BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas teori dan konsep terkait dengan masalah penelitian. Pemaparan teori dan konsep juga dihubungkan dengan penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini dan acuan saat dilakukan pembahasan.
2.1 Konsep Stroke 2.1.1 Definisi stroke
Stroke adalah sebagai suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau global yang dapat menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO, 1993 dalam Mulyatsih, 2007). Sedangkan menurut Depkes (2004), stroke akut adalah kumpulan gejala klinis yang terjadi pada menit pertama jam pertama serangan stroke sampai dengan 2 minggu pasca serangan. Smeltzer (2002) mendefinisikan stroke sebagai suatu kehilangan fungsi otak karena berhentinya suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
masih sering digunakan adalah cerebrovaskular accident (Price, 2006). Menurut Feigin (2007), gejala stroke dapat bersifat fisik, psikologis dan perilaku. Gejala fisik yang paling khas adalah paralisis, kelemahan, hilangnya sensasi diwajah, lengan atau tungkai disalah satu sisi tubuh, kesulitan berbicara, kesulitan menelan dan hilangnya sebagian penglihatan disatu sisi. Seorang dikatakan terkena stroke jika salah satu atau kombinasi apapun dari gejala di atas berlangsung selama 24 jam atau lebih.
2.1.2. Penyebab dan faktor risiko
Faktor resiko terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah gaya hidup. Beberapa penyakit yang diakibatkan oleh perubahan gaya hidup dan dapat menyebabkan terjadinya. Stroke yaitu hipertensi, diabetes mellitus, gangguan jantung (miokardium infark) dan hiperlepidemia. Hipertensi merupakan faktor resiko tertinggi untuk terjadinya stroke.
Autoregulasi serebral tidak efektif bila tekanan darah sistemik dibawah 50 mmHg dan diatas 160 mmHg (Lemone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan darah yang adekuat dapat menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller & Love, 2000, dalam Black & Hawks, 2009). Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah serangan stroke (Ignativius & Workman, 2006).
Faktor resiko stroke lainnya dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia, merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke, tetapi peminum alkohol ringan dan sedang dapat mencegah stroke yang berulang (Reynolds, 2003, dalam Black & Hawks, 2009).
2.1.3 Patofisiologi
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran darah ke otak berkurang atau berhenti sama sekali kedaerah distal otak yang mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori aliran darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya neuron tidak bisa mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondria berubah menjadi respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan pH. Perubahan bentuk metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron dalam memproduksi adenosine triphospate (ATP) yang akan dijadikan sumber energy dalam aktivitas sel neuron berupa proses depolarisasi
akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan saraf secara perlahan dapat kembali normal sesuai dengan perkembangan proses yang terjadi.
Proses evolusi dari jaringan iskemik kearah infark ini cukup cepat. Iskemik selama 8 sampai 12 jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil, sitoplasma, nukleus rusak & sel mati (Dutka, 1991 dalam Hickey, 1997). Cerebral
Blood Flow (CBF) sebesar 18 ml per 100 gram per menit selama 4 jam akan
menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml per 100 gram permenit, akan menimbulkan infark dalam 3,5 jam, CBF 10 ml per 100 gram per menit akan menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5 ml per 100 gram per menit menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje & Menon, 2004).
Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan penyebab perdarahan otak dan lokasi perdarahanya. Perdarahan subraknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area sirkulus willis dan kelainan bentuk arteri vena (AVM). Perdarahan tersebut dapat menyebabkan meningkatnya tekanan dalam otak yang menimbulkan terjadinya proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya. Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan menambah tekanan intracranial semakin berat. Perdarahan subarachnoid juga disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan tekanan perfusi dan vasospasme.
tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan amphetamine. Perdarahan biasanya terjadi pada daerah seperti lobus otak, basal ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat juga terjadi pada intraventrikular (Black & Hawks, 2005).
Gangguan sel-sel menyebabkan terjadinya defisit neurologis berkaitan erat dengan daerah serebral yang terkena (infark). Defisit neurologis biasanya terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah infark. Hal ini terjadi karena adanya penyilangan jalur motor neuron. Penyilangan terjadi pada diskus piramidalis (decussation of pyramids).
2.1.4 Tanda dan gejala sisa
Manifestasi klinik klien yang terkena serangan stroke menurut (Black & Hawk, 2009), bervariasi bergantung pada penyebabnya, luas area neuron yang rusak, lokasi neuron yang terkena serangan, dan kondisi pembuluh darah kolateral di serebral. Manifestasi dari stroke iskemik termasuk hemiparesis sementara, kehilangan fungsi wicara dan hilangnya hemisensori (Black & Hawk, 2009).
Stroke dapat dihubungkan dengan area gangguan neuron otak maupun defisit neurologis, menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari stroke meliputi: 1) kehilangan Motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiparesis (kelemahan) dan
yaitu bagian korteks serebral, area temporal, limbic hipotalamus, kelenjar pituitary yang mempengaruhi korteks motorik dan area bahasa, 10) inkontinensia baik bowel ataupun kandung kemih merupakan salah satu bentuk neurogenic blader atau ketidakmampuan kandung kemih, yang kadang terjadi setelah stroke. Saraf mengirimkan pesan ke otak tentang pengisian kandung kemih tetapi otak tidak dapat menginterpretasikan secara benar pesan tersebut dan tidak mentransmisikan pesan ke kandung kemih untuk tidak mengeluarkan urin. Ini yang menyebabkan terjadinya frekuensi urgensi dan inkontinensia (Black & Hawk, 2009) dan (Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.5 Komplikasi Stroke
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, dan luasnya area cedera terdiri dari: 1) hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah adekuat ke otak, 2) aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (pemberian intervensi) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral, 3) embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik (Smeltzer & Bare, 2002).
2.2 Disfagia
2.2.1Definisi Disfagia
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
gangguan menelan bervariasi dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan. Tanda dan gejala disfagia yang lain meliputi mengiler, kesulitan mengunyah, makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat menelan, batuk, tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan aspirasi pneumonia.
Disfagia diartikan sebagai “perasaan melekat” atau obstruksi pada tempat
lewatnya makanan melalui mulut, faring, atau esophagus. Gejala ini harus dibedakan dengan gejala lain yang berhubungan dengan menelan. Kesulitan memulai gerakan menelan terjadi pada kelainan-kelainan fase volunter menelan. Namun demikian setelah dimulai gerakan menelan ini dapat diselesaikan dengan normal. Odinofagia berarti gerakan menelan yang nyeri, seringkali odinofagia dan
disfagia terjadi secara bersamaan. Globus faringeus merupakan perasaan adanya
suatu gumpalan yang terperangkap dalam tenggorokan. Arah makanan yang keliru sehingga terjadi regurgitasi nasal dan aspirasi makanan kedalam laring serta paru sewaktu menelan, merupakan ciri khas disfagia orofaring (Harrison, 2000). Penatalaksanaan pasien stroke yang mengalami disfagia secara tepat sedini mungkin selain menurunkan risiko aspirasi juga terbukti memperbaiki status gizi, mengoptimalkan program rehabilitasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa seringkali pasien stroke dengan disfagia belum dikelola secara tepat. Perawat dan
caregiver sebagai anggota dari tim stroke, dapat dilatih dalam melakukan skrining
disfagia, misalnya stroke hemisfer yang luas, stroke batang otak, atau pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (Smithard, 2014).
