• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan (Studi Kasus Kecamatan Angkola Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan (Studi Kasus Kecamatan Angkola Barat)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS BAGI MASYARAKAT TAPANULI SELATAN

A. Hukum Waris Islam

A.1. Pengertian Warisan menurut Hukum Waris Islam

Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaidah ini adalah Al-Qur’an dan sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah sunnah Rasul beserta hasil-hasil Ijtihad atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka. Berkaitan dengan hal tersebut, dibawah ini akan diuraikan beberapa ayat suci Al-Qur’an yang merupakan sendi utama pengaturan warisan dalam Islam.Ayat-ayat tersebut secara langsung menerangkan perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur’an, masing-masing tercantum dalam Surat An-Nisa, Surah Al-Baqarah dan terdapat pula pada Surat Al-Ahzab.

Ayat-ayat suci yang berisi ketentuan hukum waris dalam Al-Qur’an, sebagian besar terdapat dalam Surah An-Nisa diantaranya sebagai berikut25

a. Ayat 7 : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta sepeninggalan Ibu-Bapak, dan kerabatnya dan bagi wanita adapula dari harta peninggalan Ibu-Bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang

:

25

(2)

telah ditetapkan”. Dan dalam ayat ini secara tegas, Allah menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris.

b. Ayat 11 : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan26,dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua27

Dari ayat ini, dapat diketahui tentang bagian anak, bagian Ibu dan Bapak, disamping itu juga diatur tentang wasiat dan hutang pewaris.

, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh membagi separuh harta. Dan untuk dua orang Ibu-Bapak, bagi masing-masingnya satu per enam dari harta yang ditinggalkan. Jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh Ibu-Bapaknya atau salah satunya, maka Ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka Ibunya mendapat satu per enam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui diantara mereka lebih dekat atau banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”.

26

Bagi laki-laki dua kali bagian perempuan karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar, mas kawin, dan memberi nafkah (Surah An-Nisaa Ayat : 34)

27

(3)

c. Ayat 12 : “Dan bagimu (suami-suami) satu per dua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh satu perempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh satu per delapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu . . . .”.

Dalam ayat ini, juga ditentukan secara tegas, mengenai bagian duda serta bagian janda.

d. Ayat 33 : “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan Ibu-Bapak dan keluarga dekat, kami jadikan pewaris-pewarisnya28”. Secara rinci dalam ayat 11 dan 12 Surah An-Nisaa di atas, Allah menentukan ahli waris yang mendapat harta peninggalan dari harta Ibu-Bapaknya, ahli waris yang mendapat peninggalan dari saudara perjanjian. Selanjutnya Allah memerintahkan agar pembagian itu dilaksanakan.

e. Ayat 176 : “ . . . Katakanlah : Allah memberi Fatwa kepadamu tentang Kalalah atau yaitu: jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak 28

(4)

mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu satu per dua dari harta yang ditinggalkannya. Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai, (seluruh harta saudara perempuannya), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang maka bagi keduanya, dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan maka bagi seorang laki-laki sebayak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (Hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat ini berkaitan dengan masalah pusaka atau harta peninggalan Kalalah, yaitu seorang yang meninggal dunia yang tanpa meninggalkan seorang ayah dan juga anak29

A.2 Pembagian Harta Warisan dalam Hukum Islam .

Dalam Hukum Islam ada suatu ketentuan bahwa pembagian atau pemberian harta sebelum seorang meninggal atau lebih popular disebut wasiat, tidak boleh melebihi 1/3 dari harta warisannya.Hal demikian untuk melindungi para ahli waris lainnya.Di dalam Hukum Kewarisan Bilateral oleh Hazairin dijelaskan timbulnya ketentuan tersebut.Mengenai hibah wasiat ini setiap orang dapat menikmati

29

(5)

keuntungan dari suatu syarat bahwa isi dari pada wasiat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang30

a. Mereka yang mendapat ½ dari harta peninggalan terdapat 5 (lima) golongan, yaitu :

.

Pembagian harta warisan dalam Hukum Islam ditentukan dalam Al-Qur’an, sehingga pembagian harta warisan bagi ahli warisnya berbeda-beda.Pembagian harta waris bagi ahli waris Dzul Faraa’idh tetap tertentu dan tidak beubah-ubah. Berbeda halnya dengan para ahli waris lainnya yang bukan Dzul Faraa’idh, seperti ahli waris Ashabah,dan Dzul Arhaam.Bagian mereka yang merupakan sisa setelah

dikeluarkannya hak para ahli waris Dzul Faraa’idh.

