• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketiadaan Hegemonic Power dalam Pembentu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ketiadaan Hegemonic Power dalam Pembentu"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Ketiadaan Hegemonic Power dalam Pembentukan Instrumen Hukum mengenai Pelarangan Senjata Nuklir 2017

Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional

Oleh:

Nadia Fausta Azhara 14/363708/SP/26060

Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional

(2)

ABSTRACT

Years of nuclear non-proliferation negotiations had always been meeting deadlocks. Until the end of 2015 when the United Nations (UN) formed an open-ended working group (OEWG) on nuclear disarmament that brings a whole new discourse on nuclear disarmament based on evidence and humanitarian reasons, and puts aside the course of security dilemma and national interests that most likely cause the deadlock. The OEWG succeeded to conduct an L.41 draft resolution at 2016. Soon after the resolution is adopted by the UN, the world is ready to build a new international regime on nuclear non-proliferation that no single state is able to blockade the agreement. Nuclear weapons will be completely banned from existing in this world. But the strong rejections shown by Nuclear Weapon States against the plan, including powerful and hegemonic state like the U.S., invites further debates on whether this regime will work well to achieve its goal even without the help of powerful actor.

(3)

Pembahasan mengenai konsep Hegemonic Stability memiliki kaitan yang erat dengan pembahasan mengenai pembentukan rezim internasional berdasarkan power. Kerjasama dapat terbentuk dan mampu meminimalisir kemungkinan untuk defect atau ingkar oleh para anggotanya jika terdapat suatu negara yang memiliki power untuk menjadi stabilisator [CITATION Has04 \p 84 \l 1057 ]. Negara tersebut harus memiliki sumber daya yang cukup agar dapat mempengaruhi negara-negara lain untuk melakukan apa yang diinginkannya. Konsep tersebut akan ditelaah lebih lanjut di dalam makalah ini untuk melihat fenomena pengadopsian draf resolusi pembuatan instrumen hukum yang melarang penggunaan dan mengharuskan pemusnahan senjata nuklir oleh Majelis Umum PBB pada 28 Oktober 2016 lalu—disebut sebagai resolusi L.41. Meski sebanyak 123 negara mendukung resolusi tersebut, namun negara-negara pemilik senjata nuklir seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan sebagainya, serta aliansi-aliansinya menolak pengesahan resolusi tersebut. Pasalnya, perundingan pembentukan rezim antinuklir akan tetap berjalan tanpa persetujuan dari negara-negara yang mendukung penggunaan senjata nuklir. Sebab, meski perundingan akan dilaksanakan secara inklusif namun mekanisme voting yang digunakan [ CITATION Int16 \l 1057 ] menutup kemungkinan bagi negara-negara tersebut untuk memblokir hasil yang telah disetujui oleh mayoritas negara [ CITATION Ach16 \l 1057 ].

Selama ini berbagai perundingan upaya non-poliferasi nuklir berujung pada deadlock tanpa adanya kesepakatan bersama untuk merumuskan solusi yang dapat diterapkan. Alih-alih hanya membentuk norma yang menyebutkan bahwa senjata nuklir adalah ilegal. Perdebatan panjang berputar pada anggapan bahwa nuklir masih relevan disebut sebagai alat deterrence yang efektif di dalam sistem internasional yang anarkis. Sedangkan draf resolusi yang diusulkan oleh open-ended working group (OEWG) on nuclear disarmament kali ini menggunakan pendekatan kemanusian atau evidence-based untuk mengumpulkan kesadaran dan dukungan lebih banyak hingga akhirnya resolusi tersebut berhasil diadopsi [ CITATION Rea16 \l 1057 ].

(4)

pengaruh yang besar, tidak hadir menjadi hegemon yang mampu menjamin keberlangsungan rezim tersebut.

Konsep Hegemonic Stabilityoleh Charles Kindleberger

Buku ‘The World in Depression 1929-1939’ menyajikan ide dasar Kindleberger mengenai teori Hegemonic Stability. Ia berpendapat bahwa agar mencapai sistem ekonomi yang stabil dan tidak mengarah pada krisis, dibutuhkan sosok pemimpin atau yang kemudian disebut sebagai hegemon. Baginya, pemimpin dalam sistem internasional adalah sebuah negara yang memiliki power yang besar berdasarkan kemampuannya dalam bidang ekonomi, politik, dan keamanan. Kemampuan tersebut penting untuk menjamin ketersediaan public goods demi keadaan yang stabil di dalam kerjasama kawasan atau rezim. Pemimpin tersebut siap, secara sadar maupun tidak, untuk menetapkan standar perilaku terhadap negara-negara lainnya. Selain itu, pemimpin mampu menjalankan perannya untuk membuat negara-negara lain patuh pada standar yang ada dengan tujuan menentukan burden-sharing dalam sistem internasional [CITATION Kin73 \p 28 \l 1057 ].

