• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data ini berisi Pemerataan Pendapat dan Pola Komsumsi Kota Semarang Tahun 2015 - Kumpulan data - OPEN DATA PROVINSI JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Data ini berisi Pemerataan Pendapat dan Pola Komsumsi Kota Semarang Tahun 2015 - Kumpulan data - OPEN DATA PROVINSI JAWA TENGAH"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Kata Pengantar

Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur atas penerbitan Publikasi ”Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015”.

Bahasan pada publikasi ini memuat gambaran tingkat ketimpangan pendapatan dan pola konsumsi penduduk di Kota Semarang. Untuk keperluan tersebut, selain menggunakan hasil survei tahun 2015 juga dilengkapi dengan data lain yang terkait dengan pokok bahasan.

Publikasi ini terwujud berkat kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang dengan Badan Pusat Statistik Kota Semarang.

Kami telah mengupayakan untuk menyajikan publikasi ini sebaik-baiknya, namun disadari mungkin masih terdapat kekurangan, untuk itu tanggapan serta saran-saran dari semua pihak sangat diharapkan.

Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang.

KEPALA BAPPEDA KOTA SEMARANG

T T D

BAMBANG HARYONO

Pembina Utama Muda

NIP. 19580410 198603 1 010

Semarang, 2016

KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK KOTA SEMARANG

T T D

ENDANG RETNO SRI SUBIYANDANI, S.Si

Pembina Tk. I

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

Daftar Gambar ... iv

Daftar Tabel ... v

BAB I Pendahuluan 1.1. Latar belakang ... 2

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Sistematika Penulisan ... 3

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Teori Pareto ... 5

2.2. Indeks Theil dan Indeks-L ... 6

2.3. Teori Gini Ratio ... 7

2.4. Kriteria Bank Dunia ... 10

BAB III Metodologi 3.1. Sumber Data ... 13

3.2. Konsep dan Definisi ... 13

3.3. Teknik Analisis ... 14

BAB IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kota Semarang 4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang Tahun 2011 – 2015 ... 18

4.2. Pola Konsumsi Rumahtangga ... 21

4.3. Kesenjangan Distribusi Pendapatan ... 28

a. Koefisien Gini ... 28

(4)

BAB V Penutup

(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar

Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2010 ... 20 Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang

Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010 ... 21 Gambar 3. Prosentase Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang ... 23 Gambar 4. Rata-rata Pendapatan Per-kapita Sebulan Dirinci Menurut

Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2015 ... 25 Gambar 5. Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2015 ... 26 Gambar 6. Koefisien Gini Kota Semarang Tahun 2015 ... 28 Gambar 7. Perkembangan dan Level Gini Ratio Kota Semarang

Tahun 2011 – 2015 ... 30 Gambar 8. Perbandingan Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi

Jawa Tengah Tahun 2011 – 2015 ... 33 Gambar 9. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

(6)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Kota Semarang

Tahun 2011 – 2015 ... 19 Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto

Tahun 2011 – 2015 ... 19 Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah)

Tahun 2011 – 2015 ... 20 Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran perkapita Sebulan dan Komposisi

Konsumsi Penduduk Kota Semarang ... 22 Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk Kota

Semarang Tahun 2015 ... 27 Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2011 – 2015 ... 29 Tabel 7. Peringkat Gini Ratio Kab./Kota di wilayah Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2011 – 2015 ... 31 Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

(7)
(8)

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengetahui keadaan perekonomian di suatu wilayah, adalah pertumbuhan ekonomi dengan melihat pertumbuhan PDRB. Secara lebih rinci sering pula diulas faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Menurut Sukirno, pertumbuhan Ekonomi adalah suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam satu tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Karena pendapatan regional adalah nilai dari seluruh produk yang dihasilkan oleh seluruh pelaku ekonomi dalam suatu wilayah, maka besar atau kecilnya pendapatan regional dapat dilihat sebagai gambaran tentang tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang hanya diukur dengan pendapatan regional belum tentu berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakatnya atau dapat dikatakan bahwa besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi, tidak memberikan gambaran bahwa seluruh penduduk yang ada di wilayah tersebut meningkat kesejahteraannya. Sangat mungkin terjadi, ekonomi meningkat pesat tetapi jumlah penduduk miskin juga meningkat.

