• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB I"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

SATU

DAYAK MEMPERTAHANKAN

IDENTITAS

Latar Belakang

Dampak negatif pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pada era reformasi adalah terjadinya konflik di beberapa daerah serta menguatnya gejala konflik baru, baik yang bersifat sosial-horisontal maupun yang bersifat politik-vertikal, termasuk yang terjadi di Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Menguatnya gejala konflik ini harus dipandang sebagai salah satu implikasi negatif dari kebijakan pembangunan dan hubungan pusat-daerah yang tersentralisasi pada era terdahulu (masa pemerintahan Orde Baru).

Salah satu konflik sosial yang mengemuka dan terjadi hampir diseluruh pelosok republik ini sejak masa pemerintahan Hindia Belanda dan Indonesia (paska kolonial) terkait dengan konflik tanah yang terus berlangsung dan semakin ruwet. Bachtiar (2005) dengan mengutip pendapat Aditjondro (1995) mencatat secara garis besar, ada

lima jenis konflik yang memberikan „kekuatan bertahan‟ kepada

konflik-konflik tanah di Indonesia, yakni; (a) konflik-konflik

„mayoritas-minoritas‟ yang umum berlaku di Indonesia; (b) konflik

-konflik antara warganegara (citizen) versus negara (state) yang umum

terjadi di negara-negara di mana kedudukan negara sangat kuat

vis-â-vis warganya; (c) konflik-konflik politis-ekologis yang khas di Asia

(2)

2

konflik antara ekosistem-ekosistem yang berbeda; dan akhirnya (f) konflik antara sistem-sistem hukum yang berbeda.

Konflik tanah umumnya terjadi di daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi kepentingnya pembangunan. Dari tanah ini muncul persoalan konflik yang lebih spesifik meliputi; konflik pertambangan, konflik kehutanan, konflik perkebunan dan konflik diakibatkan datangnya transmigrasi.

Sejak dikeluarkan kebijakan deregulasi berupa UU tentang Pemananaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan UU tentang Pemanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968, maka pemerintah yang berkuasa pada saat itu (Soerharto) mengundang seluas-luasnya para investor untuk menanamkan modalnya ke Indonesia mengeksplotasi potensi sumber daya alam. Caranya adalah dengan memberikan berbagai konsesi atau perijinan, seperti Hak Penguasaan Hutan (HPH); Hutan Tanaman Industri (HTI); Kuasa Pertambangan (KP); Kontrak Karya (KK); dan Hak Guna Usaha (HGU). Bagi industri pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diberi izin untuk mengeksploitasi pohon-pohon yang bernilai ekonomis dalam areal tertentu yang diberikan. Dampaknya tentu saja sangat mudah ditebak: perusakan hutan massif yang sistematis, tanah longsor, banjir sampai kebakaran hutan. Namun, hal yang paling buruk adalah

penyingkiran “komunitas adat” dari rumahnya dan hilangnya akses

mereka atas hutan. Pemberian HPH tidak pernah berhenti dan terus berlangsung hingga saat ini.

(3)

3 manfaat kesejahteraan bagi kawasan di sekitar pertambangan melalui

serapan tenaga kerja maupun “kesejahteraan yang menetes” berupa

kebangkitan ekonomi kawasan sekitar tambang, seperti pandangan aliran ekonomi neoklasik yang memahami pertambangan sebagai

fungsi produksi suatu negara untuk menghasilkan ouput berupa tenaga

kerja, modal, energi, dan material (Davis dan Tilton, 2002:5).

Pertambangan juga dianggap mampu memfasilitasi transfer teknologi dan inovasi yang digunakan oleh perusahaan pertambangan (Sachs, 1970). Dengan adanya teknologi mutakhir, pengelolaan pertambangan menjadi lebih baik. Selain ada transfer teknologi, pemerintah dan masyarakat lokal dinilai juga akan memperoleh banyak manfaat, seperti lapangan pekerjaan, pembelian lahan, proyek infrastruktur, investasi komunitas, kompensasi, dan ragam instrumen

CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan kata lain, masuknya

perusahaan tambang terutama yang skala besar tidak hanya memberikan dampak positif bagi pemerintah nasional, tapi jugà terhadap masyarakat lokal sekitar tambang. Argumentasi inilah yang selalu digunakan pemerintah untuk membenarkan pemberian KP dan KK bagi usaha pertambangan.