Meskipun kasus spesifik yang diangkat oleh Kindleberger adalah permasalahan ekonomi, namun seiring berjalannya waktu konsep ini diadopsi dalam studi Hubungan Internasional dalam bidang lainnya juga, seperti keamanan. Secara umum konsep ini mengatakan bahwa sistem internasional bisa menjadi stabil apabila terdapat suatu hegemon yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi berbagai fenomena [ CITATION UKE15 \l 1057 ]. Suatu hegemon harus powerful untuk dapat bisa menjalankan fungsinya menyediakan public goods berupa kestabilan—atau sebagai stabilisator [CITATION Web89 \p 184 \l 1057 ]. Dalam pandangan realis, dimana sistem internasional bersifat anarkis, negara-negara hanya dapat membentuk kerjasama yang berlangsung lama (sustainable) dan efektif apabila terdapat negara powerful yang menjadi hegemon [CITATION Has04 \p 86 \l 1057 ].

(5)

dianggap sebagai hegemonic power dengan material power yang dimilikinya serta peran dan pengaruhnya yang besar terhadap negara lain.

Konsep ini kemudian akan digunakan untuk menelaah karakteristik apa saja yang dimiliki oleh AS sebagai NWS yang menjadikannya sebagai hegemon yang memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dalam suatu rezim atau kerjasama internasional. Berangkat dari refleksi tersebut, analisis akan menerapkan pemahaman mengenai konsep ini untuk menjawab pertanyaan apa jadinya suatu rezim antinuklir yang dibentuk tanpa peran dari hegemonic power.

Argumentasi Utama

Konferensi PBB yang membicarakan mengenai perlucutan senjata nuklir pada 27 hingga 31 Maret dan 15 Juni hingga 7 Juli 2017 lalu telah berhasil mengadopsi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Meskipun mayoritas negara di dunia menyetujui hal ini, namun efektivitasnya masih diragukan—apakah rezim tersebut benar-benar mampu membuat negara-negara pemilik senjata nuklir mau menghancurkan senjata yang mereka miliki dan tidak lagi mengembangkannya—mengingat bahwa tidak hadirnya negara yang menjadi hegemon di dalam rezim tersebut, sehingga tidak ada yang cukup kuat untuk mempengaruhi negara lain dalam mengambil keputusan untuk memusnahkan senjata nuklir. AS dan negara-negara NATO lainnya yang memiliki persenjataan nuklir serta memiliki pengaruh di bidang keamanan dunia justru memboikot konferensi tersebut.

(6)

Untuk membentuk rezim internasional yang sustainable, peran hegemonic power penting dan diperlukan. Mereka yang mampu menyediakan public goods yang dapat menciptakan kestabilan. Public goods dalam kasus ini dapat berupa mekanisme transparansi dan pemberian sanksi yang mendorong negara-negara untuk patuh. Jika tidak ada kestabilan yang bisa ditawarkan oleh suatu rezim, secara strategis negara-negara akan cenderung untuk berlaku ingkar (defect). Hal ini dikarenakan tidak adanya anggapan yang ditawarkan bahwa pilihan untuk mematuhi aturan rezim lebih menguntungkan dibandingkan untuk ingkar. Terlebih lagi, ketika AS sebagai hegemon sekaligus sebagai NWS tidak hadir di dalam rezim ini dan mempengaruhi NWS lain beserta negara aliansinya untuk menolak rezim ini, maka rezim antinuklir tidak dapat berjalan. Karena bahkan objek dari traktat perlucutan senjata nuklir tersebut tidak hadir secara aktif di dalamnya. Sehingga dapat ditarik inferensi bahwa ketiadaan hegemon menjadikan suatu rezim tidak berkelanjutan.

Upaya Pembentukan Rezim Internasional Antinuklir

Keberadaan NPT sebagai Power-Based Regime

Semenjak senjata nuklir pertama kali digunakan, yakni pada tahun 1945 oleh Amerika Serikat (AS) terhadap Jepang pada saat Perang Dunia kedua, telah muncul berbagai perjanjian multilateral yang mengatur tentang pembatasan kepemilikan, uji coba, serta penggunaan senjata nuklir pada sekitar tahun 1960-an. Treaty on Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) yang diterapkan pada tahun 1970 [ CITATION Uni16 \l 1057 ] merupakan salah satu perjanjian multilateral yang muncul paling awal. NPT memiliki keberhasilan dalam sejarah upaya perlucutan senjata nuklir dimana mayoritas negara di dunia—190 negara—mau bergabung dengan perjanjian multilateral ini. NPT berhasil bertahan selama lebih dari 4 dekade dengan adanya konferensi setiap 5 tahun untuk meninjau ulang apa yang telah berhasil dicapai selama rentang waktu tersebut yang mampu memperkuat perjanjian yang ada. Selain itu, NPT juga dapat mengumpulkan negara-negara anggotanya melalui pertemuan setiap 25 tahun sekali untuk menentukan apakah masa berlaku traktat ini akan diperpanjang atau tidak [ CITATION Kim12 \l 1057 ].