2.2.2 Etiologi
Disfagia sering disebabkan oleh penyakit otot dan neurologis. Penyakit ini
adalah gangguan peredaran darah otak (stroke, penyakit serebrovaskuler), miastenia gravis, distrofi otot, dan poliomyelitis bulbaris. Keadaan ini memicu peningkatan resiko tersedak minuman atau makanan yang tersangkut dalam trakea atau bronkus (Price, 2006). Disfagia esophageal mungkin dapat bersifat obstruktif atau disebabkan oleh motorik. Penyebab obstruksi adalah striktura esophagus dan tumor-tumor ekstrinsik atau instrinsik esofagus, yang mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab disfagia dapat disebabkan oleh berkurangnya, tidak adanya, atau terganggunya peristaltik atau disfungsi sfingter bagian atas atau bawah. Gangguan yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia,
scleroderma, dan spasme esophagus difus (Price, 2006).
Harrison (1999) membagi disfagia menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:
1. Disfagia Mekanis yaitu: 1) luminal penyebab disfagia mekanis pada bagian
iskemia, pasca operasi, congenital 4) tumor-tumor malignan, karsinoma primer, karsinoma metastasik, tumor-tumor benigna, leiomioma, limpoma, angioma, polip fibroid inflamatorik, papiloma epitel. 3) kompresi ekstrinsik yaitu Kompresi ekstrinsik dapat disebabkan oleh spondilitis servikalis, osteofit veterbra, abses dan massa retrofaring, tumor pankreas, hematoma dan fibrosis.
2. Disfagia Motorik terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) kesulitan dalam memulai reflek menelan adalah kesulitan dalam memulai reflek menelan disebabkan oleh lesi oral dan paralisis lidah, anesthesia orofaring, penurunan produksi saliva, dan lesi pada pusat menelan, 2) kelainan pada otot lurik yaitu kelainan pada otot lurik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) kelemahan otot (paralisis bulbar, neuromuskuler, kelainan otot) 2) kontraksi dengan awitan stimultan atau gangguan inhibisi deglutisi (faring dan esophagus, sfingther esophagus bagian atas), 3) kelainan pada otot polos esophagus yaitu Kelainan pada otot polos esofagus dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) paralisis otot esophagus yang menyebabkan kontraksi yang lemah, 2) kontraksi dengan awitan simultan atau gangguan inhibisi deglutis, 3)kelainan sfingter esophagus bagian bawah. 2.2.3 Manifestasi Klinis Disfagia
dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan.
Tanda dan gejala disfagia lain meliputi tidak mampu menahan air liur, kesulitan mengunyah, makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat menelan, batuk, tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan aspirasi pneumonia (Finestone & Finestone, 2003).
2.2.4Bentuk Disfagia pada Proses Menelan 1.Fase Oral
Kelemahan otot menelan pada fase oral dapat berupa kelemahan otot lidah, buruknya koordinasi bibir, pipi, dan lidah, yang menyebabkan terkumpulnya makanan dalam mulut atau masuknya bolus ke faring sebelum menelan yang dapat menyebabkan aspirasi. Gangguan pada fase oral ini juga dapat berupa gangguan inisiasi menelan oleh karena perubahan status mental dan kognitif, yang berisiko terjadi pengumpulan bolus makanan di rongga mulut dan risiko terjadi aspirasi.
2.Fase Faringeal
terjadi aspirasi, atau dapat juga terjadi gangguan pada otot krikofaring yang akan mengganggu koordinasi proses menelan.
3.Fase Esofagus
Kelainan yang mungkin terjadi pada fase ini adalah kelainan dinding esofagus atau kelemahan peristaltik esofagus.
2.2.5Disfagia atau Gangguan Fungsi Menelan pada Pasien Stroke
Akibat stroke, sel neuron mengalami nekrose atau kematian jaringan, sehingga mengalami gangguan fungsi. Gangguan fungsi yang terjadi tergantung pada besarnya lesi dan lokasi lesi. Pada stroke fase akut, pasien dapat mengalami gangguan menelan atau disfagia. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Mulyatsih, 2009). Disfagia pada pasien stroke dapat disebabkan oleh edema otak, menurunnya tingkat kesadaran, ataupun akibat proses diaschisis, yang biasanya bersifat sementara. Tetapi bila lesi terjadi di daerah batang otak, kemungkinan pasien akan mengalami disfagia yang menetap.
Werner (2005 dalam Mulyatsih, 2009) mengemukakan bahwa lesi pada hemisfer kiri menyebabkan menurunnya aktifitas motorik di oral dan apraxia, sedangkan lesi di hemisfer kanan berhubungan dengan terlambatnya refleks menelan, bolus tertahan di faring, sehingga dapat menyebabkan aspirasi.
dengan kelainan pada batang otak mengalami aspirasi, terutama lesi pada medulla atau pons. Risiko aspirasi akan meningkat bila mengenai bilateral, dan biasanya berupa aspirasi yang tersembunyi. Parese saraf kranial X sampai XII dismobilitas dan asimetri faring, laring tidak menutup sempurna, terkumpulnya bolus di vallecula, dan tidak sempurnanya rileksasi atau spasme dari cricopharingeal.
2.2.6Pemeriksaan Penunjang untuk Menegakkan Diagnosa Disfagia
Disfagia dapat didiagnosa melalui beberapa pemeriksaan fungsi menelan
baik secara invasif maupun non invasif (Crary & Groher, 1999 dalam Mulyatsih 2009). Pemeriksaan invasif sebaiknya dilakukan hanya pada pasien yang dicurigai mengalami gangguan menelan. Berikut ini beberapa pemeriksaan tersebut: 1. Videofluoroscopy Swallowing Study (VFSS)
Tes yang paling sering digunakan adalah Videofluoroscopy Swallowing
Study (VFSS), yang juga dikenal dengan istilah Modified Barium Swallow (MBS).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang baku emas untuk mendiagnosa disfagia (Massey & Jedlicka, 2002).
2.Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)
FEES merupakan teknik pemeriksaan visualisasi langsung struktur nasofaring, laringofaring, dan hipofaring. Selama pemeriksaan pasien diberikan berbagai macam konsistensi makanan dan dilakukan evaluasi terhadap adanya residu, kebocoran makanan ke faring sebelum menelan (preswallowing leakage), penetrasi serta aspirasi.
4. Ultrasonography, untuk mengevaluasi gerak jaringan lunak selama fase oral dan faringeal.
5. Electromyography, lebih sering digunakan untuk penelitian mengevaluasi fungsi mioelektrik.
2.3 Menelan
2.3.1Fisiologi Proses Menelan
Proses menelan merupakan suatu sistem kerja neurologik yang sinkron, berurutan, terkoordinasi, simetris, semiotomatis, unik dan spesifik bagi setiap individu (Smithard, 2014). Proses menelan memerlukan beberapa elemen yang meliputi; input sensori dari saraf tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik sebagai umpan balik. Proses menelan terdiri atas 3 (tiga) fase, yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esopageal. Pada pasien stroke, yang sering mengalami gangguan adalah pada fase oral dan fase faringeal (Finestone & Finestone, 2003).
Menurut Smithard (2014), proses menelan terbagi dalam tiga fase berikut:
1.Fase Oral
Fase oral terbagi lagi dalam fase persiapan oral dan fase transport oral. Pada fase persiapan oral, meliputi aktifitas menggigit dan mengunyah makanan, terjadi aktifitas yang terkoordinasi dari gigi, bibir, lidah, mandibula, palatum dan otot maseter. Dengan bantuan saliva yang diproduksi oleh tiga pasang kelenjar saliva, sensasi rasa, suhu, dan sensasi proprioseptif, bahan makanan akan berubah bentuk menjadi bentuk bolus.
ke belakang menyentuh palatum durum, dan dibawa ke belakang ke arah faring oleh lidah. Proses menelan pada fase ini membutuhkan kemampuan bibir untuk menutup secara rapat supaya bolus tidak keluar dari oral. Fase oral ini merupakan aktivitas volunter atau gerakan yang disadari, yang dikontrol oleh korteks serebri melalui traktus kortikobulbar.