Namun di balik argumentasi tersebut, sebuah laporan Oxfam

berjudul Digging to Development? A Historical Look at Mining and

(4)

4

yang diklaim oleh negara terkait dengan manfaat adanya pertambangan tidak selalu relevan dan kurang meyakinkan (Yuwono, dll, 2012).

Kehadiran pertambangan skala besar bahkan dituduh sebagai biang keladi konflik yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, ketika muncul perusahaan tambang besar, kebanyakan akan diikuti dengan

berbagai konflik, baik horizontal maupun vertikal. Kasus conflict

diamonds di Angola, Sierra Leone, dan Kongo mengonfirmasi argumen

tersebut. Di tiga negara ini, conflict diamonds telah menciptakan

konflik sosial yang masif, bahkan tingkat kemiskinan yang ekstrem (Goreux, 2001). Parahnya, pejabat-pejabat negara yang korup

memelihara conflict diamonds itu untuk memperoleh keuntungan

pribadi. Kasus serupa juga banyak terjadi di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh Ngadisah (2003) terkait dengan hadirnya PT Freeport Indonesia di Papua. Konflik-konflik demikian selalu mengorbankan warga sekitar pertambangan dan menguntungkan elite-elite lokal setempat (Jatam 2005, 2006; Maimunah, 2012).

Kehadiran pertambangan, khususnya di Indonesia, telah memberikan dampak buruk terhadap kerusakan lingkungan. Jutaan hektar hutan yang digunduli, gunung-gunung yang dikeruk, dan sungai-sungai yang tercemar, tidak lain adalah ulah perusahan-perusahaan pertambangan besar yang tidak bertanggung jawab (Aditjondro, 2003a, dan 2003b). Dari kerusakan itu, lagi-lagi masyarakat kecil yang menjadi korban (bahkan dikorbankan). Kemudian, dampak yang tidak kalah mengerikan dari keberadaan pertambangan adalah terjadinya bencana. Publik telah mengenal luas bagaimana kasus Lumpur Lapindo telah menghabisi kehidupan dan penghidupan warga Sidoarjo di puluhan desa. Juga pencemaran Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya, yang menjadi bukti tentang begitu berbahayanya dampak pertambangan serta bencana lainnya.

Bencana yang diakibatkan oleh tangan manusia atau man-made

disaster semacam inilah yang perlu diwaspadai (Batubara, 2010).

(5)

5

pembangunan (Burger, 2002:8-34) dengan mantranya there is no

alternative.1 Pemerintahan masa Soeharto (orde baru) hingga masa

pemerintahan SBY terus menekankan mitos ini kepada publik dan mencoba menutup mata terhadap suara-suara efek buruk dari pertambangan dan lebih percaya pada pentingnya pertumbuhan ekonomi, terbukanya lapangan pekerjaan, dan kebangkitan ekonomi dengan hadirnya perusahaan tambang besar.

Di sisi lain ketidak-siapan masyarakat disekitar tambang menjadi masalah besar ditunjukkan hanya sebagian kecil warga yang mampu melihat dan memanfaatkan peluang untuk mengejar keberhasilan tanpa kendala sosial, sementara sebagian terbesar warga semakin

terpuruk dalam persaingan yang tidak seimbang (unfair competition)

(Ngadisah, 2003:7). Dampaknya adalah masyarakat sekitar tambang pada akhirnya hanya menjadi tenaga kasar yang penghasilannya bahkan lebih rendah bila dibandingkan dengan kehidupannya sebelum masuknya perusahaan tambang.

Dengan memaksakan adanya industri pertambangan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, hal ini bisa dibaca sebagai upaya penyingkiran tradisi dan identitas masyarakat. Alasan inilah yang menjadi dasar mengapa sering terjadi perlawanan bahkan penolakan hadirnya perusahaan tambang di berbagai daerah di Indonesia. Sebab, ancamannya memang begitu serius, yakni menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka.

Terkait dengan perlawanan hadirnya perusahaan tambang bukanlah hal baru. Dewi (2005) meneliti kehadiran PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat ternyata memicu munculnya konflik. Dari hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa banyaknya pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan kebijakan investasi dan pertambangan menyebabkan orientasinya lebih bersifat ekonomi. Kebijakan di sektor lingkungan hidup juga mendukung kebijakan di

1 Matra there is no alternative mempercayai hanya perusahaan-perusahaan

(6)

6

atas, dapat dilihat dengan mudahnya mengeluarkan ijin pembuangan limbah ke laut membawa dampak hancurnya kehidupan masyarakat. Di Kalimantan Tengah, suku Dayak, Kutai, Banjar dan Bugis melakukan perlawanan terhadap PT KEM atas dampak negatif yang telah ditimbulkannya. Dari menggelar demonstrasi di lapangan, kantor pemerintah dan parlemen di setiap level meminta pemerintah dan parlemen sampai memobilisasi dukungan internasional menentang PT KEM (Situmorang, 2007).