(9)

1.2.

Tujuan

Publikasi ini, bertujuan untuk memberikan gambaran pemerataan pendapatan dan pola konsumsi penduduk di Kota Semarang pada tahun 2014. Series data dari publikasi ini diharapkan dapat menjadi bahan monitoring dan evaluasi distribusi pendapatan di Kota Semarang.

1.3.

Sistematika Penulisan

Tulisan ini disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu : Bab I Pendahuluan,

Berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka,

Berisi penjelasan beberapa teori tentang distribusi pendapatan. Bab III Metodologi,

Mencakup sumber data, konsep dan definisi serta teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini.

Bab IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan Kota Semarang,

Berisi uraian ringkas tentang distribusi pendapatan dan Pola konsumsi di Kota Semarang.

Bab V Penutup,

(10)
(11)

TINJAUAN PUSTAKA

Ketimpangan distribusi pendapatan tidak terlepas atau sangat erat hubungannya dengan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Menurut Kuncoro (1997), kemiskinan dapat ditinjau dari 2 sisi, yaitu : pertama, kemiskinan absolute, dimana dengan pendekatan ini di identifikasikan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif amat erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan.

Badan Pusat Statistik dalam "Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009", untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan tersebut telah muncul beberapa teori maupun ukuran yang digunakan, antara lain :

2.1.

Teori Pareto

VilfredoPareto (1897) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009 (BPS, 2009), setelah melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di Eropa, mendapatkan bentuk kurvanya (untuk setiap negara) tidaklah mengikuti distibusi normal, tapi mengikuti perumusan sebagai berikut:

� =

A = Jumlah penduduk yang mempunyai pendapatan lebih besar daripada X X = Tingkat pendapatan tertentu dari keluarga atau individu yang

bersangkutan

N = Jumlah penduduk total

(12)

Berdasarkan hasil tersebut, Pareto, menyatakan bahwa akan selalu ditemui ketimpangan dalam setiap negara, dimana kelompok penduduk yang terkaya mendapatkan porsi yang terbanyak dari pendapatan nasional negaranya. Penemuannya ini selanjutnya dikenal sebagai Pareto Law, yang menyatakan bahwa 20 persen kelompok penduduk terkaya menikmati 80 % dari pendapatan nasional negaranya.

2.2.

Indeks Theil dan Indeks -L

Ada sejumlah ukuran ketimpangan yang memenuhi semua kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik. Diantaranya yang paling banyak digunakan adalah Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut masuk dalam famili ukuran ketimpangan "generalized enthropy". Rumus "generalized enthropy" secara umum dapat ditulis sebagai berikut:

�� � =

� �−

[

� ���̅

�=

]

,

�̅ adalah rata-rata pendapatan (pengeluaran).

Nilai GE bervariasi antara 0 dan ∞ dengan 0 mewakili distribusi yang merata dan nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi. Parameter α dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan pada jarak antara pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi pendapatan. Untuk nilai α yang lebih rendah, GE lebih sensitif terhadap perubahan pada ekor bawah dari distribusi (penduduk miskin), dan untuk nilai α yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap perubahan yang berakibat pada ekor atas dari distribusi (penduduk kaya).

Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1.

a) GE (1) disebut sebagai indeks Theil, yang dapat ditulis sebagai berikut:

GE(1) =

�� �̅

��

�� �̅

,

(13)

b) GE (0), juga dikenal dengan indeks-L, disebut ukuran deviasi log rata-rata (mean log deviation) karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi dari log (y):

GE(0) =

��

�̅ ��

,

�=

2.3.

Teori Gini Ratio

Koefisien gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus koefisien gini adalah sebagai berikut :

� = − ∑

� �

+

�−

=

G = Gini Ratio

Pi = Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i Qi = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i Qi-1 = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i-1 k = Banyaknya kelas pendapatan

Oshima menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah pola pengeluaran suatu masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang atau tinggi.

Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut : a. Ketimpangan taraf rendah, bila G < 0,35

(14)

Nilai indeks Gini ada diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai Indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai Indeks Gini adalah nol maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan, sedangkan jika bernilai satu berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang sempurna. Untuk publikasi resmi Indonesia oleh BPS, baik ukuran ketidakmerataan pendapatan versi Bank Dunia maupun Indeks Gini, penghitungannya menggunakan data pengeluaran.