2.Fase Faringeal
Fase faringeal merupakan suatu gerakan involenter atau refleks, yaitu berpindahnya bolus dari oral ke esofagus, yang normalnya membutuhkan waktu kurang dari satu detik. Meninggalkan bagian belakang lidah, bolus terhenti sebentar di valleculae, daerah antara lidah dan epiglotis. Kemudian, tergantung ukuran dan konsistensi, melalui atas atau sekitar epiglotis, melewati laring masuk ke esofagus.
Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring, bolus menyentuh reseptor menelan pada daerah arkus faring anterior atau Faucial Pillar, sehingga pola refleks menelan dimulai secara otomatis. Terjadi rileksasi otot krikofaring dan sfingter membuka sehingga bolus masuk ke esofagus. Pada saat yang hampir bersamaan laring elevasi dan menutup untuk melindungi jalan nafas.
3.Fase Esofagus
mienterikus. Bolus terdorong secara sekuensial oleh gerak peristaltik yang dimulai dari faring, masuk ke lambung melalui sfingter kardia yang rileksasi.
2.3.2Kontrol Persarafan pada Proses Menelan
Proses menelan memerlukan beberapa elemen: input sensori dari saraf tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik sebagai umpan balik. Input sensori dari saraf tepi terutama dari saraf kranial V, VII, IX, X, dan XII. Reseptor sensori memperoleh stimulus dari berbagai macam bentuk rasa, cairan, atau tekanan. Area paling efektif sebagai rangsang menelan adalah arkus faring anterior. Meskipun peran yang pasti sebagai pusat menelan belum jelas, diperkirakan kortikal dan subkortikal mengatur ambang rangsang menelan. Sedangkan pusat menelan di batang otak menerima input, mengaturnya menjadi respon yang terprogram, dan mengirim respon tersebut melalui saraf tepi untuk aktifitas otot-otot mengunyah dan menelan (Smithard, 2014).
Nervus fasialis atau nervus kranial VII merupakan nervus dengan serabut motorik, sensorik, dan parasimpatis. Inti nervus VII ini juga berada di pons. Serabut motoriknya mempersarafi otot-otot bibir, termasuk otot orbikularis oris dan otot zigomatikus, yang berfungsi untuk mencegah makanan keluar dari mulut. Nervus fasialis juga menginervasi otot-otot businator pada pipi, yang berperan untuk mencegah makanan terkumpul di celah antara gigi dan pipi. Serabut sensoriknya mempersarafi dua pertiga lidah depan untuk mengecap.
Nervus glosofaringeus atau nervus kranial IX mengandung serabut motorik, sensorik, dan saraf otonom. Bersama nervus X menginervasi otot konstriktor faring bagian atas. Inti atau nukleus nervus ini berada di medula oblongata. Serabut motorik nervus IX ini menginervasi tiga buah kelenjar saliva di mulut. Saliva inilah yang membantu pembentukan makanan menjadi bolus di mulut. Nervus ini juga menginervasi otot stilofaringeus, yang mengangkat laring dan menariknya kembali selama proses menelan fase faringeal. Gerakan laring ini juga membantu rileksasi dan terbukanya otot krikofaringeal. Serabut sensorik nervus glosofaringeus ini menerima seluruh sensasi, termasuk rasa, dari sepertiga lidah bagian belakang (Smithard, 2014).
XII merupakan nervus motorik tanpa serabut sensorik. Inti nervus ini berada di medula oblongata sama dengan nervus IX dan X. Nervus ini memberikan persarafan pada lidah. Perannya pada proses menelan terutama pada pembentukkan bolus dan membawa bolus ke arah faring.
2.3.3Latihan Menelan pada Pasien Stroke dengan Disfagia
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien stroke dengan disfagia
menurut NANDA dalam Ignatavicius (2007); Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner (2013); dan Smeltzer & Bare (2002) adalah gangguan menelan sehubungan dengan kelemahan otot menelan dan menurunnya refleks muntah. Kriteria hasil dari rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah ini adalah tidak ada tanda atau gejala aspirasi, dan pasien memiliki toleransi terhadap makanan atau minuman tanpa tersedak.
Menurut Palmer, Drennan, dan Baba (2000 dalam Mulyatsih, 2009), penanganan disfagia ditujukan untuk menurunkan risiko aspirasi, meningkatkan kemampuan makan dan menelan, serta mengoptimalkan status nutrisi. Intervensi yang dianjurkan pada kasus stroke dengan disfagia mancakup modifikasi diet, manuver kompensatori, serta latihan menelan (swallowing therapy).
Latihan mengunyah dan menelan pada pasien stroke akut yang mengalami
disfagia fase oral (derajat I) dan fase paringeal (derajat II) terbukti berguna dapat
memulihkan gejala disfagia dan meningkatkan kemampuan menelan. Disfagia
Penelitian serupa yang dilakukan terhadap 27 pasien stroke yang mengalami disfagia derajat III (fase esofageal) diberikan stimulasi elektrik untuk menguatkan otot-otot servikal dan submandibula, didapatkan bahwa semua pasien menunjukkan peningkatan kemampuan menelan sebanyak 25 (93%) dari 27 responden dari tidak bisa menelan menjadi dapat menelan lunak tanpa tersedak (Hammond & Goldstein, 2006 dalam Mulyatsih 2006).
Beberapa jenis latihan yang direkomendasikan pada pasien stroke yang mengalami disfagia antara lain latihan penguatan otot-otot menelan dan latihan menelan. Latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot mengunyah dan menelan, meningkatkan ruang gerak sendi (ROM) dan meningkatkan koordinasi dalam mengunyah dan menelan, sedangkan latihan bibir dan lidah berguna untuk meningkatkan kemampuan menahan makanan agar tidak keluar dari mulut serta pengosongan mulut.
Menurut Palmer, Drennan, dan Baba (2000 dalam Mulyatsih 2009), penanganan disfagia ditujukan untuk menurunkan risiko aspirasi, meningkatkan kemampuan makan dan menelan, serta mengoptimalkan status nutrisi. Intervensi yang dianjurkan pada kasus stroke dengan disfagia mencakup modifikasi diet, manuver kompensatori, serta latihan menelan atau swallowing therapy. Salah satu alasan yang mendasari dilakukannya latihan menelan adalah memberikan stimulus atau rangsangan terhadap reseptor fungsi menelan yang berada di lengkung faring anterior atau Faucial Pillar, sehingga diharapkan fisiologi menelan yang normal akan kembali muncul. Aktivitas latihan menelan lain bertujuan meningkatkan kekuatan otot-otot mengunyah dan menelan, yang pada akhirnya akan meningkatkan fungsi menelan dan mencegah masuknya makanan atau cairan ke saluran pernafasan.
Mann, Lenius, dan Crary (2007 dalam Mulyatsih 2009) menyatakan, tujuan dari penatalaksanaan pasien disfagia adalah memberikan nutrisi yang adekuat pada pasien dengan cara aman dan efisien. Intervensi keperawatan yang dianjurkan hampir sama, yaitu berupa latihan makan dan menelan, manuver, serta strategi untuk fasilitasi makan per oral termasuk rekomendasi metode makan dengan berbagai alternatif. Metode latihan makan diklasifikasikan dalam metode tidak langsung (kompensatori) dan metode langsung. Metode kompensatori adalah suatu strategi atau manuver yang bertujuan untuk mengeliminir gejala
disfagia tanpa merubah secara langsung fisiologi menelan. Teknik ini termasuk
langsung atau kompensatori bertujuan meningkatkan kekuatan otot-otot menelan tanpa merubah secara langsung fisiologi menelan. Teknik ini termasuk merubah posisi kepala, posisi badan, merubah metode pemberian makan, atau memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang dikonsumsi. Intervensi merubah posisi kepala antara lain dengan mengatur posisi pasien duduk tegak minimal 70 derajat atau semi fowler dan kepala agak ditekuk kedepan. Dengan posisi kepala seperti ini dilaporkan mampu menurunkan risiko aspirasi, sehingga esofageal lebih membuka dan trakhea menutup. Merubah metode pemberian makan dapat dilakukan berbagai cara, antara lain; perawat duduk atau berdiri berhadapan wajah pada saat memberikan makan, menciptakan lingkungan tenang, menganjurkan pasien tidak berbicara ketika sedang makan, meletakkan makanan pada sisi mulut yang sehat, menggunakan senduk kecil, dan menghindari penggunaan sedotan (Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner, 2013).