Perusahaan terbesar nikel dunia, Inco mendapatkan perlawanan dari masyarakat lokal, ornop lokal, nasional dan internasional. Strategi gerakan yang dilakukan adalah mendatangi anggota parlemen untuk menekan mereka mendukung perjuangan; mendatangi Komisi Nasional atas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta untuk menyampaikan pelanggran HAM yang dilakukan oleh Inco; dan yang terakhir memobilisasi dukungan internasional menekan Inco untuk menghormati dan bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan hidup dan rakyat Onopute dan Bohumatefe Sulawesi Tengah (Jatam, 2003). Di Sumbawa, masyarakat lokal didukung Jatam dan Yayasan Olah Hidup menentang aktivitas Newmont Nusa Tenggara karena membawa dampak serius terhadap kehidupan rakyat dan lingkungan hidup. Mereka melakukan aksi demonstrasi dan petisi ke media agar Newmont Sumbawa mengembalikan tanah dan memberikan kompensasi atas tanah yang telah dirampas serta oleh Newmont serta transparan atas dampak negatif membuang limbah tailing ke dasar laut melalui pipa-pipa raksasa

(7)

7 Konflik kepentingan juga terjadi antara antara PT Timah Tbk dengan pemerintah Kabupaten Bangka disebabkan isu tata niaga timah, isu peningkatan PAD yang membebani PT Timah tbk, isu tambang inkonvensional yang dilindungi oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bangka, isu legalitas pertambangan rakyat serta isu penggunaan alat berat yang mengancam cadangan timah milik PT Timah tbk. Konflik kepentingan lainnya juga terjadi antara PT Timah tbk dengan smelter milik AITI disebabkan inkonsistensi implementasi kebijakan royalti. Pada akhirnya hasil penelitian Sahani (2006) memperlihatkan bahwa interaksi konflik diwarnai dengan upaya masing-masing pihak mendayagunakan koneksi politik yang dimiliki guna mempengaruhi kebijakan pertambangan timah. Dengan kata lain keterlibatan aktor penting terutama aktor politik seperti yang diungkapkan oleh McCarthy (2007).

Bagi orang Dayak usaha pertambangan bukanlah hal baru, seperti yang ditunjukkan dari hasil penelitian Heidhues (2008) yang menyatakan bahwa pertama kali ditemukan di Borneo Barat (Kalimantan Barat) sekurang-kurangnya sejak tahun 1808 oleh seorang kapten kapal atau pedagang Inggris bernama J. Burn. Setelah adanya penemuan ini sewaktu masa pemerintahan Hindia Belanda terutama masa pemerintahan Raffles melalui “Vereenigde Oostindische

Compagnie” (VOC) dengan menggandeng kelompok masyarakat

Tionghoa yang tinggal di Distrik Tionghoa Kalimantan Barat

(8)

8

Semua penduduk Borneo pada dasarnya melakukan kegiatan penambangan emas, namun kegiatan ini biasanya dianggap sebagai pekerjaan sederhana dan mudah. Dipihak lain usaha penambangan tidaklah demikian kenyataannya karena membutuhkan modal dan teknologi yang tinggi. Usaha yang sama juga dilakukan oleh masyarakat adat Dayak Siang, Dayak Murung dan Dayak Bakumpai yang kemudiaan disebut sebagai Dayak Siang Murung2 dengan cara

mendulang dan atau melunas dalam bahasa Dayak yang tinggal di

wilayah Kecamatan Permata Intan; Kecamatan Tanah Siang; Kecamatan Murung; Kecamatan Laung Tuhup; serta wilayah

Kecamatan Murung, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah

(Haridison, 2006).

