkembang di masyarakat dengan menggunakan paradigma kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu tema kajian feminisme yang menarik dalam hubungannya dengan pemikiran Islam adalah kajian kritis tentang konsep kesetaraan gender dalam Al-Qur’an.

(4)

Al-Hujuraat ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status yang sama di sisi Allah. Mulia dan tidak mulianya mereka di sisi Allah ditentukan oleh ketaqwaannya, yaitu sebuah prestasi yang dapat diusahakan. Secara khusus kesetaraan laki-laki dan perempuan itu ditegaskan oleh Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 35 bahwa laki-laki dan perempuan yang muslim, yang mu’min, yang tetap dalam ketaatannya, yang benar, yang sabar, yang khusyu’, yang bersedekah, yang berpuasa, yang memelihara kehormatannya, yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

Namun demikian, dalam beberapa ayat yang lain, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tersebut. Misalnya problem kesetaraan muncul dalam masalah penciptaan laki-laki (Adam AS) dari tanah, sementara perempuan (Hawa) dari tulang rusuk Adam. Dalam tugas-tugas keagamaan problem kesetaraan muncul mulai dari tidak adanya perempuan jadi Nabi dan tidak bolehnya perempuan mengimami jamaah laki-laki dalam shalat, atau jadi khatib shalat Jum’at dan ’Idain (penafsiran terhadap ayat-ayat tentang shalat berdasarkan hadits Nabi), bahkan kaum perempuan tidak dibolehkan shalat selagi mereka haidh.

Dalam perkawinan muncul problem kesetaraan dalam masalah perwalian (laki-laki boleh menikah tanpa wali, sedangkan perempuan harus pakai wali), perceraian (mengapa hak menjatuhkan talak hanya ada pada laki-laki), poligami (laki-laki boleh poligini sedangkan perempuan tidak boleh poliandri), nikah beda agama (mengapa laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan Ahlul Kitab, sementara perempuan Muslimah tidak diizinkan menikah dengan laki-laki non-Muslim mana pun, termasuk dengan Ahlul Kitab). Dalam bidang lain muncul problem kesetaraan dalam masalah pembagian warisan (anak laki-laki dapat dua bagian anak perempuan), kesaksian dalam transaksi kredit (formula dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dua perempuan). Dan juga problem kesetaraan muncul dalam masalah pembagian tugas publik dan domestik antara laki-laki dan perempuan.

B. Problem Kesetaraan Gender B.1. Kesetaraan dalam Penciptaan

(5)

macam penciptaan di atas penciptaan Hawa lah yang tidak disebutkan secara jelas dan terperinci mekanismenya. Beberapa ayat Al-Qur’an (Q.S. An-Nisa’ 4:1; Al’Araf 7: 189; Az-Zumar 39:6) hanya menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan dari diri yang satu itu (ditafsirkan sebagai Adam) pasangannya (ditafsirkan sebagai Hawa). (Yunahar Ilyas, 2006: 185).

Karena Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit tentang penciptaan Hawa (pasangan Adam) maka para mufasir berbeda dalam penafsirkannya. Para mufasir klasik seperti ath-Thabari (w. 210 H), az-Zamakhsyari (w. 538H/1144 M), Ibn Katsir (w. 774 H) dan al-Alusi w. 1270 H/1854 M) berpendapat bahwa manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT adalah Adam dan yang kedua Hawa. Adam diciptakan dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pendapat mereka berdasarkan penafsiran terhadap Surat An-Nisa ayat satu ditambah dengan hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim.

Frasa nafs wahidah dan jauzaha ditafsirkan masing-masing sebagai Adam dan Hawa. Sedangkan huruf min yang terdapat dalam kalimat wakhalaqa minha jauzaha

ditafsirkan sebagai min tab’idhiyah yang berarti sebagian. Dengan demikian Hawa diciptakan dari sebagian Adam. Lalu hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim lah yang menjelaskan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Ath-Thabari, 1988: 224-5, Az-Zamakhsyari, 1977: 492, Ibn Katsir, 1997: 548, Al-‘Alusi, 1987).