Adapun bagian tetap para ahli waris Dzul Faraa’idh adalah sebagai berikut :

1) Seorang anak perempuan bila tidak ada anak laki-laki ;

2) Seorang anak perempuan (dari anak laki), bila tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan ;

3) Seorang perempuan kandung, bila tidak ada saudara laki-laki ; 4) Seorang saudara perempuan seayah, bila tidak ada saudara laki-laki; 5) Suami bila istri meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu.

b. Mereka yang mendapat bagian 1/4 dari harta peninggalan terdapat dua golongan, yaitu :

1) Suami, bila istri yang meninggal mempunyai anak atau cucu ;

30

(6)

2) Istri, bila suami yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu ; c. Ahli waris yang mendapat 1/8 bagian dari harta peninggalan, hanya istri31

d. Ahli waris yang mendapat 1/3 bagian dari harta peninggalan ada dua golongan, yaitu :

baik seorang ataupun lebih. Bagian ini akan diperoleh istri apabila suaminya yang meninggal dunia meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Demikian pula jika suaminya itu meninggalkan anak dari laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.

1) Ibu, bila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu, atau dua orang saudara atau lebih ;

2) Dua orang atau lebih saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan dengan pembagian yang sama.

e. Ahli waris yang memperoleh 2/3 bagian dari harta peninggalan terdapat empat golongan, yaitu :

1) Dua atau lebih anak perempuan, bila tidak ada anak laki-laki ;

2) Dua orang cucu perempuan atau lebih, dari anak laki-laki bila tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan ;

3) Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, bila tidak ada saudara laki-laki ;

31

(7)

4) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, bila ada saudara laki-laki.

f. Para ahli waris yang meninggal dunia memperoleh 1/6 dari harta peninggalan, terdapat tujuh golongan, yaitu :

1) Ibu, jika yang meninggal dunia meninggalkan anak, cucu, dua atau lebih saudara ;

2) Ayah, jika yang meninggal dunia mempunyai anak atau cucu ; 3) Nenek, ibu dari ibu-bapak ;

4) Seorang cucu perempuan, dari anak laki-laki, bersamaan dengan anak perempuan ;

5) Kakek, bapak dari bapak, bersamaan dengan anak atau cucu, bila ayah tidak ada ;

6) Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan ;

7) Saudara perempuan, seorang atau lebih bersamaan dengan saudara kandung.

Selain itu semua, dikenal pula kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu “ahli waris yang didahulukan untuk mewaris32” mereka yang menurut Al-Qur’an termasuk kelompok yang didahulukan untuk mewaris atau disebut dengan “kelompok keutamaan33”.

32

Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara,Jakarta, 1984, Hlm. 68 33

(8)

Kelompok keutamaan tersebut terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu : a) Keutamaan pertama ;

1) Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan anak yang meninggal dunia ;

2) Ayah, ibu, dan duda atau janda, bila tidak terdapat anak. b) Keutamaan kedua ;

1) Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, ahli waris pengganti kedudukan saudara ;

2) Ayah, Ibu, dan janda atau dua, bila tidak ada saudara. c) Keutamaan ketiga ;

1) Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salah satu, bila tidak ada anak dan tidak ada saudara ;

2) Janda atau duda. d) Keutamaan keempat.

1) Janda atau duda ;

2) Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti kedudukan ayah.

(9)

1) Perbedaan Agama ;

Orang Islam tidak mendapat pusaka dari orang yang tidak beragama Islam dan demikian juga sebaliknya34

Apabila dalam sekeluarga yang beragama Islam seorang menjadi murtad, yang artinya meninggalkan agama Islamnya maka gugurlah haknya untuk menjadi ahli waris dari keluarga yang beragama Islam

. Sabda Rasulullah SAW yang artinya : “Dari Usamah bin Zaid ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah orang Islam mewarisi orang kafir dan tidaklah orang

kafir mewarisi orang Islam”, (HR. Bukhari dan Muslim).