Meskipun tidak ada refrensi tertulis, tetapi menurut masyarakat Dayak Siang Murung, menemukan emas adalah berawal dari seorang leluhur Dayak, warga Desa Tomolum bernama Engoh yang sedang berburu babi. Engoh mengejar buruannya hingga berada di tepian Sungai Ocin (anak Sungai Bantian, Kecamatan Permata Intan). Babi yang dikejar tersebut lari dan bertahan di sebuah gua. Pada akhirnya babi tersebut berhasil ditangkap dan dibunuh. Pada tubuh babi secara tidak sengaja ditemukan butiran-butiran emas bercampur tanah pasir yang menempel di bulu-bulu babi buruannya dan butiran-butiran emas tersebut dikumpulkannya. Sebagai tradisi, daging babi tadi dibagikan kepada semua warga sekitarnya. Sejak saat itu masyarakat mengetahui bahwa Sungai Ocin mengandung bijih emas. Kemudian disusul dengan penemuan di sungai lain, yaitu Sungai: Tingon, Luit,

Talaon, Muro, Malau, Ontu, Talui Murung, Ucang, Lomi, Ma‟an,

Kunyi, Sebunut, Mandaun, Sopan, Tojang. Sungai-sungai ini sekarang berada di empat kecamatan di Kabupaten Murung Raya (YBSD, 1996).

Bagi orang Dayak Siang Murung, emas digunakan sebagai benda adat atau budaya dalam beberapa acara ritual termasuk saat persiapan

perkawinan maupun kematian karena emas melambangkan

2 Bagi kami orang Dayak di Oreng Kambang, kumpulan Dayak Siang, Dayak Murung

(9)

9 kemurnian, kemuliaan, keluhuran dan kesucian. Pada saat perkawinan

emas dijadikan sebagai emas kawin (bulou singah siru) dan pada saat

kematian dijadikan sebagai bekal untuk di akhirat (ponguma) yang

dikenakan atau diberikan untuk orang mati. Lazimnya ponguma juga

diberikan kepada orang yang semasa hidupnya merupakan tokoh terpandang, kaya, terhormat, berjasa, serta yang berperan dalam adat. Emas juga bisa dijadikan tolak ukur kekayaan seseorang dalam masyarakat Dayak Siang Murung selain dari pada kepemilikkan atas barang-barang lainnya, seperti guci, piring antik, senjata pusaka, dan sebagainya (YBSD, 1998).

Awalnya masyarakat Dayak Siang Murung menambang di sungai-sungai secara tradisional dengan peralatan sederhana, menggunakan dulang kecil, angkatan, dan linggis untuk membongkar batu-batu besar. Dalam perkembangannya para penambang kemudiaan menggunakan mesin pompa air serta mesin penumbuk batu yang

selanjutnya didulang (dicuci) atau dengan menggunakan zat asam

tambang (sianida dan mercury) untuk mendapatkan emasnya.3

Meskipun sudah ada usaha penambangan rakyat, tetapi pemerintah tetap mengeluarkan ijin pertambangan.

Kehadiran PT IMK dimulai dengan survey di sekitar kawasan Gunung Moro pada tahun 1983 dan hasilnya kawasan ini dinilai

mempunyai potensi emas yang “layak secara ekonomis” untuk

dieksploitasi. PT IMK kemudian mengajukan ijin KK kepada pemerintah Indonesia dan resmi memperoleh ijin Kontrak Karya (KK) Generasi III untuk Bahan Galian Emas dan Mineral Pengikut dari Presiden RI pada tahun 1985. Meskipun memperoleh ijin penambangan tahun 1985, tetapi pengoperasian PT IMK dimulai pada tahun 1993 dengan tahapan konstruksi dan awal tahun 1994 mulai berproduksi.

Persoalan kemudiaan muncul ketika PT IMK harus beroperasi,

lokasi penambangan harus “dibersihkan” dengan cara “menggusur dan

mengusir” para penambang rakyat yang umumnya adalah masyarakat

3 Hasil wawancara dengan para penambang tanggal 14 Mei 2013 di Oreng Kambang

(10)

10

adat Dayak Siang Murung yang sudah beroperasi sejak tahun 1979. Dibantu aparat keamanan negara, PT IMK menggusur dan mengusir para penambang dari sisa-sisa lobang mesin tumbuk batu, rumah-rumah penduduk dengan menggunakan traktor dan gergaji listrik. Penggusuran dan pengusiran ternyata tanpa ganti rugi dimulai tahun 1987 karena dikategorikan sebagai penambang ilegal atau disingkat PETI.