Latihan menelan metode tidak langsung lainnya adalah memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang dikonsumsi pasien, dengan menambahkan pengental cairan atau thickened liquids. Penggunaan pengental cairan merupakan satu dari rekomendasi yang paling sering diberikan oleh dokter. Menurut Logemann (1998) dalam Mills (2008), makanan dalam bentuk cair merupakan risiko tinggi terjadinya aspirasi pneumonia pada pasien disfagia.
termasuk metode ini antara lain; The Effortful Swallow, The Mendelsohn
maneuver, Expiratory Muscle Strength Training atau berbagai bentuk stimulasi
sensori lain seperti The Electromyographic Surface Biofeedback atau Expiratory
Muscle Strength Training (Hegland, Rosenbek & Sapienza, 2008). Teknik
maneuver ini bertujuan meningkatkan fungsi menelan secara fisiologi, sehingga proses menelan pasien menjadi lebih aman.
The Effortful Swallow, merupakan suatu aktivitas yang membutuhkan
keterlibatan pasien secara aktif, bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot menelan. Hasil penelitian menujukkan bahwa The Effortful Swallow mampu meningkatkan durasi pergerakan hioid (jakun) keatas, durasi membukanya sfingter esofagus atas, serta meningkatkan amplitudo aktivasi otot menelan pada orang sehat. Caranya adalah menganjurkan pasien menelan dengan kekuatan penuh otot leher dan otot faring sewaktu menelan, dan bila perlu melakukan aktifitas menelan ulang setelah aktifitas menelan yang pertama. The Mendelsohn
Maneuver, juga terbukti mampu meningkatkan durasi pergerakan hioid (jakun)
Metode langsung lain yang membutuhkan partisipasi pasien adalah dengan memberikan petunjuk atau arahan kepada pasien baik secara verbal maupun visual tentang cara mengunyah, menelan, dan membersihkan mulut dari sisa makanan atau melakukan mouth care (Mann, Lenius & Crary, 2007).
Sebelum pasien berlatih menelan, perawat menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pergerakan otot menelan dengan membuka dan menutup mulut sebagai persiapan manipulasi bolus dimulut. Kebersihan mulut harus dipertahankan dengan melakukan mouth care sebelum dan setelah latihan menelan. Selain memberikan rasa nyaman, mouth care dapat mencegah terjadi koloni mikroorganisme dimulut dan mampu merangsang produksi tiga buah kelenjar saliva dimulut yang berfungsi mempermudah pembentukan bolus di fase oral (Heckenberg, 2008).
Latihan bibir yang dianjurkan adalah pasien duduk atau berbaring dengan nyaman di tempat tidur, selanjutnya pasien diminta membuka mulut, lebarkan mulut sehingga membentuk huruf “O”, kemudian rileks kembali. Pasien diminta tersenyum, menyeringai, tersenyum. Dilanjutkan dengan mengucapkan kata “pa pa pa” atau “ba ba ba” ulang. Setiap gerakan di atas dilakukan berulang-ulang sampai delapan kali. Untuk pasien yang lidahnya mengalami gangguan pergerakan, kekuatan dan koordinasi dan secara klinis tidak mampu memindahkan makanan dari depan ke belakang mulut, latihan yang diajarkan kepada pasien adalah menjulurkan lidah kemudian ditahan sampai hitungan kedelapan. Latihan berikutnya yaitu pasien diminta menyentuh bibir atas dan bawah dengan lidah bergantian atas dan bawah. Mendorong lidah ke arah pipi kanan dan kiri secara bergantian sampai pipi terlihat menonjol oleh dorongan lidah. Perawat atau fasilitator menekan lidah dengan sudip lidah kemudian pasien diminta mendorog sudip lidah dengan lidahnya. Selanjutnya pasien diminta untuk mengucapkan “la la la la la”. Semua gerakan di atas berguna untuk meningkatkan gerakan, kekuatan otot dan koordinasi lidah untuk memanipulasi bolus, mendorong bolus dan membersihkan mulut dari sisa makanan (Feigin, 2007).
Pada pasien yang mengalami kelemahan refleks menelan dan batuk dimana pasien tidak mampu batuk, suara serak, dan batuk saat menelan atau sesaat sesudah menelan. Latihan yang perlu diberikan adalah pasien diminta tarik nafas dalam dan hembuskan perlahan-lahan. Selanjutnya tarik nafas dalam lalu ucapkan “ah ah ah” berulang-ulang sambil mengeluarkan nafas. Latihan lain yaitu pasien meniup sedotan dan atau menyanyikan lagu. Latihan-latihan tersebut berguna untuk meningkatkan kekuatan pernafasan sehingga dapat membantu mencegah aspirasi melalui refleks batuk efektif (Feigin, 2006).
tekankan lidah ke gusi bagian atas kemudian ke gusi bagian bawah; 16) sikatlah gigi menggunakan lidah; dan 17) dorong pipi dengan lidah sekuat mungkin bergantian ke pipi kanan dan kiri. Sedangkan menurut Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner (2013), intervensi keperawatan berdasarkan Nursing
Intervention Classification (NIC) adalah aspiration precaution, positioning, dan
swallowing therapy.
1.Aspiration Precaution
Aktivitas keperawatan meliputi; monitor tingkat kesadaran, refleks batuk, refleks muntah, dan kemampuan menelan, monitor status fungsi paru, pertahankan jalan nafas efektif, atur posisi kepala tegak 90 derajat jika memungkinkan, sediakan suction pada kondisi siap digunakan, berikan makanan dalam jumlah kecil, cek residu cairan lambung sebelum memberikan makanan atau cairan, potong makanan dalam bentuk kecil, berikan makanan atau cairan yang dapat dibentuk menjadi bolus, mintakan obat dalam bentuk eliksir, hancurkan pil sebelum diberikan ke pasien, serta kolaborasi dengan terapis wicara bila diperlukan.
2.Positioning
NIC positioning tidak membahas secara khusus aktifitas keperawatan pada
pasien stroke dengan disfagia. Nursing Intervention Classification (Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner, 2013) hanya membahas tentang aktifitas keperawatan positioning untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis pasien, intra operatif, serta positioning untuk pasien dengan gangguan spinal cord
dalam swallowing therapy. 3.Swallowing Therapy
Swallowing therapy atau latihan menelan adalah memfasilitasi menelan
untuk menggerakkan lidah membersihkan makanan di bibir; 20) jelaskan pada
caregiver atau keluarga cara mengatur posisi, melatih makan, dan memonitor
pasien; 21) jelaskan pada keluarga kebutuhan nutrisi dan modifikasi diet sesuai keperluan; 22) berikan instruksi tertulis bila diperlukan; 23) sediakan waktu untuk edukasi keluarga atau pengasuh; 24) berikan dan monitor konsistensi makanan sesuai kemampuan menelan pasien; 25) kolaborasi dengan dokter dan atau terapis wicara tentang perubahan lanjut konsistensi makanan secara bertahap.
Fungsi menelan ini dapat dinilai melalui pemeriksaan Digital
Videofluoroscopy, yang mampu mencatat lewatnya bolus melalui mulut (oral
transit time), faring (pharingeal transit time), dan sfingter esofagus atas
(cricopharingeal opening duration). Sedangkan penilaian fungsi menelan secara
klinis dapat menggunakan format The Parramatta Hospitals Dysphagia
Assessment, yang merupakan bagian dari The Royal Adelaide Prognostic Index for
Dysphagic Stroke (RAPIDS), yang dikembangkan oleh Paramatta Hospital.