Kurva Lorez

Keterangan:

(15)

Titik K pada kurva OKLB menunjukkan 40 persen jumlah penduduk menerima pendapatan sebesar 10 persen total pendapatan. Sedang titik M pada kurva OMNB menggambarkan bahwa 40 persen jumlah penduduk menerima bagian pendapatan sebesar 17 persen dari total pendapatan. Berarti distribusi pendapatan yang digambarkan oleh kurva OMNB lebih merata dari pada distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh kurva OKLB.

Kelemahan Gini Ratio adalah besarnya nilai gini ratio tidak bisa menjelaskan letak ketimpangannya. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dengan membuat kurva OMNB yang nilai Gini Rationya dibuat sama dengan kurva OKLB. Dalam kurva (yang diarsir) golongan bawah lebih menderita dibandingkan kurva OMNB karena persentase yang diterima oleh 40 persen penduduk hanya 10 persen pendapatan, sedang pada kurva OKLB 40 persen penduduk menerima bagian 17 persen dari total pendapatan. Untuk mengatasi kelemahan ini para pakar menganjurkan agar ukuran ini dilengkapi dengan ukuran lain seperti Kriteria Bank Dunia, sehingga diketahui keadaan penduduk kelas bawah atau kelas atas yang timpang.

Daimon dan Thorbecke (1999-5) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009 (BPS, 2009) berpendapat bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut.

a. Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara drastis sebagai akibat krisis.

b. Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan.

Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya:

a. Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.

(16)

c. Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini juga memenuhi hal ini.

d. Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi kriteria ini.

Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat: a. Dapat didekomposisi

Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain. Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok. Yakni nilai total Koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai Indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group).

b. Dapat diuji secara statistik

Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang) kepercayaan umumnya dapat dibentuk.

2.4.

Kriteria Bank Dunia

Bank Dunia, dalam upaya mengukur ketimpangan pendapatan, membagi penduduk menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah, kelompok 40 persen penduduk berpendapatan menengah, dan kelompok 20 persen penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah, dengan kriteria sebagai berikut:

(17)

b. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah antara 12 persen sampai dengan 17 persen, maka dikatakan terdapat ketimpangan pendapatan moderat/sedang/menengah.

(18)
(19)

METODOLOGI

3.1.

Sumber Data

Distribusi pendapatan penduduk 2015 dihitung berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2015 yang pengumpulan datanya dilakukan melalui wawancara tatap muka antara petugas survei dengan responden.

3.2.

Konsep dan Definisi

Konsep dan definisi yang dipakai pada Susenas 2015 yang terkait diantaranya :

Rumah tangga

Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur dalam pengertian bahwa kebutuhan sehari-hari diurus bersama-sama menjadi satu.

Anggota Rumah Tangga / Penduduk

(20)

Pengeluaran

Pengeluaran rumah tangga sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumahtangga dibedakan menjadi dua kelompok yaitu konsumsi makanan dan bukan/non makanan (perumahan, aneka barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, pakaian, barang tahan lama, pajak dan asuransi, dan keperluan untuk pesta dan upacara). Konsumsi tersebut tanpa memperhatikan asal barang (membeli atau hasil sendiri atau pemberian) dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha rumah tangga atau diberikan kepada pihak lain.

Pendapatan

Pendapatan adalah penerimaan berupa uang maupun barang yang diterima atau dihasilkan. Namun disadari, bahwa informasi pendapatan ini tidak seperti yang diharapkan, dimana banyak responden cenderung memberikan informasi pendapatan yang tidak sebenarnya. Oleh sebab itu, data pendapatan sendiri diperkirakan dari data pengeluaran dengan asumsi bahwa pengeluaran masyarakat merupakan gambaran dari pendapatan mereka.

3.3.

Teknik Analisis

Teori atau ukuran-ukuran yang digunakan dalam tulisan ini adalah Teori Gini Ratio dan Kriteria Bank Dunia. Sedangkan untuk data pendapatan didekati dengan data pengeluaran (konsumsi) rumah tangga.

Gini Ratio

(21)

semakin mendekati 1 (satu) berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan (jurang pemisah antara si kaya dan si miskin lebar).

Secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

0,00 < G < 0,35 → pemerataan tinggi / ketimpangan rendah 0,35 < G < 0,50 → pemerataan / ketimpangan sedang G > 0,50 → pemerataan rendah / ketimpangan tinggi

Kriteria Bank Dunia

Pada prinsipnya Kriteria Bank Dunia membagi penduduk ke dalam 3 (tiga) kelompok pendapatan yaitu 40 persen kelompok penduduk berpendapatan rendah, 40 persen kelompok penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen kelompok berpendapatan tinggi. Pengelompokan seperti ini pada dasarnya sama dengan menggunakan cara desil (decile) yaitu 40 persen pertama sama dengan desil ke-4; 40 persen kedua sama dengan desil ke-8 dan 20 persen terakhir adalah desil ke-10.

Dalam menentukan besarnya desil ke-i digunakan rumus :

=

+

i = 1, 2, 3, ... 10 ni = Persentase ke-i Di = Desil ke-i

(22)

Kriteria ketimpangan diukur berdasarkan bagian pendapatan yang diterima kelompok berpendapatan rendah. Jika bagian pendapatan yang diterima kelompok ini:

(23)
(24)

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

KOTA SEMARANG

4.1.

Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang Tahun 2011

2015

Salah satu konsekwensi dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan adalah ketimpangan distribusi pendapatan. Dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto pada tahun 2015 mencapai 134,268,633.62 juta rupiah dan Pertumbuhan ekonomi selama lima tahun ( 2011 – 2015 ) mampu tumbuh dengan rata-rata di atas 5 % (lihat Tabel 1 dan 2) maka dapat dikatakan ekonomi makro Kota Semarang menunjukan perkembangan yang cukup baik selama lima tahun tersebut.

Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan perekonomian kota semarang, pendapatan masyarakat yang terlihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat PDRB per kapita pada tahun 2015 mencapai 78,929,826.93 rupiah atau 8,30% lebih tinggi dari tahun 2014 yang mencapai 72,880,505.52 rupiah.

Ketersediaan data pendapatan perkapita untuk daerah di Indonesia secara umum dapat dikatakan tidak tersedia, oleh karena itu pengukuran kesejahteraan masyarakat suatau wilayah umumnya didekati dengan dua pendekatan pendapatan yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita dan Pengeluaran Konsumsi Perkapita. Walaupun kedua nilai tersebut tidak menggambarkan pendapatan riil penduduk akan tetapi secara empiris terbukti dapat memberikan gambaran pendapatan penduduk untuk dapat menjadi indikator kesejahteraan masyarakat suatu wilayah.

(25)

wilayah yang mempunyai nilai PDRB tinggi belum tentu memiliki PDRB perkapita yang tinggi bila jumlah penduduk wilayah tersebut besar jumlahnya.

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta rupiah) Kota Semarang

Tahun

Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar

Harga Konstan 2010

Tahun 2011 91.034.098,92 86.142.966,70 Tahun 2012 99.753.672,36 91.282.029,07 Tahun 2013 108.807.145,40 96.985.402,04 Tahun 2014 *) 121.928.648,46 103.172.131,51 Tahun 2015 **) 134,268,633.62 109,141,554.19

Keterangan: *). Angka sementara

**). Angka sangat sementara

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang

Tahun Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar

Harga Konstan 2010

Tahun 2011 12,63 6,58

Tahun 2012 9,58 5,97

Tahun 2013 9,07 6,25

Tahun 2014 *) 12,06 6,38

Tahun 2015 **) 10,12 5,79

Keterangan: *). Angka sementara

(26)

Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar

Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010

Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah) Kota Semarang

Tahun Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar Harga Konstan 2010

Tahun 2011 57,307,817.78 54,228,750.51 Tahun 2012 61,711,130.61 56,469,141.90 Tahun 2013 66,169,341.89 58,980,135.93 Tahun 2014 *) 72,880,505.53 61,669,158.12 Tahun 2015 **) 78,929,826.94 64,158,871.30

Keterangan: *). Angka sementara

**). Angka sangat sementara 12.63

9.58

9.07

12.06

10.12

6.58

5.97 6.25 6.38 5.79

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00

2011 2012 2013 2014 2015

(27)

Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang Atas

Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010

4.2.