Penggusuran dan pengusiran tentunya mendapat perlawanan dari para penambang dan masyarakat adat Dayak Siang Murung. Puncak perlawanan terjadi ketika PT IMK pada tahun 2005 hendak memperluas wilayah eksploitasi tambangnya dibawah kaki Gunung Puruk Kambang. Hal ini terjadi karena bagi masyarakat adat Dayak Siang Murung terutama penganut agama asli Dayak (Kaharingan) Gunung Kambang merupakan kawasan suci yang perlu dijaga keberadaannya. Walaupun mendapatkan perlawanan dari masyarakat dan juga belum memperoleh Ijin Pelepasan Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan, PT IMK tetap melakukan penambangan karena kawasan ini termasuk wilayah eksploitasi sesuai dengan ijin yang diberikan negara. Dengan pengawalan ketat dari aparat keamanan PT IMK terus melakukan penambangan di kaki Gunung Puruk

Kambang.4

Selain mengalami penggusuran dan pengusiran, perlawanan masyarakat di berbagai desa di sekitar pertambangan PT IMK juga merasakan dampak negatif terkait rusaknya kondisi lingkungan hidup seperti yang dilaporkan Ekspedisi Khatulistiwa (2012). Dampak negatif yang dimaksud antara lain; pencemaran sungai akibat pembuangan

limbah dari bahan bakar pembangkit listrik (batu bara dan oli) maupun

dari limbah pencucian emas dengan menggunakan zat asam tambang

(sianida dan mercury), hilangnya anak sungai, serta perubahan bentang

lahan yang diakibatkan pola penambangan open pit area dan gejolak

sosial terkait dengan permasalahan kemiskinan.

(11)

11 Berdasarkan hal di atas, mudah dipahami mengapa orang Dayak Siang Murung melakukan perlawanan terhadap PT IMK bermunculan satu demi satu. Meskipun pihak PT IMK sudah melakukan pendekatan dengan masyarakat secara langsung maupun melalui pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) dan juga lembaga adat Dayak bentukan pemerintah, seperti Majelis Adat Dayak (MAD) dan Dewan Adat Dayak (DAD), sampai menempuh jalur hukum apabila ada permasalahan dengan masyarakat. Namun perlawanan menentang kehadiran PT IMK terus bertumbuh dan berkembang.

Bagi orang Dayak Siang Murung, kehadiran PT IMK lebih banyak membawa kerugian dari pada manfaat sehingga tidak dapat dicegah tumbuhnya reaksi perlawanan dari mereka, utamanya para penambang dan masyarakat adat Dayak Siang Murung yang bermukim di sekitar lokasi penambangan PT IMK, tepatnya di desa Oreng Kambang. Gerakan perlawanan ini bahkan memakan korban ketika mereka melakukan aksi turun ke jalan memblokir kegiatan penambangan terutama pada pabrik pengolahan dan jalan-jalan yang menuju lokasi tambang PT IMK pada akhir bulan Juni 2000. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan dengan senjata lengkap dan melakukan penembakan kepada masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi.

Sementara konflik terus berlangsung, muncullah sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hadir untuk membela kepentingan para penambang, seperti Yayasan Bina Sumber Daya (YBSD), Walhi, Jatam, Alperudi, YLBHI, PBHI, Elsam, dan LBH Jakarta yang kemudiaan bergabung menjadi Tim Advokasi Tambang

Rakyat (TATR).5 Berbagai upaya yang dilakukan oleh TATR,

diantaranya melakukan gugatan ke pengadilan hingga melakukan dialog dengan komisi VIII dan Menteri Pertambangan dan Energi tahun 2013.

5 Kumpulan dokumen dari kelompok perlawanan masyarakat Adat Siang Murung

(12)

12

Selain PT IMK, kelompok masyarakat desa Oreng Kambang juga membangun jaringan dengan Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah atau disingkat LMMDDKT, seperti yang diberitakan harian Megapos (kamis, 31 Januari 2013) dan surat tanpa nomer yang dikirimkan oleh masyarakat wilayah Desa Oreng Kambang tertanggal 29 Januari 2013 kepada LMMDDKT. Dalam pernyataannya,

Diter Dua, perwakilan tokoh dan adat bahwa; “kami masyarakat Desa

Oreng Kambang memohon LMMDDKT untuk mendampingi kami

dalam menghadapi PT IMK yang telah melakukan pelanggaran”,

karena sudah mengancam kelestarian situs budaya Puruk Kambang.