35

Oleh karena penetapan fatwa waris bagi mereka yang menundukkan diri, pada Hukum Islam dengan sendirinya kalau mereka atau salah satu keluarga tadi tidak beragama Islam, tentunya Hukum Islam tidak bisa di terapkan baginya.Dengan demikian, hak untuk mewaris menjadi penghalang baginya

. Hak untuk mewaris hilang, maksudnya adalah ahli waris tidak patut untuk mewaris, kalau di dalam keluarga tadi akan di terapkan Hukum Islam pembagian harta warisan.

36

34

S.A. Hakim, Hukum Adat Perorangan, Perkawinan, dan Pewarisan, Hlm. 56 35

Ibid, Hlm. 56 36

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 80-81

(10)

2) Membunuh ;

Orang yang membunuh keluarganya tidak berhak mendapat pusaka dari keluarganya yang dibunuhnya itu. Rasulullah SAW bersabda: “Yang membunuh tidak mewarisi sesuatupun dari yang dibunuhnya”(HR. Nasai).

3) Perhambatan atau menjadi budak orang lain.

Orang yang menjadi budak tidak berhak mendapat pusaka dari orang yang merdeka. Allah SWT berfirman : “Allah SWT telah mengadakan perumpamaan yaitu seorang hamba yang dimilikinya, yang

tidak berkuasa atas sesuatu” (QS. An-Nahl : 75)37

4) Tidak tentu kematiannya.

.

Seorang hamba selama belum merdeka tidak dapat menjadi ahli waris maupun menjadi pewaris bagi harta peninggalannya untuk diwarisi.Jelasnya, seorang hamba menjadi milik Tuannya bersama seluruh hak miliknya.Keadaan ini terus berlangsung selama hamba tersebut belum merdeka.

Apabila ada dua orang yang memiliki hubungan mewaris, padahal mereka berdua ditimpa musibah seperti mengalami kecelakan mobil, atau

37

(11)

tenggelam bersama, sehingga keduanya meninggal bersama. Jika dalam keadaan tersebut tidak dapat diketahui siapa yang mati terlebih dahulu, maka keadaan yang demikian tidak dapat salah seorang menjadi ahli waris dari yang lain. Selanjutnya harta masing-masing dari keduanya dibagikan kepada ahli waris masing-masing38

A.4 Pembagian Warisan terhadap Ahli Waris Tertentu Menurut Hukum Islam

.

1. Warisan Anak dalam Kandungan

Pada dasarnya, anak baru berhak mendapat warisan apabila dia lahir dalam keadaan hidup yang ditandai dengan suara tangisan atau suara lain, ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw yang artinya :

“ Tidak dapat warisan seorang anak kecil, kecuali ia lahir dengan bersuara. (HR.Ahmad).”

“Apabila bersuara (nyawa) anak yang lahir, maka di sembayangkan dia dan diberi warisan.(HR. Tirmidzi dan Nasai).”

Berdasarkan hadis-hadis ini rata-rata ulama berpendapat bahwa seorang anak kecil mendapat warisan apabila ia lahir dalam keadaan hidup atau pernah hidup di luar kandungan ibunya.

Meskipun demikian, apabila waktu kelahiran masih lama setelah kematian yang mewariskan, harta warisan sudah dapat dibagikan kepada ahli waris yang ada,

38

(12)

tetapi untuk anak dalam kandungan harus ditentukan bagiannya.Besar kecil ditentukan mana yang lebih menguntungkan atau antara diperkirakan laki-lakiatau perempuan.Kepastiannya baru diketahui setelah perhitungan keduanya dilakukan39

a. Cucu dalam kandungan (sebagai anak perempuan)

. Contohnya seorang perempuan meninggal dunia.Setelah utang piutang, hak hartanya dan wasiatnya diselesaikan tinggallah harta warisannya sejumlah Rp. 150 Juta. Ahli waris yang di tinggalkan tidak terdinding ayah, ibu, suami, satu orang anak perempuan, satu otang cuci dalam kandungan ( janda anak laki-laki) yang sedang hamil.

Pemecahannya :

1) Ayah adalah dzu Fardhin, mendapat bagian 1/6(QS. An-Nisa ayat 11) . Jadi Ayah mendapat bagian = 1/6 X Rp. 150 Juta = Rp 25 Juta.

2) Ibu adalah dzu fardhin, mendapat bagian 1/6 (QS. An-Nisa Ayat 11). Jadi ibu mendapat bagian 1/6 X Rp. 150 Juta = Rp. 25 Juta.