Pola Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi perkapita dapat digunakan sebagai pendekatan pendapatan perkapita sehingga informasi mengenai Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan.

Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya lebih tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan ,ditabung atau diinvestasikan. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat

10.62

7.68

7.22

10.14

8.30

4.68

4.13 4.45 4.56 4.04

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

2011 2012 2013 2014 2015

(28)

dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.

Secara umum pergerakan yang terjadi dari tahun 2011 ke tahun 2015 terlihat bahwa konsumsi non makanan mendominasi struktur konsumsi penduduk Kota Semarang, secara teoritis komposisi pola konsumsi dapat dikatakan bahwa masyarakat Kota Semarang mengalami peningkatan kesejahteraan.

Pada tahun 2015, Komoditi ‘Perumahan dan fasilitas rumah tangga’ dan komoditi ‘Makanan dan Minuman Jadi’ mendapat porsi tertinggi masing-masing 29.63% dan 11,35% disusul ‘Aneka barang dan jasa lainnya’ 9,18 %, ‘Barang tahan lama’ 9,15% dan Pendidikan 6,09%, sedangkan pengeluaran untuk 17 kelompok komoditas lainnya masing-masing kurang dari 5%.

Pengeluaran perkapita kota semarang pada tahun 2015 sebesar Rp 1,297,895 terbagi sebesar Rp 437.497 (33,71%) untuk pengeluaran makanan dan Rp 860.399 (66,29%) untuk pengeluaran non makanan.

Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan dan Komposisi Konsumsi

Penduduk Kota Semarang

Tahun Rata-rata Pengeluaran Per-kapita sebulan (Rp)

Persentase

Makanan Non Makanan

Tahun 2011 749.403 40,75 59,25

Tahun 2012 760.649 43,36 56,64

Tahun 2013 1.070.470 37,29 62,71

Tahun 2014 1.058.225 40,28 59,72

(29)

Gambar 3. Persentase Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang

Komposisi Pengeluaran kelompok komoditas Makanan sebagai berikut: sub kelompok komoditas makanan dan minuman jadi memiliki porsi terbesar yakni sebesar 33,66 persen, selanjutnya sub kelompok komoditas padi-padian 11,99 persen, Sub kelompok telur dan susu 9,11 persen, sub kelompok tembakau dan sirih 7,68 persen, sub kelompok buah-buahan 7,21 persen, sub kelompok daging 6,29 persen , sub kelompok sayuran 5,93 persen dan 7 sub kelompok komoditas yang lain masing-masing kurang dari 5 persen.

Sedangkan komposisi pengeluaran non makanan dapat dirinci sebagai berikut: 44,70 persen pengeluaran untuk sub komoditas perumahan dan fasilitas rumahtangga, 14,40 persen untuk barang tahan lama,13,85 persen untuk sub kelompok aneka barang jasa lainnya, 9,19 persen untuk sub kelompok pendidikan, 6,38 persen untuk pengeluaran kesehatan , 4,72 persen untuk pajak pungutan/asuransi dan sub kelompok yang lain sebesar 3,52 persen untuk sub kelompok pakaian alas kaki dan tutup kepala serta 3,25 persen untuk keperluan pesta dan upacara.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 40.75 43.36 37.29 40.28

33.71 59.25 56.64 62.71 59.72

66.29

(30)

Gambar 4. Rata-rata Pendapatan Per-kapita sebulan dirinci menurut

Kabupaten / Kota di Jawa Tengah Tahun 2015

Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. legal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Prov. Jawa Tengah

(31)

Gambar 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk

Kota Semarang Tahun 2015

Padi-padian, 4.04 Umbi-umbian, 0.23

Ikan/udang/cumi/keran g, 1.81 Daging, 2.12

Telur dan Susu, 3.07

Sayur-sayuran, 2.00

Kacang-kacangan, 1.05

Buah-buahan, 2.43 Minyakdan Lemak, 0.86

Bahan Minuman, 1.02 Bumbu-bumbuan, 0.45 Konsumsi Lainnya, 0.69 Makanan dan Minuman