2.4 Penatalaksanaan Stroke Home Care oleh Caregiver 2.4.1 Home care
2.4.1.1 Definisi Home Care
Pendampingan dan perawatan sosial pasien di rumah disesuaikan dengan kebutuhan pasien yang memiliki karakteristik tersendiri. Home care pasien merupakan pelayanan pendampingan dan atau perawatan pasien di rumah dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh keluarga, kerabat atau warga masyarakat setempat. Home care pasien memiliki beberapa fungsi antara lain pencegahan, promosi, rehabilitasi dan perlindungan serta pemeliharaan. 2.4.1.2 Tujuan Pendampingan dan Perawatan Sosial
Tujuan pendampingan dan perawatan sosial yaitu 1) meningkatkan peran serta keluarga dan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pasien di lingkungan keluarga pasien sendiri, 2) meningkatkan kerjasama dan partisipasi aktif Lembaga Kejahteraan Sosial/Panti dalam pelayanan Pendampingan dan Perawatan Sosial pasien di Rumah, 3) memberikan pendampingan terhadap pasien yang mempunyai hambatan fisik, mental, sosial, ekonomi dan spiritual sehingga pasien dapat mengatasi masalahnya dan dapat hidup secara wajar, 4) meningkatkan kemampuan pasien untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan 5) menciptakan suasana yang menyenangkan seperti rasa aman, nyaman dan tentram bagi pasien.
2.4.1.3 Bentuk Pelayanan Home Care
pemenuhan kebutuhan dasar lanjut usia adalah suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan yang meliputi diantaranya: kebutuhan fisik, keamanan, kenyaman, cinta dan kasih sayang, harga diri serta aktualisasi diri sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan untuk pasien non potensial peran keluarga menjadi sangat penting karena keluarga merupakan sumber dukungan terbesar yang berguna untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia pada lansia, 4) pelayanan perawatan sosial bagi pasien, 5) pelayanan Kegiatan sehari-hari (Activity of daily
living services), 6) perawatan medis/kesehatan bagi pasien di rumah, 7) konsultasi
dan konseling, 8) pendampingan pasien di rumah, 9) pelayanan intervensi krisis dan rujukan, 10) advokasi hukum pasien di rumah, 11) pelayanan dalam menyatukan (reunifikasi) pasien dengan keluarganya, 12) pelayanan melalui telepon, 13) pelayanan informasi, 14) pelayanan pemberian kebutuhan dasar bagi pasien dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kebutuhan sandang yang berupa: Pakaian dan kelengkapan kebutuhan pangan yaitu berupa kebutuhan permakanan seperti: nasi, lauk pauk, susu, buah-buahan, makanan ringan, dll yang berkaitan dengan tambahan gizi bagi pasien (Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2014).
2.4.2 Konsep caregiver 2.4.2.1 Definisi Caregiver
lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik sebagian atau sepenuhnya karena kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut. Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh Subroto (2012) sebagai:
Seseorang yang bertugas untuk membantu orang-orang yang ada hambatan untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari baik yang bersifat kegiatan harian personal (personal activity daily living) seperti makan, minum, berjalan, atau kegiatan harian yang bersifat instrumental (instrumental daily living) seperti memakai pakaian, mandi, menelpon atau belanja.
Menurut Mifflin (2007) menyatakan caregiver sebagai seseorang dalam keluarga, baik itu orang tua angkat, atau anggota keluarga lain yang membantu memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami ketergantungan.
Caregiver keluarga (family caregiver) didefinisikan sebagai individu yang
memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara sungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota keluarganya yang menderita penyakit kronis (Pfeiffer, dalam Tantono et al, 2006).
Caregiving merupakan suatu istilah yang berarti memberikan perawatan kepada
seseorang dengan kondisi medis yang kronis. Informal atau lay caregiving adalah aktivitas membantu individu yang memiliki hubungan personal dengan caregiver
(Tantono, 2006).
anggota keluarga. (Orem 1983, dalam friedman, 1998) mengatakan keluarga sebagai pemberi perawatan bagi anggota keluarga lain yang tidak mandiri (anggota keluarga dewasa yang merawat individu yang tidak mandiri) dan dalam melaksanakan tugas ini, mereka dianggap sebagai individu dalam sebuah keluarga atau subsistem keluarga. Tujuan utama dari tindakan ini adalah untuk mencapai kesejahteraan yang optimal dan memungkinkan individu serta keluarga mereka dapat mempertahankan kontrol atas kesehatan mereka sendiri.
perkembangan kepribadian anggota keluarga, pasien biasanya sudah menerima kondisi sakitnya dan peran keluarga dalam memberikan dukungan sangat diharapkan oleh pasien, terutama dalam kondisi kecacatan. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan merupakan tahap terakhir tugas keluarga dalam pemeliharaan kesehatan. Keluarga harus dapat menunjukkan pemanfaatan dengan baik terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.
Rencana intervensi yang dapat dilakukan untuk perubahan pemeliharaan kesehatan dan mencari kesehatan dititik beratkan pada memodifikasi gaya hidup yaitu konfrontasi dengan diri sendiri, restukturisasi kognitif, pembentukan model,
operant conditioning, dan pengendalian stimulus. Mcfarland (1989, dalam
Diagnosa NANDA NIC NOC
2. Mengkaji tingkat penerimaan caregiver terkait dengan perannya (untuk menyediakan
perawatan)
3. Menerima ekspresi negative dari caregiver 4. Tidak menyepelekan peran sulit caregiver 5. Menelusuri lebih lanjut kelebihan dan
kekurangan caregiver
6. Mengakui tingkat ketergantungan pasien terhadap caregiver, sesuai dengan kebutuhan 7. Membuat pernyataan positif pada caregiver
terhadap upaya yang telah dilakukan
8. Mendukung upaya bertanggungjawab caregiver, sesuai dengan kebutuhan dengan apa yang menjadi keinginan pasien 13. Mengajarkan caregiver mengenai pemberian
terapi bagi pasien sesuai dengan keinginan pasien
14. Mengajarkan caregiver mengenai cara
Kesiapan Caregiver untuk Melakukan
3. Pengetahuan tentang peran pemberi rawatan 4. Menunjukkan perhatian positif pada penerima
12. Pengetahuan mengenai perawatan emergensi 13. Pengetahuan sumber-sumber finansial 14.Sumber-sumber financial untuk pemberi
perawatan
kesehatan pendampingan caregiver melalui telepon atau melalui perawat komunitas 16. Monitor indikator adanya stress
17. Mengkaji lebih lanjut tentang koping caregiver 18. Mengajarkan caregiver mengenai teknik
manajemen stres
rawatan dalam perencanaan asuhan 17.Bukti rencana untuk pengasuh cadangan 18.Partisipan dalam perencanaan pulang
Skala Target Outcome 1. Tidak adekuat 2. Sedikit adekuat 3. Cukup adekuat
4. Sebagian besar adekuat 5. Sepenuhnya adekuat
Sumber: Moorhead, Sue., Marion, Meridean, Swanson, & Elisabeth, (2013), Bulechek, Butcher, & Dochterman, (2013), Wilkinson, J.
2.5 Family Centered Care (FCC) 2.5.1 Defenisi family centered care (FCC)
Family centered care didefinisikan oleh Association for the Care of
Children's Health (ACCH) sebagai filosofi dimana pemberi perawatan yang
mementingkan dan melibatkan peran penting dari keluarga, dukungan keluarga akan membangun kekuatan, membantu untuk membuat suatu pilihan yang terbaik, dan meningkatkan pola normal yang ada dalam kesehariannya selama sakit dan menjalani penyembuhan (Johnson, Jeppson, & Redburn, 1992).