3) Suami adalah dzu fardhin mendapat bagian ¼ (QS. An-Nisa ayat 12). Jadi suami mendapat bagian ¼ X Rp. 150 Juta = Rp. 37, 5 Juta.

4) 1 (satu) orang anak perempuan mendapat bagian ½ (QS. An-Nisa ayat 11) dan (HR Jama’ah kecuali Muslim dan Tarmidzi). Jadi cucu dalam kandungan (perempuan mendapat bagain = 1/6 X Rp 150 Juta = 25 Juta. Jumlah bagia para ahli waris itu :

39

(13)

Rp. 25 Juta + Rp. 25 Juta + Rp. 37, 5 Juta + Rp. 75 Juta + Rp. 25 Juta = Rp. 187,5

Hal ini melebihi harta warisan, sebab jumlah pendapatan mereka = 1/6+1/6+1/4+1/2+1/6=2/12+2/12+3/12+6/12+2/12= 15/12

Ini mestinya di ‘aulkan masalah dinaikkan dari 12 ke 15 jadi jumlah berubah menjadi :

2/15+2/15+3/15+6/15+2/15 =15/15 Maka bagian :

1) Ayah = 2/15 X Rp. 150 Juta = 20 Juta 2) Ibu = 2/15 X Rp. 150 Juta = 20 Juta 3) Suami = 3/15 X Rp. 150 Juta = 30 Juta

4) 1 (satu) orang saudara perempuan 6/15 X Rp. 150 Juta = 60 Juta 5) Cucu dalam kandungan (Perempuan) = 2/15 Rp. 150 Juta = Rp. 20

Juta

b. Cucu dalam kandungan ( sebagai anak laki-laki) atau ‘ashabah

Jumlah pendapatan mereka sesuai ketentuan (Para ahli waris dzu fardhin) adalah : 1/6 +1/6+1/4+1/2 = 2/12+2/12+3/12+6/12 = 13/12.Ini

(14)

Jadi lebih menguntungkan kalau dia anak perempuan dan inilah yang dilaksanakan.

Catatan : Ada ahli hadis yang berpendapat ketiga hadis itu lemah, sedangkan dalam Al-qur’an dan sunnah menetapkan secara umum anak adalah ahli waris. Oleh karena itu anak dalam kandungan yang pernah hidup di dalam perut (kandungan) ibunya pun adalah sebagai ahli waris.

2. Warisan anak zina dan anak Li’an

Anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan zina, dimana salah satu dari orang tua si anak telah menikah sebelumnya dengan orang lain tapi melakukan hubungan suami istri dengan yang bukan makhrom atau mukhrimnya. Sedangkan anak li’an adalah anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan hubungan perkawinan yang sah, tetapi suami tidak mengakuinya dan menuduh istrinya berbuat zina tanpa bukti dan saksi yang cukup40

Untuk mengelakkan hukuman menuduh zina, suami harus bersumpah li’an seperti yang di atur dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9. Sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw, sumpah li’an itu harus dilakukan di hadapan hakim. Suami bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa ia benar pada tuduhannya terhadap istrinya. Ucapan lengkap sumpah itu adalah : “Aku bersaksi dengan nama Allah

.

40

(15)

bahwa aku seorang yang benar tentang tuduhanku terhadap istriku si (nama istri) berzina.

Sumpah yang ke lima ia mesti berkata : “sesungguhnya la’nat Allah tertimpa atas ku, jika aku berdusta tentang tuduhan terhadap istriku (ini) berzina”. Pernyataan suami dilanjutkan dengan ucapan “ Dan sesungguhnya anak ini dari pada zina, tidak dari padaku”. Istri agar bebas dari hukuman zina mesti juga menyatakan sumpah li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa suaminya berdusta. Ucapan lengkap sumpahnya adalah : “Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa si (nama suami bin nama ayahnya) ini sesungguhnya berdusta mengenai tuduhannya terhadap diriku berzina. Pada sumpah yang kelima ia mesti berkata : “Dan kemurkaan Allah tertimpa atasku jika ia seorang yang benar mengenai tuduhannya terhadap diriku berzina”.