Jadi, 11.35

Tembakau dan sirih, 2.59 Perumahan dan Fasilitas

Rumahtangga, 29.63 Kesehatan, 4.23

Pendidikan, 6.09 Aneka Barang dan Jasa

Lainnya, 9.18 Pakaian, Alas kaki dan

Tutup Kepala, 2.33

Barang Tahan Lama, 9.55

(32)

Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk

Kota Semarang Tahun 2015

Jenis Pengeluaran

Makanan Persen

Jenis Pengeluaran Non

Makanan Persen

(1) (2) (3) (4)

Padi-padian 11.99 Perumahan dan Fasilitas

Rumah tangga 44.70

Umbi-umbian 0.69 Aneka Barang dan Jasa 29.41 Ikan / udang / cumi / kerang 5.38 - Kesehatan 6.38

Daging 6.29 - Pendidikan 9.19

Telur dan Susu 9.11 - Lainnya 13.85

Sayur-sayuran 5.93 Pakaian, Alas kaki dan

Tutup Kepala 3.52

Kacang-kacangan 3.11 Barang Tahan Lama 14.40 Buah-buahan 7.21 Pajak, Pungutan dan

Asuransi 4.72

Minyak dan Lemak 2.56 Keperluan Pesta dan

Upacara / Kenduri 3.25

Bahan Minuman 3.03

Bumbu-bumbuan 1.34

Konsumsi Lainnya 2.04

Makanan dan Minuman Jadi 33.66 Tembakau dan sirih 7.68

Total

100,00

100,00

Rata – Rata Pengeluaran

Makanan (Rp.) 437,496

Rata – Rata Pengeluaran

(33)

4.3.

Kesenjangan Distribusi Pendapatan

a. Koefisien Gini (Gini Ratio)

Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang penting karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Tingginya ketimpangan pendapatan atau kemiskinan relatif, berarti kebijakan pembangunan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu parameter yang digunakan untuk menilai ketimpangan distribusi pendapatan. Koefisien Gini bernilai antara 0 sampai dengan 1 yang merupakan rasio antara luas area antara kurva Lorenz dengan garis kemerataan sempurna dengan luas area di bawah kurva Lorenz.

Gambar 6. Kurva Lorenz [ Hasil Olah Susenas 2015 Kota Semarang ]

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

(34)

Koefisien Gini berikut ini didasarkan data SUSENAS mengenai pengeluaran rumah tangga di Kota Semarang tahun 2011-2015.

Selama kurun waktu 2011-2015, Koefisien gini tahun ini merupakan angka capaian terburuk (koefisien tertinggi) sebesar 0,3300. Angka ini meningkat tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,3128.

Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah

Tahun

Kota Semarang

Jawa Tengah

Tahun 2011 0,3545 0,3462

Tahun 2012 0,3518 0,3554

Tahun 2013 0,3514 0,3900

Tahun 2014 0,3807 0,3729

Tahun 2015 0,3300 0,3800

(35)

Gambar 7. Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang

Tahun 2011 – 2015

Koefisien Gini pada level wilayah provinsi selalu lebih tinggi dari kota semarang

pada tiga tahun terakhir, sedangkan pada 2010 dan 2011 tercatat level provinsi memiliki

nilai ketimpangan lebih rendah dibanding Kota Semarang. Keterbandingan indeks gini

level provinsi terhadap Kota Semarang dilihat menurut kategori ketimpangan rendah

(<0,35), sedang(0,35 – 0,5) atau tinggi (>0,5) , maka pada 5 tahun terakhir indeks gini

Kota Semarang terkategori ketimpangan sedang kecuali tahun 2010 dan 2014, sedangkan

pada level provinsi, termasuk kategori ketimpangan rendah pada kurun waktu 2010

hingga 2011 selebihnya terkategori sebagai ketimpangan sedang.