Sejarah family centered care Pada tahun 1987, ACCH mengidentifikasi adanya delapan element family centered care (Shelton et al., 1987) yang dikemukanakn oleh C. Everest Koop dalam Surgeon General's Report: Children With Special Health Care Needs (U.S. Department of Health and Human Services, 1987).
Sejak saat itu, definisi family centered care telah mendapatkan perhatian social dan cultural dari keluarga (Johnson et al, 1992) dan mendukung peran administrasi para staff.
2.5.2 Tujuan family centered care
pasien, keluarga dan pemberi pelayanan dari pada informasi hanya diketahui oleh professional, 6) menciptakan program yang fleksibel dan tidak kaku.
2.5.3 Elemen family centered care
Sembilan element family centered care yang teridentifikasi oleh ACCH (Shelton et al., 1987): 1) keluarga dipandang sebagai unsur yang konstan sementara kehadiran profesi kesehatan fluktuatif, 2) memfasilitasi kolaborasi keluarga–profesional pada semua level perawatan kesehatan, 3) meningkatkan kekuatan keluarga, dan mempertimbangkan metode-metode alternative dalam koping, 4) memperjelas hal-hal yang kurang jelas dan informasi lebih komplit oleh keluarga tentang perawatan pasien stroke yang tepat, 5) menimbulkan kelompok support antara keluarga, 6) mengerti dan memanfaatkan system pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan perkembangan bayi, anak, dewasa dan keluarganya, 7) melaksanakan kebijakan dan program yang tepat, komprehensif meliputi dukungan emosional dan financial dalam memenuhi kebutuhan kesehatan keluarganya, 8) menunjukkan desain transportasi perawatan kesehatan fleksibel, accessible, dan responsive terhadap kebutuhan pasien, 9) implementasi kebijakan dan program yang tepat komprehensif meliputi dukungan emosional dengan staff.
2.5.4 Konsep dari family centered care
informasi adalah praktisi keperawatan berkomunikasi dan memberitahukan informasi yang berguna bagi pasien dan keluarga dengan benar dan tidak memihak kepada pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga menerima informasi setiap waktu, lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan, 3) partisipasi adalah pasien dan keluarga termotivasi berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat, 4) kolaborasi adalah pasien dan keluarga juga termasuk ke dalam komponen dasar kolaborasi. Perawat berkolaborasi dengan pasien dan keluarga dalam pengambilan kebijakan dan pengembangan program, implementasi dan evaluasi, desain fasilitas kesehatan dan pendidikan profesional terutama dalam pemberian perawatan.
Fokus lama System centered care adalah konsep keluarga dipertentangkan, definisi keluarga masih dipertentangkan, ketidakmampuan pasien dan keluarga, majunya teknologi dan biomedis, meletakkan nilai interaksi manusia dalam perawatan kesehatan pada posisi bawah, dan digerakkan oleh sistem.
Fokus baru family centered care adalah menghormati, kekuatan, pilihan, fleksibel, informasi, support, kolaborasi, dan pemberdayaan.
2.5.5 Keuntungan Family Centered Care
Keuntungan family centered care sebagai filosofi dalam pemberi pelayanan dilaporkan dari berbagai literature. Dalam praktek family centered care, kehidupan pasien meningkat dengan memfasilitasi proses yang adaptive
pada pasien yang dirawat di rumah dengan keluarganya. Komunikasi caregiver
terbentuk dari caregiver yang lebih merasa percaya diri, dan kompeten dalam memberikan perawatan. Meningkatkan financial dan hasil perawatan yang berkualitas juga merupakan keuntungan dari family centered care dengan terhindarnya lebih banyak uang untuk pembayaran perawatan jika tercipta kolaborasi antara keluarga dan pemberi pelayanan dalam perawatan (Als et al., 1994; Buchlcr, Als, Duffy, McAnulty, & Liederman, 1995; Van Riper, 2001).
2.6 Action research (AR)
Pokok Bahasan teori AR ini menjelaskan: (1) Definisi AR, (2) Siklus AR,
(3) Proses AR dan (4) Tingkat keabsahan data. 2.6.1 Definisi Action research
Kemmis dan McTaggart (1988) dalam bukunya yang berjudul “The Action
Research Planner” membuat suatu panduan bagi para guru, dosen maupun
administrator yang tertarik untuk membuat suatu perubahan dan peningkatan dalam institusi pendidikan. Action research atau penelitian tindakan menurut Kemmis dan McTaggart (1988) adalah suatu bentuk penelitian reflektif diri secara kolektif dilakukan peneliti bersama partisipan dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktek sosial dan pendidikan mereka serta pemahaman mereka tentang perilaku dan situasi dimana praktek-praktek tersebut dilakukan.
Kemmis dan McTaggart (2000, dalam denzin & Lincoln, 2009) menyebutkan action research sebagai penelitian tindakan berdasarkan partisipatif
research (PAR) yaitu 1) participatory action research adalah sebuah proses sosial, 2) participatory action research berciri partisipatoris, 3) participatory action research berciri parktis dan kolaboratif, 4) participatory action research
berciri emansipatoris, 5) participatory action research berciri kritis, 6)
participatory action research berciri recursif (refleksi dialektis), dan 7)
participatory action research bertujuan untuk mengubah teori dan praktik.
Participatory Action Research adalah Sebuah Proses Sosial
PAR secara sadar mengkaji hubungan antara ranah individu dengan
ranah sosial. PAR menyadari bahwa “mustahil terjadi individuasi tanpa
sosialisasi, dan sosialisasi pun tidak mungkin tanpa individuasi”, dan bahwa proses individuasi dan sosialisasi terus menerus membentuk individu-individu dan hubungan sosial di segenap setting tempat kita berada. PAR merupakan sebuah proses yang ditempuh dalam penelitian yang di setting, seperti setting pendidikan dan pembangunan masyarakat, ketika manusia secara individu dan kolektif, berusaha untuk memahami bagaimana diri mereka dibentuk dan dibentuk ulang sebagai individu-individu dan dalam hubungannya dengan satu sama lain diberbagai setting.
Participatory Action Research berciri Partisipatoris
PAR mengajak manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan (pemahaman, kecakapan, dan nilai-nilai) dan kategori-kategori interpretif manusia (yaitu cara mereka menafsirkan diri sendiri dan tindakannya dalam dunia sosial dan material).
membentuk kepekaan akan rasa identitas dan keberfungsian diri serta merefleksikan secara kritis bagaimana ilmu pengetahuan saat ini membingkai dan membatasi tindakan manusia.
Participatory Action Research berciri Praktis dan Kolaboratif
PAR mengajak manusia untuk mengkaji praktik-praktik sosial yang menghubungkan diri individu dengan orang-orang lain dalam interaksi sosial.
PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengeksplorasi praktik-praktik komunikasi, produksi, dan pengorganisasian sosial, serta berupaya mengeksplorasi cara untuk meningkatkan interaksi-interaksi manusia dengan mengubah tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut yaitu, mengurangi aspek-aspek interaksi yang dialami oleh partisipan yang irasional, tidak produktif (atau tidak efisien), tidak adil, dan/atau tidak memuaskan (menimbulkan alienasi). Para peneliti PAR berupaya untuk menjalin kerjasama dalam merekonstruksi interaksi-interaksi sosial dengan merekonstruksi tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut.
Participatory Action Research berciri Emansipatoris
PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri dari tekanan-tekanan struktur sosial yang irasional, tidak produktif, tidak adil dan tidak memuaskan yang membatasi perkembangan diri dan kemandirian diri. PAR
hambatan-hambatan tersebut. Artinya, jika manusia tidak dapat melepaskan diri dari hambatan-hambatan tersebut, maka apakah cara terbaik untuk ikut terlibat di dalamnya dalam upaya untuk meminimalkan tingkat hambatan-hambatan tersebut dan untuk mengurangi munculnya irasionalitas, kurangnya produktivitas (ketidakefisienan), ketidakadilan, dan ketidakpuasan (alienasi) di kalangan manusia untuk membentuk kehidupan sosial bersama.
Participatory Action Research berciri Kritis
PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri sendiri dari hambatan-hambatan yang lekat dengan media sosial yang menjadi wahana interaksi manusia: bahasa (wacana), pola kerja, dan relasi sosial kekuasaan manusia (yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengalami aviliasi perbedaan, baik secara inklusi dan ekslusi yaitu, adanya hubungan-hubungan yang secara gramatis menjadi sarana bagi manusia untuk berinteraksi dengan orang lain dalam pola orang ketiga, kedua atau pertama). PAR merupakan sebuah proses ketika manusia secara sadar berketetapan hati untuk memperjuangkan dan membentuk ulang cara-cara irasional, tidak produktif (atau tidak efisien), tidak adil, dan/atau tidak memuaskan (menimbulkan alienasi) dalam menafsirkan dan mendeskripsikan dunia manusia, cara-cara kerja (pekerjaan), dan cara-cara menghubungkan diri dengan orang-orang lain (kekuasaan).
Participatory Action Research berciri Recursif (Refleksi dan Dialekti)
dan yang dirancang untuk membantu manusia agar dapat lebih banyak belajar dan menyusun teori tentang praktik-praktik, ilmu pengetahuan tentang praktik dan aneka struktur sosial yang membentuk dan membatasi praktik-praktik manusia.
PAR merupakan sebuah proses pembelajaran, bersama-sama orang lain dengan melakukan, mengubah cara-cara berinteraksi di dalam dunia sosial bersama demi hal yang lebih baik maupun lebih buruk, menjadi tempat untuk menerima dan menanggung konsekuensi dari tindakan individu dan tindakan orang-orang lain. Participatory Action Research bertujuan untuk Mengubah Teori dan Praktik
PAR tidak mementingkan hubungan salah satunya antara teori dan praktik.
PAR bertujuan untuk mengartikulasikan dan mengembangkan keduanya dalam hubungan satu sama lain melalui penalaran kritis tentang teori dan praktik berikut konsekuensi keduanya. PAR tidak bertujuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk teori yang mampu berdiri terpisah dan lepas dari praktik, seolah-olah praktik dapat dikendalikan dan ditentukan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek partikular dari situasi praktis yang dihadapi oleh para praktisi dalam kehidupan dan pekerjaan masing-masing. PAR juga tidak bertujuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk praktik yang dapat dipandang menjustifikasikan dirinya sendiri.
2.6.2 Siklus Action research
Kemmis dan McTaggart (1988) menyatakan bahwa secara umum action
research mencakup sebuah spiral siklus reflektif diri berupa merencanakan
Bentuk siklus action research dapat dilihat pada gambar 2.1
Keterangan :
R : Rencana tindakan
A & O : Aplikasi tindakan dan observasi Rf : Refleksi
RR : Revisi Rencana
Gambar 2.1: Siklus action research (Kemmis & McTaggart, 1988) Planning
Planning direncanakan untuk tindakan positif dan berorientasi kemasa depan
Action
Action merupakan tindakan yang disengaja dan dikontrol secara hati-hati
dan teliti serta memberikan informasi penting. Action di pandu oleh rencana yang telah dibuat, tetapi tidak seluruhnya berpedoman pada planning karena hal ini sangat beresiko. Rencana untuk action harus fleksibel, memiliki sifat sementara dan terbuka terhadap perubahan. Implementasi dan action mengasumsikan material, sosial, dan politik untuk ditingkatkan lebih baik lagi. Salah satu cara dari
action adalah observasi dengan tujuan mengumpulkan supaya bisa di evaluasi
(Kemmis & McTaggart, 1988). Observation
Observation berfungsi sebagi dokumentasi efek yang penting dari
tindakan. Observasi harus direncanakan dengan baik dan akan menjadi dokumen yang penting untuk melakukan refleksi. Rencana observasi harus fleksibel dan terbuka terhadap pencatatan yang mungkin tidak diprediksi sebelumnya (Kemmis & McTaggart, 1988).
Reflection
Reflection disebut juga action yang sudah dicatat dalam observation. Refleksi
mendapatkan kekurangan yang terjadi supaya bisa dibuat suatu usulan pemecahan masalah (Kemmis & McTaggart, 1988).
2.6.3 Proses action research
Kemmis dan McTaggart (1988) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan
action research memerlukan beberapa langkah tindakan yaitu reconnaissance,
planning, melaksanakan rencana (action) dan observasi (observation), serta
reflection.
Reconnaissance
Reconnaisance, merupakan tahap awal dalam mencari permasalahan yang
ada. Tahap ini dapat di sebut juga tahap preliminary study, yaitu mempelajari masalah yang ada dan menentukan tema yang penting. Tahap ini menggambarkan apa yang terjadi sekarang dan apa yang kita lakukan sekarang. Pernyataan-pernyataan tentang masalah yang ada mulai dimunculkan pada tahap ini (Kemmis & McTaggart, 1988).
Planning
Planning merupakan perencanaan yang bersifat untuk perbaikan. Tahap ini
beorientasi pada peneliti tentang bagaimana kolaborasi dengan partisipan. Perencanaan meliputi rencana untuk merubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan organisasi, dan merencanakan hasil yang di inginkan (Kemmis & McTaggart, 1988).
Action dan Observation
Action dan observation adalah mengimplementasikan rencana dan
yang sudah di tetapkan, meliputi melaksanakan rencana untuk berubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan organisasi, dan mengobservasi hasil dari implementasi yang telah di lakukan (Kemmis & McTaggart, 1988).
Reflection
Reflection merupakan waktu untuk memberikan analisa, sintetis,
interpretasi dan menyimpulkan hal yang penting. Pada tahap ini refleksi berfokus pada hasil yang telah di capai kemudian di buat analisa untuk perbaikan pada
cycle berikutnya (Kemmis & McTaggart, 1988).
2.6.4 Tingkat keabsahan data (trusthworthiness of data)
Lincoln dan Guba (1994 dalam Polit & Beck, 2012), mengemukakan bahwa tingkat Keabsahan Data (trusthworthiness of data) hasil penelitian dapat dipercaya dengan memvalidasi data menurut beberapa kriteria, yaitu credibility,
transferability, dependability, confirmability, dan authenticity.
Credibility
Credibility mengacu pada keyakinan kebenaran data dan interpretasi data.
Peneliti kualitatif harus berusaha untuk membangun kepercayaan dalam kebenaran temuan bagi peserta dan konteks penelitian. Kredibilitas melibatkan dua aspek: pertama, melakukan penelitian dengan cara yang dapat meningkatkan kepercayaan dari temuan, dan kedua, mengambil langkah-langkah untuk menunjukkan kredibilitas dalam laporan penelitian. Beberapa teknik yang dapat dilakukan peneliti untuk mempertahankan credibility antara lain teknik prolonged
Transferability
Transferability mengacu pada sejauh mana hasil temuan dapat ditransfer
atau diterapkan pada kelompok atau populasi yang lain. Hal ini bergantung pada pengetahuan seorang peneliti tentang konteks pengirim dan konteks penerima. Peneliti akan menguraikan secara rinci tentang data terkait dengan latarbelakang dan fenomena yang terjadi serta temuan di tempat penelitian untuk memungkinkan perbandingan yang akan dibuat tentang temuan yang akan didapat. Semua data tersebut dibuat dalam satu deskripsi tebal (thick description)
untuk memungkinkan seseorang tertarik dalam membuat transfer untuk mencapai kesimpulan apakah transfer dapat dipikirkan sebagai kemungkinan.
Dependability
Dependability mengacu pada stabilitas (reliability) data dari waktu ke
waktu dan kondisi. Artinya bahwa jika pekerjaan itu diulang dalam konteks yang sama, dengan metode yang sama dan dengan peserta yang sama maka hasil yang sama akan diperoleh. Peneliti melaporkan secara detail setiap proses penelitian kepada pembimbing untuk menilai apakah proses dan hasil yang diperoleh sudah sesuai sehingga data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat lebih objektif.
Confirmability
Confirmability mengacu pada objektifitas atau netralitas data, dimana
tercapai persetujuan antara dua orang atau lebih tentang relevansi dan arti data.
Confirmability tercapai jika peneliti dapat meyakinkan orang lain bahwa data
dengan melakukan pengambilan data dengan cara focus group discussion (FGD),
in-depth interview dan self report. Audit trail dilakukan dengan cara membuat
tabel atau diagram yang berisi tentang alur kegaiatan secara rinci yang meliputi jenis kegiatan, tujuan, sasaran, partisipan dan waktu pelaksanaan kegiatan.
Authenticity
Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti dengan adil dan dengan
tepat menunjukkan kenyataan yang terjadi. Keaslian muncul dalam laporan ketika laporan tersebut dapat menyampaikan perasaan partisipan sebagaimana mereka hidup. Sebuah teks memiliki keaslian jika dapat mengajak pembaca merasakan sebuah pengalaman kehidupan yang digambarkan, dan memungkinkan pembaca untuk mengembangkan kepekaan yang meningkat dengan masalah yang digambarkan. Ketika teks mencapai keaslian, pembaca lebih mampu memahami kehidupan yang digambarkan ‘in the round” dengan berbagai suasana hati, perasaan, pengalaman, bahasa, dan konteks hidup.
2.7 Landasan Teori
2.7.1 Konsep Abraham Maslow “Hirarki Kebutuhan Dasar Manusia” dalam
Caregiver Pada Pasien Stroke
Fokus Konsep
Dalam memberikan asuhan keperawatan harus memperhatikan kebutuhan bio-psiko-sosio-kultural klien. Abraham Maslow (1968) mengembangkan sebuah hirarki kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk menentukan prioritas kebutuhan klien. Kebutuhan tertentu dapat lebih penting daripada kebutuhan dasar yang lain. Hirarki Maslow disusun berdasarkan teori bahwa sesuatu dikatakan kebutuhan dasar bila: 1) jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dapat menimbulkan sakit, 2) jika kebutuhan tersebut terpenuhi dapat mencegah sakit, 3) kebutuhan tersebut merapakan indikator seseorang dikatakan sehat, 4) ada perasaan kehilangan jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, 5) ada kepuasan jika kebutuhan tersebut terpenuhi.
ruangan dan merawat pasien stroke gangguan menelan, selain perawat memperhatikan kebutuhan fisiologi klien (misal memasang NGT), perawat juga memperhatikan kebutuhan mencintai dan memiliki klien (dengan membiarkan klien ditunggu keluarga).
keamanan dan keselamatan secara emosi. Perawat yang selama 24 jam bersama klien dapat membantu memenuhi kebutuhan klien tersebut dengan mengajak klien berdoa sebagai cara untuk memberikan kekuatan dan support pada klien, 3) kebutuhan mencintai dan memiliki merupakan kebutuhan dasar yang berada pada level yang lebih tinggi. Kebutuhan mencintai dan memiliki meliputi adanya bagaimana kita memahami dan menerima orang lain, bagaimana seseorang ingin dimengerti dan diterima oleh orang lain, termasuk juga adanya perasaan memiliki orang yang berarti seperti teman, keluarga, tetangga dan lingkungan masyarakat.
senantiasa mendukung klien, 5) kebutuhan aktualisasi diri adalah tingkat kebutuhan yang menempati tingkat yang paling tinggi. Kebutuhan aktualisai diri adalah kebutuhan individu untuk dapat mengembangkan dirinya secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya. Proses aktualisasi diri berjalan sepanjang kehidupan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan aktualisai diri klien, perawat harus berfokus pada kemampuan dan kesempatan yang dimiliki klien. Berikut ini adalah ciri-ciri kebutuhan aktualisasi diri terpenuhi: Memecahkan masalah sendiri, membantu orang lain memecahkan masalah, menerima saran orang lain, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sebagai pendengar dan komunikator, menikmati privacy, mencari pengalaman dan pengetahuan baru, memiliki kepercayaan dalam kemampuan dan mengambil keputusan, mengantisipasi masalah dan berhasil menyenangi diri sendiri.
2.7.2 Penerapan Teori Maslow
Hirarki kebutuhan dasar menurut Maslow dapat diterapkan dalam proses keperawatan baik itu dalam pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Hirarki Maslow juga dapat diterapkan pada berbagai usia, di berbagai tempat pelayanan kesehatan, dapat diterapkan baik dalam kondisi sehat maupaun sakit.
Dalam memenuhi kebutuhan dasar klien, perawat tidak hanya memperhatikan kebutuhan yang paling dasar, tetapi juga memenuhi kebutuhan yang ada ditingkat berikutnnya. Jadi bisa saja, perawat memenuhi dua kebutuhan dasar atau lebih dalam satu waktu. Contoh : saat merawat klien dengan sesak nafas, perawat memberikan oksigen untuk memenuhi kebutuhan fisiologinya tetapi juga memasang pengaman tempat tidur untuk memenuhi kebutuhan keamanan dan keselamatannya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan teori kebutuhan dasar menurut Maslow yaitu: Hubungan diantara kebutuhan Adakalanya dalam memenuhi kebutuhan dasar seseorang, kita tidak mengikuti sesuai urutan hirarki Maslow, karena pada individu yang berbeda pendapatan atau perbedaan tingkat kebutuhan. Sehingga pada saat melakukan asuhan keperawatan, perawat jangan berasumsi bahwa kebutuhan tingkat yang lebih bawah selalu menjadi prioritas. Jelaslah bahwa asuhan keperawatan yang diberikan bersifat individu. Contoh : seorang janda yang tinggal sendiri di kawasan rawan kejahatan dirawat di rumah sakit karena tidak dapat buang air kecil. Dia mengeluh khawatir dengan keamanan rumahanya. Pada saat itu, kebutuhan eliminasi tidak menjadi prioritas tetapi kebutuhan keamanan dan keselamatan yang menjadi lebih prioritas untuk menghilangkan rasa cemas klien tersebut.
satu kebutuhan pada satu waktu, tetapi kebutuhan yang lain juga dipenuhi secara simultan.
Pada contoh kasus diatas, pada saat yang bersamaan selain perawat memeberikan ketenangan pada janda tersebut, perawat juga memasang kateter untuk mengatasi masalah tidak dapat buang air kecilnya.
Faktor yang mempengaruhi prioritas kebutuhan dasar adanya berbagai macam tingkat kebutuhan dasar manusia, mengharuskan perawat menyusun prioritas agar asuhan keperawatan yang diberikan lebih fokus dan lebih efektif. Situasi yang mengancam kehidupan tentunya menempati prioritas yang tertinggi. Dalam menentukan prioritas kebutuhan, perawat harus mempertimbangkan hal-hal berikut ini: kepribadian dan mood, persepsi klien, struktur keluarga, pertimbangkan hubungan kebutuhan dasar,
Satu hal yang penting adalah dalam menyusun prioritas dan perencanaan kebutuahan dasar manusia, perawat haras melibatkan klien dan keluarga. Asuhan keperawatan klien yang holistik mempertimbangkan semua dimensi yang mempengaruhi kebutuhan dasar manusia dalam rentang sehat sakit.
2.8 Kerangka Konsep
Penyusunan kerangka konsep dilakukan berdasarkan landasan teori keperawatan Abraham Maslow yang dikaitkan dengan pengembangan model
family centered care (FCC) bagi caregiver yang merawat pasien stroke gangguan