3. Perempuan yang Diceraikan (Al-Muthallaqah)

Kedudukan istri yang di tinggal mati oleh suaminya patut mendapat perhatian serta diperlakukan secara hukum di dalam ke tiga lingkungan hukum, yaitu : hukum adat dan hukum agama islam41

41

Oemar Salim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, Hlm. 30

(16)

“Dari Rabi’ah bin Abi Abdir Rahman, ia berkata : seorang istri bagi

Abdurrahman bin ‘Auf minta talaq. Maka ia berkata : kalau engkau sudah

bersuci (dari haidh), kabarkanlah kepadaku. Setelah itu istrinya

mengabarkan kepadanya hal faedah bersihnya, lalu ia thalaq putus atau ia

berikan thalaq yang ketinggalan, padalah ia dalam sakit waktu itu, maka

Usman jadikan perempuan itu mendapat warisan (padahal sesudah habis

masa iddahnya)”.

“Dari Abdirahman bin Hurmuz Al’Araj, bahwasanya Usman bin Affan memberi warisan kepada istri-istri Ibnu Mikmal, padahal ia telah menceraikan mereka di dalam masa sakitnya”.

“Seorang laki-laki pernah menceraikan istri-istrinya, dan hartanya dibagikan

diantara anak-anaknya. Tatkala sampai kabar kepada Umar, ia berkata :

hendaklah engkau tarik kembali istri-istrimu dan hartamu, atau aku jadikan

mereka ahli warismu (subulussalam)”.

Catatan : Tidak diketahui berdasarkan dalil mana kedua khalifah tersebut memberikan warisan kepada istri yang telah ia ceraikan.

4. Anak Pungut

(17)

anggap oleh kedua orang tuanya sebagai anak keturunannya sendiri42

B. Hukum Waris Adat Tapanuli Selatan

.Menurut pandangan Umar kalau dia mati meninggalkan pusaka, pusaka itu dimasukkan ke Baitul Maal. Sesuai dengan yang di sampaikan Umar yang di dengar oleh Razein, yang artinya :

“Telah berkata Umar : Anak pungut itu hukumnya merdeka, dan hartanya

untuk Baitul-Maal dan begitu juga binatang yang tak bertuan (razein)”.

B.1 Pengertian Warisan Hukum Waris Adat

Hukum Waris Adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta bagaiamana cara harta warisan tersebut dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris43

Hukum waris adat juga merupakan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu generasi manusia kepada keturunannya

.

44

Dalam hukum adat waris ini, ada hukum kewarisan yang merupakan bagian dari hukum kelurga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini di sebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup

.

(18)

kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami persitiwa hukum yaitu kematian. Karena kematian merupan sebuah peristiwa yang tidak bisa di hindari oleh siapa pun.Akibat yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang adalah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kwajiban seseorag yang meninggal dunia45

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut di atur oleh hukum. Jadi, warisan itu dalam di katakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud/tidak berwujud) dari pewaris pada ahli warisnya

.

46

Salah satu aspek yang menjadi perbedaannya ialah kebudayaan baik rohani maupun kebudayaan jasmani yang membedakan hukum kewarisan tersebut. Masyarakat Indonesia yang berbeda suku dan budaya yang disebut sebagai masyarakat adat tersebut membentuk suatu hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku bagi masyarakat itu sendiri.Oleh karena itu, dalam hukum adat suatu

.Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan sifat masyarakat dan sistem kekeluargaan. Bangsa Indonesia adalah salah satu negara yang salah satu penduduknya sangat pluralis yang disebabkan karena Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya.Letak geografis Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau atau kepulauan menyebabkan perbedaan budaya yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat.

45

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Inonesia, Bandung, Sumur, 1983, Hlm. 11 46

(19)

pemilikan harta warisan masih sangat dipengaruhi oleh rasa persatuan keluarga dan rasa keutuhan tali persaudaraan.