0.3545 0.3518 0.3514

0.3807

0.3300

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60

2011 2012 2013 2014 2015

Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang

TINGGI

(36)

Tabel 7. Peringkat Nilai Gini Ratio Kabupaten / Kota di wilayah

Provinsi Jawa Tengah

Kabupaten/Kota Rangking Tahun 2011 Rangking Tahun 2012 Rangking Tahun 2013 Rangking Tahun 2014 Rangking Tahun 2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 Kab. Cilacap 7 31 20 14 15

2 Kab. Banyumas 18 30 11 34 35

3 Kab. Purbalingga 11 8 5 8 16

4 Kab. Banjarnegara 16 33 16 16 10

5 Kab. Kebumen 20 5 1 4 5

6 Kab. Purworejo 5 18 33 28 20

7 Kab. Wonosobo 32 19 24 13 31

8 Kab. Magelang 10 20 17 12 30

9 Kab. Boyolali 34 34 6 19 21

10 Kab. Klaten 14 21 27 15 24

11 Kab. Sukoharjo 24 22 26 29 25

12 Kab. Wonogiri 8 23 15 27 7

13 Kab. Karanganyar 35 14 28 26 17

14 Kab. Sragen 29 27 14 21 32

15 Kab. Grobogan 25 24 22 24 3

16 Kab. Blora 33 35 34 17 22

17 Kab. Rembang 13 9 18 1 6

18 Kab. Pati 3 3 8 11 26

(37)

Kabupaten/Kota Rangking Tahun 2011 Rangking Tahun 2012 Rangking Tahun 2013 Rangking Tahun 2014 Rangking Tahun 2015

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

20 Kab. Jepara 26 15 7 2 11

21 Kab. Demak 19 16 10 9 1

22 Kab. Semarang 28 6 9 22 12

23 Kab. Temanggung 22 26 32 20 33

24 Kab. Kendal 27 10 23 18 27

25 Kab. Batang 4 4 3 23 2

26 Kab. Pekalongan 2 2 4 6 8

27 Kab. Pemalang 1 1 2 3 9

28 Kab. Tegal 6 11 13 30 13

29 Kab. Brebes 9 7 12 5 4

30 Kota Magelang 31 17 29 31 23

31 Kota Surakarta 30 28 31 33 28

32 Kota Salatiga 21 32 35 35 34

33 Kota Semarang 23 29 25 32 19

34 Kota Pekalongan 12 12 21 25 14

(38)

Gambar 8. Perbandingan Koefisien Gini Kota Semarang dan

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 – 2015

b. Relatif Inequality (Kriteria Bank Dunia)

Pola distribusi pendapatan masyarakat yang didasarkan pada hasil perhitungan

indeks gini hanya bisa menggambarkan tingkat pemerataan pendapatan secara umum,

tetapi belum menjelaskan besarnya porsi yang diterima oleh kelompok berpendapatan

rendah/miskin dari keseluruhan pendapatan wilayah. Dengan menggunakan ukuran yang

dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bank Dunia dan Lembaga Studi Pembangunan

Universitas Sussex, kita akan mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai masalah

ketidakadilan (inequality) melalui indikator yang disebut relative inequality atau biasa

disebut dengan kriteria Bank Dunia. Relative Inequality diartikan sebagai ketimpangan

dalam distribusi pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat.

0.0000 0.1000 0.2000 0.3000 0.4000 0.5000

Th. 2011 Th. 2012 Th. 2013 Th. 2014 Th. 2015

0.3545 0.3518 0.3514

0.3807 0.3300

0.3462 0.3554

0.3900 0.3729

0.3800

(39)

Ketimpangan distribusi pendapatan Kota Semarang berdasarkan pendekatan

Kriteria Bank Dunia, menunjukkan bahwa pada tahun 2015, 40% penduduk yang

memiliki pendapatan terendah hanya dapat menikmati 16,04 persen dari total pendapatan

seluruh penduduk, hal ini termasuk dalam kategori ketimpangan sedang, Berbeda dengan

tahun sebelumnya (2014), 40% penduduk berpendapatan terendah, dapat menikmati

17,44%, angka ini termasuk dalam kategori ketimpangan rendah.

Perekonomian kota semarang yang terus menggeliat naik secara otomatis akan

berdampak pada perubahan nominal pengeluaran perkapita, dan Kota Semarang

memiliki pendapatan perkapita tertinggi se Jawa Tengah, tetapi pada sisi yang lain hanya

16 persen saja dari pendapatan penduduk yang diterima oleh 40 persen kelompok rumah

tangga berpendapatan terendah di tahun 2015. Tingkat ketimpangan sudah seharusnya

perlu mendapat perhatian agar angka ini tidak menuju pada level yang lebih tinggi

ditahun mendatang. Bila ada keinginan untuk menurunkan proporsi penduduk miskin

dimasa depan, masalah ketimpangan distribusi pendapatan antar waktu dan antar wilayah

karena merupakan bagian dari konsekwensi pertumbuhan ekonomi disuatu wilayah yang

tidak akan pernah hilang.

Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan Kriteria

Bank Dunia Tahun 2011 – 2015

Tahun

Kriteria Bank Dunia

40 % Rendah 40 % Menengah 20 % Tinggi

Tahun 2011 18,15 36,27 45,58

Tahun 2012 18,24 36,16 45,60

Tahun 2013 16,08 46,68 37,24

Tahun 2014 17,44 48,48 34,07

(40)
(41)

Gambar 9. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

Kriteria Bank Dunia Tahun 2015

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 110.00

Kumulatif Pendapatan (persen) 16.04

33.53 50.43

(42)
(43)

PENUTUP

5.1.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab – bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan :

1. Koefisien gini kota semarang selama kurun waktu lima tahun terakhir

(2011-2015) mengalami fluktuasi dari posisi ketimpangan distribusi pendapatan

rendah hingga sedang. Koefisien gini tahun ini merupakan angka tertinggi

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

2. Koefisien gini provinsi jawa tengah selama kurun waktu lima tahun terakhir (2011-2015) selalu merangkat naik dan pada 3 tahun terakhir termasuk dalam kategori ketimpangan sedang.

3. Koefisien gini kota semarang dan provinsi jawa tengah selama kurun waktu

lima tahun terakhir (2011-2015) mengalami fase dari posisi ketimpangan

distribusi pendapatan rendah menuju ketimpangan distribusi pendapatan

sedang. Hal ini berarti terjadi kesenjangan distribusi pendapatan yang

semakin melebar.

4. Menurut kriteria bank dunia persentase pendapatan yang diterima oleh

kelompok 40% berpendapatan terendah kota semarang berada di kisaran

(44)

5.2.

Saran-saran

1. Pertumbuhan ekonomi kota semarang yang terus meningkat tetapi tidak

diimbangi dengan kecenderungan tingkat pemerataan pendapatan yang

tinggi atau ketimpangan distribusi pendapatan yang cenderung meningkat

terutama dalam empat tahun terakhir perlu diwaspadai. Progaram-program

pengentasan kemiskinan harus terus dilanjutkan dan diperketat

pengawasannya;

2. Jumlah penduduk miskin dan kantong kemiskinan di Kota Semarang harus

mendapat perhatian khusus. Dengan memperhatikan dan memetakan potensi

sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada didaerah tersebut

akan mempercepat proses pengentasan kemiskinan yang pada akhirnya akan

(45)

Gambar

Tabel    1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta rupiah) Kota Semarang
Gambar    1. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar
Gambar    2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010
Tabel    4. Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan dan Komposisi Konsumsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian tindakan yang telah dilakukan, maka saran dalam penelitian ini adalah (1) guru dapat memilih model pembelajaran kooperatif tipe TGT sebagai

Dengan demikiantujuan penelitian ini adalahMendeskripsikan Problematika pembelajaran PAI dengan sistem penggabungan kelas, mengetahui upaya guru dalam mengatasi

Suatu unit kegiatan usaha yang didirikan sebagai suatu unit kegiatan usaha yang didirikan dilakukan sebagai suatu institusi badan hukum yang pendirinya dilakukan melalui

- Asked the students to infer what they understand about the narrative text. The writer gave score to the data from experiment group and control group.. post test using

kategori mampu.. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan membaca nun mati atau. tanwi&gt;n pada ikhfa&gt;haqiqi adalah ketepatan siswa

Gambar 9 Sistem Dekompresi Diesel 4 Tak Selinder Tunggal.. Selain mekanisme katup seperti disebutkan di atas, motor diesel generator 4 tak biasanya juga dilengkapi dengan

Selama hal ini tidak ada tindak lanjut dari pemerintah dan Badan Amil Zakat, maka tidak menutup kemungkinan bagi semua pengelola dan amil zakat yang dilakukan

slam adalah agama samawi yang diturunkan terakhir, ia menjadi pedoman hidup manusia hingga akhir zaman (berlaku universal dan eternal), selanjutnya karena keadaan