(7)

sebagai anggota. Fakta tersebut menunjukkan kekurangan NPT yang telah berhasil membentuk kerangka normatif antinuklir selama lebih dari 4 dekade bahwa masih belum bisa menjadi traktat dengan keanggotaan universal [ CITATION Kim12 \l 1057 ].

Tiga poin utama yang tercantum dalam “the grand bargain” merepresentasikan norma internasional apa yang coba didirikan oleh NPT terhadap negara-negara anggotanya. Poin-poin tersebut menyebutkan bahwa NNWS tidak boleh menginginkan kepemilikan senjata nuklir, NWS akan mengupayakan perlucutan senjata nuklir, serta penggunaan teknologi nuklir hanya boleh untuk tujuan-tujuan damai saja. Satu hal yang juga tercantum dalam NPT adalah NNWS akan mendapatkan perlindungan dalam hal keamanan dari NWS atas kepemilikan nuklirnya yang digunakan untuk tujuan-tujuan damai. Dalam konsep hegemonic stability, hal ini merupakan salah satu cara yang digunakan oleh hegemonic power untuk mempengaruhi negara lain agar melakukan apa yang ia inginkan serta menjadi stabilisator. Yakni dengan menjadi benevolent leader dimana suatu aktor dapat memunculkan ketergantungan aktor lain terhadap dirinya karena ia memiliki resources.

Meskipun NPT memiliki tujuan besar untuk melakukan perlucutan senjata, namun terdapat hal lain yang menjadi kekurangan NPT yang harus diperhatikan. Yakni NPT tidak menyebutkan aturan kapan tepatnya tujuan tersebut harus dapat dicapai, dengan kata lain tidak ada penyebutan tenggat waktu yang pasti. Selain itu, pembatasan kepemilikan serta pengurangan senjata nuklir oleh NWS juga tidak ditentukan berapa tepatnya jumlah senjata yang harus dikurangi setiap tahunnya. Hal ini memberikan celah bagi NWS untuk menunda atau bahkan menghindar dari keterikatan mereka dalam perjanjian ini untuk mengurangi senjata nuklir mereka.

(8)

dalam NPT membuat keputusan AS, Kanada, dan Inggris yang menolak penyetujuan dokumen tersebut berhasil menggagalkan keputusan yang diinginkan oleh mayoritas negara [ CITATION Jar15 \l 1057 ].

Mekanisme konsensus yang digadang-gadang sebagai mekanisme demokratis untuk mencapai kesepakatan bersama, justru berubah menjadi mekanisme pengambilan keputusan yang digunakan oleh negara-negara yang memiliki power lebih—dengan kepemilikan nuklir dan dukungan dari aliansinya—untuk memblokir hasil yang diinginkan oleh sebagian besar negara anggota. Beberapa perwakilan negara anggota kemudian mempertanyakan efektivitas kelanjutan NPT dalam upaya mencapai perlucutan senjata nuklir; apakah traktat ini benar-benar mampu membawa ke arah dunia yang bebas senjata nuklir?

Mulai dari ketiadaan penentuan tenggat waktu yang pasti dan berapa jumlah minimum senjata nuklir yang harus dimusnahkan oleh NWS hingga mekanisme konsensus yang ada membuat NPT menjadi rezim antinuklir yang dibentuk atas dasar kekuatan negara anggotanya—power based regime. Asumsi dasar dari konsep tersebut adalah suatu rezim internasional dapat dibentuk secara efektif dan stabil apabila terdapat suatu negara yang memiliki power, atau disebut dengan hegemon [CITATION Has \p 197 \l 1057 ]. Pembentukan rezim yang didasari dengan power negara anggotanya biasanya cenderung menjadikan rezim tersebut sebagai perpanjangan tangan power dari negara hegemon di dalam sistem internasional untuk dapat mempermudah upaya dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Seperti halnya dengan NPT alih-alih mampu mengakomodasi kepentingan banyak negara, justru menjadi platform untuk negara yang hegemonic untuk memblokir keputusan yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.