Dihadirkannya perusahaan tambang di pedalaman Kalimantan Tengah khususnya disekitar wilayah Dayak Siang Murung, diasumsikan dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, ternyata tidak selamanya disambut dengan kegembiraan dan sikap-sikap positif lainnya. Dalam kasus PT IMK, bahkan warga masyarakat di desa Oreng Kambang sudah sejak awal telah menunjukkan reaksi protes. Seiring dengan berjalannya waktu, reaksi protes ini berkembang menjadi gerakan perlawanan untuk mengambil-alih kembali lobang-lobang tambang yang mereka miliki dan tetap mempertahankan keberadaan situs Gunung Puruk Kambang sebagai wilayah tempat suci bagi orang Dayak.

Fakta-fakta di atas kemudiaan diangkat untuk menjadi topik diskusi dan perdebatan di berbagai media sosial karena gencarnya para pengusaha tambang untuk masuk ke Kalimantan Tengah menggali dan mengeksploitasi barang tambang. Berkembangnya diskusi dan perdebatan di berbagai media sosial kemudiaan mampu menciptakan ruang publik baru yang kemudiaan dinamakan sebagai ruang publik virtual (Sari dan Royke, 2015). Ruang publik virtual ini menarik karena merupakan “ruang imajiner” atau “maya” yang bersifat artifisial

(buatan) dan setiap orang termasuk orang Dayak Siang Murung dapat melakukan apa saja termasuk melakukan gerakan perlawanan dengan

cara “baru” tanpa dibatasi (bounderies) oleh berbagai kepentingan

termasuk kepentingan negara. Disisi yang lain, PT IMK bukanlah

(13)

13 negara, tetapi perusahaan multinasional yang hanya bisa didekati dengan membangun jaringan komunikasi menggunakan internet melalui ruang publik virtual agar dapat membingkai isu-isu terkait pelanggaran yang dilakukan khususnya terhadap hak-hak masyarakat adat Dayak Siang Murung.

Kasus yang menarik diungkapkan Mama Jawa atau Mama Mira

yang mengatakan : “Mereka merayu, tetapi tidak masuk akal. Kami disuruh membuat anyaman bambu, sementara kami bisa mencari 1 (satu) gram emas sehari. Jadi memang persepsi orang seperti ini (perusahaan tambang) tidak sesuai dengan apa yang kami hadapi. Sebelum ada perusahaan, masyarakat kan sudah terbiasa dengan alam, misalnya dapat emas, dapat babi yang nilainya sudah di atas rata-rata gaji perusahaan. Masyarakat lokal berburu dapat babi, dijual dapat Rp. 1.000.000,-, lalu ditambah dapat emas 1 gram dapat Rp. 500.000,-. Dengan kata lain, alam pada dasarnya sudah menyediakan yang lebih dari yang ditawarkan dari nilai pekerjaan dia. Lalu tiba-tiba perusahaan datang dan disuruh pelihara ikan, disuruh ini itu yang nilainya tidak

sepadan”. 6 Pernyatan ini mengungkapkan bahwa hadirnya perusahan

tambang bukan untuk mensejahterakan tetapi membuat masyarakat menjadi miskin ditengah emas yang berlimpah.

Muncul sejumlah pertanyaan yang kemudiaan merangsang keingintahuan peneliti. Pertama, bagaimanakah gerakan melawan tambang dapat berkembang? Kedua, faktor-faktor seperti apakah yang mendukung keberhasilan gerakan melawan tambang? Ketiga, sejauhmanakah peran ruang publik virtual dalam mendukung gerakan perlawanan tambang?

Ketiga pertanyaan tersebut, merupakan panduan untuk menggambarkan apakah gerakan perlawanan tambang dinilai berhasil

atau gagal “menghentikan” operasi perusahaan tambang untuk

kemudiaan mengambil-alih kembali hak-hak masyarakat (adat). Faktor-faktor gerakan seperti apakah yang mendukung keberhasilan gerakan perlawanan termasuk menggunakan media dalam membangun

6 Hasil wawancara dengan Ibu Mira pada tanggal 10 Juli 2016, di Desa Oreng Kambang,

(14)

14

ruang publik virtual kemudiaan menjadi fokus dalam pembahasan disertasi ini. Selanjutnya unhtuk menjawab mendiskusikan dan menjawab pertanyaan tersebut menggunakan teori gerakan sosial dengan penekanan pada perspektif ekonomi politik.

Atas dasar pertanyaan penelitian di atas, maka disertasi ini akan diorganisasikan dalam bentuk buku, di mana di dalam bab dua dijelaskan tentang berbagai proses dan dinamika pembangunan yang mendorong munculnya perlawanan. Hal ini terjadi karena proses dan dinamika pembangunan selama ini lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang tentunya membutuhkan investasi yang

besar dengan “menjual” sumberdaya mineral kepada para investor. Di

lain pihak, masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumber tersebut terpaksa harus disingkirkan, seperti yang dihadapi orang Dayak Siang Murung. Kondisi ini tentunya berpotensi menciptakan konflik-konflik sosial melalui berbagai bentuk perlawanan.

Bab ketiga merupakan deskripsi Murung Raya dengan berbagai potensi yang dimilikinya. Sebagai salah satu Kabupaten terbesar di Provinsi Kalimantan Tengah, tentunya Murung Raya menyimpan berbagai potensi sumber daya alam yang besar untuk dimanfaatkan mendukung pembangunan. Selain potensi sumber daya alam, Murung Raya juga masih mempertahankan nilai-nilai kultural adat Dayak Siang Murung dalam mengatur kehidupan masyarakat yang ditunjukkan dengan masih diakuinya kelembagaan adat.

Bab keempat adalah bab yang menggambarkan perkembangan usaha pertambangan di Indonesia dan khususnya di Kalimantan Tengah terkait dengan hadirnya PT Indo Muro Kencana (PT IMK). Meskipun berbagai kebijakan mendukung masuknya usaha pertambangan di Indonesia, tetapi dalam prakteknya belum mampu melakukan usaha pertambangan yang baik dan benar (good mining

practice). Hal ini dilihat dari rendahnya kontribusi untuk penerimaan

negara maupun untuk kesejahteraan masyarakat serta rusaknya kondisi lingkungan hidup disekitar wilayah tambang PT IMK.

(15)

15 perusahaan pertambangan PT IMK. Dimulai dengan pemaparan yang menempatkan PT IMK sebagai sumber konflik dilanjutkan dengan bagaimana gambaran konflik yang terjadi. Dalam pembahasan ini akan diperlihatkan bagaimana hubungan yang dibangun antara penguasa dalam hal ini negara dengan pengusaha pertambangan yang sengaja diciptakan untuk menggusur hak-hak adat orang Dayak. Praktek-praktek penggusuran seperti apakah yang dilakukan pengusaha pertambangan didukung dengan aparat negara menjadi satu analisis dalam pemaparan berikut terkait dengan aktor dan jaringan aktor yang terbentuk berikut isu-isu yang melandasi perlawanan orang Dayak.

Dalam bab keenam dan bab ketujuh akan memaparkan bentuk-bentuk perlawanan orang Dayak termasuk menggunakan ruang publik virtual sebagai saluran perlawanannya. Bentuk-bentuk perlawanan dilakukan dengan membangun dan mengembangkan ideologi utama perlawanan berikut aktor-aktor yang dilibatkan di dalamnya. Ideologi utama perlawanan yang dimaksudkan terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Ideologi ini kemudiaan menjadi isu penting untuk dibingkat melalui ruang publik virtual. Sejauh mana ruang publik virtual dapat menjadi saluran perlawanan dan bagaimana ciri-cirinya akan menjadi pembahasan pada bab ketujuh.

Referensi

Dokumen terkait

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Results further showed that trait self-control is associated with contextual performance; start-control related positively to OCB, personal initiative, and proactive coping, and

Hasil analisa stabilitas produk epoksi menunjukkan bahwa karakteristik produk epoksi sebelum dan setelah pemurnian tidak stabil selama penyimpanan 1 bulan, dengan nilai

Bagi yang pindah domisili, membawa surat keterangan pindah domisili dari

Salah satu bentuk dari ekonomi kreatif adalah industri kreatif dimana potensi daerah di Indonesia sangat beraneka ragam dari mulai kerajinan tangan, seni, budaya,

Berdasarkan latar belakang ini maka penulis akan mengajukan penelitian yang dapat mengetahui lokasi parkir mana saja yang kosong ataupun yang sedang terisi mobil

Penerapan teknologi ini dapat dilakukan dilapangan sesuai dengan hasil Uji Marshall memperlihatkan pada aspal termodifikasi dengan konsentrasi karet alam sebesar 5%

An informal expert consultation was organized with experts from India, Maldives, Sri Lanka, Thailand and Timor-Leste to learn about country experiences and challenges,