Hukum waris adat di Indonesia bersifat pluralistik menurut suatu bangsa dan kelompok etnis yang ada.Hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar dari suatu sistem suku-suku bangsa atau kelompok etnis47. Dalam Negara Republik Indonesia yang bersifat pluralistik, berlaku berbagai huku m waris yaitu48

1. Hukum Waris Adat, untuk warga negara Indonesia asli ; :

2. Hukum waris islam, untuk warga negara asli di berbagai daerah dan kalangan tertentu yang terdapat pengaruh hukum agama islam ;

3. Hukum waris Barat, untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina, yang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pemberian suatu harta dari pewaris kepada ahli waris sesudah meninggal dunianya merupakan proses yang sangat universal dalam setiap hukum adat yang ada di dalam masyarakat adat di Indonesia. Akan tetapi, pemberian harta warisan sebelum si pewaris meninggal dunia (semasa hidupnya) merupakan suatu hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari suatu asas atau prinsip pewarisan, yaitu : “Menurut Hukum Adat, harta warisan itu meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh

47

Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda menurut Hukum Waris Adat, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1966, Hlm. 7

48

(20)

si peninggal harta atau pewaris semasa hidupnya. Jadi, dalam hal ini tidaklah hanya terbatas pada harta yang dimiliki pada saat si pewaris meninggal49

B.2 Sifat Hukum Waris Adat Tapanuli Selatan

”.

Hukum Waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum.Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian pluralistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat keseragaman.

Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan.Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan.Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan50

1. Sistem Patrilineal/ Sifat Kebapaan ;

. Ketiga macam sistem keturunan tersebut adalah sebagai berikut :

Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki.Dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol. Ahli waris dalam sistem ini adalah hanya anak laki-laki, sebab

49

Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana Balai Penmas SU, Medan, 1988, Hlm. 145 50

(21)

anak perempuan telah meikah atau kawin dengan cara “Kawin Jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak medapat ahli waris orang tuanya yang telah meninggal dunia.

Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada masyarakat-masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali51

2. Sistem Matrilineal/ Sifat Keibuan

.

Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu dan seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan.Dalam kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anaknya yang menjadi ahli waris dari garis perempuan atau garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiriKekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di suatu daerah, yaitu Minangkabau52

3. Sistem Bilateral atau Parental/ Sifat Kebapak-Ibuan.

.Namun demikian, bagi masyarakat Minangkabau yang sudah merantau keluar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah.

51

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung : Vorkink van Hoeve, s-Gravenhage, Hlm. 10

52

(22)

Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah.Dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan di dalam ahli waris sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan Orang tua mereka. Sistem ini di Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok.

Dari ketiga sistem keturunan di atas, mungkin masih ada variasi lain yang merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya “ Sistem Patrilineal beralih-alih (Alternerend) dan sitem Unilateral Berganda (Double Unilateal)53

“ . . . masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, akibat sistem kekelurgaan yang dipergunakan membawa ”. Namun tentu saja masing-masing sistem memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan sistem yang lainnya.

Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas, bahwa hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut, Tjokorda Raka Dherana, dalam tulisannya “Beberapa segi hukum adat waris Bali” yang dimuat dalam majalah Hukum No. 2 mengemukakan antara lain:

53

(23)

akibat pada penentuan aturan-aturan tentang warisan. Disamping itu, peran agama yang dianut tidak kalah pentingnya dalam penentuan aturan-aturan tentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukum adat. Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adat kekeluargaan di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi pelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang juga memakai sistem Patrileal, seperti halnya di masyarakat Batak54

1. Sistem Kewarisan Individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya : Jawa, Batak, Sulawesi, dan lain-lain.

”.

Disamping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penentuan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang di wariskan, hukum adat waris mengenal ada tiga sistem kewarisan, yaitu :

2. Sistem Kewarisan Kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (Kolektif) sebab harta yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi kepemilikannya kepada masing-masing ahli waris. Contohnya “ Harta pusaka” di Minangkabau, dan “ Tanah Dati” disemenanjung Hitu, Ambon.

54

(24)

3. Sistem Kewarisan Mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada 2 macam, yaitu :

a. Mayorat Laki-Laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua atau sulung, atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya di Lampung.

b. Mayorat Perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat tanah Semendo, di Sumatera Selatan.

Hazairin, didalam bukunya sebagaimana di kutip Soerjono Soekanto, menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut diatas bila dihubungkan dengan prinsip garis keturunan, yaitu :

(25)

Kolektif pada batas-batas tertentu malahan dapat dijumpai pula dalam masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa, Sulawesi Utara55

Memperhatikan perbedaan-perbedaan dari ketiga macam sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di atas, menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya pun sangat pluralistik. Namun demikian, sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya karena sistem kekeluargaan masyarakat yang beranekaragam, melainkan juga disebabkan adat-istiadat masyarakat Indonesia yang juga dikenal sangat bervariasi.Oleh sebab itu, tidak heran kalau sistem hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan sistem kekeluargaan dari masyarakat adat tersebut

”.