Upaya Pembentukan Rezim Antinuklir yang Independen

(9)

ketentuan hukum serta norma untuk mencapai dunia yang terbebas dari senjata nuklir [ CITATION Int163 \l 1057 ].

Working group tersebut memiliki tujuan untuk merumuskan rekomendasi untuk membentuk instrumen hukum perlucutan senjata nuklir serta meningkatkan kesadaran akan dampak buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan senjata nuklir [CITATION Ach161 \p 6 \l 1057 ]. OEWG memiliki mekanisme keanggotaan yang terbuka terhadap siapa saja baik negara maupun aktor internasional selain negara. Melalui pendekatan kemanusiaan serta keterbukaannya, pembentukan OEWG ini didukung oleh 138 negara. Namun lima NWS (AS, Perancis, Rusia, Cina, an Inggris) menunjukkan penolakan mereka dengan tegas. Mereka mengatakan bahwa keberadaan OEWG ini menciderai apa yang telah dicapai oleh NPT, namun tidak memberikan alasan lebih lanjut. Menurut mereka, status OEWG tidak benar-benar inklusif karena tidak menerapkan mekanisme konsensus dalam mengambil keputusan. Dikatakan bahwa mereka bisa saja memposisikan diri mereka mendukung OEWG apabila menerapkan mekanisme konsensus. Dimana sebenarnya aturan tersebut hanya akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk memblokir, secara kolektif maupun individu, aksi atau keputusan yang diajukan oleh anggota lain sehingga tidak berbeda dengan kebuntuan NPT [ CITATION Int163 \l 1057 ].

Pada pertemuan OEWG di bulan Agustus 2016, mereka berhasil mengeluarkan laporan yang berisi draf rekomendasi untuk PBB agar melaksanakan negosiasi lanjutan guna perlucutan senjata nuklir di tahun 2017 [ CITATION Int162 \l 1057 ]. Sebanyak 107 negara menunjukkan dukungan mereka untuk mengadakan konferensi di tahun 2017 untuk melaksanakan negosiasi lanjutan menuju penghapusan secara total senjata nuklir. Hingga pada akhirnya rekomendasi ini berhasil lolos dan dibawa untuk dirundingkan oleh First Committee pada Sidang Umum PBB.

(10)

Sejauh ini, pembentukan rezim tersebut tanpa kehadiran kekuatan hegemon di dalamnya dapat berjalan dengan baik dan cukup efektif. Dimulai dengan resolusi L.41 yang bertajuk ‘taking forward multilateral nuclear disarmament negotiations’, menempatkan mayoritas negara memiliki kesempatan untuk menentukan sendiri masa depan perlucutan senjata nuklir tanpa ada negara yang mampu memblokir hasil negosiasi nantinya [CITATION Ach16 \p 8 \l 1057 ]. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan mereka melaksanakan Konferensi PBB untuk menegosiasikan perlucutan senjata nuklir pada 27 hingga 31 Maret dan 15 Juni hingga 7 Juli 2017 [ CITATION Uni17 \l 1057 ] dan mengadopsi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir untuk kemudian diratifikasi [ CITATION Nuc17 \l 1057 ] meski tanpa persetujuan negara-negara yang mendukung penggunaan senjata nuklir [ CITATION Int16 \l 1057 ].

Negara-negara yang menolak resolusi L.41 dari awal adalah mayoritas negara pemilik senjata nuklir. Mereka bersikukuh bahwa senjata nuklir memegang peranan penting untuk menjaga keamanan mereka, sehingga tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bagi mereka, pengadopsian resolusi ini mengabaikan aspek keamanan [CITATION Ach161 \p 5 \l 1057 ]. Mengadopsi resolusi berarti menyegerakan penghapusan senjata nuklir yang mana bagi mereka masih penting keberadaannya di dalam sistem internasional yang anarkis sebagai alat untuk deterrence. Kepemilikan senjata nuklir mampu meningkatkan kemampuan suatu negara untuk menghalangi musuh potensial untuk berseteru dengannya. Second-strike capability yang dimiliki oleh NWS mampu menunjukkan kepada musuh bahwa jika mereka berani menyerang negaranya, maka mereka akan menanggung biaya (cost) dan risiko yang besar [CITATION Lam88 \p 63 \l 1057 ].

Argumen tersebut disampaikan oleh beberapa NWS, salah satunya AS yang bahkan menyerukan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan hal yang sama sepertinya—menolak resolusi yang diajukan OEWG. Seruan tersebut berhasil mempengaruhi posisi negara-negara pemilik nuklir dan NNWS aliansi AS untuk vote ‘No’ pada resolusi tersebut, seperti Inggris, Perancis, Israel, Jepang, Australia, Jerman, dan puluhan lainnya [ CITATION Int164 \l 1057 ]. Bahkan ketika Konferensi PBB untuk merundingkan perlucutan senjata nuklir berhasil dilaksanakan dua periode pada Maret dan Juni-Juli lalu, AS berhasil mengajak kesembilan NWS beserta aliansinya untuk memboikot perundingan yang berlangsung [ CITATION Nuc17 \l 1057 ].

(11)

dapat mengakomodasi semua kepentingan. Estonia, Turki, Maroko adalah tiga dari beberapa negara yang mempermasalahkan tidak diterapkannya mekanisme konsensus [CITATION Ach161 \p 4-5 \l 1057 ]. Sedangkan Norwegia, Belanda, serta Kanada memiliki pertanyaan apakah implementasi dari resolusi ini mampu mengarah pada penghapusan senjata nuklir secara total ke depannya [CITATION Ach162 \p 7 \l 1057 ]. Menurut mereka, lebih baik melanjutkan proses yang sudah ada saja yakni melalui NPT dengan review conference tiap lima tahunnya.

Namun, ketidakhadiran mayoritas NWS serta AS sebagai hegemon di dalam negosiasi lanjutan 2017 tersebut tidak menghalangi upaya pembentukan rezim antinuklir ini. Pasalnya, di antara 135 yang mengikuti perundingan tersebut tidak ada NWS beserta aliansinya yang turut hadir. Hanya Belanda yang merupakan negara aliansi NWS yang mengikuti perundingan tersebut dan memilih untuk menolak pengadopsian Traktat Pelarangan Senjata Nuklir [ CITATION Rea17 \l 1057 ].

Signifikansi Keberadaan Hegemonic Power dalam Negosiasi Lanjutan Perlucutan Senjata Nuklir 2017

Dokumen asli dari resolusi L.41 yang telah diadopsi oleh PBB pada Oktober 2016 lalu berisi pemaparan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh OEWG beserta negara-negara anggota yang menyetujui resolusi ini. Resolusi L.41 mengundang secara terbuka seluruh negara serta organisasi internasional untuk sadar akan bahaya dari senjata nuklir dan mau menghadiri konferensi di tahun 2017 untuk merundingkan pembuatan instrumen hukum yang mengikat demi tercapainya perlucutan total senjata nuklir. Konferensi tersebut merupakan bentuk komitmen lanjutan dari apa yang telah dicapai negara-negara melalui NPT.

(12)

Oleh karena resolusi L.41 tidak mencantumkan secara tegas keharusan keikutsertaan NWS dalam pembentukan instrumen hukum perlucutan senjata nuklir ini, maka NWS maupun aliansinya memilih untuk tidak menyetujui proses ini. Termasuk AS yang merupakan negara yang berpengaruh di dunia internasional. Di dalam konferensi perlucutan senjata nuklir periode kedua, AS bahkan berhasil memimpin NWS lainnya untuk memboikot upaya pengadopsian traktat pelarangan senjata nuklir. Hal ini berimplikasi pada ketidakterikatan NWS yang seharusnya menjadi objek utama Traktat tersebut, karena Traktat tersebut hanya mengatur dan mengikat negara-negara yang menyetujui isinya [ CITATION Int17 \l 1057 ]. Sehingga rezim antinuklir menjadi kurang efektif. Tujuan penghapusan total senjata nuklir sulit untuk dicapai karena kemungkinan besar NWS yang tidak menjadi bagian dari Traktat tetap menyimpan senjata mereka.

AS dapat dikatakan sebagai sebuah hegemon karena negara tersebut kuat secara politik, kondisi perekonomian yang tidak terlalu buruk—dengan tingkat pertumbuhan PDB terakhir di angka 3,2 [ CITATION Tra161 \l 1057 ], keamanan negara tersebut juga dapat dibanggakan dan menjadi bargaining leverage tersendiri dengan statusnya sebagai NWS dengan persenjataan nuklir di darat, air, dan udara yang siap diluncurkan kapan saja [ CITATION Bus16 \l 1057 ], serta relasi dengan aliansinya di seluruh dunia. Ia mampu menjalankan perannya dengan menggunakan resources yang ia miliki untuk mengarahkan perilaku dan keputusan yang diambil oleh negara-negara lain di dunia [CITATION Lyt97 \p 42 \l 1057 ]. Keputusan AS serta himbauannya untuk negara-negara lain agar tidak mendukung adopsi resolusi L.41 dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir berhasil membuat negara sekutunya dan beberapa negara lain mengambil keputusan yang sama dengannya. Hal ini menunjukkan kemampuannya sebagai hegemonic power untuk mempengaruhi keputusan aktor lain.

(13)

penegasan khusus mengenai pentingnya kehadiran hegemonic power, atau secara khusus disebut dengan NWS.

Stabilitas Rezim Antinuklir Internasional tanpa Kehadiran Hegemonic Power

Ketika berbicara mengenai pembentukan rezim antinuklir internasional yang didasarkan oleh power, maka aktor yang menjadi hegemonic power itu sendiri harus ditentukan. Penyebutan AS sebagai kekuatan hegemon bukanlah suatu hal yang salah. Selain karena AS merupakan negara yang memiliki senjata nuklir, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ia memiliki kondisi perekonomian yang kuat. Meskipun beberapa tahun terakhir ini Cina muncul sebagai kekuatan perekonomian baru yang dapat mengalahkan kekuatan AS [ CITATION Che15 \l 1057 ], namun hal itu tidak akan banyak berpengaruh pada status AS sebagai kekuatan dominan.

Terlepas dari tingkat pertumbuhan ekonomi serta pendapatan per kapita maupun jumlah persenjataan maupun awak tentara, AS memiliki power dominan di dunia internasional dari kemampuannya untuk mempengaruhi keputusan serta memperoleh kepercayaan dari aktor lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya aliansi yang dimiliki oleh AS yang menjadikannya berkuasa atas air, udara, jaringan pesawat telekomunikasi, serta cyberspace di dunia [ CITATION Bab15 \l 1057 ]. AS juga memiliki kemampuan untuk memimpin, dimana seringkali ia menjadi inisiator hukum internasional dan membuat negara-negara lain mematuhi hukum tersebut, namun ia juga bisa dengan sendirinya ingkar terhadap hukum yang telah ia prakarsai [ CITATION Whi14 \l 1057 ]. Hal ini menunjukkan kelebihan AS dan yang membuatnya pantas disebut sebagai aktor hegemon, yakni memiliki legitimasi.

Kemampuan AS sebagai kekuatan hegemon tersebut tentu menjadi penting demi kesuksesan pembentukan rezim internasional. Meskipun faktanya perundingan inklusif pembentukan rezim antinuklir internasional 2017 tidak ada dukungan dari negara hegemon. Padahal untuk memastikan agar rezim yang terbentuk dapat berlangsung atau bertahan lama, diperlukan adanya satu aktor yang kuat yang mampu untuk menjaga stabilitas di dalam rezim tersebut. Stabilitas dalam suatu rezim dapat diukur dengan tingginya tingkat compliance yang ditunjukkan oleh negara-negara anggotanya.

(14)

merupakan hasil dari ketersediaan public goods oleh aktor hegemon demi menangani transaction cost yang dikeluarkan demi membentuk suatu kooperasi [CITATION Has04 \p 37 \l 1057 ]. Dalam kasus ini, transaction cost yang dimaksud adalah keharusan dimana NWS untuk melucuti semua senjata nuklir yang mereka miliki. Sementara public goods yang disediakan oleh hegemon untuk menanggulangi konsekuensi dari transaction cost tersebut adalah jaminan bahwa negara-negara lain juga patuh terhadap peraturan yang telah dibentuk bersama untuk tidak lagi memiliki senjata nuklir.

Public goods dapat diwujudkan berupa mekanisme transparansi, dimana semua negara anggota melaporkan kepemilikan senjata nuklirnya. Sedangkan jika ada negara yang ingkar, akan diberikan sanksi. Seruan untuk transparansi akan efektif ketika suatu hegemon yang menyampaikannya, mengingat hegemon memiliki pengaruh yang besar. Dengan demikian, negara-negara anggota tidak lagi mempermasalahkan mengenai security dilemma akibat adanya kemungkinan anggota yang mengingkari kesepakatan. Sementara di dalam Traktat Perlucutan Senjata Nuklir 2017 yang diadopsi oleh PBB tersebut tidak memiliki mekanisme verifikasi [ CITATION Uni17 \l 1057 ] yang membantu menjaga kepatuhan anggota dan menciptakan kestabilan rezim.

Dari penjelasan mengenai peran hegemon yang penting sebagai stabilisator dengan menyediakan public goods, dapat dilihat dengan jelas bahwa keberadaan hegemon di dalam rezim antinuklir internasional ini penting. Salah satu peran mendasar yang diperlukan dari kehadiran AS sebagai hegemon adalah kemampuannya untuk menggiring dukungan negara-negara anggota terhadap penegakan hukum bersama. Kepatuhan dapat dibentuk dengan membangun rasa saling percaya di antara anggota tersebut. Sementara untuk memastikan kepatuhan tersebut ada, harus ada penjamin yang kuat baik itu berupa suatu aturan legal maupun keberadaan hegemon sendiri yang bisa mempengaruhi perilaku dan pilihan negara anggota lainnya dengan menetapkan standar perilaku. Suatu hegemon yang memiliki pengaruh yang besar di dunia internasional dan memiliki banyak aliansi akan mudah untuk menyerukan kepada negara-negara anggota lainnya untuk patuh dan cenderung mudah untuk mendapatkan kepercayaan mereka karena legitimasi yang ia miliki.

(15)

dibutuhkan kemauan dari aktor hegemon itu sendiri untuk mendukung rezim yang akan dibentuk. Karena meskipun hegemon telah hadir di dalam suatu rezim internasional namun jika posisinya tidak memihak pada keberhasilan yang diimpikan oleh mayoritas negara, maka rezim tidak dapat menjadi stabil. Sebagaimana dicontohkan dalam NPT dimana telah terlihat keterlibatan AS sebagai hegemon di dalamnya namun selalu menemui deadlocks karena posisi hegemon yang tidak mendukung tujuan rezim tersebut. Sementara pada dokumen awal resolusi L.41 yang diadopsi oleh PBB tidak dicantumkan secara khusus pentingnya kehadiran AS sebagai hegemon dan NWS lainnya, demi keberlangsungan rezim ini.

Kesimpulan

Pengadopsian resolusi L.41 dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir 2017 merupakan suatu inisiatif baru yang berhasil dilaksanakan oleh mayoritas negara untuk membebaskan dunia dari kepentingan-kepentingan politik yang menginginkan untuk tetap mempertahankan keberadaan senjata nuklir. Pemaparan yang telah dituliskan dalam makalah ini menunjukkan suatu kesimpulan bahwa peran aktor yang hegemon di dalam suatu rezim untuk mendukung pencapaian tujuan rezim tersebut memang penting. Dibutuhkan adanya aktor yang mampu secara kuantitatif maupun kualitatif untuk mempengaruhi perilaku aktor lain agar sejalan dengan apa yang ia inginkan untuk membuat suatu rezim berjalan dengan efektif. Sehingga anggota rezim akan tetap patuh pada aturan yang berlangsung dan kestabilan terjaga.

Inisiatif pendekatan baru untuk membentuk rezim antinuklir tersebut memang telah membebaskan negara-negara dari jalan buntu dan ketidakpastian dari perundingan-perundingan antinuklir selama ini. Mayoritas negara telah menyatakan dukungannya untuk mengukuhkan traktat tersebut sebagai suatu instrumen hukum yang mengikat. Namun apabila upaya ini tetap akan dijalankan tanpa mempedulikan keberadaan aktor hegemon yang terlibat maupun tidak, maka tidak ada jaminan bahwa rezim ini akan berhasil mencapai tujuan utamanya, yakni penghapusan senjata nuklir secara total, secara efektif. Rezim antinuklir yang terbentuk cenderung tidak berkelanjutan.

(16)

Acheson, R. (2016). First Committee Briefing Booklet. New York: Reaching Critical Will.

Acheson, R. (2016). First Committee Monitor 2016 No. 3. New York: Reaching Critical Will.

Acheson, R. (2016). First Committee Monitor 2016 No. 4. New York: Reaching Critical Will.

Babones, S. (2015, June 11). American Hegemony is Here to Stay. Retrieved December 6, 2016, from National Interest: http://nationalinterest.org/feature/american-hegemony-here-stay-13089

Business Insider. (2016, September 28). How the US's Nuclear Weapons Compare to Russia's. Retrieved December 5, 2016, from http://www.businessinsider.co.id/us-vs-russia-nuclear-weapons-2016-9/?r=US&IR=T#f6AWVwoVkjzpyCZb.97

Chen, D. (2015, January 14). Relax, China Won't Challenge US Hegemony. Retrieved December 6, 2016, from http://thediplomat.com/2015/01/relax-china-wont-challenge-us-hegemony/

Hasenclever, A., Mayer, P., & Rittberger, V. (2004). Theories of International Relations. New York: Cambridge University Press.

Hasenclever, A., Mayer, P., & Rittberger, V. (n.d.). Interest, Power, Knowledge: The Study of International Regimes. Marshon International Studies, 40(2), 177-228.

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2016, October 18). Australia's Opposition to a Nuclear Weapon Ban. Retrieved November 2016, 2016, from http://www.icanw.org/campaign-news/australias-opposition-to-a-nuclear-weapon-ban/

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2016, October 27). Full Voting Result on UN Resolution L.41. Retrieved December 4, 2016, from http://www.icanw.org/campaign-news/results/

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2016, February 15). New UN Working Group on Nuclear Disarmament. Retrieved December 5, 2016, from http://www.icanw.org/campaign-news/new-un-working-group-to-discuss-elements-for-a-treaty-banning-nuclear-weapons/

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2016, October 25). Updates from the First Committee of the UNGA. Retrieved December 4, 2016, from http://www.icanw.org/campaign-news/live-updates-from-the-first-committee-of-the-un-general-assembly/

(17)

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (n.d.). ICAN at the OEWG. Retrieved December 5, 2016, from http://www.icanw.org/oewg-2016/

Jaramillo, C. (2015, June 3). NPT Review Conference: No Outcome Document Better than a Weak One. Retrieved December 4, 2016, from Bulletin of the Atomic Scientist: http://thebulletin.org/npt-review-conference-no-outcome-document-better-weak-one8366

Kimball, D. (2012, August). The Nuclear Nonproliferation Treaty (NPT) at a Glance. Retrieved December 4, 2016, from Arms Control Association: https://www.armscontrol.org/factsheets/nptfact

Kindleberger, C. P. (1973). The World in Depression 1929-1939. Los Angeles: University of California Press.

Lamb, C. J. (1988). How to Think About Arms Control, Disarmament, and Defense. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Lytle, C. G. (1997). A Hegemonic Interpretation of Extraterritorial Jurisdiction in Antitrust: From American Banana to Hartford Fire. International Law and Commerce, 24(41), 41-75.

Nuclear Threat Initiatives. (2017, July 13). Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Retrieved July 23, 2017, from http://www.nti.org/learn/treaties-and-regimes/treaty-on-the-prohibition-of-nuclear-weapons/

Reaching Critical Will. (n.d.). Open-ended Working Group on Nuclear Weapons. Retrieved November 3, 2016, from http://www.reachingcriticalwill.org/disarmament-fora/oewg

Reaching Critical Will. (n.d.). UN Adopts Treaty Banning Nuclear Weapons! Retrieved July 23, 2017, from http://www.reachingcriticalwill.org/news/latest-news/11788-un-adopts-treaty-banning-nuclear-weapons

Trading Economics. (n.d.). United States GDP Annual Growth Rate. Retrieved December 5, 2016, from http://www.tradingeconomics.com/united-states/gdp-growth-annual/forecast

UKEssays. (2015, March 23). The Hegemonic Stability Theory Politics Essay. Retrieved November 3, 2016, from https://www.ukessays.com/essays/politics/the-hegemonic-stability-theory-politics-essay.php

(18)

United Nations General Assembly. (2016). General and Complete Disarmament: Taking Forward Multilateral Nuclear Disarmament Negotiations. New York: United Nations.

United Nations. (n.d.). Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons. Retrieved December 4, 2016, from United Nations Office for Disarmament Affairs: https://www.un.org/disarmament/wmd/nuclear/npt/

Webb, M. C., & Krasner, S. D. (1989). Hegemonic Stability Theory: An Empirical Assessment.

Review of International Studies, 15(2), 183-198.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari rumusan masalah, tujuan penelitian serta analisa data dan pembahasan yang telah dijabarkan, maka dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini, hubungan antara

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa permainan real-time strategy dalam lingkup strategi yang digunakanya dapat dimodelkan menjadi sebuah decision tree yang membantu

Sebaran contoh menurut kategori z-score anak dan pengetahuan, sikap serta praktik gizi ibu/pengasuh dapat dilihat pada Tabel 25 Sebesar 38.9% ibu/pengasuh dengan pengetahuan gizi

Salah satu alasannya adalah eksternalitas dan free ridding – kekuatan pasar tidak bias memberikan perusahaan full social benefits terhadap keputusan produksi informasi

Pada implementasi kebijakan KTSP di Kota Lubuklinggau ini, implementor meliputi aparatur Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan, aparatur Dinas Pendidikan Kota

Kemungkinan perang demikian - seperti halnya di Libia - akan menjadi suatu perang udara (Bld.:luchtoorlog), karena AS setelah kampanye yang sangat berat di Irak mengetahui bahwa

(Penelitian Pertanian Vol. 1: 9 - 18), Bab II Daya Gabung Karakter Hasil dan Komponen Hasil Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) pada Kondisi Lingkungan Tanpa Cekaman dan

Analisis penerapan model Predict Observe Explain dalam pembelajaran dilaksanakan tiga siklus mengalami beberapa kendala yaitu: (1) siswa me-milih teman kelompoknya, (2)