Berbeda dengan empat mufasir di atas, ar-Razi – mengikuti pendapat Abu Muslim al-Ishfahani – menyatakan bahwa Allah SWT tidak menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, tetapi dari tanah seperti penciptaan Adam. Apa gunanya Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, padahal Dia mampu menciptakannya dari tanah. Kalimat

wakhalaqa minha jauzaha ditafsirkan bahwa Allah menciptakan Hawa dari jenis yang sama dengan Adam. (Shahih Muslim, No. 4748)

(6)

Tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, Hamka dan Hasbi menolaknya dengan tegas. Bagi keduanya hadits-hadits tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam harus dimaknai secara metaforis bukan literer. Hadits-hadits itu menurut mereka berbicara tentang keadaan jiwa perempuan yang diumpamakan dengan tulang yang bengkok, jadi bukan perempuan benar-benar diciptakan dari tulang yang bengkok. (Hamka, 1987: 217, Hasbi Ash-Shiddiqy, 1995: 752).

B.2. Kesetaraan dalam Hak Kenabian

Secara historis, dari 25 orang nabi dan rosul yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, tidak ada seorang pun yang berjenis kelamin perempuan. Semuanya laki-laki, mulai dari Nabi Adam AS sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi realitas itu bukan berarti tidak ada seorang pun nabi selain yang 25 itu yang berjenis kelamin perempuan.

Walaupun tidak disepakati, beberapa tokoh perempuan yang disebut di dalam Al-Qur’an diyakini sebagai Nabi. Sarah isteri Nabi Ibrahim, Ibu Nabi Musa, dan Maryam ibu Nabi Isa adalah tiga orang yang disebut-sebut – sebagaimana dikutip Ibnu Katsir – oleh sebagian mufasir sebagai nabi-nabi perempuan. Ayat-ayat yang digunakan sebagai dalil kenabian tiga tokoh perempuan itu adalah Surat Hud ayat 71-73 untuk kenabian Sarah, Surat Al-Qashash ayat 7 untuk kenabian Ibu Nabi Musa, dan Ali Imron ayat 42, 43, dan 45 untuk kenabian Maryam.

Pertanyaan yang penting dianalisis adalah apakah memang ketiga ayat tersebut menyatakan bahwa semua nabi itu laki-laki? Kata rijalan yang digunakan memang dapat diartikan sebagai laki-laki, tetapi tidak selamanya bermaksud laki-laki. Al-Qur’an juga menggunakan kata ini untuk menunjukkan pengertian manusia atau orang-orang (baik laki-laki maupun perempuan).

Jika dilihat ayat-ayat sebelumnya, tidak ditemukan konteks langsung kenapa penegasan itu disampaikan, baik kata rijalan diterjemahkan laki-laki maupun manusia. Surat Yusuf berkisah panjang lebar tentang Nabi Yusuf AS. Begitu juga dalam Surat An-Nahl, tidak terlihat ada hubungan langsung antara pernyataan ayat 43 dengan ayat-ayat sebelumnya. Demikian juga dalam Surat Al-Anbiya’, tidak terlihat hubungan langsung pernyataan para rasul semuanya rijalan itu dengan ayat-ayat sebelumnya. (Yunahar Ilyas, 2006: 202).

(7)

menegaskan bahwa semua Rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad SAW adalah manusia, bukan malaikat. Jadi tidak relevan menolak kerasulan Nabi Muhammad hanya karena dia seorang manusia. Jika kalian tidak tahu, kata Allah kepada orang-orang kafir yang menolak itu, apakah para Rasul sebelum Muhammad itu manusia atau malaikat, tanyakanlah kepada para Ahli Kitab Taurat dan Injil, mereka akan memberikan penjelasan kepada kalian, bahwa seluruh Rasul-rasul terdahulu adalah manusia, bukan malaikat. Dari keterangan para mufasir itu terlihat bahwa yang dipersoalkan oleh orangorang kafir Quraisy bukanlah laki-laki atau perempuannya Nabi Muhammad, tetapi manusia dan malaikatnya. Mereka menginginkan yang diutus oleh Allah kepada mereka bukan manusia, tetapi malaikat. (Ath-Thabari, 1988, XVII: 4-5, Az-Zamakhsyari, 1977, II: 564, Ibn Katsir, 1997, III: 220, Al-‘Alusi, 1987, XVII: 12).

B.3. Kesetaraan dalam Perkawinan

Dalam perkawinan muncul problem kesetaraan dalam lima masalah: (1) Perwalian (perempuan harus menikah dengan wali, sedangkan laki-laki tidak); (2) Perceraian (kenapa hak menjatuhkan talak hanya ada pada laki-laki, tidak pada perempuan); (3) Poligami (laki-laki boleh poligini sedangkan perempuann tidak boleh poliandri); (4) Perkawinan beda agama (kenapa laki-laki Muslim boleh menikah perempuan Ahlul Kitab, sementara perempuan muslimah tidak diizinkan menikah dengan laki-laki non Muslim manapun, termasuk Ahlul Kitab); dan (5) Kepemimpinan dalam keluarga (kenapa yang ditetapkan secara sepihak menjadi pemimpin dalam rumah tangga adalah suami, bukan isteri, atau kedua-duanya secara bersamaan).

Ulama’ berbeda pendapat tentang khithab perwalian dalam Surat Al-Baqarah 232 dan An-Nur 32; ada yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman, para wali, dan para suami, dengan demikian berdampak pada hukum yang menyatakan tidak sah pernikahan seorang perempuan tanpa wali, ada yang mensahkan sekalipun tanpa persetujuan wali, dan ada juga yang moderat, mengambil jalan tengah antara keduanya, yaitu tidak menyatakan secara tegas tidak sah pernikahan perempuan tanpa wali, tetapi hanya menyatakan seorang perempuan tidak boleh mengabaikan pertimbangan walinya.

(8)

ahli fiqh pun yang berpendapat bahwa perempuan boleh mempunyai suami lebih ari satu dalam waktu bersamaan. Jangankan mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu bersamaan, menikah lagi dalam masa iddahpun tidak dibolehkan. Seorang perempuan yang sudah dicerai oleh suaminya, baru boleh dilamar oleh laki-laki lain setelah habis masa iddahnya dan selama masa iddah itu mantan suaminya tidak rujuk kepadanya.

Adapun perkawinan beda agama, para mufasir sepakat menyatakan bahwa laki-laki mukmin dibolehkan menikah dengan perempuan Ahlul Kitab, tetapi mereka berbeda dalam mendefinisikan siapa Ahlul Kitab itu, apakah semua pemeluk Yahudi dan Nasrani, atau yang dibatasi oleh sifat-sifat seperti tidak musyrik dan tidak memerangi Islam. Para mufasir sama sekali tidak membahas mengapa hanya laki-laki yang dibolehkan menikah dengan perempuan Ahlul Kitab, sedangkan perempuan tidak diizinkan. Bagi Hamka, adalah karena posisinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Kalau perempuan Muslimah dibolehkan kawin dengan laki-laki Ahlul Kitab, dikhawatirkan dia tidak dapat mempertahankan keimanannya karena pengaruh suaminya. (Hamka, 1987, XXXVIII: 140)

Mengenai kepemimpinan dalam keluarga yang diskriminatif, berangkat dari kata

qawwam dalam Surat An-Nisa’ ayat 34. Ath-Thobari menafsirkannya dengan ”kaum lakilaki berfungsi mendidik dan membimbing isteri dalam melaksanakan kewajiban terhadap Allah”, Az-Zamakhsyari menafsrikan kalimat itu dengan ”kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagai pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya. Bagi Ar-Razi kalimat ini berarti ”kaum laki-laki berkuasa untuk mendidik dan membimbing isteri, seolah-olah Dia Yang Maha Tinggi menjadikan suami sebagai amir dan pelaksana hukum yang menyangkut hak isteri”. Menurut Hamka, lakilaki menjadi pemimpin atas perempuan adalah kenyataan, yang bukan sekedar realitas sosial, tetapi sudah merupakan naluri atau instink. (Ath-Thabari, 1988, V: 57, Az-Zamakhsyari, 1977, I: 523, Ar-Razi, 1995, X: 91).

(9)

B.4. Kesetaraan dalam Kewarisan

Disamping masalah perkawinan, hal lain yang diterangkan secara rinci hukumnya di dalam Al-Qur’an adalah masalah kewarisan. Rincian itu terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 11-12 dan 176. Dalam ayat tersebut diuraikan secara terperinci ketentuan pembagian warisan. Siapa-siapa yang berhak mendapat warisan, berapa bagian masing-masing, kapan seorang dapat warisan tetap, serta kapan seseorang memperoleh hak warisan berdasarkan dua sistem tersebut (tetap dan kelebihan), siapa-siapa ahli waris yang terhalang haknya oleh ahli waris yang lain berdasarkan kedekatan hubungan darah atau kerabat, baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan ketentuan-ketentuan lain tentang warisan. Bagian masing-masing ahli waris dalam dua ayat itu tidak hanya disebutkan secara global tetapi terperinci dengan menggunakan angka-angka pecahan seperti 1/8, 1/6, 1/4, 1/3, 1/2, dan 2/3.

Khusus mengenai hak waris kaum perempuan, dalam dua ayat di atas dijelaskan dengan terperinci dalam berbagai variasi, status dan keberadaan ahli waris lain dengan bagian yang variatif pula. Misalnya sebagai ibu, dia dapat 1/6 jika yang meninggal punya anak, dan 1/3 jika yang meninggal tidak punya anak. Sebagai isteri, dia dapat 1/8 jika yang meninggal punya anak dan 1/4 jika yang meninggal tidak punya anak. Sebagai anak, dia dapat 1/2 jika seorang diri, 2/3 bersama-sama dengan anak perempuan yang lain (jika tidak ada anak laki), dan separo bagian anak laki jika bersama dengan anak laki-laki. Semua pembagian itu setelah dikurangi untuk pembayar hutang dan wasiat ahli waris.

Problem kesetaraan adalah ketentuan yang terdapat pada awal ayat 11 yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Ibn Katsir, al-Alusi, ar-Razi, Rasyid Ridha, menyatakan demikian karena laki-laki membutuhkan harta lebih banyak daripada perempuan, karena laki-laki memerlukan harta untuk keperluan diri dan isterinya, sehingga dengan demikian dia mendapatkan dua saham/bagian. Sementara perempuan hanya memerlukan harta untuk dirinya sendiri sebelum dia menikah, kalau sudah menikah biaya hidupnya menjadi tanggungjawab suaminya. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh al-Maraghi, Hamka, dan Hasbi. (Ibn Katsir, I: 505, Al-Alusi, II: 217, Rasyid Ridha, IV: 406, Al-Maraghi IV: 196, Hamka, IV: 280, Hasbi, I: 768).

B.5. Kesetaraan dalam Peran Publik.

(10)

Peran ini biasa disebut dengan sebutan ibu rumah tangga. Sedangkan yang kedua berarti peran perempuan di masyarakat, baik dalam rangka mencari nafkah maupun untuk aktualisasi diri dalam berbagai aspek kehidupan; sosial-politik-ekonomi-pendidikandakwah dan lain sebagainya.

Jika diteliti dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam sector publik, sebagaimana halnya mereka berperan dalam sektor domestik. Surat An-Naml ayat 20-44 menceritakan tentang Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, seorang perempuan yang memimpin Kerajaan Saba’. Dalam ayat 22 dan 23 disebutkan laporan burung Hud-hud kepada Nabi Sulaiman. Dalam Surat Al-Qashash disebutkan kisah Nabi Musa dengan dua orang puteri Nabi Syu’aib di Madyan. Dalam ayat 23 disebutkan Nabi Musa menyaksikan dua orang puteri Nabi Syu’aib menunggu giliran untuk menimba air untuk minuman ternak mereka. Memelihara dan memberi minum ternak termasukan pekerjaan publik dalam rangka mencari nafkah.

Dalam Surat At-Taubah ayat 71 disebutkan bahwa perempuan beriman, tolong menolong, bahu membahu dengan laki-laki beriman dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Tugas dakwah amar ma’ruf nahi mungkar sekalipun dapat dilakukan di dalam rumah, tetapi tidaklah terbatas dalam rumah tangga semata, tetapi juga di masyarakat (peran publik). Dalam Surat An-Nahl ayat 97 lebih jelas lagi Allah memberi peluang dan menghargai sama laki-laki dan perempuan untuk melakukan amal saleh. Amal saleh, tentu saja tidak hanya terbatas pada amal-amal yang bersifat domestik, tetapi menyangkut juga amal-amal yang bersifat publik.

Demikianlah beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa perempuan memiliki peluang melakukan peran publik sama dengan peluang yang diberikan kepada laki-laki. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam peran publik. Problem kesetaraan baru muncul tatkala ada beberapa ayat yang memberikan kesan diskriminatif terhadap perempuan, misalnya Surat Al-Ahzab ayat 33 dan Surat Al-Baqarah ayat 282. Yang pertama tentang domestikasi perempuan dan yang kedua tentang kesaksian perempuan.

C. Penutup

(11)

kesetaraan. Apabila kesetaraan diartikan bahwa segala sesuatu harus sama, maka tentu saja dalam beberapa ayat yang ditafsirkan terlihat diskriminatif terhadap perempuan. Tetapi apabila kesetaraan diartikan secara proporsional, maka perbedaan status, hukum, hak, dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan tidak dapat dinilai sebagai diskriminatif terhadap perempuan, karena perbedaan-perbedaan itu sebagian oleh fitrah masing-masing dan yang lain bersifat teknis fungsional. Dengan pemahaman tentang kesetaraan yang proporsional itulah, penafsiran yang jernih dapat dilakukan, yaitu penafsiran yang tidak diskriminatif, tidak apologis, tidak bias – baik bias laki-laki dan patriarkhis maupun bias perempuan dan matriarkhis – dan tidak pula misoginis terhadap perempuan. Disamping jernih, diperlukan juga penafsiran yang seimbang antara teks dan konteks, baik konteks saat ayat-ayat tersebut diturunkan, maupun konteks ayat-ayat itu ditafsirkan.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian lapangan tentang sejauh mana terjadi kesalahpahaman terhadap ayat-ayat tentang kesetaraan gender dalam masyarakat, dan bagaimana dampaknya dalam perilaku mereka, karena sebagian dari norma yang ditetapkan oleh Qur’an bersifat kontekstual, sementara studi tentang kontekstualitas penafsiran Al-Qur’an tersebut masih bersifat umum dan sporadis, maka perlu dilakukan penelitian yang komprehensif terhadap ayat-ayat Al-Qur’an – khususnya yang mempunyai konsekwensi kesetaraan – yang bersifat kontekstual.

Daftar Bacaan

Al-Alusi al-Baghdadi, Abu al-Fardhal Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-’Azhim wa as-Sab’i al-Matsani, Beirut: Dar al-Fikr, 1987.

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terjemahan Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Agustina, Nurul dan Nashrullah Ali-Fauzi, ”Perempuan dalam Perbincangan”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No.5 dan 6, Vol. V, tahun 1994

Agustina, Nurul, ”Tradisionalisme Islam dan Feminisme”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan

(12)

Anshari, Dadang S dkk, Membincangkan Feminisme, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997

Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, terjemahan S. Herlina, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Engineer, Ashgar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajdi dan Cici FA, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994.

Faqih, Mansoer, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

---, ”Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam: Tinjauan Analisis Gender”, Makalah Seminar Nasional Pengembangan Pemikiran Keislaman dalam Muhammadiyah: Antara Purifikasi dan Dinamisasi, Kerjasama Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan LPPI UMY, Yogyakarta 22-23 Juni 1996.

Ibn Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, al-Hafizh ’Imad ad-Din Abu al-Fada’ Ismail, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Riyadh: Dar ’Alam al-Kutub, 1997.

Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an Studi Pemikiran Para Mufasir,

Yogyakarta: Labda Preass, 2006.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ar-Razi, Al-Imam Fakhr ad-Din, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung; Mizan, 1992.

______, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.

______, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 1 dan 2, Jakarta: Lentera Hati, 2000.

Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 1999.

(13)

Az-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-A’zhim, Manahil al-‘Irfan fi “Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, t.t.

Referensi

Dokumen terkait

Tesis magister berjudul Hubungan Desain Interior dan Ketersediaan Koleksi Buku dengan Minat Kunjung Mahasiswa di Perpustakaan IAIN Palopo yang ditulis oleh Yonsen

Permasalahan selanjutnya adalah tidak semua guru di sekolah terutama guru di tingkat Sekolah Dasar mampu membuat atau merancang alat peraga pembelajaran sebagai alat bantu

Tugas Akhir ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai derajad ahli madya keuangan perbankan yang diajukan pada Program Studi D-III

Stock split adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh perusahaan go-public untuk menaikkan jumlah saham yang beredar ( Brigham dan Gapenski, 1992:506). Aktivitas tersebut

Pada kegiatan inti, peneliti menyajikan materi secara garis besar dan memotivasi siswa untuk mengungkapkan sekilas materi yang akan dipelajari yang mereka

Memuat sumber-sumber yang diacu di dalam penulisan artikel, hanya sumber-sumber yang digunakan yang dimuat dalam daftar pustaka.. Artikel berupa hasil pemikiran, analisis ilmiah,

Indikasi dari isoniazid adalah tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain, sedangkan kontraindikasinya adalah penyakit hati yang aktif hipersensitifitas terhadap

atau organ tubuhnya sendiri karena diangap sebagai sesuatu yang asing, maka tubuh juga akan menyerang sel- sel dalam kelenjar tiroid sehingga sel- sel mati dan