56

Melengkapi pluralistiknya sistem hukum waris adat yang diakibatkan beragamnya masyarakat adat di Indoensia, dua sistem hukum lainnya juga cukup dominan hadir bersama serta berlaku terhadap masyarakat dalam wilayah hukum Indonesia.Kedua macam waris yang disebut itu memiliki corak dan sifat yang berbeda dengan corak dan sifat hukum waris adat.Sistem hukum waris yang dimaksud adalah Hukum Waris Islam berdasar dan bersumber pada Kitab Suci Al-Qur’an dan Hukum waris Barat peninggalan zaman Hindia Belanda yang bersumber pada BW

.

57

55

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Islam, Jakarta: Rajawali, 1981, Hlm. 286 56

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Cet. Keempat, Bandung, 2013, Hlm. 6

57

Ibid. Hlm. 7

(26)

B.3 Sebab-Sebab Terhalangnya Seseorang Mendapat Warisan menurut Hukum Adat

Dalam masyarakat Hukum Adat, mengenai ketidakpantasan untuk menjadi ahli waris ini tidak dikenal hanya ada suatu kemungkinan seseorang itu dikesampingkan selaku ahli waris, oleh karena alasan-alasan membunuh si peninggal warisan.Hal ini bahwa hak untuk mewaris itu tidak dapat dikesampingkan yang berarti bahwa ketidakpantasan untuk menjadi ahli waris itu tidak dikenal dalam Hukum Adat.

Hak untuk mengisi atau menggantikan kedudukan seseorang ahli waris terlebih dahulu meninggal dunia dari pada orang yang meninggalkan warisan, ada pada keturunan dalam garis menurun.Dengan demikian, hak untuk mewarisi dalam masyarakat Hukum Adat tentang tidak pantas menjadi ahli waris tidak dianut secara tegas.Perbedaan agama pun tidak menghilangkan hak seseorang untuk menjadi ahli waris.

Adapun perbuatan salah yang memungkinkan hilangnya hak mewaris seseorang terhadap harta warisan orang tuanya atau dari pewaris lainnya dapat disebabkan antara lain :

1) Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota keluarga pewaris

(27)

3) Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewaris, atau nama kerabat pewaris karena perbuatan tercela58

4) Murtad dari agama atau berpindah dari agama dan keceprcayaan dan sebagainya.

.

Perbuatan salah yang dimaksud dapat dibatalkan memberi ampunan dengan nyata dalam perkataaan atau perbuatan sebelum atau ketika warisan dilakukan pembagian.Pengampunan atas kesalahan ahli waris yang bersalah dapat berlaku atas semua harta warisan atau hanya untuk pembagian saja.Misalnya waris masih diperkenankan menerima bagian dari harta pencarian tetapi tidak diperkenankan mewarisi harta asal atau hanya mendapat bagian harta pencarian yang lebih sedikit dari bagian waris lainnya59

58

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, Hlm. 108 59

Referensi

Dokumen terkait

Perlekatan dikatakan benar bila tampak lebih banyak areola di atas bibir, mulut bayi terbuka lebar, bibir bawah terputar keluar, dan dagu bayi menempel payudara.Variabel

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripi dengan judul : ” PENGARUH KEMAMPUAN MENYUSUN LAPORAN KEUANGAN, LATAR BELAKANG PENDIDIKAN, KREDIT DAN ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN

Usulan penelitian ini mencoba merancang dan membuat suatu model aplikasi menggunakan Algoritma Bayes yang bisa membantu mahasiswa untuk memilih suatu konsentrasi

Peraturan perundangan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai acuan dalam penyusunan Dokumen Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) yang terkait dengan

Sebagai kalimat imperatif yang bersifat ajak, contoh tuturan (1) sampai dengan tuturan (5) merupakan contoh peringkat kesantunan dari yang paling rendah sampai

Dalam penelitian ini di- lakukan dengan menggabungkan antara model matematik heuristik permintaan dinamis Pujawan dan Silver [5] dan model matematik sistem rantai

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pada hipotesis pertama mengenai Pengaruh citra merek secara signifikan terhadap keputusan pembelian sepeda motor matic

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul